Recommended

Blog

Obo 19 September 2014: Melihat ke Barat

Semakin saya menyusuri Sungai Fly, semakin saya dekat dengan Indonesia. Bukan hanya secara geografis, tetapi juga dari kehidupan orang-orangnya. Di Suki saya menemukan sejumlah pemuda Papua Nugini yang sekolah komputer di distrik Sota, Merauke, dan terpaksa pulang karena tidak cukup biaya. Salah satu di antara mereka bahkan memiliki KTP asli Indonesia, yang dia beli dengan sangat mudah seharga 300 ribu rupiah. Dari Suki, orang bisa berperahu dan bersepeda selama dua hari untuk mencapai Indonesia. Saat saya menumpang perahu dari Suki menuju Obo, Nobi si pemuda pemilik perahu mengatakan senang dengan semakin terbukanya kontak dengan Indonesia, karena dia sangat suka rokok lempeng khas Merauke yang biasa dibawa para pedagang dari Indonesia. Dia juga bilang, di Obo nanti, saya bisa menginap di rumah saudara iparnya yang sering ke Merauke. Perjalanan dari Suki ke Obo memakan waktu sehari penuh. Sungai Fly semakin sempit dan dalam, meliuk-liuk dan berzig-zag bagai benang kusut. Selain itu, banyak jalur pintas yang berupa rawa atau selokan yang menghubungkan kelok-kelokan Sungai Fly itu, sehingga kita tidak perlu selalu mengikuti aliran sungai utama demi memotong jarak. Namun jangan berasumsi kita bisa menghemat waktu. Jalur pintas ini sering tertutup tanaman atau rumput yang sangat rapat, sehingga para penumpang perahu harus menggunakan [...]

January 13, 2016 // 12 Comments

Suki 18 September 2014: Kematian Sebuah Budaya

Peringatan kemerdekaan Papua Nugini dirayakan sebagai libur tiga hari hingga dua minggu di seluruh negeri. Di Suki, daerah pedalaman terpencil dan malas di pedalaman Western Province ini, sepertinya setiap hari sudah sama dengan hari libur. Hari Kemerdekaan hanyalah pembenaran bagi ratusan orang untuk bersenang-senang dan bermain bersama di lapangan selama berminggu-minggu, secara resmi. Perayaan kemerdekaan dibuka tiap pagi pukul 9 pagi dan ditutup pukul 5 sore, dengan bendera nasional dikibarkan di tiang bambu. Di antara rentang itu adalah waktu bagi para ratusan penduduk menggelar perlombaan rugbi, voli, dan basket. Musik yang dimainkan kencang berdentum-dentum juga adalah lagu disko. Saya jadi bertanya, apakah makna hari kemerdekaan ini jika semua yang dirayakan adalah budaya luar negeri? Mengiringi musik yang membahana, ibu-ibu menari di lapangan. Beberapa dari mereka membuka baju, payudara hanya ditutup beha. Mereka bergerak seperti kesurupan, memantul-mantulkan pantat dan menendang-nendang seperti gorila, lebih menyeramkan daripada indah. Melihat saya mengambil gambar, seorang ibu mendekat dengan wajah beringas, seperti hendak mencium wajah saya dan menempelkan payudaranya ke dada saya. Saya berusaha menghindar sampai terjatuh. Meledaklah tawa ratusan perempuan yang menonton. Kepada Justin Tutamasi si kepala desa, saya bertanya kenapa tidak ada acara tradisional di perayaan hari kemerdekaan ini. “Ini salah pemerintah,” katanya, “Mereka [...]

