Recommended

agama

Selimut Debu 63: Poyandah Namaku

Malam ini sesungguhnya adalah malam yang penuh pengharapan. Orang-orang ini ternyata berkumpul di rumah Shah karena besok akan terjadi peristiwa bersejarah. Jembatan akan dibuka, menghubungkan langsung mereka dengan Tajikistan. Betapa susahnya kehidupan di sisi sungai ini, di negeri bernama Afghanistan. Sekolah sangat jarang, rumah sakit tidak ada, dan listrik hanya dihasilkan oleh generator pribadi. Jangan lupa pula, pasar terdekat ada di Ishkashim, dua hari perjalanan paling cepat kalau naik mobil, atau tiga hari jalan kaki. Seketika, negeri lain pas di seberang sungai sana menawarkan impian. Tajikistan sebentar lagi akan mereka rengkuh. Tajikistan akan membuka perbatasannya dengan dusun-dusun Wakhan. Adakah hal lain yang lebih baik daripada itu? “Kita bisa ke rumah sakit,” kata Wali Muhammad, “anak-anak kita bisa sekolah di sana.” “Listrik juga bisa masuk sini,” kata kakek tua beserban. “Kita bisa belanja ke pasar,” kata Khan Jon. “Kamu mau ikut? Kita besok belanja ke bazaar di Tajikistan sana” tanya Ghulam Sakhi. Tapi aku tak punya visa. Ghulam Sakhi sigap menjawab, “Jangan khawatir. Aku akan menyelundupkanmu!” Mereka bilang, wajahku sudah seperti orang Afghan. Aku cukup pura-pura bisu saja, beres. Mereka bahkan memberiku nama: Poyandah Iskashim, putra dari Rajab. Ya, namaku Poyandah Iskhashim bin Rajab. Inilah nama samaran yang harus kuhafal, jangan [...]

January 22, 2014 // 6 Comments

Selimut Debu 62: Agama Bukan di Baju

Traktor Juma Khan membawaku, Ghulam Sakhi, dan para penumpang lain hingga ke Qala Panja. Dari semua desa di tanah Wakhan ini, Qala Panja adalah yang paling terkenal. Namanya disebut-sebut dalam berbagai catatan perjalanan berabad silam. Karavan kuda yang membawa barang-barang dagangan dari Konstantinopel hingga ke negeri Tiongkok, pernah lewat di sini. Medan pegunungan Wakhan dan Pamir yang berat memaksa para saudagar mengganti kuda beban dengan keledai atau yak di Panja. Dalam catatan perjalanan yang dibuat Hsuan Tsang, disebutkan bahwa benteng-benteng kuno bertebaran antara Ishkashim hingga Qala Panja dan Yamchum (di seberang sungai, wilayah Tajikistan). Wilayah ini adalah sebuah kerajaan bernama Xiumi (Wakhan) yang beribu kota di Saijiazhen (Ishkashim). Kata Qala dalam nama Qala Panja memang berarti benteng, dan reruntuhan benteng kuno itu masih terlihat. Di sinilah Koridor Wakhan berakhir. Lidah sempit Afghanistan yang dimulai dari Ishkashim digantikan sebuah lidah besar yang dikelilingi Tajikistan, Pakistan, dan Cina. Qala Panja adalah tempat kediaman pemimpin besar Muslim Ismaili di seluruh tanah Wakhan, mulai dari Ishkashim hingga ke Boroghil. Namanya Said Ismail. Gelarnya Shah, yang berarti raja, atau lengkapnya Shah-e-Panja, sang raja dari Panja. Kedudukannya adalah pir, pemimpin komunitas umat Ismaili di seluruh Wakhan. Aku turun dari traktor, bersama Ghulam Sakhi dan Wali Mohammad, [...]

