Recommended

Blog

Tais 27 Agustus 2014: Rumah di Sini dan Rumah di Sana (1)

Seorang warga Papua Nugini dengan baju TNI-AD, yang dibeli dari Merauke (AGUSTINUS WIBOWO) 17 Agustus 2003, Sisi Wainetti dan kakak sepupunya Paulus Waibon pertama kali menyeberang perbatasan dari Morehead di Papua Nugini menuju Merauke, Indonesia. Mereka berangkat dari desa penuh semangat. Mereka dengar kabar, pada hari itu akan dirayakan kemerdekaan negara baru: West Papua. Entah mereka dapat informasi dari mana. Yang jelas, mereka sangat terkejut karena yang mereka temukan hanyalah perayaan kemerdekaan Republik Indonesia. Nyanyian dan tari-tarian, tabuhan gendang kundu (di Indonesia disebut “tifa”), topi dari bulu kasuari, dan kibaran bendera merah putih di mana-mana di lapangan kantor Pemerintah Daerah Merauke. Orang-orang berbagai warna kulit berjoget tradisional maupun bergoyang dangdut dengan ceria. Tebersit kekecewaan di benak Sisi. Kenapa tak ada bendera Papua? Impian kemerdekaannya kandas seketika. Ketika dia mendengar kabar kemerdekaan West Papua itu, hatinya sempat berpikir: Tidak ada yang lebih bagus daripada ini! Merdekanya West Papua, dalam bayangannya adalah tentang berakhirnya garis batas antara Morehead dengan Merauke yang memisahkan mereka; semua orang Papua di sisi timur dan barat perbatasan akan bersatu dalam negeri yang baru. Perbatasan negeri baru mereka nanti adalah di Sorong. Sisi meyakini, andaikan negara Papua itu terbentuk, maka mereka akan terpisah dari Nugini—bagian utara Papua Nugini [...]

January 27, 2015 // 4 Comments

Tais 26 Agustus 2014: Sebuah Surga Bernama Rumah

Perjuangan menuju Tais (AGUSTINUS WIBOWO) Meninggalkan Pulau Strachan yang ditandai dengan aliran sungai besar Wasi Kussa, perjalanan ke Tais, kampung halaman Sisi, yang cuma sepuluhan kilometer jauhnya, ternyata tidaklah semudah yang saya bayangkan. Tais semula adalah desa pesisir, tetapi kini telah berpindah ke pedalaman karena sering dilanda banjir dari pasang laut dan kasus pembunuhan oleh kaum pemburu kepala di Pulau Strachan. Untuk mencapai Tais, perahu kami melintasi selat sempit antara pesisir Pulau Papua di utara dengan tiga pulau kecil Kawa yang berderet di selatan. Melintasi selat ini adalah perjalanan yang sangat menyenangkan. Laut terasa bagaikan sungai; tak lagi angkuh, tak lagi berombak, perahu tak lagi menghentak-hentak. Angin semilir membelai kepala, membuat saya bersyukur betapa beruntungnya saya bisa berada di tempat seterpencil ini, yang seminggu lalu bahkan tak pernah saya bayangkan ini. Setelah itu, kami memasuki daerah yang merupakan mulut sungai kecil Kotanya. Di sinilah masalah. Daerah pesisir selatan Pulau Papua adalah kawasan laut yang sangat dangkal. Biasanya di pantai sekitar sini air surut antara pukul 10 pagi hingga empat sore, dan kami datang terlambat. Sekarang laut hanya sedalam mata kaki, sama sekali tidak mungkin dilewati perahu motor kami. Sedangkan mulut sungai Kotanya masih dua kilometer lagi. Kami semua penumpang turun. [...]

January 26, 2015 // 14 Comments

[VIDEO] Net TV (2014): Berwisata Sekaligus Belajar

Indonesia Morning Show Net TV 29 December 2014: Agustinus Wibowo berwisata sekaligus pelajari kehidupan daerah sekitarnya Agustinus Wibowo not only travels, but also learning the life of the people in the regions he visits. He has visited countries like Afghanistan, Mongolia, Pakistan, and just returned from a three-month journey in Papua New Guinea, and is projecting to visit all Indonesian borders. In Indonesia Morning Show NET TV 29 December 2014, Agustinus talks about his journey and what he has learned.     Talkshow in Indonesia Morning Show program of Net TV on traveling to unusual places to learn about the life of the [...]