December 7, 2015 // 10 Comments

Suki 16 September 2014: Makna Sebuah Kemerdekaan

Hari ini, 39 tahun lalu, kemerdekaan Papua Nugini diproklamasikan. Hari Kemerdekaan, di samping Natal, adalah hari besar terpenting di negara ini. Pesta perayaan digelar di berbagai penjuru negeri, yang menikmati libur panjang mulai dari lima hari hingga dua minggu penuh. Suki adalah sebuah pusat pemerintahan di Distrik Fly Selatan, di mana biasanya perayaan dipusatkan. Suki sebenarnya adalah sebuah wilayah yang terdiri dari beberapa desa, yaitu Nakaku, Godowa, dan Ewe. Ketiga desa ini terletak di sebuah anak sungai dari Sungai Fly, yang cukup jauh dari aliran sungai utama. Saya sengaja berada di Suki untuk melihat bagaimana kemerdekaan dirayakan di negara muda ini. Walaupun statusnya adalah “pusat pemerintahan”, keadaan Suki sangat mengenaskan. Tidak ada listrik, rumah sakit, sekolah menengah. Suki juga menempati posisi strategis di perbatasan; Indonesia hanya 70 kilometer jauhnya (atau tiga hari berperahu plus jalan kaki plus naik sepeda melibas hutan), tetapi tidak ada satu pun tentara atau polisi di sini. Setidaknya di Godowa ada sebuah menara pemancar sinyal seluler, dan di Nakaku terdapat satu supermarket dan satu toko milik orang China, juga satu kios agen bank tempat warga bisa mengecek rekening dan menarik uang. Desa-desa ini berpencaran di sepanjang sungai yang jernih bertabur teratai, sehingga penduduk harus mengayuh kano [...]

December 3, 2015 // 4 Comments

[Suara.com] Agustinus Wibowo, Kisah Pengeliling Dunia Berbekal 2000 Dolar AS

Esti Utami : 02 Dec 2015 | 09:01 Suara.com – “Lakukanlah perjalanan. Karena perjalanan tidak hanya mengenalkanmu pada dunia luar, tapi juga membuatmu lebih mengenal diri sendiri. Tanpa perjalanan, kamu bisa kehilangan kesempatan untuk mengenal diri sendiri.” Itulah pesan seorang Agustinus Wibowo, salah satu orang yang menjadi ‘nabi’ bagi para backpacker di tanah air. Ia adalah seorang petualang, musafir, pengembara. Seorang backpaker sejati. Bagi banyak orang, aktivitas jalan-jalan dengan biaya rendah sebagai bakckpaker adalah hobi. Tapi bagi Agus, demikian Agustinus biasa disapa, menjadi backpaker adalah hidupnya, napas yang setiap hari dihelanya. Perjalanan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan laki-laki kelahiran Lumajang, Jawa Timur 34 tahun silam ini. Hidup, baginya, adalah sebuah perjalanan yang pelakunya tidak tahu kapan semua itu akan selesai. Ribuan kilometer jarak telah dijejakinya. Banyak negara telah dikunjunginya, tapi ia belum tahu kapan akan berhenti. Ditemui di sela peluncuran buku di “Titik Nol” versi bahasa Inggris beberapa waktu lalu, Agus, demikian ia sering disapa, mengatakan ia sedang merencanakan untuk sebuah perjalanan ke Myanmar. Meski menurutnya, perjalanan ke Myanmar kali ini adalah untuk ‘berhenti’. “Saya mungkin sebulan di sana. Tiba-tiba saja ingin ke sana, mungkin untuk tidak melakukan apa-apa. Meski untuk itu saya harus rela melepaskan banyak hal,” ujarnya. [...]

December 2, 2015 // 13 Comments

[GIV]: The Knowmad’s Journey Along Indonesia’s Eastern Border

Global Indonesian Voices Posted On 01 Dec 2015 By : Tony Sugiarta and Jennifer Sidharta For the locals, the Indonesia-Papua New Guinea border is so vague that they could not differentiate which part belongs to which country. Here is a story from Indonesian travel writer and photographer Agustinus Wibowo, who have spent a significant amount of time at the border area. Students at Tais, a coastal village located at Papua New Guinea’s Western Province. (Photo source: Agustinus Wibowo) Perspective Singapore, GIVnews.com – At one point of our life, we all question our identity. Agustinus Wibowo takes it a step further, as he makes it his quest. Many who are familiar with his works will agree that they are hardly classified as the typical travel writings like Lonely Planet guidebooks or reviews of glamourous hotels and establishments. Instead, Agustinus travels to contemplate intrapersonal conflicts and writes about them, taking readers along to experience his physical and mental tribulations. No doubt, he is a great storyteller and in Singapore, GIV had the privilege to sit down and listen to his adventure in Papua New Guinea, Indonesia’s closest, yet the furthest, neighbour. “So how can they survive? So this is the reason of the anger. [...]

