Recommended

Travel and Places

Papua Nugini (1) Ketika Era Prasejarah Bertemu Globalisasi : Bahaya di Ibukota

Draft artikel menengai Papua Nugini untuk majalah Traveler 旅行家, China.   Papua Nugini sering digambarkan sebagai negeri primitif yang dihuni suku-suku terisolasi dari zaman prasejarah. Nama negeri itu senantiasa membangkitkan imajinasi tentang taman liar yang dipenuhi burung-burung surga, sebuah dunia lain yang begitu jauh dari dunia kita. Hanya beberapa puluh tahun lalu, di negeri ini memang masih banyak lelaki dengan labu penutup penis dan perempuan bertelanjang dada, atau suku-suku pemuja arwah, penyihir, bahkan pemburu kepala manusia di pedalaman hutan rimba. Kini globalisasi telah merambah, kehidupan Papua Nugini sudah se-“normal” dunia kita. Walaupun, harus diakui, belum sepenuhnya begitu. Bahaya di Ibukota Dilihat dari angkasa, Port Moresby bagai barisan perbukitan hijau bergulung-gulung di tepi laut, ditebari rumah-rumah penduduk membentuk mozaik warna-warni. Perbukitan itu berhadapan langsung dengan biru kristal Lautan Teduh yang membentang luas tak berbatas. Sulit memercayai kota secantik ini termasuk kota paling tidak layak huni di dunia. Di antara kota-kota tak layak huni lainnya, ada Lagos dengan kekacauan konfliknya, Bogota dengan mafia narkotikanya, Karachi dengan kriminalitas dan terorismenya. Tapi tidak ada kota lain di dunia yang serupa Port Moresby. Metropolitan Pasifik Selatan ini justru sekilas kelihatan ceria. Jalanannya bersih dan hijau bagai taman, dihiasi monumen merayakan burung surga dan mural warna-warni. [...]

February 5, 2016 // 6 Comments

Asiki 27 September 2014: Pasar di Garis Batas

Sebenarnya sejak Papua masih diduduki Belanda (hingga 1963) orang dari sisi Papua Nugini sudah biasa melintasi perbatasan negeri untuk menjual ikan ke daerah Asiki. Tetapi empat tahun lalu dibangun sebuah jalan tembus sampai ke tengah hutan di tepi rawa ini. Sejak itu, orang Papua Nugini bisa datang berjualan dengan perahu-perahu mereka tanpa perlu berjalan kaki jauh. Pasar ini dikenal dengan nama Bus Stop. Itu karena dari sini orang bisa menumpang angkot sampai ke kota kecamatan Asiki (sekitar 30 kilometer, 100 ribu rupiah per orang). Pasar ini berupa sebuah lapangan yang dikelilingi rapatnya pepohonan tinggi hutan perkebunan, dengan beberapa gubuk kayu tempat mengaso. Semua transaksi berlangsung di lapangan terbuka yang diselimuti daun-daun kering dan sampah plastik. Transaksi utama di sini adalah perdagangan ikan. Orang Papua Nugini menjual mujair, orang Indonesia membeli. Para pembeli Indonesia ini bukan konsumen biasa. Mereka pedagang yang akan menjual ikan-ikan itu ke pasar di kota-kota kecamatan seperti Asiki dan Tanah Merah, yang cukup jauh dari sini. Transaksi lain adalah minyak. Orang Papua Nugini datang ke sini dengan perahu motor, tentu mereka perlu bahan bakar untuk pergi pulang. Di seberang batas sana, minyak sangat langka dan mahal, warga desa terkadang harus menunggu berbulan-bulan sampai stok minyak datang. Sedangkan [...]