January 24, 2015 // 5 Comments

Pulau Strachan 25 Agustus 2014: Sejarah Berdarah

Satu malam di Pulau Strachan (AGUSTINUS WIBOWO) Langit belum gelap. Tais tujuan kami masih kurang sedikit lagi. Tetapi Sisi dan para lelaki di perahu kami memutuskan untuk menghentikan perjalanan ini. “Tapi, kenapa?” Saya bertanya, sembari membayangkan bagaimana beratnya malam ini yang akan kami lewatkan di tengah hutan kosong, di alam terbuka. Ini gara-gara kami berangkat sangat terlambat meninggalkan Ber, karena harus menunggu Sisi dan Marcella balik dari Boigu, sehingga perjalanan kami molor hingga sore hari. Laut sebenarnya tidak seganas kemarin, saya mulai menikmati perjalanan ini walaupun punggung saya masih ngilu setiap kali perahu kami menghentak-hentak di atas ombak. Saya percaya, sebenarnya kami bisa mencapai Tais, yang jaraknya cuma 30 kilometer, malam ini juga. “Itu karena kamu orang putih,” kata Sisi, “Kami semua harus menghormati kamu, jadi kami tidak akan bepergian dalam gelap.” “Tapi aku lebih nyaman jika kita malam ini tidur di desa.” “Kami orang hitam tidak masalah kalau bepergian dalam gelap, tapi kamu orang putih takkan bisa.” Saya tidak tahu apakah ada bedanya. Dalam perjalanan ini, saya cuma penumpang, yang hanya duduk manis di dalam perahu tanpa membantu mereka apa-apa; pergi pagi atau malam mestinya kehadiran saya tak berpengaruh bagi mereka. Kemisteriusan Sisi bersama kawan-kawannya itulah yang justru menambah [...]

January 23, 2015 // 11 Comments

Ber 25 Agustus 2014: Rindu Terpisah Garis Batas

Australia, dengan rumah-rumahnya yang berkilau, terlihat di seberang sana (AGUSTINUS WIBOWO) Jarak sebuah takdir bisa jadi hanya delapan kilometer. Itu jarak yang memisahkan Ber dari Boigu, memisahkan Papua Nugini dari Australia, memisahkan salah satu negeri termiskin di dunia dari salah satu negeri terkaya di dunia. Boigu adalah daerah yang sama sekali tak tersentuh bagi saya. Hanya penduduk dari desa-desa pesisir Papua Nugini ini yang berhak menyeberang ke sana, dengan surat izin khusus dari kepala desa. Mengenai Boigu, saya cuma bisa menyusun mozaik imajinasi dari serpihan deskripsi warga Ber. Boigu adalah sebuah desa modern, ada toko dan bandara. Rumah-rumah di sana juga sama seperti di sini, rumah panggung, tetapi dari bahan permanen dan lebih mengkilap. Di Boigu, orang asli yang hitam bercampur dengan pendatang yang putih. Dulu orang asli Boigu sama juga dengan orang Papua Nugini, sama hitam sama keriting, dan masih berkerabat dengan orang-orang di sini. Tetapi sudah berpuluh-puluh tahun di bawah Australia, penampilan mereka sekarang sangat berbeda. Mereka memakai baju panjang kombor gaya pantai, kaos berwarna cerah mencolok. Mereka terlihat gembira, tetapi mereka juga mudah terlihat marah dan garang. Itu karena ukuran badan mereka terlalu besar. Ya, makanan mereka terlalu baik dan terlalu melimpah. Mereka tidak bekerja, mereka dapat [...]