December 1, 2015 // 0 Comments

Book Launch: Ground Zero–When the Journey Takes You Home

  It’s TODAY! The launching of “Ground Zero: When the Journey Takes You Home”. When it comes to most people’s mind, traveling is about going somewhere. But here, we will discuss the other part, the most important part, of traveling: homecoming. Today I will share my journeys on the roads of Asian countries, including the adventures of sneaking as a Chinese citizen into Tibet and the years of living dangerously in Afghanistan, until my homecoming to Indonesia to face the reality of home. The other speaker in this program, Noor Sabah Nael Traavik had experienced a roller-coaster life journey from the war-ridden Afghanistan, being refugee in Iran, until becoming a Norwegian diplomat. Both of us will discuss the meaning of traveling, seeking and finding, the conflict of identities, and home. This panel will be moderated by Nathalie Indry. So, we are really looking forward to seeing you all guys there in Plaza Senayan, today at 4pm. Have a nice journey! Friday, November 20th 2015 4-6 pm Kinokuniya Bookstore, Sogo, Plaza Senayan, [...]

November 20, 2015 // 1 Comment

Sapuka 14 September 2014: Bagai Rusa Merindukan Sungainya

Setelah dua jam mendorong perahu yang tertambat di bantaran pasir di dasar Sungai Fly yang mengering, rombongan kami dari Suwame akhirnya sampai juga di Dewara. Seorang pemimpin desa menyambut saya, mencuci kaki saya yang bersimbah lumpur dengan tangannya, sambil berulang kali meminta maaf karena sebelumnya tidak mengetahui kedatangan saya. Saya berbalik minta maaf. Sekejap kemudian, saya merasa seperti makhluk dari planet asing yang datang mendarat. Para lelaki, perempuan, anak-anak, berlusin-lusin jumlahnya, berkerumun menonton saya. Tidak pernah ada turis asing yang datang ke sini, kata mereka, turis terakhir datang sepuluh tahun lalu. Begitu tahu saya datang dari Indonesia, para lelaki di desa itu bertanya apakah benar orang Indonesia masih suka membunuh. Beberapa bulan yang lalu mereka dengar, orang-orang Indonesia membutuhkan banyak tengkorak manusia untuk membangun bangunan besar supaya kokoh, misalnya untuk membangun jembatan Tujuh Waliwali di Merauke. Mereka kemudian berdatangan ke Papua Nugini, membunuhi orang-orang sini dan membawa pulang tengkoraknya. Itu teror luar biasa. Penduduk di desa pedalaman ini sampai selalu pergi berkelompok ke mana-mana bahkan untuk ke ladang sagu, takut diculik dan dibunuh orang Indonesia. Baru satu setengah bulan kemudian mereka cukup berani untuk pergi sendiri. Itu rumor paling tidak masuk akal yang pernah saya dengar. “Ada dari kalian yang [...]

November 17, 2015 // 8 Comments

【中国国家地理】瓦罕走廊:被遗忘的丝绸之路

Article published in Chinese National Geography, October 2015, on Afghanistan’s forgotten Wakhan Corridor. The Wakhan Corridor of Afghanistan is the last piece of the ancient Silk Road, which was still operating few decades ago, but now has turned into an isolated world as it’s confined by the international borders. 古丝绸之路如同一棵大树错综庞杂的根系,铺展于东西方之间。在所有丝路古道中,没有哪条比瓦罕走廊更富神秘色彩的了,它藏身于阿富汗深处,像是硬贴在阿富汗脸上的一条舌头。随着边界的关闭,它从传奇商道变成世界上最偏远难达的地区之一。本文作者在瓦罕走廊进行了长达3年的探访,用鲜活的文字为您揭开瓦罕走廊的神秘面纱。   撰文/Agustinus Wibowo(印尼) 翻译/王飞宇   伊什卡希姆是进入瓦罕走廊的唯一门户 伊什卡希姆是阿富汗山区一个僻静而慢节奏的村庄,遍地泥沼尘沙,这里是通往瓦罕走廊的入口。村子北边的喷赤河翻滚着怒涛,巨大的涛声淹没了世间一切声响。它是阿姆河的支流,也是阿富汗与苏联解体后形成的中亚各国之间的分界线。喷赤河就像一面镜子,分隔开阿富汗和塔吉克斯坦的山峦,两国的村落呈镜像分布在河流两岸。阿富汗伊什卡希姆的“双胞胎姐妹”是塔吉克斯坦山间一个同样叫做伊什卡希姆的村庄。 [...]

