Recommended

Asia Tengah

Garis Batas 13: Negeri Para Penganggur

Jalanan Vrang yang lengang, di mana mayoritas penduduknya adalah pengangguran. (Agustinus Wibowo) Berjalan-jalan di Tajikistan memang tidak mudah. Angkutan umum sangkat jarang, karena harga BBM sudah tidak terjangkau lagi oleh penduduk. Di sini hukumnya, semakin tinggi tempatnya, semakin mahal harga bensinnya. Tidak ada yang tahu kapan angkutan akan lewat. Sehari penuh mungkin hanya dua saja yang melintasi desa ini. Itu pun biasanya sudah penuh sesak. Hari ini saya berencana pergi ke desa Vrang, 5 kilometer jauhnya dari Tughoz. Tetapi sudah tiga jam lebih menunggu, tidak ada juga yang lewat. Sambil menunggu, saya mengunjungi rumah sakit di desa itu. Dokter Akhmed yang bekerja sebagai dokter kepala mempersilakan saya masuk. Bahkan desa terpencil seperti ini punya rumah sakit yang bagus. Infrastruktur di Tajikistan memang lebih bagus daripada di Indonesia. Tetapi gaji dokter Akhmed hanya 50 Somoni saja, sekitar 15 dolar, per bulan. Di Jakarta pengemis pun pendapatannya lebih besar dari ini. Dengan uang segitu di Tajikistan memang tidak akan membawanya ke mana-mana. Tetapi ia bangga dengan pekerjaannya, yang jauh lebih terhormat daripada mengemis. Dokter Akhmed bahkan menjerang teh untuk saya, tetapi belum sempat saya minum, saya sudah harus melompat ke angkutan desa yang baru saja melintas. Vrang hanya 5 kilometer saja, tetapi [...]

June 6, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 12: Eid Mubarak

Di dalam Rumah Pamiri (AGUSTINUS WIBOWO) Perjalanan dua jam dengan angkutan umum membawa saya ke desa Tughoz, tak jauh dari Ishkashim. Perjalanan ini menyusuri tepian Sungai Amu, perbatasan dengan Afghanistan. Seiris Afghanistan yang berada di seberang sana adalah Lembah Wakhan yang damai dan tenang. Pedesaan yang tidak pernah tersentuh hingar bingarnya perang dan pertumpahan darah di seluruh negeri. Gunung-gunung berbungkus salju seakan tidak berhenti sambung-menyambung. Desa-desa hijau di kaki gunung berhadap-hadapan dengan desa-desanya Tajikistan seperti bayangan cermin. Tetapi refleksi kehidupan yang di seberang sana, hidup dalam zamannya sendiri. Jalan beraspal dari Ishkashim memang sangat nyaman dilewati dengan mobil. Saya teringat, tiga bulan yang lalu ketika saya berada di seberang sungai sana, di Afghanistan, perjalanan dengan jarak seperti ini harus ditempuh sehari penuh. Berkali-kali mobil yang saya tumpangi tersangkut aliran sungai, karena jalan berdebu tak beraspal seringkali diterjang banjir lelehan salju di puncak gunung. Naik mobil di sana hanya satu setrip saja lebih cepat daripada naik keledai. Di Tajikistan sini, orang tidak perlu bersusah payah naik keledai untuk menempuh perjalanan seperti ini. Mobil tersedia. Yang tidak ada cuma uang dan bensin. Tuloyev Aliboy Jumakhanovich, 33 tahun, misalnya. Dia dulunya adalah supir, tetapi sekarang jadi penumpang yang duduk di samping saya. Dia [...]

June 6, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 11: Sarandip=Indonesia?