January 21, 2014 // 2 Comments

Selimut Debu 54: Hidup dalam Sejarah

Kebudayaan konservatif sudah mengakar di Taloqan jauh sebelum Taliban memperkenalkan persepsi mereka yang konservatif tentang Islam. Orang-orang di sini pun sebenarnya tidak suka Taliban. Kenyataannya memang sempat terjadi pertempuran sangat sengit di provinsi-provinsi utara Afghanistan ini melawan pendudukan Taliban. Ini membuktikan, agama bukan satu-satunya hal yang diperhatikan di Afghanistan. Orang-orang di Utara adalah masyarakat minoritas non-Pashtun, sedangkan Taliban adalah Pashtun yang berusaha menerapkan nilai-nilai mereka ke seluruh Afghanistan. Setelah perang panjang selama dua tahun, akhirnya Taloqan berhasil ditundukkan. Tetapi Taliban tidak pernah berhasil memperluas kekuasaannya lebih jauh dari Provinsi Takhar. Ke arah timur dari Takhar, provinsi Badakhshan, sama sekali tidak tersentuh Taliban (atau mungkin mereka juga tidak tertarik, karena sudah sibuk menghadapi perubahan dunia pasca 9-11). Berita tentang fundamentalisme selalu menjadi perhatian masyarakat. Pada Sabtu 22 Juli 2006 yang lalu, ada bom bunuh diri yang meledak di Kandahar, membunuh 10 orang dan mencederai 40 lainnya. Salah satu korbannya adalah jurnalis, juru kamera dari Ariana TV. Para jurnalis di Radio Takharistan membincangkan berita ini dengan penuh kengerian. Kandahar nun jauh di selatan sana—yang mengklaim diri paling religius—adalah dunia yang jauh berbeda dengan Takhar sini, kata mereka. Mereka mengolok-olok pemahaman Taliban yang sempit. Misalnya, Taliban melarang kerah [...]

January 9, 2014 // 0 Comments

Selimut Debu 53: Kota Burqa

Dengan langkah berat, aku melanjutkan perjalanan ke kota berikut. Hanya dua jam perjalanan dari Kunduz, tiba-tiba aku seperti merasa terlempar ke zaman lain. Kota Taloqan adalah ibukota Provinsi Takhar, salah satu provinsi di Afghanistan Utara. Takhar dulunya adalah bagian dari provinsi besar bernama Qataghan, yang kemudian dipecah menjadi Kunduz, Takhar, dan Baghlan. Taloqan juga panas di musim panas, tapi masih lebih sejuk kalau dibandingkan Kunduz. Kota ini berdebu, tapi jalanan beraspal mulus yang menghubungkan kota ini langsung dengan ibukota Kabul tampaknya menjanjikan masa depan yang sangat cerah. Aneh, di kota ini aku merasa seperti berada di Iran. Tidak seperti halnya kota-kota lain di Afghanistan yang pernah kulihat, Taloqan mempunyai papan penunjuk nama jalan dan rambu-rambu yang jelas dan mengkilap. Beberapa papan penunjuk jalan di pusat kota malah berlatar belakang warna-warni bendera Iran, dan bertuliskan “Afghanistan dan Iran”. Beberapa nama jalan berbau Iran, seperti “Ayatollah Komeini St.” Atau “Hafez St.” Juga ada nama pahlawan Afghanistan yang ada di mana-mana di negeri ini, yaitu “Ahmad Shah Massoud St.”  Ahmad Shah Massoud adalah pejuang etnis Tajik yang berasal dari lembah Panjshir, berperang melawan Taliban dan sekarang diangkat sebagai pahlawan nasional (diakui di Afghanistan kecuali oleh kebanyakan orang-orang Pashtun di Selatan, juga oleh para [...]

January 8, 2014 // 1 Comment

Selimut Debu 50: Melihat Islam dari Mata Pashtun (2)

Langit telah gelap. Wajah dan bayangan Amin berkedip-kedip diterpa sinar lampu petromaks. Pada kegelapan dan keremangan ini, dia melanjutkan ulasannya mengapa pemisahan lawan jenis begitu penting dalam konsep agama. Amin memberikan sebuah contoh. “Islam bilang,”—lagi-lagi Islam bilang, “perempuan terlalu cantik untuk pergi ke pasar untuk membeli kosmetik. Kalau dia memakai kosmetik, dia akan mengundang perhatian para lelaki, dan para lelaki akan ingin mendapatkannya, dan terkadang memakai kekerasan.” Itu artinya, kalau perempuan diperkosa, maka itu kesalahan si perempuan karena terlalu menarik? Dan bukannya salah para lelaki yang tidak bisa mengontrol nafsu mereka? Amin tidak menyangkal. Alih-alih, dia membuat perumpamaan lain. Dia mengambil sebuah permen dari piring kecil di samping poci teh. “Lihat permen ini. Jika aku suka permen ini, maka aku akan berusaha mendapatkannya. Secara legal ataupun ilegal. Paham?” Aku menggeleng. “Dan mengapa cara ilegal diperbolehkan? Kamu hanya boleh mengambil permen yang secara legal adalah milikmu. Ada hukum yang melindungi.” Dia membuat perumpamaan lain. “Kalau kau punya uang banyak, dan aku minta uangmu. Apakah kau beri?” “Tidak,” jawabku. “Maka aku akan membunuhmu,” kata Amin tegas. “Tapi itu adalah uangku. Mau memberi atau tidak, itu adalah hakku.” “Kenapa kau tidak berbagi?” Tampaknya konsep “hak dan kewajiban” sangat kuat dalam pikiranku. Dalam nilai-nilai [...]