November 17, 2015 // 0 Comments

Suwame 13 September 2014: Saya Bukan Bos

Sudah hampir seminggu berlalu sejak saya meninggalkan Daru dalam perjalanan menyusuri Sungai Fly. Namun saya baru mencapai perhentian kedua, Lewada, yang hanya sekitar 50 mil dari mulut sungai, sementara Kiunga—tujuan akhir perjalanan ini—masih 400 mil lagi. Sulitnya transportasi di Sungai Fly mulai membuat saya takut. Cara perjalanan saya adalah dengan menumpang perahu penduduk dari desa ke desa. Semula saya kira, antara desa-desa di sini bakal banyak perahu hilir mudik. Ternyata tidak. Warga sepanjang Sungai Fly memang berperahu setiap hari, tetapi itu hanya untuk pergi ke ladang, berburu, atau menangkap ikan. Untuk perjalanan jarak jauh mereka hanya pergi ke Daru yang merupakan pusat perdagangan dan pemerintahan. Mereka hampir tidak pernah pergi ke desa lain, apalagi yang berbeda bahasanya (di negara dengan 820 bahasa ini, bahkan desa yang paling berdekatan pun bahasanya bisa berbeda total). Sudah dua malam saya menginap di Lewada, di rumah seorang guru desa. Kekhawatiran saya semakin menjadi ketika matahari telah meninggi, dan arus pasang telah membuat sungai yang dasarnya mengering dan menjadi bantaran pasir itu kini telah kembali ke wujud aslinya: sungai raya tak bertepian dan bergejolak hebat. Entah kapan penantian berakhir, tetap tak ada perahu. Bagaimana pun juga hari ini saya harus mencapai Dewara, yang sekitar dua [...]

November 16, 2015 // 8 Comments

【户外探险】瞧那几个斯坦

Agustinus Wibowo(翁鸿鸣 印尼)>撰文 摄影 王飞宇>翻译 约两千两百年前,张骞首度踏足大宛国时,为当地发达的城市文明深深折服。同样令人叹服的还有当地的小麦和葡萄种植水平以及美酒佳酿。而最令人叫绝的自当数有天马之称的神驹—汗血宝马。 大宛国相去汉朝时中国西部约一万里,位于今费尔干纳一带,地处中亚腹地。张骞出使西域开拓了一条贯通东方与西方的贸易路线—丝绸之路。20世纪之初,古丝路沿线的中亚古国接连为俄国所吞并。俄国统治者们在中亚重划版图,一些历史上从未有过的国家就此诞生,各族自成一国:塔吉克人的国家就是塔吉克斯坦,乌兹别克族人的国家是乌兹别克斯坦,哈萨克人的国家是哈萨克斯坦,吉尔吉斯人的国家是吉尔吉斯斯坦,而土库曼人的国家则是土库曼斯坦。如今,各国竞相夸耀自己是古丝路文明最当仁不让的传承者。 世易时移,不变的是,同张骞的时代一样,对于生活于新千年的大部分中国人来说,中亚仍然是一个神秘的所在。 丝与史 印欧语系古老民族的西域文明与中国东方文明的第一次相遇是在费尔干纳。费尔干纳盆地是世界上最大的盆地,为乌兹别克斯坦、吉尔吉斯斯坦、塔吉克斯坦三国共辖。 [...]

November 12, 2015 // 0 Comments

Dari Frankfurt ke Ubud—Jalan Panjang Kebebasan Sastra Indonesia

Hanya beberapa pekan silam, dunia sastra dan perbukuan Indonesia merayakan sebuah momen bersejarah: Indonesia didapuk menjadi tamu kehormatan Frankfurt Book Fair 2015. Ini adalah ajang pameran buku tertua dan terbesar di dunia. Pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Anies Baswedan pada pembukaan pameran itu, 13 Oktober 2015, jelas menyiratkan optimisme atas keberhasilan yang telah dicapai Indonesia, terutama dalam hal demokrasi dan “memanajemen perbedaan”. “Inilah negeri dengan 17.000 pulau, 800 bahasa, 300 tradisi lokal,” kata Anies, “Berabad-abad, melalui perdagangan atau diplomasi, perang atau damai, keanerakagaman itu belajar untuk hidup bersama.” Karena itu, dia mewakili Indonesia “mengajak Eropa dan Dunia ke dalam sebuah percakapan yang lebih luas. Terutama di masa ini, ketika Eropa menemukan apa yang di Indonesia kami sebut sebagai “ke-bhineka-an”, keanekaragaman ekspresi dan cara hidup.” Sementara pada hari yang sama, ribuan kilometer jauhnya di Jakarta, puluhan massa justru menggelar unjuk rasa di depan Kementerian yang dipimpin Anies. Mereka menuding adanya agenda gelap yang dibawa Anies dalam ajang Frankfurt Book Fair, karena delegasi yang dibawa disusupi pembahasan dan pameran peristiwa kasus G30S/PKI 1965. Frankfurt Book Fair adalah ajang bisnis perbukuan terbesar di dunia Leila Chudori bicara di The Blue Sofa Sejumlah penulis dalam rombongan besar delegasi yang dibawa Indonesia ke Frankfurt [...]