January 22, 2015 // 19 Comments

Ber 24 Agustus 2014: Lambatkan Langkahmu

Hanya ada rumah gubuk bertebaran jarang-jarang di Ber (AGUSTINUS WIBOWO) Saya membuka mata. Sinar matahari menyeruak lewat tembok dari bilah-bilah bambu dan anyaman dedaunan. Saya menyibak kelambu, keluar dari ranjang, menemukan lensa kamera saya hanya bisa mengambil foto-foto kabur seperti tertutup embun tebal. Pasti karena kedinginan dan air laut kemarin. Pandangan mata saya kini sama kaburnya dengan lensa itu. Saya tidak tahu ini rumah gubuk ini milik siapa. Saya menuruni tangga di luar pintu, berjalan mencari Sisi dan Marcella, yang ternyata tidur di balai-balai rumah lain seratus meter jauhnya di seberang hamparan rumput tinggi. “Sisi, jam berapa kita berangkat ke Buzi?” kata saya. “Tidak bisa. Kami harus pergi menyeberang dulu ke Boigu untuk belanja,” katanya santai. Boigu adalah pulau milik Australia yang terletak tepat di seberang laut dari Ber, sekitar 5 kilometer jauhnya. “Kenapa kalian tidak cepat berangkat?” “Kau lupa ya? Ini hari Minggu. Hari untuk Tuhan. Tidak ada orang bepergian di hari ini.” Sisi mengucapkan itu ketika saya sibuk mencuci lensa kamera saya dengan air sabun sembari menggumamkan keluhan apakah kamera saya akan bisa berfungsi normal. Melihat kegelisahan saya, Sisi berkata, “Jangan buru-buru, lambatkan langkahmu. Percayakan semua masalahmu pada Tuhan. Olgetta bai orait.” Semua akan baik-baik saja. Sisi adalah [...]

January 21, 2015 // 13 Comments

Daru 23 Agustus 2014: Nenek Moyangku Orang Pelaut

Menembus badai dan gelombang (AGUSTINUS WIBOWO) Nenek moyangku orang pelaut Gemar mengarung luas samudra Menerjang ombak tiada takut Menempuh badai sudah biasa Sisi Wainetti, Marcella, dan saya meringkuk dan berpelukan erat. “Jesus! Jesus!” Sisi mulai berteriak sekencang-kencangnya, seolah teriakan itu akan mendatangkan keajaiban kuasa dari langit untuk menyelamatkan kami. Marcella dan saya menimpali dengan teriakan yang sama dan sama kerasnya. Dinghy, perahu motor cepat yang kami tumpangi ini, terombang-ambing amukan ombak. Dinghy menghentak, kami para penumpang yang duduk berhimpitan terloncat. Pantat saya menghantam bilah kayu yang menjadi alas duduk, punggung saya seperti ditinju bertubi-tubi dan sakitnya merambat sampai ke tengkuk. Satu gulungan ombak yang lebih tinggi daripada manusia itu menerjang. Sisi berteriak, “Issaiah, cepat lakukan sesuatu! Kita akan tenggelam!” Terlambat. Ombak itu menghantam kami, menampar wajah saya dan semua dari enam penumpang di atas perahu kecil ini. Air sudah setinggi mata kaki di dasar perahu. Kami basah kuyup sekujur tubuh, buru-buru mengambil gelas plastik dan timba karet dan sepon untuk membuang air keluar perahu. Saya memeluk erat kamera yang sudah dibungkus plastik di balik jaket saya. Satu gelombang lagi menghantam perahu kami. “Oh, Jesus!” Sisi berteriak lagi. Saya mengenal Sisi baru dua hari lalu. Dia adalah putri angkat dari bidan [...]

January 20, 2015 // 12 Comments

Daru 22 Agustus 2014: Mengapa Harus Ada Batas di Antara Kita?

Seorang guru bahasa Inggris di Daru High School bertanya pada saya tentang Indonesia. Dia ingin memastikan kabar yang dia dengar: “Orang-orang putih” (maksudnya orang Asia termasuk Jawa) di Indonesia membutuhkan tengkorak manusia untuk membangun gedung tinggi dan jembatan; tumbal itu bikin mereka “orang putih” semakin kaya dan semakin sukses dibanding orang hitam. Di Daru, dia bilang, tahun kemarin beredar kabar bahwa orang Indonesia banyak menyelinap ke Papua Nugini untuk membunuhi orang sini, lalu diambil kepalanya buat membangun rumah dan jembatan di Merauke sana, dan membuang begitu saja mayat tanpa kepala itu ke hutan atau pulau. Saya syok. “Dan kau percaya itu?” “Semua orang heboh. Sampai tak berani keluar rumah, khawatir dibunuh orang Indonesia,” katanya. Bahkan orangtua menasihati anak yang nakal atau keluar malam dengan: “Awas nanti ada Indonesia.” Ini rumor zaman batu yang beredar di abad milenium, dan herannya, orang percaya. Sangat percaya. Indonesia menjadi nama horor, bagai hantu yang bisa datang sekonyong-konyong mencabut nyawa. Indonesia menjadi nama untuk menakuti anak yang nakal (AGUSTINUS WIBOWO) Warga Daru sempat ketakutan mendengar rumor tentang pemburu kepala manusia dari Indonesia (AGUSTINUS WIBOWO) Rumor ini membuat saya sedikit bimbang ketika memenuhi undangan Mekha dan guru-guru lainnya untuk berbicara di depan murid-murid kelas XI di [...]