January 3, 2014 // 4 Comments

Selimut Debu 49: Melihat Islam dari Mata Pashtun (1)

“Dalam Islam ada lingkaran. Dan kita tidak bisa keluar dari lingkaran itu,” kata Amin tegas. Lelaki Pashtun di hadapanku ini berusia 33 tahun, dan telah melewatkan 29 tahun usianya di Pakistan. Dia pernah menjadi pengungsi, tapi dia tidak mau disebut sebagai pengungsi. Dia bicara bahasa Inggris teramat fasih, tapi dia menuding orang-orang Barat sebagai biang keladi dari masalah-masalah di negeri ini. Dan Amin sangat menghormati Taliban, yang dianggapnya sebagai Muslim terbaik. Dulu Amin tinggal di daerah Mohmand Agency, bagian tribal area dari provinsi NWFP (North West Frontier Province) di Pakistan. Amin menolak menyebut daerah itu sebagai wilayah Pakistan. Dia selalu menggunakan istilah Pashtunistan, dan menganggap wilayah yang didominasi bangsa Pashtun itu adalah bagian dari Afghanistan. Nenek moyangnya berasal dari daerah Kandari, yang ada di sisi Pakistan maupun Afghanistan. Itulah sebabnya, Amin punya paspor kedua negara sekaligus. Amin mengizinkanku menginap di rumahnya malam ini. Ada sebuah kamar khusus untuk tamu. Dalam tradisi Pashtun, para perempuan di rumah tidak boleh terlihat oleh lelaki asing. Karena itu, kamar bagi tamu selalu terpisah dari rumah utama. Diskusi kami tentang Islam bermula ketika aku berbicara tentang Putri Indonesia yang bertanding dalam ajang Miss Universe, dan setuju untuk memakai bikini dalam lomba busana renang. “Kamu beruntung, [...]

January 2, 2014 // 5 Comments

Selimut Debu 46: Gerakan Bawah Tanah

Mereka bukanlah kaum perempuan Afghanistan yang pasif menerima keadaan dan tradisi. Sejak lama, perjuangan mereka adalah revolusi berbahaya. Nama RAWA (Revolutionary Association of Women in Afghanistan) telah menjadi legenda, atau bahkan momok bagi banyak orang. Organisasi ini didirikan tahun 1977, hanya setahun sebelum invasi Rusia, dan selalu dalam bentuk organisasi bawah tanah, komunitas rahasia di Afghanistan. RAWA tidak punya kantor di Kabul, para anggotanya bahkan tidak mengenal satu sama lain. Untuk bertemu anggota RAWA sungguh tak mudah. Aku harus menghubungi kantor pusat RAWA di Quetta, Pakistan. Setelah korespondensi cukup lama, akhirnya mereka memperkenalkanku pada Panveen via email. Nama Panveen ini pun sangat mungkin bukan nama sebenarnya. Aku dan Panveen membuat janji melalui telepon, dan bertemu di sebuah sudut jalan yang agak jauh dari pusat kota Kabul, ke arah utara. Panveen datang dengan seorang temannya. Keduanya mengenakan hijab, tetapi hidung dan mulut mereka tertutup, hanya sepasang mata yang kelihatan. Panveen kemudian berjalan tergesa-gesa menyusuri gang kecil. Aku mengikutinya. Pada setiap langkah, dia selalu melongok ke kiri dan ke kanan, takut diikuti. Rumah itu adalah rumah pribadi, gelap dan kosong, punya seorang teman mereka. Panveen mengembus napas lega ketika kami berhasil masuk ke dalam bangunan, lalu menutup pintu rapat-rapat. Dua perempuan, membawa [...]