October 30, 2015 // 9 Comments

Pre-Order Ground Zero (Autographed Limited Edition)

  Ground Zero: When the Journey Takes You Home After ten years wandering the world, Agustinus Wibowo has finally come home. He is now forced to face a reality that he has always feared. His mother is on the brink of death, as cancer ravages her body. Not unlike Scherazade who reads through one thousand and one tales over as many nights, the traveller recounts his journey to his ailing mother, who has barely ever left their little village in Java, Indonesia. He talks about the illusory homeland of China, the holy Tibet, the spiritual Nepal, the dramatic India, the struggling Pakistan, and the surviving Afghanistan. And along with these stories, his mother finally finds a voice to recount her own life journey. Fragments of their lives come together, two distinctive roads spanning time and distance only to converge, to become a heart-wrenching tale of love and survival. “Relating his travels to his dying mother, Wibowo beautifully captures the bittersweet experience of solo travel.  The excitement of discovery, the shadow of a changeling identity and the low-grade thrum of the road not taken combine to produce this lyrical journey through time and place.” –Elizabeth Pisani, author of Indonesia Etc.: [...]

October 21, 2015 // 3 Comments

【中国国家地理】塔吉克斯坦:群山与国界的夹缝之中

My article in Chinese National Geography, edition October 2015. This is a special edition focusing on China’s grand project: One Belt One Road, a.k.a. the “New Silk Road”, with some focus articles from the Silk Road countries, especially in Central Asia. In this edition, I have contributed two articles: Tajikistan and Afghanistan’s Wakhan Corridor. 塔吉克斯坦被称作中亚的高山之国,它近一半的国土位于帕米尔高原。其实塔吉克族并非是自古生活在山地的民族,面对如今的国家版图状况,不少塔吉克人心中有难言的苦衷。来自印度尼西亚的作者奥古斯汀是一名“中亚通”,他对塔吉克斯坦的考察和采访,能够加深我们对这个国家的认识。   撰文Agustinus Wibowo[印尼] 摄影刘辉 等 翻译王飞宇   令塔吉克人自豪的两座古城,如今却位于乌兹别克斯坦的境内 塔吉克斯坦是中亚最小的国家,面积约等于中国的辽宁省,全境的93%在山区,一半以上国土在海拔3000米以上。受地理条件所限,塔吉克斯坦境内的文明遗址寥寥无几。但塔吉克人相信自己是中亚最古老的民族,并坚信他们的历史比当今占中亚地区主流的突厥人要长得多。 [...]

October 17, 2015 // 1 Comment

From Zero to Frankfurt: The Translating Process of Ground Zero

The journey began when a mother is lying on a hospital bed, dying. The son who has been years living overseas finally returns. Realizing not much time left, the son sits beside her, reads his diary about faraway lands he saw. About their ancestral land of China, about the Himalayas, about the Pakistani desert and the warzone of Afghanistan. Along with his stories, the mother starts to recount her stories that have been buried for long. About her childhood, her love, her awaiting, her struggle, her God, her life and death. Two journeys set in two dimensions of time and place intertwine, and eventually converge. In the final days, the mother and son share a journey of life together. This is the story of my travel-narrative memoir, Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan (lit. Point Zero: The Essence of a Journey), published in Indonesian language by Gramedia Pustaka Utama in 2013. It received quite warm welcome from Indonesian readers. Some months after the launching, Gramedia asked whether I was interested to translate this book into English. At that time Indonesia has been confirmed to be the Guest of Honor in the Frankfurt Book Fair 2015. This is the biggest book exhibition [...]