January 19, 2015 // 29 Comments

Pikiran Rakyat (2015): Tiket Murah Dihapus, Pelesir Jalan Terus

Pikiran Rakyat 18 Januari 2015 Tiket Murah Dihapus, Pelesir Jalan Terus Endah Asih SAATNYA berlibur. Setelah berselancar di dunia maya, sebuah destinasi baru yang eksotis di belahan lain nusantara berseliweran di kepala. Tinggal mencari tiket pesawat dengan harga miring lalu akomodasi nyaman dengan harga terendah di berbagai situs pembanding. Jadwal cuti tak lupa segera disusun. Oh iya, ucapan selamat tinggal harus dilayangkan pada promo tiket pesawat murah meriah. Ah, jadi berlibur atau tidak, ya?   JADI, dong! Aturan baru Kementerian Perhubungan yang menetapkan tarif batas bawah sebesar 40% dari tarif batas atas untuk penerbangan domestik boleh saja masih menuai banyak protes. Pro dan kontranya masih nyaring terdengar hingga kini. Apalagi, tiket pesawat adalah hal terpenting, selain akomodasi dan konsumsi saat melakukan perjalanan. Buat banyak pejalan mandiri dengan dana minim atau akrab di telinga dengan sebutan backpacker, aturan itu cukup mencekik. Namun, mengapa animo backpacking juga harus ikut tercekik? Mari sejenak tengok backpacking dari sudut pandang sejarah. Perjalanan backpacker yang terlacak dimulai dengan era hippie pada 1970-an. Lewat dana yang sangat terbatas, kaum hippie melakukan perjalanan darat dari Eropa sampai India. Foto: AGUSTINUS Wibowo bersama penduduk Papua Nugini. Saat memulai “backpacking” 14 tahun lalu, Agustinus belum mengenal tiket penerbangan murah. Hal [...]

January 18, 2015 // 4 Comments

Daru 21 Agustus 2014: Wantok

Di pelabuhan Daru, para nelayan pun mengelompok sesuai daerah asal dan bahasa masing-masing (AGUSTINUS WIBOWO) Daru, dikenal sebagai “ibukota ikan kakap” adalah pulau berbentuk seperti anak ayam. Di bagian timur adalah mulut lancipnya, berupa pelabuhan yang selalu penuh perahu dari desa-desa sepanjang daratan utama dan daerah Sungai Fly, yang menyuapi Daru dengan beragam jenis ikan, sagu, udang sayuran. Di sini pula terletak toko-toko besar dan hotel, yang semuanya dimiliki orang dari China Daratan, menjual beras, berbagai makanan instan dan kalengan, bumbu, pakaian. Menyusuri jalan utama ini dari timur ke barat, kita akan melintasi bandara, dan dari sana kita akan berbelok ke selatan, menuju “anus” Daru: tempat sampah-sampah dibuang, pelabuhan yang sudah mati dengan kapal-kapal berkarat, juga daerah corner—permukiman penduduk pendatang yang dipercaya sebagai tempat tinggalnya para raskol. Salah satu supermarket di dekat pelabuhan adalah milik sebuah keluarga China. Keluarga besar bermarga Yan dari Fujian, satu kampung halaman dengan leluhur saya. Hampir semua barang di supermarket ini adalah produk impor. Kasir dan pegawai adalah orang lokal, sedangkan para orang China duduk di atas kursi tinggi di belakang kasir. “Apa yang kalian lihat dari ketinggian sana?” saya bertanya dalam bahasa Mandarin. “Di negara ini terlalu banyak pencuri,” kata lelaki muda itu. “Setiap [...]