December 30, 2013 // 4 Comments

Selimut Debu 45: Di Balik Burqa

Pernahkah kau berimajinasi ala film animasi Jepang, menjadi manusia tembus pandang? Ada selimut ajaib yang begitu kaupakai, wusss, tubuhmu jadi tak kasatmata. Kau berubah jadi makhluk yang melayang-layang bersama udara. Kau bebas pergi ke mana saja kau suka. Tak ada yang melihat, apalagi mengenalimu. Tak ada yang peduli padamu. Begitu bebas. Lepas. Selimut ajaib membungkus tubuhmu, mereduksi semua jati diri dan wujudmu menjadi nihil. Selimut ini bukan fantasi. Di Afghanistan, kaum perempuan memakainya. Burqa namanya. Hanya ada lubang-lubang kecil di bagian mata, tempat si perempuan itu bisa mengintip dunia. Semua mengenakan model yang sama, seperti seragam, dengan warna-warna yang itu-itu saja. Itulah impresi utama perempuan Afghan yang dikenal dunia. Burqa membungkus sekujur tubuh, mulai dari kepala, rambut, leher, wajah, dan bahkan mata. Semua bentuknya sama, dengan mode yang itu-itu saja, dengan variasi warna yang juga itu-itu saja. Pemakai burqa menjadi sosok anonim. “Mereka justru merasa nyaman dengan menjadi tak kasatmata,” kata Lam Li. Ini adalah kesimpulan Lam Li setelah tinggal cukup lama di Pakistan dan Afghanistan, khususnya di Peshawar dan Kandahar, dua di antara yang paling konservatif di dua negara. Sebelumnya aku pernah berjumpa Lam Li di Peshawar, Pakistan. Dia menyatakan gagal paham mengapa para perempuan di negeri ini selalu [...]

December 27, 2013 // 4 Comments

Selimut Debu 27: Hati-hati dengan Vaseline

  Para pekerja tim pembersih ranjau bekerja di bawah terik matahari (AGUSTINUS WIBOWO) Mereka adalah para pekerja yang setiap harinya bergaul dengan maut. Maut justru begitu dekat di tempat sesejuk dan sedamai ini. Beberapa minggu lalu, kata pembersih ranjau, ada seorang penduduk yang rumahnya dekat dengan patung Buddha, terpaksa kakinya harus diamputasi karena menginjak ranjau yang terletak di antara patung Buddha Kecil dan patung Buddha Besar. Baru setelah kejadian itu, diketahui bahwa daerah sekitar patung Buddha beranjau. Bukan sekadar beranjau, tapi heavily mined. Ranjaunya super banyak! Dan ini pun hanya diketahui baru-baru ini saja. Segera, tim pembersih ranjau diberangkatkan ke sini dua minggu lalu, dan rencananya mereka akan bertugas di sini selama dua atau tiga bulan. Satu tim lain mengatakan, mereka mungkin akan meninggalkan Bamiyan besok, karena ada daerah lain yang juga beranjau di daerah utara ibukota Kabul, pembersihannya jauh lebih mendesak sehingga upaya pembersihan di Bamiyan harus dihentikan sementara. Manajemen yang kacau ini sangat lazim di negeri yang masih bergoyang seperti Afghanistan. Sedangkan daerah yang di puncak bukit patung Buddha, tempat dulu aku bermain perang-perangan dan mengumpulkan suvenir sisa perang, adalah daerah yang teramat-sangat-super-duper bahaya. Sekarang para pengunjung sudah tidak boleh ke sana. Semua orang cuma boleh mengikuti satu-satunya [...]

December 3, 2013 // 4 Comments

Selimut Debu 26: Buddha Bertabur Ranjau

  Yang tersisa dari peradaban kuno Buddhisme itu adalah rongga raksasa dan gua-gua kosong. (AGUSTINUS WIBOWO) Mengunjungi Bamiyan bagaikan menyusuri lekuk-lekuk memori. Tiga tahun lalu, berdiri di hadapan patung-patung Buddha puncak peradaban ribuan tahun yang berubah menjadi tumpukan batu hanya dalam semalam, hatiku menangis. Hari ini, tumpukan-tumpukan batu di rongga gunung itu masih seperti dulu. Berbongkah-bongkah, tak beraturan, menjadi saksi kebodohan perang. Sepi, kosong, sementara angin berhembus sepoi-sepoi mengayun-ayunkan rerumputan di lembah hijau. Kesunyian yang berlebihan ini membuatku merinding. Sunyi sesunyi-sunyinya, karena anak-anak masih bersekolah dan para lelaki bekerja di ladang. Tidak ada orang lain di sini, dan aku satu-satunya “turis”. Kesunyian itu sesungguhnya tidaklah total. Semakin aku berjalan mendekat ke arah rongga Buddha raksasa, semakin terlihat banyak pekerja yang sedang sibuk. Para pekerja itu ada dua macam. Yang pertama adalah para pekerja berhelm kuning, seperti para pegawai konstruksi, sibuk hilir mudik di antara patung Buddha Besar (tingginya 55 meter) dan lebih jauh ke arah patung Buddha Kecil (tingginya 38 meter). Kedua gua Buddha raksasa itu (yang saking besarnya aku harus mendongak melihat atapnya) kini sudah dipagari, dan para turis diwajibkan membayar tiket. Aku sendiri kurang tahu soal tiket itu, karena sejauh ini tidak ada staf yang menagih tiket, kantor [...]