February 3, 2016 // 17 Comments

Kuem 27 September 2014: Menyelundup ke Indonesia

Sekilas ini seperti pasar ikan yang terlalu sederhana. Di sebelah rawa, di tengah hutan, kecil dan jauh dari mana-mana. Tetapi pasar yang terletak di sisi terluar Indonesia ini sangat berarti bagi hidup warga perbatasan Papua Nugini. Pasar ini hanya berlangsung setiap Rabu dan Sabtu. Desa Papua Nugini terdekat adalah Kuem, yang masih memerlukan empat jam perjalanan dengan perahu. Sedangkan dari Manda dan Mipan perlu waktu enam sampai delapan jam ke sana. Elisa si pedagang kulit buaya berangkat pukul tiga dini hari dengan perahunya. Lelaki tua yang tidak banyak bicara itu sejak kemarin sudah mengumpulkan calon penumpang. Setiap penumpang diharuskan berkontribusi bahan bakar sesuai jumlah manusia dan ikan dagangan yang mereka bawa. Elisa mengizinkan saya ikut asalkan membayar dengan 5 liter bensin. Perahu kami sepertinya kelebihan muatan. Elisa membawa 80 ekor ikan mujair yang masing-masing ukurannya sepanjang lengan, hasil tangkapan jala semalam. Ditambah dagangan para penumpang lain, jumlah ikan di perahu kami sekitar 300 ekor. Yang membuat saya heran, walaupun tujuannya berdagang, tetapi ini lebih terlihat seperti piknik. Ada 12 orang di perahu ini, termasuk empat anak kecil dan para ibu mereka. Para penumpang begitu ceria, antusias membahas apa saja yang bisa beli dari Indonesia: minyak goreng, beras, tepung, garam, mi [...]

January 27, 2016 // 24 Comments

Kuem 26 September 2014: Siapa Kawan dan Siapa Lawan

“I am from China. REPEAT!” kata Papa Leo tegas, sebelum kami melangkah lebih jauh ke desa Kuem. “I am from China,” kata saya. “Mulai sekarang, kau orang China,” kata Papa Leo, “Di Kuem jangan sekali-sekali bilang kau dari Indonesia. Sekarang, ulangi lagi: Saya orang China!” Papa Leo berulang kali mengatakan Kuem sangat bahaya buat saya, karena di sini banyak para pengungsi OPM dari West Papua (Papua yang dikuasai Indonesia). OPM singkatan Organisasi Papua Merdeka, gerakan separatis yang berusaha memisahkan diri dari Indonesia. Papa Leo juga melarang saya untuk berbicara bahasa Indonesia sama sekali, hanya boleh dalam bahasa Inggris dan Tok Pisin. Tetapi sangat sulit menyembunyikan identitas asli saya. Orang sini kebanyakan tidak bisa bahasa Indonesia, tetapi mereka sering berdagang ke Indonesia. Saya memang bilang, “I am from China,” tapi setiap kali bersalaman saya tidak bisa melepaskan kebiasaan Jawa saya untuk segera menaruh tangan kanan di dada. Orang sini tahu arti isyarat itu, membalas, “Mas. Selamat pagi!” Di Kuem, nuansa Indonesia memang sangat kental. Toko, berupa kedai atau sekadar meja di pinggir jalan, menjual produk-produk Indonesia: mi instan Indomie dan Mi Sedap, susu kotak Indomilk, rokok Gudang Garam dan Surya, beragam biskuit dan kaus … Pemilik dagangan bahkan menerima pembayaran rupiah, [...]

January 26, 2016 // 11 Comments

Manda 25 September 2014: Menuju Rawa

Kekhawatiran semakin mencengkeram saya. Sudah lima hari saya tinggal di Manda menanti tumpangan perahu ke utara, tanpa hasil. Saya ingin tinggal lebih lama di Papua Nugini, masih banyak yang ingin saya pelajari di sini, tetapi visa saya hanya tersisa seminggu lagi. Saya harus ke Kiunga sesegera mungkin. Itu ibukota provinsi. Siapa tahu, visa saya bisa diperpanjang di sana. Atau setidaknya, saya bisa memikirkan jalan keluar meninggalkan negara ini dengan aman. Namun di tengah keterpencilan yang paling terpencil di Sungai Fly ini, apa pun solusi yang ada di pikiran, kita selalu dihadapkan pada ketidakberdayaan. Kemarin sebenarnya saya punya harapan. Satu perahu panjang dengan mesin 15 tenaga kuda merapat di Manda. Penumpangnya sepuluhan orang, mayoritas perempuan. Mereka datang dari Kuem. Desa itu beberapa kilometer di utara Manda, tetapi berbelok ke timur dan masuk ke rawa-rawa yang menjauh dari Sungai Fly. Kalau saya ikut mereka, memang meninggalkan Manda, tapi bisa jadi justru saya akan semakin terperangkap di desa yang dikelilingi rawa itu. Kemarin itu saya berjalan bersama Papa Leo ke bagian belakang desa. Dia sudah tidak sabar ingin membagikan pada penduduk cerita tentang nyamuk yang dia dengar dari saya. Dari dalam sebuah rumah, menghambur seorang perempuan paruh baya kurus dan sangat pendek, menyambut [...]