January 16, 2015 // 20 Comments

Daru 20 Agustus 2014: Mengajar Indonesia di Papua Nugini

Permukiman di dekat pelabuhan Daru Kedatangan saya di Daru adalah pening bagi Mekha Eho’o, seorang guru matematika di Daru High School yang sekaligus memberi pelajaran tambahan bahasa Indonesia bagi murid-muridnya. Saya semula mengira begitu keluar dari Port Moresby yang dicekam kriminalitas dari para raskol (bajingan) itu otomatis saya bisa bebas menjelajahi Papua Nugini. Ternyata tidak. Daru adalah sebuah pulau kecil berpenduduk 20.000 jiwa, hanya 6 kilometer dari timur ke barat dan 3 kilometer dari utara ke selatan, dan kita bisa berjalan kaki ke mana-mana, tapi Mekha bersikukuh bahwa saya perlu pengantar ke mana pun bepergian di kota pulau ini. “Di Daru pun ada raskol?” tanya saya kepadanya melalui telepon, sebelum saya tiba di kota ini. “Tentu saja! Ini Papua Nugini, Sobat!” jawab Mekha dalam bahasa Indonesia yang fasih. Saya mendarat di Bandara Daru siang menjelang sore dengan penerbangan Air Niugini PX800, di luar pintu gerbang berdiri seorang lelaki tua berpayung yang menunggu saya di bawah hujan deras. “Bapa Eho’o sedang sibuk mengajar,” kata Matthew lelaki itu dalam bahasa Indonesia terbata-bata. “Saya school guard, Bapak Eho’o suruh saya ke sini jemput sobat.” “Mekha mengingatkan saya untuk tidak bicara bahasa Indonesia di Daru, juga tidak memberitahu orang bahwa saya datang dari Indonesia. [...]

January 15, 2015 // 14 Comments

Port Moresby 20 August 2014 Flying with Air Niugini

“One thing you have to remember is,” said one staffer in Indonesian Embassy in Port Moresby, “PNG is acronym for Promise Not Guaranteed. Never think that by holding a valid flight ticket you are guaranteed to fly.” Last week, Indonesian and PNG government held an annual border meeting in Port Moresby. One Indonesian delegation of 40 people was departing from Jayapura and crossed the land border to Vanimo in Papua New Guinea side. From the northern city, together with the Indonesian Consulate delegation, they were supposed to take domestic flight with the national carrier, Air Niugini, to Port Moresby. But once they arrived in the airport, they were told that the flight they were taking had no seat left. All of them held a confirmed ticket, but they were refused to fly. Worse, there were no other flights in the next three days. Thanks to assistance from the PNG governor in Vanimo, they finally made their way to Port Moresby, by chartering a special airplane! Jacksons International Airport, Papua New Guinea (AGUSTINUS WIBOWO) Today I was to fly from Port Moresby to Daru. It’s a small island which once served as the capital of Western Province, the westernmost province bordering [...]

January 12, 2015 // 0 Comments

Port Moresby 20 Agustus 2014: Terbang bersama Air Niugini

“Satu hal yang kamu ingat,” kata seorang staf Kedutaan Indonesia di Port Moresby pada saya, “PNG itu singkatan Promise Not Guaranteed. Jangan dikira kalau kamu sudah punya tiket, kamu sudah pasti akan bisa terbang.” Minggu lalu, pemerintah Indonesia dan Papua Nugini menggelar pertemuan perbatasan tahunan di Port Moresby. Satu delegasi Indonesia 40an orang berangkat dari Jayapura, menyeberang perbatasan darat ke kota Vanimo di sisi Papua Nugini, dan dari sana mereka bersama rombongan Konsulat berencana menggunakan penerbangan domestik Air Niugini dari Vanimo ke Port Moresby. Tetapi begitu tiba di bandara, mereka diberitahu bahwa sudah tidak ada tempat duduk lagi bagi mereka, walaupun mereka semua sudah memegang tiket terkonfirmasi. Alhasil, delegasi besar itu terdampar di Vanimo, padahal pertemuan akan dibuka keesokan harinya! Tidak ada penerbangan lain sampai tiga hari ke depan. Dengan bantuan gubernur di Vanimo, akhirnya mereka berhasil terbang ke Port Moresby pada waktu terakhir, dengan men-charter pesawat khusus! Jacksons International Airport, Papua New Guinea (AGUSTINUS WIBOWO) Hari ini saya akan terbang dari Port Moresby menuju Daru, pulau kecil yang sebelumnya adalah ibukota Western Province—provinsi ujung barat yang berbatasan langsung dengan Indonesia. Saya semula ingin menumpang perahu nelayan atau perahu kargo atau perahu cepat apa pun untuk menuju ke sana, tetapi [...]