December 2, 2013 // 2 Comments

Selimut Debu 25: Bamiyan, Setelah Tiga Tahun

  Siaran berita Hadi Ghafari di Radio Bamiyan (AGUSTINUS WIBOWO) Tiga tahun. Seiring dengan perputaran roda waktu, dusun kecil di lembah hijau ini pun turut menggeliat. Aku melangkah ke gedung Radio Bamiyan yang tersembunyi di gang kecil di balik jalan utama. Tiga tahun lalu, tidak ada stasiun radio di sini, tapi sekarang dusun kecil ini sudah punya stasiun radio, warung internet, dan segera memiliki stasiun televisi sendiri. Hadi Gafari yang bertanggung jawab sebagai pemimpin Radio Bamiyan ini mengatakan, teknologi sudah mulai terjangkau di sini. Internet mereka bersumber dari satelit yang berukuran besar di halaman belakang, mirip antena parabola, dan biayanya adalah US$ 600 per bulan. Bukan cuma teknologi, pasar Bamiyan pun tampak semakin sibuk. Jauh lebih ramai dibandingkan tiga tahun lalu. Barang yang dijual pun lebih bervariasi, mulai dari buah-buahan, gandum, sampai buku. Masyarakat yang dicekam ketakutan perang meletakkan buku pada prioritas terbawah dalam kebutuhan mereka, apalagi mayoritas warga Afghanistan buta huruf. Tetapi warga Bamiyan sekarang sudah mulai membaca buku! Bukankah ini sebuah kemajuan luar biasa? Begitu pun dalam hal penginapan. Dalam kunjungan pertamaku di Bamiyan, satu-satunya tempat menginap adalah Restoran Mama Najaf, yang harganya mahal, tamu hanya tidur di lantai di atas matras kumal, plus bonus kutu busuk dan [...]

November 29, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 21: Agama di Garis Batas

Tasku jebol setelah perjalanan panjang ini, dan tukang reparasi sepatu di perbatasan Pakistan ini begitu piawai memperbaikinya (AGUSTINUS WIBOWO) Di Pakistan, aku sungguh disadarkan bagaimana cara Tuhan menyelamatkan umat-Nya. Bus yang semestinya aku tumpangi kemarin kalau tidak bangun kesiangan di Kabul, ternyata mengalami kecelakaan dan jatuh ke jurang saat melintasi jalan pegunungan Karakoram Highway yang berbahaya. Ada penumpang yang tewas, untungnya aku tidak jadi menumpang bus itu. Penumpang di sampingku adalah seorang pelajar berusia 17 tahun (walaupun wajahnya kelihatan seperti 30 tahun lebih), orang Pathan/Pashtun dan mengaku pernah ke Afghanistan. Bahasa Inggrisnya sangat bagus. Katanya, zaman Taliban dulu mereka tidak perlu pakai paspor untuk pergi ke Afghanistan, karena berewok sudah cukup sebagai paspor. Di zaman Taliban, hukum sangat keras, mereka memberlakukan hukum potong tangan untuk pencuri, potong lengan bagi perempuan yang kelihatan auratnya, atau hukuman mati bagi pembunuh jika keluarga korban tidak mau mengampuni. Kesalahan Taliban, menurutnya, adalah mereka menerapkan hukum Islam secara ekstrem dan sangat mendadak, tidak melalui tahapan-tahapan. Akibatnya, mereka tidak didukung sebagian besar orang Afghan. Hanya saja selama masa Taliban, Afghanistan jauh lebih aman dan stabil. Dia pun tak habis pikir mengapa Amerika menyerang Taliban. Toh bukan Taliban yang menghancurkan WTC? Osama, tokoh utama dalam cerita ini, [...]

November 25, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 6: Wild Wild West Peshawar

Seperti kembali ke masa lalu (AGUSTINUS WIBOWO) Dunia barat yang liar. Peshawar, kota berdebu di ujung barat Pakistan adalah gerbang menuju Afghanistan. Atmosfernya, bahayanya, dengusannya, bahkan ketidakberadabannya…. Peshawar terasa begitu liar. Ibukota provinsi North Western Frontier Province (NWFP) ini seakan melemparkan diriku ke zaman puluhan tahun silam. Keledai-keledai mengiring kereta pengangkut barang, menyusuri jalan-jalan sempit di bazaar kota. Wanita-wanita yang juga tidak banyak jumlahnya, berjalan merunduk-runduk sambil menutupkan cadar di wajahnya. Sesekali nampak juga perempuan-perempuan yang berbungkus jubah hitam atau burqa biru dan putih. Burqa adalah pakaian yang menutup sekujur tubuh dari kepala hingga ujung kaki, termasuk kedua mata dan wajah, menyimpan rapat-rapat kecantikan seorang wanita. Hanya dari kisi-kisi kecil di bagian matalah sang perempuan mengintip dunia luar. Ada traveler Hong Kong temanku yang mendeskripsikan burqa seperti “lampion”, para “lampion” itu berjalan mencari arah di tengah keramaian jalanan. Bagiku, burqa terlihat seperti sangkar rapat, terserah engkau mengartikan itu melindungi atau mengurung makhluk yang ada di dalamnya. Pria-pria berjenggot dengan kibaran shalwar qameez yang gagah menguasai seluruh penjuru kota. Para lelaki itu selalu tersenyum ramah dan menyapa dengan pertanyaan yang sama, yang diulang lagi, yang diulang lagi, yang diulang lagi. “Hello, how are you? what’s your good name? Where are [...]