January 25, 2016 // 6 Comments

Manda 24 September 2014: Pak Tua Rasta

Lelaki tua berambut rasta gimbal dengan otot kekar sekujur badan itu memang kelihatan sangar. Tetapi dari gerak-geriknya yang perlahan dan selalu terkontrol itu kau tahu dia adalah orang bijaksana. Dia memang tidak pernah mengenyam bangku sekolah, tetapi tidak ada keputusan di kampung ini yang diambil tanpa persetujuannya. Berhari-hari saya tinggal di Manda menanti tumpangan perahu, selama itu pula Leo Isaac yang sudah enam puluhan tahun itu menampung saya di rumahnya. Rumah itu terbuat dari gedek dan atapnya dari anyaman daun sagu, dihuni anak perempuan bersama menantu dan cucu-cucunya. Keluarga Papa Leo bukan hanya memberi saya tempat tinggal, bahkan semua makanan saya pun mereka sediakan. Setiap hari selalu ada nasi (sebuah kemewahan), ditemani ketela, mujair, cabai segar, daging rusa, bandicoot, sampai buaya. Saya tidur di samping Papa Leo, beralaskan tikar dari anyaman daun dilindungi kelambu nyamuk yang sudah bolong-bolong. “Banyak orang asing yang datang ke sini,” kata Papa Leo, “Awal tahun ini ada dua turis Australia mendayung kano.” “Selain mereka, siapa lagi?” tanya saya. “Tidak ada lagi.” Dalam ingatan Papa Leo, sejak Papua Nugini merdeka 39 tahun lalu, memang tidak ada lagi turis lain yang pernah datang ke sini. Hanya dua turis, dan buatnya itu sudah “banyak”. Kedua orang Australia itu [...]

January 22, 2016 // 8 Comments

Manda 23 September 2014: Berburu

Berburu masih merupakan cara hidup utama di pedalaman Papua Nugini. Di sini, bisa dikatakan semua orang adalah pemburu. Orang tua, laki-laki, perempuan, sampai anak-anak dan anjing-anjing, semua harus bisa berburu, kalau mereka ingin tetap bisa makan dan hidup. Di Manda, saya tinggal dengan keluarga pemburu. Kakek Leo Isaac yang berambut gimbal rasta itu sudah berburu sejak masih bocah. Reynold anaknya adalah pemburu buaya paling ulung di kampung. Sedangkan menantunya Francis berburu ke hutan setiap minggu demi menyediakan sumber protein bagi keluarga besar itu. Pagi itu Reynold datang ke rumah membawa kabar gembira. Tengah malam tadi dia berburu buaya, dan berhasil membunuh tiga ekor: satu besar, satu sedang, dan satu kecil. Selain itu masih ada lagi bayi buaya, yang dibiarkan hidup dan dipeliharanya di dalam drum besar di belakang rumah. Sungai Fly terkenal karena banyak buayanya. Tetapi selama saya berada di sini, saya tidak pernah melihat sendiri buaya yang masih hidup di alam. Itu karena kebanyakan buaya menyelam di bawah air. Kalau pun mereka naik ke darat untuk berjemur atau bertelur, warna tubuh mereka juga sulit dibedakan dari warna tanah atau pepohonan. Lalu bagaimana mereka menangkap buaya? Reynold menjelaskan rahasianya. Pemburu buaya beraktivitas pada malam hari. Justru di malam gelap, buaya [...]