January 12, 2015 // 23 Comments

CNN Indonesia: Tokoh Indonesia Penguasa Banyak Bahasa

  Windratie, CNN Indonesia Kamis, 06/11/2014 13:06 WIB Bangsa ini pernah memiliki putra bangsa dengan kemampuan bahasa yang mencengangkan. Gayatri Wailissa namanya. Sampai akhirnya hayatnya pada 23 Oktober lalu, setidaknya dia menguasai hingga 14 bahasa asing. Indonesia berduka kehilangan seorang polyglot terbaik bangsa.Kemampuan berbahasa asing sebaiknya dimiliki oleh para pemimpin bangsa. Kemampuan berbahasa akan membuat diplomasi antarnegara terjalin baik. Apa jadinya, jika pemimpin bangsa tidak menguasai bahasa internasional? Itu terjadi pada Presiden RI ke-7 Joko Widodo yang kemampuan bahasa asingnya diragukan banyak pihak. Dalam sejarah bangsa kita mengenal negarawan-negarawan yang menguasai setidaknya lima bahasa. Mereka disebut dengan polyglot. Bisa jadi mereka termasuk kategori orang-orang genius. Namun, dalam perjalanannya lima tokoh di bawah ini tidak begitu saja dapat menguasai banyak bahasa. Ada banyak faktor menyertainya. Kecintaan besar terhadap buku dan sastra, serta keingintahuan untuk menjelajahi dunia menjadi salah satu penyebab. Dari ketekunan dan kedisiplinan negarawan dan tokoh bangsa di bawah ini kita tahu bahwa polyglot bukan keajaiban tapi ilmu yang digali. Agus Salim Lelaki kelahiran Agam, Sumatera Barat, ini adalah negarawan dengan otak cemerlang. Dia banyak dipuji karena kemahirannya menguasai banyak bahasa. Bahasa Belanda Agus Salim dipelajari pada saat beliau di kapal laut dalam perjalanan menuju Belanda. Dalam sejarah, Agus Salim [...]

November 6, 2014 // 11 Comments

Port Moresby 18 Agustus 2014: Bertualang di Kota Para Raskol

Daerah pelabuhan Port Moresby, berkontras dengan perkampungan kumuh di atas air yang ada tepat di belakangnya. (AGUSTINUS WIBOWO) Port Moresby adalah kota pertama yang membuatku merasa bahkan naik bus pun adalah petualangan besar. Dengan kriminalitasnya yang sangat tinggi, bertahun-tahun ini Port Moresby selalu masuk daftar kota paling tidak layak huni di dunia—tahun 2003 bahkan nomor 1 dari 130 kota dunia menurut majalah The Economist. Dua minggu di kota ini, saya belum pernah melihat orang asing yang berjalan kaki di jalanan Port Moresby, sendirian atau ditemani, kecuali seorang lelaki kulit putih paruh baya di daerah Town dekat pelabuhan yang tidak membawa satu tas pun. Saya juga tidak pernah bertemu dengan turis asing lain. Bagi para orang asing, satu-satunya alat transportasi adalah mobil pribadi. Kebanyakan mereka bahkan tidak berani naik taksi, khawatir perampokan atau penodongan atau penculikan oleh sopir taksi. Para ekspatriat selalu bepergian dengan mobil. Mereka bahkan punya SOP: tidak berkendara setelah pukul delapan malam. Santi, seorang Indonesia pekerja supermarket Indonesia yang sudah tinggal di sini selama empat tahun, mengatakan, kalau terpaksa harus keluar malam, jangan pernah berhenti di tengah perjalanan. “Kalau ada yang menghadang di jalan, tabrak saja dulu, urusan lain belakangan.” Terkadang mobil dilempari batu atau dihentikan orang di [...]