November 4, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 5: Pakistan yang Sesungguhnya

Sambutan hangat orang-orang Pashtun (AGUSTINUS WIBOWO) Meninggalkan gunung-gunung di utara, aku memasuki dunia Pakistan yang sesungguhnya. Padat, ramai, kotor, kumuh, kuno, dan hanya laki-laki. Rawalpindi adalah kota kembar dari ibukota Pakistan, Islamabad. Jarak antara keduanya hanya 15 kilometer, tapi seperti dipisahkan dalam lintasan waktu yang sama sekali berbeda. Islamabad adalah kota baru yang modern, sepi dan lengang, membosankan. Orang bilang, ibukota Pakistan itu letaknya 15 kilometer jauhnya dari Pakistan. Saking tidak alaminya, ibukota mereka sudah seperti bukan negara mereka sendiri. Sedangkan Rawalpindi memang kuno dan padat, kumuh dan ramai, tetapi sungguh hidup. Inilah Pakistan dalam bayanganku, yang kuimpikan selama ini. Para lelaki berjubah panjang berkibar-kibar lalu lalang di sepanjang jalan. Aroma sate kebab yang menyeruak hidung, juga lezatnya teh susu hangat yang dituang ke gelas-gelas. Suara minyak di wajan datar menjerit, menggoreng roti tipis yang renyah lagi panas. Sayang, karena uangku terbatas, aku tidak pernah berkesempatan mencicip rasanya. Setiap hari makananku adalah nasi berminyak polos yang kubeli di pasar, tanpa sayur tanpa daging, dengan air minum gratisan yang gelasnya harus berbagi dengan semua pengunjung pasar. Meninggalkan Northern Areas, kehidupan lengang di Hunza sudah jadi memori. Kita masuk ke Pakistan yang sebenarnya. Di jalanan hanya ada lelaki, dan cuma lelaki. Aku [...]

November 1, 2013 // 19 Comments

Garis Batas 75: Bahasa Uzbek

Bahasa Uzbek, huruf Rusia masih terlihat di mana-mana (AGUSTINUS WIBOWO) Konon Lembah Ferghana adalah pusat peradaban bangsa Uzbek. Orang-orangnya bicara bahasa Uzbek yang paling murni dan halus. Saya merasakan kesopanan yang luar biasa, karena orang tua di Lembah Ferghana bahkan menyapa anak-anaknya dengan siz – Anda, dan bukannya san – kamu – seperti orang-orang Uzbek di tempat lain.  Bagaimanakah asal-muasal Bahasa Uzbek? Ratusan tahun lalu, bahasa ini masih belum lahir. Yang ada adalah bahasa Turki Chaghatai, dari rumpun bahasa Altai. Sama seperti ketika itu nama Bahasa Indonesia belum ada, karena orang hanya kenal bahasa Melayu. Bahasa Uzbek menjadi penting, ketika tahun 1920’an, etnis-etnis Asia Tengah ‘ditemukan’, dan masing-masing bangsa harus punya bahasanya sendiri.  Pertanyaannya, bahasa yang mana yang layak menjadi Bahasa Uzbek? Sebelum tahun 1921, yang disebut ‘Bahasa Uzbek’ adalah bahasa Kipchak, yang dipakai di sekitar Bukhara dan Samarkand. Bahasa ini sangat rumit, karena seperti halnya bahasa Kirghiz, juga punya banyak aturan keharmonisan vokal. Pada saat itu, bahasa Qarluq yang dipakai di Ferghana dan Kashka-Darya dikenal sebagai Bahasa Sart. Tata bahasanya lebih mudah, karena tidak memakai harmonisasi vokal. Bahasa Sart, dipakai oleh umat Muslim yang sudah tidak nomaden, kaya akan kosa kata dari Bahasa Arab dan Persia. Selain itu, di [...]