October 12, 2015 // 0 Comments

Dari Titik Nol Menuju Frankfurt

Kisah ini dimulai dari seorang ibu yang terbaring di ranjang rumah sakit menanti ajal. Anaknya yang bertahun-tahun tinggal di perantauan akhirnya pulang. Menyadari tidak banyak waktu tersisa, anak itu duduk di samping ibunya, membacakan buku hariannya tentang negeri-negeri jauh yang pernah dialaminya. Bersama cerita-cerita itu, sang ibu yang tidak pernah ke mana-mana itu akhirnya membuka sebuah cerita yang selama ini dipendamnya. Tentang masa kecilnya, cintanya, penantiannya, perjuangannya, Tuhannya, hidup dan matinya. Dua perjalanan dalam dua dimensi waktu dan tempat itu berkelindan, akhirnya menyatu. Itulah kisah yang tertuang dalam memoar-cum-catatan-perjalanan saya, Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan, yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2013. Buku itu mendapat sambutan cukup hangat dari pembaca Indonesia. Beberapa bulan setelah buku itu terbit, penerbit menanyakan apakah saya tertarik menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris. Pada saat itu, Indonesia telah dipastikan akan menjadi Tamu Kehormatan dalam ajang pameran buku terbesar di dunia—Frankfurt Book Fair 2015. Itu artinya, fokus dunia perbukuan akan tertuju pada Indonesia. Namun terlepas Indonesia adalah negara dengan populasi terbesar keempat dunia dan industri buku yang sangat aktif dengan penerbitan 30.000 judul buku per tahun (faktor penting terpilihnya Indonesia sebagai Tamu Kehormatan), Indonesia masihlah sebuah negara “tembus pandang” di kancah perbukuan [...]

October 11, 2015 // 40 Comments

Indonesia is the Country Focus of Singapore Writers Festival 2015

https://www.singaporewritersfestival.com/nacswf/nacswf/Country-Focus.html Country Focus 17,000 Islands Dreaming A literary focus on Indonesia   Curated by The Arts House, with the programming support of Goenawan Mohamad The Indonesian archipelago spans the Equator and South-east Asian region, an eighth of the world’s circumference. A nation of 17,000-odd islands that began its journey as a modern state 70 years ago, Indonesia carries millennia of historical weight, contradictions and resolution. What are Indonesia’s aspirations for the world? How do 252 million Indonesians think and dream? Can we see continuities from ancient Srivijaya and Majapahit at work in the up-to-the-minute literature of contemporary Indonesia? If Singapore knew Indonesian literature better, would it change the way we see ourselves and our region? We turn our focus to Indonesia this year by exploring her long traditions of the word in the same ways Indonesians celebrate it – recited to the background of theatre and movements, sung against rich tonal texture and spoken in different tongues. Dreams are, after all, facets of reality.   Lecture WHEN MEANING IS MANAGED: THE FATE OF LITERATURE FEATURING   Goenawan Mohamad MODERATED BY   Peter Schoppert DATE   31 October TIME   4pm – 5pm VENUE   TAH, Chamber An Indonesian poet and man of [...]

October 11, 2015 // 0 Comments

[KOPI Delft ESPRESSO]: Jelajah Batas Dunia

Diskusi travel writing, photography, identitas Asia Tengah-Afghanistan, Papua Nugini, dan border issue Bersama Guest of Honour of Frankfurt Book Fair 2015 dan penulis novel best seller Titik Nol: Agustinus Wibowo Sabtu, 24 Oktober 2015, 10.00-12.00 di Auditorium A1b UNESCO-IHE Delft Westvest 7, Delft Registrasi hingga 20 Oktober 2015 melalui: http://goo.gl/forms/b2hrbznzla [...]

October 10, 2015 // 4 Comments

China dan Jalur Sutra Baru

China mempromosikan mimpi besar untuk membangun Jalur Sutra modern demi kemakmuran bersama. Apakah mimpi ini bisa terwujud, atau sekadar menjadi slogan utopia semata? Laporan untuk Visiting Program for Young Sinologist di Beijing, riset saya mengenai usulan China untuk membangun Jalur Sutra Baru. Jalur Sutra Abad Milenium Hampir 22 abad silam, Kaisar Han mengutus Zhang Qian mendatangi kerajaan Dayuan di Asia Tengah demi membentuk aliansi militer. Perjalanan ini kemudian melahirkan rute perdagangan legendaris Jalur Sutra. Berselang dua milenium, China sekali lagi mengajak negara-negara di sekelilingnya untuk bergabung dalam aliansi multinasional yang dijuluki Jalur Sutra Baru. Dalam kunjungan kenegaraan di Kazakhstan pada 7 September 2013, Presiden Xi Jinping mengusulkan pembangunan Sabuk Ekonomi Jalur Sutra (Silk Road Economic Belt). Berselang tiga minggu kemudian, di hadapan parlemen Indonesia di Jakarta, Xi mengemukakan konsep Jalur Sutra Maritim Abad ke-21 (21st Century Maritime Silk Road). Kedua konsep ini, yang digabungkan menjadi inisiatif Satu Sabuk dan Satu Jalur (OBOR), adalah desain akbar untuk menghubungkan negeri-negeri yang dilintasi rute perdagangan bersejarah itu, mulai dari Asia Tengah hingga Eropa dan Afrika, mulai dari Asia Tenggara hingga Jazirah Arab. Menurut data ADB, kebutuhan pendanaan pembangunan infrastruktur di Asia mencapai US$ 800 miliar setiap tahunnya. Sebagai negara dengan cadangan devisa terbesar [...]