January 21, 2016 // 12 Comments

Manda 22 September 2014: Tunggu dan Tunggu

Di desa kecil di penjuru yang sangat terpencil di Papua Nugini ini, hati saya diliputi kecemasan luar biasa. Visa Papua Nugini saya tinggal dua minggu lagi, sementara saya tidak sedikit pun berada di dekat perbatasan resmi untuk meninggalkan negara ini. Plus, saking terpencilnya tempat ini, tak seorang pun tahu pasti kapan akan ada perahu melintas. Bisa-bisa, saya terdampar di sini sampai satu bulan. Sebelum saya datang ke Manda, saat berada di Obo, saya dengar ada penduduk Obo yang berencana untuk berangkat ke Kiunga. Saya perkirakan perahu mereka akan lewat dalam sehari dua hari ini. Itu sebabnya, sepanjang hari dari pagi sampai petang, saya duduk di tepi sungai menunggu melintasnya perahu. Saya akan berteriak pada mereka, melambai-lambaikan tangan, siapa tahu mereka mau memberi saya tumpangan. Penduduk Manda hanya menertawakan saya. Tidak usah ditunggu begitu, mereka bilang, kalau ada perahu pasti kami dengar. Orang-orang ini memang memiliki pendengaran luar biasa, mungkin karena mereka senantiasa hidup tenang tanpa ingar-bingar modernitas. Walaupun mereka berada jauh dari bibir sungai, dan perahu itu masih beberapa kilometer jauhnya, mereka sudah bisa mendengar, bahkan bisa mengatakan berapa kekuatan mesin perahu itu, pergi ke mana, punya siapa. Oh, itu 15 tenaga kuda, perahu nelayan Mipan mau ke hutan. Oh, [...]

January 20, 2016 // 4 Comments

Manda 21 September 2014: Kaki di Papua Nugini, Tanah di Indonesia

Kedatangan saya di Manda 2 disambut dengan kewaspadaan tinggi oleh para lelaki penghuni kampung. Saya tahu, letak kampung mereka yang dekat dengan perbatasan Indonesia dan keberadaan kamp OPM di sekitar sini membuat mereka sangat mencurigai saya. Tiba-tiba saya teringat pada sepucuk surat sakti teronggok di dasar tas ransel saya. Surat yang dikeluarkan Kedutaan Besar Indonesia di Port Moresby, menyatakan bahwa saya adalah “fotografer Indonesia yang ingin mengabadikan keindahan alam dan budaya Papua Nugini”. Kepada para lelaki Manda itu, saya menunjukkan surat itu lengkap dengan paspor saya. Mereka mengamati lekat-lekat, bergiliran. Ketegangan mereda. Kini mereka tersenyum ramah. “Banyak orang Indonesia yang datang ke sini, tapi tak pernah ada yang seperti kau,” kata salah seorang dari mereka, “Tadi kita kira kau mata-mata tentara Indonesia. Apalagi kau tanya-tanya soal OPM. Kita mesti hati-hati.” Kini kami sudah tidak saling curiga. Mereka mengajak saya berjalan-jalan keliling kampung. Manda 2 mungkin adalah desa termiskin yang saya saksikan sejauh ini di Papua Nugini. Semua rumah terbuat dari bahan hutan, nyaris tidak ada bahan logam sama sekali. Bahkan tangki penadah air hujan pun masih belum terpasang. Dengan air Sungai Fly yang sudah tercemar, kini satu-satunya sumber air minum mereka adalah mata air yang jauh di dalam hutan di [...]

January 19, 2016 // 9 Comments

Manda 20 September 2014: Terdampar di Tempat yang Salah

Saya sudah banyak mendengar rumor tentang Manda dari warga Obo. Tempat itu tepat berada di perbatasan PNG—Indonesia, mereka bilang. Orang-orang Manda adalah warga Papua Nugini tetapi tanah mereka ada di Indonesia. Saking dekatnya dengan Indonesia, orang Manda semua bisa bahasa Indonesia. Sempurna! Ini adalah tempat yang penuh cerita. Saya harus pergi ke Manda! Perjalanan meninggalkan Obo sebenarnya agak terlalu mulus buat saya. Penduduk bilang, sangat jarang ada perahu yang berangkat dari Obo ke arah utara. Tetapi kebetulan, besok ada rombongan dokter yang hendak berangkat dengan perahu speedboat dengan mesin 60 HP menuju Kiunga. Siapa tahu saya bisa menumpang mereka? Keesokan paginya, subuh-subuh saya meninggalkan gubuk milik Gids Salle, menyeberangi sungai yang memisahkan Obo Lama dari Obo Baru dengan rakit, lalu berlari menuju rumah sakit di sebelah landasan udara yang lebat tertutup ilalang, demi mencari dokter Felix. Dokter muda yang berasal dari daerah Highlands di bagian tengah Papua Nugini itu kemudian membawa saya menemui dokter perempuan kepala rombongan. Saya memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan perjalanan saya. Dokter kepala dengan senang hati menerima saya dalam perahu itu. Semua dokter dalam rombongan dari Kiunga ini berasal dari luar Western Province. Dokter kepala rombongan berasal dari Sepik di utara dan satu dokter perempuan berasal [...]