Alisher dan keponakannya. (AGUSTINUS WIBOWO) “Sekarang kamu bukan tamu lagi. Kamu sudah bagian dari keluarga ini. Mari masuk!” kata Muhammad Bodurbekov, alias Alisher, ramah. Sudah beberapa hari ini saya menginap di rumah Alisher, tinggal di rumah Pamirinya yang indah. Tetapi pagi ini Alisher tidak lagi mengantar sarapan pagi saya ke chid atau Rumah Pamiri, melainkan mengajak saya ke bergabung dengan ibu dan adik perempuannya. Sarapan pagi orang Wakhan adalah shir choy, teh susu yang dicampur dengan mentega dan minyak. Rasanya asin. Dicampur dengan roti yang disobek kecil-kecil, diaduk-aduk dengan sendok, dan dihirup panas-panas. “Ini adalah sarapan yang luar biasa energinya, bahkan para pejuang zaman dulu cukup makan semangkuk shir choy sebelum berperang,” ucap Alisher. Bagian Rumah Pamiri di rumah Alisher memang tradisional dan cantik. Tetapi ruang keluarga, tempat di mana Alisher sekarang mengajak saya menikmati sarapan, lebih kecil dan hangat. Di ruangan kecil ini tinggal bersama bapak, ibu, adik perempuan, dan beberapa orang keponakan si Alisher. Adik perempuan Alisher, bersuamikan orang dusun Shegnon, pulang kampung ke Ishkashim untuk melahirkan. Menurut tradisi orang Shegnon, bayi pertama harus dilahirkan di rumah keluarga ibu. Alisher sekarang menggendong-gendong keponakannya yang masih orok. Bayi itu dibungkus kain berhias manik-manik, dan terbaring di atas guwara, ayunan [...]

June 6, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 10: Selamat Datang di Rumah Pamiri

Seorang bocah Tajik di Istaravshan di dalam musholla. (AGUSTINUS WIBOWO) Muhammad Bodurbekov, penumpang satu mobil dari Khorog, membawa saya ke rumahnya di Ishkashim. Rumah Muhammad adalah rumah tradisional Pamiri, dalam bahasa setempat disebut Chid. Karakteristik utamanya adalah adanya lima pilar penyangga ruangan, masing-masing melambangkan Muhammad, Ali, Bibi Fatima, Hassan dan Hussain. Angka lima melambangkan jumlah rukun Islam. Bentuk rumah seperti ini sama dengan rumah-rumah orang Ismaili di Pakistan Utara dan Afghanistan. Rumah adat Pamir sebenarnya sudah ada jauh sebelum datangnya Islam. Simbol-simbol Islam menggantikan simbol-simbol agama kuno Zoroastrian (Zardusht), di mana kelima pilar melambangkan dewa-dewa Surush, Mehr, Anahita, Zamyod, dan Ozar. Karakter lain rumah tradisional Pamir adalah adanya lubang jendela di atap, tempat menyeruaknya sinar matahari menyinari seluruh penjuru ruangan. Jendela ini bersudut empat, melambangkan empat elemen dasar: api, udara, bumi, dan air. Dibandingkan rumah-rumah orang Tajik Ismaili di Pakistan dan Afghanistan, memang rumah di Tajikistan ini jauh lebih modern. Lubang di tengah ruangan sudah tidak lagi digunakan untuk memasak, tetapi lebih sebagai dekorasi saja. Dindingnya dicat rapi, dihiasi dengan karpet-karpet indah, poster, dan foto keluarga. Lantainya dari kayu, dipelitur mengkilap. Di setiap ruangan selalu dipasang foto Aga Khan, pemimpin spiritual Ismaili yang didewakan sebagai penyelamat hidup di GBAO. Ada [...]

June 6, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 9: Mengintip Afghanistan