October 5, 2015 // 3 Comments

Lewada 12 September 2015: Antara Cerita dan Sejarah

Di utara Lewada, di mulut anak sungai Bituri, tinggallah buaya yang terkenal itu. Sang Buaya Lewada. Seorang pendeta yang beberapa bulan lalu mendayung kano untuk memeriksa jaring yang dipasangnya di tengah sungai untuk menangkap ikan. Itu adalah kano kecil yang hanya muat satu orang. Tiba-tiba, dari belakang, buaya itu melibas punggung si pendeta dengan ekornya yang tajam. Si pendeta jatuh terguling dari kano, tercebur ke sungai. Buaya itu menggigit pendeta pada mata kakinya, menyeretnya lebih dalam ke dalam air. Buaya itu kemudian membawa pendeta itu kembali ke permukaan air, mungkin supaya lebih leluasa memangsa manusia ini. Pada saat itulah pendeta menarik kakinya dari mulut buaya. Kakinya patah, tetapi dia hanya bisa berusaha berenang secepat-cepatnya. Beruntung, ada akar bakau. Dia memanjat sampai ke puncak pohon, bergelayutan di sana, berteriak minta tolong. Buaya itu kemudian pergi. Kejadian lain adalah seorang anak muda yang juga mendayung kano untuk memeriksa jaring. Pemuda itu ingin mencuci kakinya, menurunkan kedua kakinya ke sungai. Sialnya, kedua kaki itu mendarat ke dalam mulut buaya yang sudah menganga di bawah air. Dia langsung tenggelam. Si buaya itu berusaha merobek tubuhnya dengan cakarnya, pemuda itu terluka dari bahu sampai paha. Pada saat itu ada kano lain melintas, pemuda itu selamat. [...]

October 2, 2015 // 7 Comments

Lewada 11 September 2014: Menyerahkan Nasib pada Sang Pembunuh

Selain sifat pasif dan pasrah yang berlebihan dari masyarakat Doumori, ada satu hal lain yang membuat saya frustrasi: saya mungkin akan terperangkap di Doumori. Transportasi di Sungai Fly ternyata jauh lebih sulit daripada dugaan saya. Warga Doumori hanya bepergian ke Daru dan sangat jarang pergi ke desa lain di sepanjang aliran sungai ini. Warga desa lain pun tidak ke sini. Lagi pula, dengan sedimen pasir dan gelombang tsunami harian, Doumori semakin terkunci dalam dunianya sendiri. Sementara Mama Ruth, bicara seperti tidak ada masalah dalam hidup yang sanggup meresahkannya. “Son, kamu bisa tinggal di rumah kami berapa lama pun, karena kamu anakku.” Keesokan harinya, Mama Ruth meminta orang-orang desa membantu mengantarkan saya ke Lewada. Desa ini adalah yang terdekat, terletak di sisi selatan sungai. Sebenarnya hanya butuh menyeberang sungai, tetapi perjalanan menuju Lewada memakan waktu satu hingga dua jam dengan kano karena saking lebarnya Sungai Fly. Kita bisa pergi dengan perahu layar, mengikuti arus air laut saat pasang sehingga irit bensin. Sebagai wujud terima kasih, saya membayar 25 kina (sekitar 12 dolar) kepada para lelaki yang mau bersusah-payah mengantar saya. Kebetulan pula, penduduk Doumori mengalami krisis air minum—tank penadah hujan mereka sudah kering. Karena itu, para perempuan dan anak-anak ikut dalam [...]

October 1, 2015 // 13 Comments

1 4 5 6 7 8 34