September 26, 2013 // 5 Comments

Garis Batas 74: Raja Umat Manusia

Seorang mullah dari Shakhimardan (AGUSTINUS WIBOWO) Gerbang perbatasan terakhir yang harus kami lewati untuk menuju Shakhimardan adalah pintu Uzbekistan. Tiga gerbang perbatasan sebelumnya berlalu dengan mulus, berkat kecerdikan Bakhtiyor aka. Namun tidak yang satu ini. Sardor nampak gelisah. Bibirnya tak berhenti komat-kamit membaca doa. Bakhtiyor aka sudah cukup lama turun dan bernegosiasi dengan tentara perbatasan. Seperti yang Bakhtiyor bilang, peluang kami bisa masuk Shakhimardon cuma fifty-fifty. Tentara muda itu datang mendekati Sardor. Sardor di suruh turun, menunjukkan paspor dan dokumen-dokumennya. Saya hanya disuruh tunggu di mobil seorang diri. Tak lama kemudian Sardor berlari ke arah mobil dengan senyum terkembang. Berita bagus, pastinya.              “Kita boleh masuk, kita boleh masuk….,” dia tertawa riang. “Berapa sogokannya?” “Tidak usah sama sekali,” kata Sardor, “kamu boleh masuk karena kamu dari Indonesia. Saya bilang kamu adalah Muslim, dan kita akan pergi berziarah. Tetapi kita hanya punya waktu 45 menit. Tak lebih.” Empat puluh lima menit lagi akan ada pertukaran tentara perbatasan. Kami harus keluar dari Shakhimardan sebelum tentara muda yang berbaik hati ini berganti giliran. Kalau sampai kami terlambat dan tentara lain yang menjaga perbatasan, maka kami tidak akan bisa keluar dari Shakhimardan dengan selamat. Sardor menyebut-nyebut ziarah. Nama Shakhimardan dalam bahasa Tajik [...]

September 25, 2013 // 6 Comments

Garis Batas 60: Registan

Agustinus Wibowo jadi pedagang di Registan. Marhamat! Marhamat! Savdo keling! (AGUSTINUS WIBOWO) Siapa yang tak akan terpekur di bawah keagungan nama Samarkand? Sang pujangga Omar Khayyam tiada hentinya memuja kemuliaan kota ini, bahkan sebelum bangunan-bangunan molek raksasa itu berdiri. Di sinilah sang penakluk Amir Timur (dikenal juga sebagai Timurleng, Timur si Pincang), memulai kerajaannya yang menguasai wilayah dari padang rumput Asia Tengah hingga ke negeri India di timur dan Turki di barat. Di sinilah sang raja besar mendirikan gedung-gedung raksasa yang merupakan mahakarya tiada duanya. Di sini pulalah peradaban Islam pernah mencapai puncaknya. Tiga bangunan raksasa diselimuti mozaik warna-warni yang menyembunyikan nama-nama agung Tuhan dan Nabi, berdiri gagah mengelilingi lapangan besar Registan. Salju yang kemarin lebat membasuh bumi, kini berpadu dengan cantiknya kerlap-kerlip dinding gedung-gedung kuno Registan, membangkitkan imajinasi saya yang melihat Aladdin sedang melambai-lambai di atas permadani terbangnya menyapa barisan kawanan unta pedagang sutra. Sang pujangga besar Islam, Omar Khayyam, pernah menginjakkan kakinya di sini, di lapangan Registan. Kala itu, bangunan-bangunan raksasa ini masih belum berdiri. Lapangan Registan zaman Omar Khayyam adalah bazaar, pasar besar kota kuno Samarkand. Registan hari ini kembali lagi menjadi pasar, yang dikerumuni oleh tiga jenis manusia – pedagang suvenir, turis, dan satpam pemeriksa karcis. [...]

September 5, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 57: Wajah yang Tersembunyi