Afghanistan, di seberang sungai, terlihat dari Tajikistan. (AGUSTINUS WIBOWO) Saya menumpang sebuah jeep kecil dari Khorog menuju Ishkashim, melalui jalan beraspal di tepian sungai Amu Darya. Jaraknya cuma 106 kilometer, tetapi karcisnya 20 Somoni (6 dollar). Itu pun harus menunggu berjam-jam di terminal karena tidak ada penumpang. Di negara ini, orang hampir-hampir tidak punya uang sama sekali, tetapi harga-harga sangat mahal. Sepanjang jalan, di seberang sungai di sebelah kanan sana, adalah propinsi Badakhshan Afghanistan. Sungainya sendiri, di bulan Oktober yang sudah mulai dingin ini, menjelma jadi sungai kecil yang hanya sekitar 20 meter saja lebarnya. Tetapi bagaimana pun kecilnya, ini adalah pemisah dua dunia. Ketika kami menyusuri jalan beraspal mulus dalam sebuah jeep Rusia tua, di seberang sungai sana yang nampak hanya jalan setapak di punggung-punggung gunung. Saya melihat beberapa pria berjubah dan bersurban duduk dengan nyaman di atas keledai. Sesosok tubuh wanita dibungkus rapat-rapat dengan burqa putih, menunggang keledai dengan pasrah mengikuti sang suami. Sedangkan di sini penumpang jeep duduk bersebelah-sebelahan, tak peduli pria wanita, bersenda gurau sepanjang jalan dan bernyanyi-nyanyi. Di sini, di sepanjang jalan saya melihat tiang listrik berbaris, sambung-menyambung. Di seberang sana, tak ada apa-apa lagi selain debu dan rumput yang mulai menguning. Afghanistan nampak gamblang [...]

June 6, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 8: Khorog, Pejuangan dari Balik Gunung

Khorog, ibu kota provinsi GBAO (AGUSTINUS WIBOWO) Khorog, ibu kota propinsi GBAO, adalah sebuah kota kecil yang tenang dan sunyi di bawah teduhnya gunung-gunung raksasa. Walaupun berhadapan langsung dengan Afghanistan dan polisi, tentara, agen KGB berkeliaran di mana-mana, suasana di Khorog masih tetap lengang dan santai. Sejuknya udara pegunungan memang membuat malas. Tidak ada pengemis, gelandangan, pedagang asongan, pencopet, pengamen, dan simbol-simbol kemiskinan lainnya. Rumah-rumah mungil tertata tanpa maksud menantang gunung-gunung raksasa yang mengililingi, terjalin seperti sulaman, tidak berpagar rapat, dengan pekarangan sambung-menyambung. Orang bebas masuk-masuk ke halaman tetangga. Tidak ada ketakutan yang memagari hubungan manusia dengan lingkungannya. Mungkin yang paling mengganggu hanya anjing-anjing besar yang sering berkelahi atau mengejar-ngejar sapi malang. Tetapi gambaran Khorog yang tenang dan damai adalah sebuah ironi dari kisah kegagalan sebuah negara muda. Ketika perang saudara meletus, seluruh propinsi GBAO memproklamirkan kemerdekaan, yang segera dibalas oleh Dushanbe dengan isolasi total. Jalan menuju GBAO ditutup. Blokade diberlakukan. GBAO adalah daerah pegunungan, di mana puncak-puncak raksasa seakan saling berlomba menggapai angkasa dan orang harus mendongakkan kepala untuk melihat birunya langit. Tidak banyak lahan yang tersisa untuk pertanian. Musim dingin sangat menggigit. Sumber air bersih memang melimpah, tetapi tidak untuk bahan bakar [...]

June 6, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 7: Menuju Khorog

GUNUNG, SALJU, AWAN TAJIK — Berpetualang di Tajikistan, perpaduan antara gunung, salju, awan, dan sejumput keberanian (AGUSTINUS WIBOWO) Saya teringat gurauan orang Afghan tentang tiga barang yang paling murah di Tajikistan – meva, piva, dan beva. Buah, bir, dan janda. Yang dimaksud dengan ‘janda’ adalah gadis-gadis Tajik yang bebas pergaulannya. Selain cantik, perempuan Tajikistan juga tangguh tak kepalang. Jalan naik turun gunung memaksa mobil berkali-kali mogok. Barang bawaan yang diikatkan di atas kap mobil juga beberapa kali terlempar jatuh. Di bawah hujan rintik-rintik, para gadis dengan cekatan memunguti bagasi. Ibu tua dengan kekuatan ototnya ikut mendorong mobil. Jalan yang menghubungkan Dushanbe ke Khorog hingga Kyrgyzstan bernama jalan M-41. Nama kerennya adalah Pamir Highway. Lewat barisan gunung tinggi yang seperti tak tertembus ini, ternyata jalannya beraspal mulus, walaupun ada sedikit bolong-bolong yang mungkin baru muncul setelah Tajikistan merdeka dan kegagalan ekonomi terus mendera. Saya jadi mengagumi kedigdayaan Uni Soviet, yang masih memberi perhatian ke tempat paling terpencil di mantan negara raksasa itu. Tajikistan tak lebih dari ujung kukunya Uni Soviet, tetapi juga pernah menjadi pusat kegiatan basmachi, pemberontakan umat Muslim terhadap rejim komunis. Dan Pamir, siapa yang peduli tempat terpencil yang dikurung gunung-gunung ini? Tetapi nyatanya, jalan beraspal yang mulus juga [...]