January 15, 2016 // 3 Comments

Obo 19 September 2014: Melihat ke Barat

Semakin saya menyusuri Sungai Fly, semakin saya dekat dengan Indonesia. Bukan hanya secara geografis, tetapi juga dari kehidupan orang-orangnya. Di Suki saya menemukan sejumlah pemuda Papua Nugini yang sekolah komputer di distrik Sota, Merauke, dan terpaksa pulang karena tidak cukup biaya. Salah satu di antara mereka bahkan memiliki KTP asli Indonesia, yang dia beli dengan sangat mudah seharga 300 ribu rupiah. Dari Suki, orang bisa berperahu dan bersepeda selama dua hari untuk mencapai Indonesia. Saat saya menumpang perahu dari Suki menuju Obo, Nobi si pemuda pemilik perahu mengatakan senang dengan semakin terbukanya kontak dengan Indonesia, karena dia sangat suka rokok lempeng khas Merauke yang biasa dibawa para pedagang dari Indonesia. Dia juga bilang, di Obo nanti, saya bisa menginap di rumah saudara iparnya yang sering ke Merauke. Perjalanan dari Suki ke Obo memakan waktu sehari penuh. Sungai Fly semakin sempit dan dalam, meliuk-liuk dan berzig-zag bagai benang kusut. Selain itu, banyak jalur pintas yang berupa rawa atau selokan yang menghubungkan kelok-kelokan Sungai Fly itu, sehingga kita tidak perlu selalu mengikuti aliran sungai utama demi memotong jarak. Namun jangan berasumsi kita bisa menghemat waktu. Jalur pintas ini sering tertutup tanaman atau rumput yang sangat rapat, sehingga para penumpang perahu harus menggunakan [...]

January 13, 2016 // 12 Comments

Suki 18 September 2014: Kematian Sebuah Budaya

Peringatan kemerdekaan Papua Nugini dirayakan sebagai libur tiga hari hingga dua minggu di seluruh negeri. Di Suki, daerah pedalaman terpencil dan malas di pedalaman Western Province ini, sepertinya setiap hari sudah sama dengan hari libur. Hari Kemerdekaan hanyalah pembenaran bagi ratusan orang untuk bersenang-senang dan bermain bersama di lapangan selama berminggu-minggu, secara resmi. Perayaan kemerdekaan dibuka tiap pagi pukul 9 pagi dan ditutup pukul 5 sore, dengan bendera nasional dikibarkan di tiang bambu. Di antara rentang itu adalah waktu bagi para ratusan penduduk menggelar perlombaan rugbi, voli, dan basket. Musik yang dimainkan kencang berdentum-dentum juga adalah lagu disko. Saya jadi bertanya, apakah makna hari kemerdekaan ini jika semua yang dirayakan adalah budaya luar negeri? Mengiringi musik yang membahana, ibu-ibu menari di lapangan. Beberapa dari mereka membuka baju, payudara hanya ditutup beha. Mereka bergerak seperti kesurupan, memantul-mantulkan pantat dan menendang-nendang seperti gorila, lebih menyeramkan daripada indah. Melihat saya mengambil gambar, seorang ibu mendekat dengan wajah beringas, seperti hendak mencium wajah saya dan menempelkan payudaranya ke dada saya. Saya berusaha menghindar sampai terjatuh. Meledaklah tawa ratusan perempuan yang menonton. Kepada Justin Tutamasi si kepala desa, saya bertanya kenapa tidak ada acara tradisional di perayaan hari kemerdekaan ini. “Ini salah pemerintah,” katanya, “Mereka [...]