August 19, 2014 // 15 Comments

Port Moresby 17 Agustus 2014: Merah Putih di Papua Nugini

Photo: Tradisi Pasukan Pengibar Bendera Banyak pembaca yang menanyakan apakah saya berada di Papua Nugini saat ini adalah untuk menulis buku baru. Saya memang mempunyai ide menulis buku tentang Nusantara. Namun fokus pembahasan Nusantara ini adalah bagaimana melihat Indonesia melalui garis terluarnya dengan menyusuri semua perbatasannya: Papua Nugini dan Papua, Timor Leste dan NTT, Sangihe Talaud dan Mindanao, lalu Kalimantan dan Sabah Sarawak. Saya juga tertarik mempelajari Nusantara dalam arti luas yang meliputi lingkup budaya Melayu, yang termasuk juga Singapura, Brunai, Thailand Selatan, bahkan sampai India yang menjadi akar budaya Nusantara kita. Saya ingin mengetahui apa yang menjadi alasan bangsa ini ada dan tetap bertahan, kekuatan atau mitos apa yang bisa merekatkan bangsa dengan ratusan bahasa dan puluhan ribu pulau ini sebagai sebuah negara. Ini adalah proyek besar, yang membutuhkan waktu, energi, dan dana dalam jumlah besar. Saya sendiri tidak tahu kapan proyek pribadi ini akan selesai, dan apakah saya memiliki kemampuan finansial untuk menyelesaikannya. Tapi tak mengapa, setidaknya saya berusaha menyelesaikan kedua sisi perbatasan garis lurus yang ada di ujung timur negeri kita ini, yang mungkin akan menjadi bab pertama dari buku masa depan itu. Papua Nugini adalah tetangga dekat yang begitu jauh. Dia adalah sebidang putih sempit di [...]

August 17, 2014 // 46 Comments

Port Moresby 15 Agustus 2014: Sebuah Akhir Pekan di Permukiman

Perkampungan di atas air dan sampah Port Moresby, metropolitan terbesar di Pasifik Selatan, bisa jadi kota yang menegangkan dan mengintimidasi. Untuk merasakan kehidupan Port Moresby, tidak mungkin bagi saya untuk mengelana sendirian ke daerah permukiman mereka. Saya perlu pintu masuk. Melalui beberapa kontak dari Kedutaan, saya mendapat kesempatan menginap dengan sebuah keluarga di Koki, sebuah kampung atas air. Saya dan perempuan bertubuh tambun bernama Rawa yang bekerja di kediaman duta besar RI, berjalan bersama melintasi pasar dan jalan kampung sebelum kami mencapai perkampungan di atas air itu. Sore hari, jalanan begitu ramai oleh manusia. Berbeda dengan jalanan di Jakarta di mana orang-orang berjalan menuju suatu tempat, di sini orang-orang hanya memenuhi jalanan dan berjalan seperti tanpa arah. Saya tidak pernah melihat jalanan beraspal nyaris tanpa mobil tetapi begitu ramai oleh manusia berserakan yang bergeming atau bergerak secara acak. Para lelaki duduk melingkar di lapangan sambil bermain judi kartu dengan uang receh dan mengunyah pinang, lalu meludahkannya dan meninggalkan bercak-bercak seperti darah di mana-mana. Banyak pula dari mereka yang duduk di samping rongsokan mobil menghabiskan waktu. Para perempuan duduk di pinggir jalan merumpi dan tertawa-tawa. Anak-anak, yang mendominasi pemandangan, hampir delapan puluh persen dari manusia yang terlihat di sini dan banyak [...]

August 15, 2014 // 39 Comments

Port Moresby 9 Agustus 2014 Hari Belanja

Hari belanja Bagi banyak ekspatriat, Port Moresby adalah kumpulan dari banyak “pulau”: tempat bekerja, rumah, tempat makan, tempat ibadah, dan—yang paling penting—tempat belanja. Karena alasan keamanan, orang asing sangat tidak dianjurkan untuk bepergian di Port Moresby dengan berjalan kaki di jalanan. Karena itu, mereka mengemudikan mobil untuk berpindah dari “pulau” yang satu ke “pulau” yang lain. Dan di setiap “pulau” itulah baru orang asing bisa menikmati sedikit kebebasan temporer tanpa kekhawatiran bertemu dengan raskol (perampok). Di gereja Katolik Don Bosco saya berkenalan dengan Pastor Peter asal Jakarta yang sudah delapan tahun bertugas di Papua Nugini. Daerah tugasnya adalah Kerema, di Provinsi Central, yang dihubungkan dengan jalan raya langsung dengan Port Moresby. Kemudahan transportasi itulah yang membuat Pastor Peter sering datang ke Port Moresby hanya untuk berbelanja. Dia datang dengan truk kosong, memborong barang kebutuhan sekolah dan gereja lalu memuati truknya hingga penuh, dan kembali ke Kerema. Pastor Peter mengatakan, belakangan ini berbelanja di Port Moresby jauh lebih mudah dan murah, berkat banyaknya pedagang asal China Daratan yang membuka toko-toko kecil. Dengan mobil gereja (walaupun sudah bertahun-tahun tinggal di sini, Pastor tetap tidak merekomendasikan saya berjalan kaki), kami bersama menyusuri jalanan Port Moresby menuju toko-toko orang China. Xiao Yan melayani pembeli [...]