June 6, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 5: Istaravshan, Masa Lalu dan Masa Kini

Istaravshan dan sejarah dua ribu lima ratus tahunnya. (AGUSTINUS WIBOWO) Istaravshan baru saja merayakan hari jadinya ke 2500. Wow, usia kota ini sudah dua setengah milenium. Seperti layaknya kota-kota di Asia Tengah, Istaravshan juga berlomba-lomba merayakan angka jadinya yang ribuan tahun, seakan angka milenia itu menjadi tolok ukur tingginya peradaban. Dua ribu lima ratus tahun yang lalu Iskandar Agung dari Makedonia datang menaklukkan negeri ini yang kala itu masih bernama Mug Teppa. Hari penaklukan itu diabadikan sebagai hari jadi Istaravshan. Namun, kedatangan Iskandar Agung yang tersohor tidak serta merta menjadikan kota ini berjaya sepanjang waktu.  Istaravshan timbul tenggelam dalam halaman sejarah, kadang terpuruk, bahkan mati suri selama ratusan tahun. Baru pada abad ke-15 orang Persia datang membawa sinar peradaban baru ke wilayah ini. Masjid dan madrasah bermunculan. Ketika Istaravshan merayakan ‘ulang tahun’-nya yang kedua ribu lima ratus, Tajikistan membangun sebuah gerbang megah di atas bukit gundul Mug Teppa, tempat sang Iskandar Agung pernah berdiri memandangi barisan bukit yang sama gundulnya Istaravshan, yang waktu zaman Rusia diganti namanya menjadi Ura Teppa, memang bukan tandingan Bukhara atau Samarkand. Tetapi umur bangunan-bangunan kuno di sini  termasuk yang tertua di seluruh penjuru Tajikistan, cukup untuk dibanggakan sebagai khasanah peradaban nasional. Namun, kekunoan Istaravshan  tidak [...]

June 6, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 4: Sejarah Ribuan Tahun

PUNCAK AINY – Para pekerja di Puncak Ainy membersihkan es yang menutupi jalan. (AGUSTINUS WIBOWO) Di antara semua negara Asia Tengah, bisa dibilang Tajikistan adalah negara yang paling artifisial pembentukannya. Negara ini dipisahkan dari Uzbekistan tahun 1929. Tajikistan dilahirkan dan didefinisikan. Sulit memisahkan antara orang Tajik dan Uzbek. Walaupun secara linguistik, orang Tajik bicara bahasa Persia dan orang Uzbek bicara rumpun bahasa Turki, namun secara kultural kedua etnis ini sudah saling membaur dan mempengaruhi sejak berabad-abad dalam khasanah sejarah Asia Tengah. Bahasa Persia pada masa kejayaan Jalan Sutra adalah bahasa pemerintahan. Raja dan petinggi negara semua berbicara bahasa Persia, yang kemudian disebut bahasa Tajik. Raja Turki (Uzbek) pun berbahasa Tajik. Kota Samarkand dan Bukhara yang berkilauan dalam sejarah dunia mayoritas didiami oleh orang-orang yang berbahasa Tajik. Tetapi kedua kota bersejarah ini bukannya masuk wilayah Tajikistan malah menjadi kebanggaan nasional Uzbekistan. Uzbekistan berpendapat bahwa penduduk Samarkand dan Bukhara sebenarnya secara genetis adalah orang Uzbek, hanya saja berbahasa Tajik. Tajikistan beranggapan bahwa Uzbekistan telah merampas warisan budaya mereka. Apa yang harus terus-menerus diperdebatkan, manakala definisi ‘Uzbek’ dan ‘Tajik’ adalah rekaan dan ciptaan ahli etnografis Soviet dari Moskwa? Semua negara ‘Stan’ satu-persatu bermunculan karena Soviet ingin memecah [...]