December 7, 2015 // 10 Comments

Suki 16 September 2014: Makna Sebuah Kemerdekaan

Hari ini, 39 tahun lalu, kemerdekaan Papua Nugini diproklamasikan. Hari Kemerdekaan, di samping Natal, adalah hari besar terpenting di negara ini. Pesta perayaan digelar di berbagai penjuru negeri, yang menikmati libur panjang mulai dari lima hari hingga dua minggu penuh. Suki adalah sebuah pusat pemerintahan di Distrik Fly Selatan, di mana biasanya perayaan dipusatkan. Suki sebenarnya adalah sebuah wilayah yang terdiri dari beberapa desa, yaitu Nakaku, Godowa, dan Ewe. Ketiga desa ini terletak di sebuah anak sungai dari Sungai Fly, yang cukup jauh dari aliran sungai utama. Saya sengaja berada di Suki untuk melihat bagaimana kemerdekaan dirayakan di negara muda ini. Walaupun statusnya adalah “pusat pemerintahan”, keadaan Suki sangat mengenaskan. Tidak ada listrik, rumah sakit, sekolah menengah. Suki juga menempati posisi strategis di perbatasan; Indonesia hanya 70 kilometer jauhnya (atau tiga hari berperahu plus jalan kaki plus naik sepeda melibas hutan), tetapi tidak ada satu pun tentara atau polisi di sini. Setidaknya di Godowa ada sebuah menara pemancar sinyal seluler, dan di Nakaku terdapat satu supermarket dan satu toko milik orang China, juga satu kios agen bank tempat warga bisa mengecek rekening dan menarik uang. Desa-desa ini berpencaran di sepanjang sungai yang jernih bertabur teratai, sehingga penduduk harus mengayuh kano [...]

December 3, 2015 // 4 Comments

Sapuka 14 September 2014: Bagai Rusa Merindukan Sungainya

Setelah dua jam mendorong perahu yang tertambat di bantaran pasir di dasar Sungai Fly yang mengering, rombongan kami dari Suwame akhirnya sampai juga di Dewara. Seorang pemimpin desa menyambut saya, mencuci kaki saya yang bersimbah lumpur dengan tangannya, sambil berulang kali meminta maaf karena sebelumnya tidak mengetahui kedatangan saya. Saya berbalik minta maaf. Sekejap kemudian, saya merasa seperti makhluk dari planet asing yang datang mendarat. Para lelaki, perempuan, anak-anak, berlusin-lusin jumlahnya, berkerumun menonton saya. Tidak pernah ada turis asing yang datang ke sini, kata mereka, turis terakhir datang sepuluh tahun lalu. Begitu tahu saya datang dari Indonesia, para lelaki di desa itu bertanya apakah benar orang Indonesia masih suka membunuh. Beberapa bulan yang lalu mereka dengar, orang-orang Indonesia membutuhkan banyak tengkorak manusia untuk membangun bangunan besar supaya kokoh, misalnya untuk membangun jembatan Tujuh Waliwali di Merauke. Mereka kemudian berdatangan ke Papua Nugini, membunuhi orang-orang sini dan membawa pulang tengkoraknya. Itu teror luar biasa. Penduduk di desa pedalaman ini sampai selalu pergi berkelompok ke mana-mana bahkan untuk ke ladang sagu, takut diculik dan dibunuh orang Indonesia. Baru satu setengah bulan kemudian mereka cukup berani untuk pergi sendiri. Itu rumor paling tidak masuk akal yang pernah saya dengar. “Ada dari kalian yang [...]

November 17, 2015 // 8 Comments

【中国国家地理】瓦罕走廊:被遗忘的丝绸之路

Article published in Chinese National Geography, October 2015, on Afghanistan’s forgotten Wakhan Corridor. The Wakhan Corridor of Afghanistan is the last piece of the ancient Silk Road, which was still operating few decades ago, but now has turned into an isolated world as it’s confined by the international borders. 古丝绸之路如同一棵大树错综庞杂的根系,铺展于东西方之间。在所有丝路古道中,没有哪条比瓦罕走廊更富神秘色彩的了,它藏身于阿富汗深处,像是硬贴在阿富汗脸上的一条舌头。随着边界的关闭,它从传奇商道变成世界上最偏远难达的地区之一。本文作者在瓦罕走廊进行了长达3年的探访,用鲜活的文字为您揭开瓦罕走廊的神秘面纱。   撰文/Agustinus Wibowo(印尼) 翻译/王飞宇   伊什卡希姆是进入瓦罕走廊的唯一门户 伊什卡希姆是阿富汗山区一个僻静而慢节奏的村庄,遍地泥沼尘沙,这里是通往瓦罕走廊的入口。村子北边的喷赤河翻滚着怒涛,巨大的涛声淹没了世间一切声响。它是阿姆河的支流,也是阿富汗与苏联解体后形成的中亚各国之间的分界线。喷赤河就像一面镜子,分隔开阿富汗和塔吉克斯坦的山峦,两国的村落呈镜像分布在河流两岸。阿富汗伊什卡希姆的“双胞胎姐妹”是塔吉克斯坦山间一个同样叫做伊什卡希姆的村庄。 [...]