Peninggalan Islam di Uzbekistan. (AGUSTINUS WIBOWO) Di antara sedikit wajah Islam yang ‘direstui’ oleh pemerintah Uzbekistan, adalah ajaran tassawuf, atau Sufisme, yang dibawa oleh sang guru besar Bahauddin Naqshband Bukhari. Di negara yang mayoritas penduduknya Muslim ini, agama Islam justru menjadi hal yang sangat sensitif. Saya teringat suatu hari di sebuah taksi antar kota, saya asyik membaca buku tentang pergerakan fundamentalis Islam di Lembah Ferghana, ditulis oleh seorang jurnalis dari Pakistan. Kebetulan penumpang yang duduk di sebelah saya adalah polisi, penasaran ingin tahu isi buku yang sejak tadi menyedot perhatian saya. Dia terloncat kaget ketika membaca nama-nama yang ‘tidak baik’, seperti Harakatul Islami Uzbekistan (Gerakan Islam Uzbekistan), Hizbut-Tahir, dan Taleqan Juma Namangani – buronan nomer satu pemerintah Tashkent yang sempat membikin ribut negara-negara Asia Tengah karena gerakan garis keras bawah tanahnya. Dalam sekejap, polisi yang semula akrab itu berubah sikap. Setelah menanyai ini itu, dia diam seribu bahasa sepanjang perjalanan. Mungkin dia sibuk mengira-ngira apakah saya ini kawan atau ancaman nasional. Saya juga ingat betul, di kesempatan lain ketika saya melintas perbatasan Uzbekistan dari Turkmenistan, tas saya digeledah dengan teliti. Kebetulan saya membawa buku-buku pelajaran bahasa Arab dan sejarah Persia. Saya tidak tahu bahwa buku-buku bertulis huruf Arab bisa jadi [...]

September 2, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 56: Permata Islami

Bukhara, permata Islami (AGUSTINUS WIBOWO) O Bokhara! Engkau menghias Langit, Ialah Bulan yang cemerlang, O Langit yang perkasa, memeluk BulanMu dengan riang  Demikian Abu Abdullah Rudaki, sang pujangga Persia, menggoreskan bait syahdu tentang keagungan kota suci Bukhara, lebih dari seribu tahun silam. Keagungan kota suci Bukhara terpancar dari Masjid Kalon yang berdiri megah mendominasi pemandangan langit kota kuno ini. Kalon, dalam bahasa Tajik, berarti besar, secara harafiah mendeskripsikan kebesaran tempat suci ini. Takzim menyelimuti sanubari siapa pun yang berziarah ke Bukhara, kota yang paling mulia di seluruh penjuru dataran Asia Tengah. Pintu gerbang Masjid Kalon membentang tinggi, berhadap-hadapan dengan Madrasah Mir-e-Arab, seperti jiplakan cermin tembus pandang. Gerbang utama, berbentuk kotak, bertabur mozaik dekorasi yang dibuat dengan ketelitian tingkat tinggi, bertahtakan huruf-huruf Arab, dan asma Allah dan Muhammad yang disamarkan dalam ornamen-ornamen yang menyelimuti seluruh dinding. Warnanya coklat, menyiratkan kejayaan masa lalu, dan berkilauan diterpa mentari senja. Menara Kalon, hampir 1000 tahun usianya, menjulang setinggi 47 meter, berselimutkan ukir-ukiran dan detail yang indah. Bentuknya sedikit mengerucut, dan dari puncaknya kita bisa melihat keindahan kota kuno Bukhara. Sayangnya, menara ini sementara tidak boleh dinaiki, gara-gara beberapa bulan yang lalu ada turis bule yang terpeleset dari atas. Keindahan Menara Kalon bahkan menggugah hati [...]

August 30, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 54: Bairam, Sinterklas, dan Saddam Hussain

  Salat Ied di Masjid Bukhara Salat Ied di Masjid Bukhara (AGUSTINUS WIBOWO) Apa hubungannya? Ketiganya ada di Bukhara, kota kuno di barat Uzbekistan, pada perayaan Idul Qurban. Siapa yang tak kenal nama Bukhara, kota pusat peradaban Islam di Asia Tengah ini? Nama besar Imam Bukhari dan Ibnu Sino tak pernah lepas dari taburan masjid dan madrasah di kota kuno ini. Tak salah memang jika saya datang ke Bukhara untuk merayakan Idul Kurban.             “Jangan lupa besok, datang ke rumah ya. Besok, bairam,” kata seorang nenek Tajik penjual pakaian tradisional di salah satu bangunan kuno. Bairam, dalam bahasa Tajik dan Uzbek, artinya perayaan. Segala macam perayaan besar bisa disebut bairam. Belakangan ini memang banyak perayaan. Idul Kurban datang hampir bersamaan dengan Tahun Baru. Dalam sekejap harga angkutan naik tak terkira. Saya datang ke Masjid Kalon, masjid besar Bukhara, pagi-pagi buta. Semalaman salju mengguyur kota ini, menyelimuti semua permukaan tanah dengan lapisan putih bersih. Gedung-gedung kuno yang sambung menyambung di seluruh Bukhara seolah menggiring saya ke masa lalu. Berdiri di depan Masjid Kalon yang gagah saya terpukau oleh keagungannya yang terpancar dalam keheningan. Dalam keheningan subuh ini, di bawah rintik-rintik salju, saya membayangkan Imam Bukhari dan Ibnu Sina sedang [...]

August 28, 2013 // 0 Comments

1 5 6 7 8