June 6, 2013 // 4 Comments

Garis Batas 3: Dushanbe, di Bawah Kemilau Somoni

Patung Somoni di Dushanbe (AGUSTINUS WIBOWO) Dushanbe, dalam bahasa Tajik berarti hari Senin. Dinamai demikian karena dulunya di kota ini, yang seratus tahun lalu masih berupa desa mungil, ada pasar mingguan setiap hari Senin. Untuk menghindari kerancuan, orang Tajik menambahkan kata ruz, artinya hari, di depan kata dushanbe, jadi ruzi dushanbe, untuk menyebut hari Senin. Dushanbe menjadi ibu kota Tajikistan ketika negara bagian ini dibentuk pada tahun 1929, dipisahkan dari Uzbekistan. Kishlak, desa kecil itu, kini berubah menjadi kota yang rapi. Suasana Dushanbe hari ini masih sangat lekat dengan masa lalunya sebagai bagian dari kejayaan Uni Soviet. Jalan utama kota ini hanya satu, Jalan Rudaki, diambil dari nama pujangga Persia yang lahir di Penjikent, sekarang menjadi bagian wilayah Tajikistan. Jalan Rudaki panjang dan teduh. Bagian tengah jalan ini adalah taman tempat orang berjalan-jalan, duduk, dan membaca. Gedung-gedungnya semua berbentuk sama, balok kotak-kotak berwarna jingga. Sebuah keseragaman dan kesamarasaan yang dibawa oleh Uni Soviet, mengharmonikan detak jantung dan denyut nadi orang-orang pegunungan ini dengan para pemimpin merah di Moskwa sana. Jalan-jalan di sini nyaman sekali. Tidak banyak mobil lalu lalang. Orang pun tidak ramai seperti di Kabul sana. Semua berpakaian rapi dan trendy. Dibanding Afghanistan, kehidupan di Tajikistan seperti langit dan [...]

June 5, 2013 // 2 Comments

Garis Batas 1 : Visa oh Visa

Tajikistan, negeri eksotis di pelosok Asia Tengah, menjanjikan petualangan yang menantang.(AGUSTINUS WIBOWO) Tajikistan, negeri eksotis di pelosok Asia Tengah, menjanjikan petualangan yang menantang.(AGUSTINUS WIBOWO) Empat bulan sudah saya mengarungi Afghanistan, hidup dalam kegelapgulitaan negeri yang masih babak belur dihajar perang berkepanjangan, melintasi gunung-gunung pasir dan padang berdebu, mencicip teh hangat di pagi hari bersama pria-pria bersurban, dan wajah perempuan hampir sama sekali lenyap dalam benak saya. Empat bulan yang penuh petualangan, impian, penderitaan, dan kebahagiaan. Sudah tiba saatnya untuk meneruskan perjalanan ke bagian lain dunia ini, ke negeri-negeri tersembunyi di pedalaman Asia Tengah. Ada Tajikistan, negaranya orang Tajik. Kyrgyzstan, negaranya orang Kirghiz. Kazakhstan, Uzbekistan, Turkmenistan, masing-masing punyanya orang Kazakh, Uzbek, dan Turkmen. Semua ‘stan’ ini satu per satu bermunculan di atas peta dunia tahun 1991, mengiring buyarnya adikuasa Uni Soviet. Semuanya adalah negara yang tersembunyi di tengah benua raksasa Eurasia, terkunci bumi, jauh dari lautan mana pun. Misterius, unik, eksotik. Sebagai bekas Uni Soviet yang terkenal dengan bengisnya birokrasi, visa untuk masuk ke negara-negara itu tidak mudah. Apalagi untuk paspor Indonesia. Tajikistan adalah pintu masuk paling gampang bagi orang Indonesia, karena negara ini sudah memberlakukan visa on arrival untuk kedatangan dengan pesawat terbang. Tetapi, karena [...]