November 17, 2015 // 0 Comments

Suwame 13 September 2014: Saya Bukan Bos

Sudah hampir seminggu berlalu sejak saya meninggalkan Daru dalam perjalanan menyusuri Sungai Fly. Namun saya baru mencapai perhentian kedua, Lewada, yang hanya sekitar 50 mil dari mulut sungai, sementara Kiunga—tujuan akhir perjalanan ini—masih 400 mil lagi. Sulitnya transportasi di Sungai Fly mulai membuat saya takut. Cara perjalanan saya adalah dengan menumpang perahu penduduk dari desa ke desa. Semula saya kira, antara desa-desa di sini bakal banyak perahu hilir mudik. Ternyata tidak. Warga sepanjang Sungai Fly memang berperahu setiap hari, tetapi itu hanya untuk pergi ke ladang, berburu, atau menangkap ikan. Untuk perjalanan jarak jauh mereka hanya pergi ke Daru yang merupakan pusat perdagangan dan pemerintahan. Mereka hampir tidak pernah pergi ke desa lain, apalagi yang berbeda bahasanya (di negara dengan 820 bahasa ini, bahkan desa yang paling berdekatan pun bahasanya bisa berbeda total). Sudah dua malam saya menginap di Lewada, di rumah seorang guru desa. Kekhawatiran saya semakin menjadi ketika matahari telah meninggi, dan arus pasang telah membuat sungai yang dasarnya mengering dan menjadi bantaran pasir itu kini telah kembali ke wujud aslinya: sungai raya tak bertepian dan bergejolak hebat. Entah kapan penantian berakhir, tetap tak ada perahu. Bagaimana pun juga hari ini saya harus mencapai Dewara, yang sekitar dua [...]

November 16, 2015 // 8 Comments

【户外探险】瞧那几个斯坦

Agustinus Wibowo(翁鸿鸣 印尼)>撰文 摄影 王飞宇>翻译 约两千两百年前,张骞首度踏足大宛国时,为当地发达的城市文明深深折服。同样令人叹服的还有当地的小麦和葡萄种植水平以及美酒佳酿。而最令人叫绝的自当数有天马之称的神驹—汗血宝马。 大宛国相去汉朝时中国西部约一万里,位于今费尔干纳一带,地处中亚腹地。张骞出使西域开拓了一条贯通东方与西方的贸易路线—丝绸之路。20世纪之初,古丝路沿线的中亚古国接连为俄国所吞并。俄国统治者们在中亚重划版图,一些历史上从未有过的国家就此诞生,各族自成一国:塔吉克人的国家就是塔吉克斯坦,乌兹别克族人的国家是乌兹别克斯坦,哈萨克人的国家是哈萨克斯坦,吉尔吉斯人的国家是吉尔吉斯斯坦,而土库曼人的国家则是土库曼斯坦。如今,各国竞相夸耀自己是古丝路文明最当仁不让的传承者。 世易时移,不变的是,同张骞的时代一样,对于生活于新千年的大部分中国人来说,中亚仍然是一个神秘的所在。 丝与史 印欧语系古老民族的西域文明与中国东方文明的第一次相遇是在费尔干纳。费尔干纳盆地是世界上最大的盆地,为乌兹别克斯坦、吉尔吉斯斯坦、塔吉克斯坦三国共辖。 [...]