August 11, 2014 // 18 Comments

Port Moresby 7 Agustus 2014: Sisi Lain Pulau

Cendrawasih besar di bandara Port Moresby Mendekati Port Moresby, pesawat terbang di atas gulung-gulung perbukitan hijau di tepi pantai. Di antara lekuk-lekuk perbukitan itu, tersebar distrik-distrik permukiman penduduk, begitu luas seperti tanpa akhir. Laut biru kristal membentang mengelilingi tanjung-tanjung kecil dan pelabuhan. Begitu tenang, begitu damai. Saya datang ke negeri ini dengan membawa kekhawatiran. Ini adalah separuh bagian dari pulau raksasa di ujung timur negeri kita. Indonesia berbagi 700 kilometer lebih perbatasan darat dengan Papua Nugini. Dia begitu dekat, sekaligus dia begitu asing. Nyaris kita tak pernah mendengar berita apa pun tentangnya. Nyaris kita tak tahu apa-apa yang ada di dalamnya. Beberapa orang Australia mengingatkanku bahwa Papua Nugini bukan tempat biasa—di situ banyak penjahat, perampok, bandit, kanibal. Beberapa teman bahkan mengingatkanku untuk tidak berlama-lama di Port Moresby, karena kota ini terlalu tidak bersahabat. Apakah benar pemandangan yang begitu indah dari angkasa ini akan menawarkan pengalaman yang begitu menakutkan? Dalam hati saya bertanya. Pesawat kecil Qantas yang hanya empat deret bangku dalam satu barisnya, yang hanya terisi kurang dari separuh penumpang dari penerbangan kami di Cairns, Queensland utara, akhirnya menyentuh Bandara Internasional Jackson, Port Moresby. Semua penumpang melangkah keluar dari pesawat, berjalan kaki melintasi tarmak menuju bangunan gedung bandara yang dihiasi [...]

August 8, 2014 // 12 Comments

TribunNews (2014): Agustinus Wibowo Mewakili Indonesia di Byron Bay Writers Festival

Inspirasi Agustinus Wibowo Mewakili Indonesia di Byron Bay Writers Festival Senin, 4 Agustus 2014 18:02 WIB http://www.tribunnews.com/lifestyle/2014/08/04/agustinus-wibowo-mewakili-indonesia-di-byron-bay-writers-festival TRIBUNNEWS.COM, NEW SOUTH WALES – Penulis perjalanan Agustinus Wibowo mendapat kehormatan untuk mewakili Indonesia dalam festival penulis internasional Byron Bay Writers Festival (BBWF) yang digelar 1-3 Agustus 2014 di Byron Bay, New South Wales, Australia. Setiap tahun BBWF, yang merupakan salah satu perhelatan sastra tahunan terbesar di Australia, selalu menjalin kerja sama dengan Ubud Readers and Writers Festival (UWRF) yang rutin digelar di Bali. Oleh karenanya, BBWF selalu menyediakan kesempatan bagi penulis muda Indonesia maupun Asia untuk tampil di forum internasional ini. Penulis Indonesia yang pernah mendapat kehormatan untuk menjadi pembicara di ajang BBWF ini antara lain Andrea Hirata dan Ahmad Fuadi, penulis trilogi Negeri 5 Menara. Dalam peta sastra di Indonesia, Agustinus Wibowo dikenal sebagai perintis penulisan sastra perjalanan dengan menggunakan gaya narasi. Diawali dengan karyanya Selimut Debu (2010) yang mengisahkan petualangannya di negeri perang Afghanistan, dilanjutkan dengan Garis Batas (2012) yang merupakan buku catatan perjalanannya di Asia Tengah, dan kemudian Titik Nol (2013) memoar tentang perjuangan ibunya menghadapi kanker sekaligus bagaimana dia memaknai perjalanan hidup. Selain menjadi pembicara dalam beberapa panel [...]

August 5, 2014 // 11 Comments

1 7 8 9 10 11 34