June 5, 2013 // 7 Comments

Detik Minggu (2012): Garis Batas, Manusia, dan Kehidupannya

11 Maret 2012 Detik Minggu Resensi: Garis Batas, Manusia, dan Kehidupannya Garis Batas, Manusia, dan Kehidupannya Resensi Detik Minggu http://edisi.hariandetik.com/default.aspx?iid=60458&startpage=page0000014 BAHARUDDIN ARITONANG (pencinta buku) Apakah kemerdekaan membawa mereka menjadi lebih baik daripada keadaan sebelumnya? Membaca buku ini amat men­gasyikkan. Ibarat membaca novel, tapi sarat ilmu peng­etahuan. Seperti judulnya, buku ini berkisah tentang perjalanan melintasi batas lima negeri di Asia Tengah: mulai Tajikistan, Kirgizstan, Kazakhstan, Uzbekistan, dan terakhir Turkmenistan. Buku ini juga bertu­tur tentang pergulatan manusia di kelima negara yang dikunjunginya itu. Manusia yang bergulat mela­wan garis batas kehidupan. Agustinus bukanlah pelan­cong biasa, la lebih tepat disebut pengembara, yang di dalam buku ini mahir mendeskripsikan negara, suku, ras, kebudayaan, agama, jenis kelamin, bahasa, serta keanekarag­aman yang unik di negeri-negeri yang dikunjunginya. Melalui buku ini, cakrawala pengetahuan kita menjadi lebih terbuka bahwa ada negara-negara seperti disebut di atas. Negara-negara yang ham­pir selama satu abad tidak pernah didengar namanya karena tertutup oleh kebesaran komunisme Uni Soviet Namun, sejak 1992, kelima negeri itu termasuk yang mandi­ri sebagai sebuah negeri sendiri. Apakah kemerdekaan itu mem­bawa mereka menjadi lebih baik daripada keadaan sebelumnya? Buku ini merupakan kelanjutan dari kisah perjalanan Agustinus di Afganistan [...]

March 11, 2012 // 0 Comments

Kompas (2011): Perjalanan Melebur Garis Batas

18 October 2011 Kompas Cyber Media Travel travel.kompas.com/read/2011/10/18/08365641/Perjalanan.Melebur.Garis.Batas Backpacker   Perjalanan Melebur Garis Batas   Penulis : Ni Luh Made Pertiwi F Selasa, 18 Oktober 2011 | 08:36 WIB     KOMPAS.com – Manusia, yang sejatinya cuma entitas yang satu, memiliki beragam identitas. Ia dibentuk oleh beragam ras, ditempa oleh beragam aspek kultural, dan tumbuh menjadi sosok yang sarat nuansa. Acapkali, kekayaan nuansa itu membentangkan garis-garis batas yang memisahkan manusia. Melangkah melewati garis-garis demarkasi itu melahirkan pengalaman eksistensial yang unik. Dibutuhkan keberanian. Buka cuma itu, dibutuhkan juga kegilaan. Perjalanan ini bukan hanya garis batas teritorial yang ditembus, tapi juga garis batas kultur, garis batas agama, garus batas ras.   Itulah yang dilakukan Agustinus Wibowo, seorang petualang kelahiran Lumajang, Jawa Timur, 1981. Dari Afghanistan, ia menyeberang menelusuri Asia Tengah. Sebuah sungai selebar 20 meter membentangkan perbedaan peradaban hingga satu abad. Ia menjelajahi Tajikistan, Kyrgyzstan, Kazakhstan, Uzbekistan, hingga Turkmenistan. Ia menerabas batas-batas politikdan sosio-kultural. Ia juga menerabas batas-batas dirinya dan melebur bersama pengalaman masyarakat di negeri-negeri jauh. Ia pantang naik pesawat terbang. Seluruh perjalannya ditempuh melalui jalur darat: naik bus, pedati, keledai, hingga jalan kaki. Agus membukukan kisah perjalanannya di “Negeri-negeri [...]