November 12, 2015 // 0 Comments

Dari Frankfurt ke Ubud—Jalan Panjang Kebebasan Sastra Indonesia

Hanya beberapa pekan silam, dunia sastra dan perbukuan Indonesia merayakan sebuah momen bersejarah: Indonesia didapuk menjadi tamu kehormatan Frankfurt Book Fair 2015. Ini adalah ajang pameran buku tertua dan terbesar di dunia. Pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Anies Baswedan pada pembukaan pameran itu, 13 Oktober 2015, jelas menyiratkan optimisme atas keberhasilan yang telah dicapai Indonesia, terutama dalam hal demokrasi dan “memanajemen perbedaan”. “Inilah negeri dengan 17.000 pulau, 800 bahasa, 300 tradisi lokal,” kata Anies, “Berabad-abad, melalui perdagangan atau diplomasi, perang atau damai, keanerakagaman itu belajar untuk hidup bersama.” Karena itu, dia mewakili Indonesia “mengajak Eropa dan Dunia ke dalam sebuah percakapan yang lebih luas. Terutama di masa ini, ketika Eropa menemukan apa yang di Indonesia kami sebut sebagai “ke-bhineka-an”, keanekaragaman ekspresi dan cara hidup.” Sementara pada hari yang sama, ribuan kilometer jauhnya di Jakarta, puluhan massa justru menggelar unjuk rasa di depan Kementerian yang dipimpin Anies. Mereka menuding adanya agenda gelap yang dibawa Anies dalam ajang Frankfurt Book Fair, karena delegasi yang dibawa disusupi pembahasan dan pameran peristiwa kasus G30S/PKI 1965. Frankfurt Book Fair adalah ajang bisnis perbukuan terbesar di dunia Leila Chudori bicara di The Blue Sofa Sejumlah penulis dalam rombongan besar delegasi yang dibawa Indonesia ke Frankfurt [...]

October 30, 2015 // 9 Comments

【中国国家地理】塔吉克斯坦:群山与国界的夹缝之中

My article in Chinese National Geography, edition October 2015. This is a special edition focusing on China’s grand project: One Belt One Road, a.k.a. the “New Silk Road”, with some focus articles from the Silk Road countries, especially in Central Asia. In this edition, I have contributed two articles: Tajikistan and Afghanistan’s Wakhan Corridor. 塔吉克斯坦被称作中亚的高山之国,它近一半的国土位于帕米尔高原。其实塔吉克族并非是自古生活在山地的民族,面对如今的国家版图状况,不少塔吉克人心中有难言的苦衷。来自印度尼西亚的作者奥古斯汀是一名“中亚通”,他对塔吉克斯坦的考察和采访,能够加深我们对这个国家的认识。   撰文Agustinus Wibowo[印尼] 摄影刘辉 等 翻译王飞宇   令塔吉克人自豪的两座古城,如今却位于乌兹别克斯坦的境内 塔吉克斯坦是中亚最小的国家,面积约等于中国的辽宁省,全境的93%在山区,一半以上国土在海拔3000米以上。受地理条件所限,塔吉克斯坦境内的文明遗址寥寥无几。但塔吉克人相信自己是中亚最古老的民族,并坚信他们的历史比当今占中亚地区主流的突厥人要长得多。 [...]

October 17, 2015 // 1 Comment

China dan Jalur Sutra Baru

China mempromosikan mimpi besar untuk membangun Jalur Sutra modern demi kemakmuran bersama. Apakah mimpi ini bisa terwujud, atau sekadar menjadi slogan utopia semata? Laporan untuk Visiting Program for Young Sinologist di Beijing, riset saya mengenai usulan China untuk membangun Jalur Sutra Baru. Jalur Sutra Abad Milenium Hampir 22 abad silam, Kaisar Han mengutus Zhang Qian mendatangi kerajaan Dayuan di Asia Tengah demi membentuk aliansi militer. Perjalanan ini kemudian melahirkan rute perdagangan legendaris Jalur Sutra. Berselang dua milenium, China sekali lagi mengajak negara-negara di sekelilingnya untuk bergabung dalam aliansi multinasional yang dijuluki Jalur Sutra Baru. Dalam kunjungan kenegaraan di Kazakhstan pada 7 September 2013, Presiden Xi Jinping mengusulkan pembangunan Sabuk Ekonomi Jalur Sutra (Silk Road Economic Belt). Berselang tiga minggu kemudian, di hadapan parlemen Indonesia di Jakarta, Xi mengemukakan konsep Jalur Sutra Maritim Abad ke-21 (21st Century Maritime Silk Road). Kedua konsep ini, yang digabungkan menjadi inisiatif Satu Sabuk dan Satu Jalur (OBOR), adalah desain akbar untuk menghubungkan negeri-negeri yang dilintasi rute perdagangan bersejarah itu, mulai dari Asia Tengah hingga Eropa dan Afrika, mulai dari Asia Tenggara hingga Jazirah Arab. Menurut data ADB, kebutuhan pendanaan pembangunan infrastruktur di Asia mencapai US$ 800 miliar setiap tahunnya. Sebagai negara dengan cadangan devisa terbesar [...]

October 5, 2015 // 3 Comments

1 2 3 4 5 6 7