Selimut Debu 104: Antara Kepercayaan dan Realita
Tidak semua orang Hazara mendukung tradisi menceburkan diri ke danau untuk memperoleh kesembuhan.
”Orang-orang bodoh ini,” kata Anwar, seorang pengunjung Hazara dari Bamiyan, ”mereka benar-benar percaya bahwa danau ini dibuat dengan mukjizat Imam Ali.”
Anwar, seperti halnya mayoritas orang Hazara, juga pemeluk Syiah. Tetapi ia pernah belajar ilmu agama di Iran, dan ia lebih logis. ”Sebenarnya, memercayakan kesembuhan dari danau dan mukjizat tempat suci, sama sekali bukan ajaran Islam. Kita seharusnya hanya mengandalkan pertolongan Tuhan. Tetapi penduduk sini tak berpendidikan, mereka memegang teguh tradisi secara membabi buta dan percaya bahwa tradisi itu adalah agama.”
Danau ini bukan hanya menjadi tempat ziarah, tetapi juga menjadi tempat piknik penting. Yang berkunjung mulai dari penduduk, kaum ekspatriat, pekerja sosial, sampai tentara Selandia Baru di bawah komando ISAF yang tak segan-segan berpiknik membawa senjata mesin dalam posisi siaga, potret sana, potret sini, dengan latar pengunjung Afghan yang mengarungi danau dengan perahu kayuh.
Kendaraan umum pun banyak, hampir setiap hari berangkat dari pasar Bamiyan. Kali ini aku datang dengan berjalan kaki menyusuri gunung cadas, melintasi satu per satu keenam danau yang diciptakan oleh mukjizat Ali. Aku tak berani membayangkan perjalanan seperti ini tiga tahun lalu, ketika daerah sekitar danau ini masih dipenuhi ranjau.
Kala itu, sopir mobil yang kutumpangi sama sekali tak mengizinkan aku turun dari kendaraan. Di padang puncak bukit tampak bangkai bus yang meledak oleh ranjau. Delapan belas penumpangnya dikabarkan tewas. Perbukitan dipenuhi bebatuan yang dicat merah, pertanda bahwa ranjau ada di mana-mana. Danau pun sepi, tak ada yang datang. Yang terpampang di hadapan aku adalah danau biru gelap penuh misteri. Sunyi. Tak terdengar lantunan doa dan isak tangis dari dalam tempat ziarah Qadamjoy.
Sekarang sunyinya Band-e-Amir sudah jadi kenangan. Di pinggiran Band-e-Haibat berjajar warung-warung buruk rupa yang menawarkan segala macam makanan dan tempat menginap. Membanjirnya pengunjung menjadi kesempatan bisnis yang bagus bagi penduduk Bamiyan. Namun bisnis ini pun musiman. Hanya ketika udara masih panas para pengunjung ramai berdatangan. Sekarang udara pegunungan sekitar Band-e-Amir mulai dingin. Warung-warung sudah ditinggal pemiliknya, kembali ke pasar Bamiyan atau Yakawlang untuk menantikan datangnya musim panas berikutnya. Begitu salju turun, danau ini boleh dibilang off limit, karena lintasan pegunungan yang licin, sempit di pinggir jurang, sangat berbahaya untuk dilewati.
Tak banyak pilihan, aku menginap di sebuah samovar dingin tepat di pinggir danau. Samovar ini pun bersiap tutup minggu depan. Lantainya tanah lempung, dilapisi sedikit karpet yang sudah menghitam. Angin berembus kencang. Malam hari di sini lebih dingin lagi, sampai aku pun menggigil walaupun sudah berselempang pattu.
Tetapi para pemuda penjaga warung tahu betul bagaimana membawa kehangatan. Ada televisi kecil dan mesin VCD, listriknya dari generator. Koleksi film mereka lumayan, mulai dari klip gadis-gadis gemuk Pashtun yang menari bergoyang pinggul, lagu-lagu romantis Iran, sampai film porno Amerika.
Bukan hanya pemuda, kakek tua beserban yang baru datang dan memesan nasi pun ikut terpaku di depan televisi lekat-lekat.
Sambil duduk bersila, sambil menyeruput teh hijau, kami sambil menonton adegan seorang wanita bule bermain di tangga loteng rumah bersama dengan dua lelaki kekar superbesar. Si artis wanita kemudian menjilat-jilat seperti rakus, yang menyebabkan kedua lelaki itu semakin beringas, dan terjadilah orgy seks anal. Teriakan, lolongan, desahan, sambung-menyambung. Adegan panas yang menggerahkan malam dingin.
Kakek tua berkomentar berkali-kali, ”Che raqam keshvar ast…. Negara macam apa itu? Sungguh kelakuan orang-orangnya seperti binatang.”
Walaupun begitu, matanya tak pernah lepas dari televisi.
Menonton film porno bukanlah dosa bagi mereka. Sudah beberapa kali aku mengalami tidur di warung, dan para pria tengah malam menonton film porno sambil berdiskusi. Beberapa bahkan masih menjentikkan tasbih. Menonton masih boleh, tapi kalau sudah melakukan zina, itu dosa yang tak termaafkan.
Pemuda di warung ini mengatakan padaku, dosa dari zina (hubungan yang tidak legal antara lelaki dan perempuan) jauh lebih besar daripada melakukan bachabazi (bermain bocah, playing boys). Tidak heran, kenapa banyak sekali playboy di Afghanistan.
Dia membacakan sebuah puisi tentang bachabazi:
Bermain bocah, Tuhan takkan marah
Hanya putar-putar di sekelilingnya sajalah
Jangan sampai kau masukkan ke celah.
Grekk… grek… grek…. Listrik mulai meredup. Generator kehabisan minyak. Televisi padam, sementara gadis di film masih menggeliat membangkitkan berahi. Hiburan malam terpaksa berakhir di sini. Para pemuda mendengus kecewa, tetapi langsung disambung tawa cekikikan, memperbincangkan adegan yang baru ditonton.
Danau Band-e-Amir kembali dalam kesunyiannya, di bawah tudung jutaan bintang yang bertaburan di angkasa raya.
Besok sepertinya kita akan memasuki bulan suci Ramadan.
(bersambung)
Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.
kulkas alami: dan pepsicola pun berendam
Hahahaaa… Grek… Grek… Grek… Listrik mulai meredup. Generator kehabisan minyak. (Selalu ada tawa dlm tiap cerita)
justru homoseksual dosanya lbh besar dg pada dengan perempuan.
Pengen beli bukunya ah