October 18, 2011 // 2 Comments

Tempo (2011): Vodka di Negeri Islam Asia Tengah

Majalah Tempo (18 September 2011): Vodka di Negeri Islam Asia Tengah Resensi oleh J. Sumardianta Kisah perjalanan yang menguak betapa Islam Asia Tengah simpel tapi misterius. Warisan sekularisasi Uni Soviet. GARASIMOV, arkeolog Rusia, menemukan kuburan Timur Leng di Registan, Samarkand, pada 1941. Pada penutup peti raja yang bengis itu tertulis “Barang siapa mengutak-atik jasad Amir Timur akan dihancurkan musuh yang lebih beringas.” Seolah wujud dari nujum itu, beberapa jam sesudah kuburan Timur Leng di bongkar, pasukan Hitler menyerbu dan menduduki Uni Soviet. Di Uzbekistan, Amir Timur adalah kebanggaan. Di Samarkand, kota terbesar kedua Uzbekistan, patungnya duduk anggun di singgasana, menggengam sebilah pedang. Pada masa kegila kegemilangannya di abad ke-14, Samarkand merupakan sentra peradaban Islam, kota di Jalur Sutra. Agustin Wibowo, jurnalis dari Lumajang, Jawa Timur, yang kini bermukim di Beijing, menuturkan kemegahan Islam di Asia Tengah itu melalui Garis Batas : Perjalanan di Negeri-negeri Asia Tengah. Inilah dokumentasi petualangannya menjelajahi pelbagai negeri pecahan Uni Soviet-Tajikistan, Kirgistan, Uzbekistan, Kazakstan dan Turmenistan. Di negeri-negeri itu terjadi perkembangan yang berbeda-beda. Tajikistan terkapar dalam kemiskinan. Kirgistan dan Kazakstan bergemilang kemakmuran kapitalisme. Dan Turkmenistan diliputi nostalgia sosialisme utopis. Tradisi Islam telah dipenggal Uni Soviet. Peradaban Islam meredup, hampir punah. Sholat, puasa, huruf Arab [...]

September 18, 2011 // 5 Comments

[VIDEO] Liputan6 SCTV: Backpacker Asal Lumajang

Agustinus, Empat Tahun Berkelana dengan Ransel Sosok | oleh Tim Liputan 6 SCTV Posted: 29/05/2011 12:54 Liputan6.com, Jakarta: Kegigihan Agustinus Wibowo membawa dirinya melangkahkan kaki ke berbagai penjuru dunia. Empat tahun sudah Agus mengembara menyandeng rasel. Pengembaraan dimulai dari perjumpaan Agus dengan seorang backpacker Solo asal Jepang. Kala itu Agus sedang kuliah di Universitas Tshinghua, Beijing, Cina. Ia kemudian tergoda dan memulai perjalanannya dari negara tetangga Cina, Mongolia pada 2002. Agus kemudian merambah ke negara-negara lain seperti Tibet, Nepal, India dan Pakistan. Semua itu dilakoni seorang diri. Setelah menjadi relawan pasca-tsunami Aceh pada 2005, Agus menolak beasiswa pendidikan strata dua Ilmu Komputer di Cina. Dia justru memantapkan diri memulai perjalanan ke negara yang penuh konflik dan perang, Afghanistan. Satu tahun tujuh bulan ia menggembara ke pelosok-pelosok Negeri Mullah yang tak pernah dikunjungi orang asing, bahkan penduduk daerah lain. Di balik keberaniannya menyusuri tepian jurang, menyeberangi sungai dan mendaki gunung, Agus sebenarnya menyimpan ketakutan akan ketinggian. Kendati demikian, langkahnya tak pernah surut. Dan, kisah ini dituangkan dalam buku pertamanya bertajuk Selimut Debu. Tak sekadar jalan-jalan, Agus menghindari perjalanan naik pesawat agar bisa mengupas budaya tiap negara yang dikunjungi. Ia kemudian menghubungkannya dengan permasalahan di Indonesia. Tentu saja ini didukung dengan kelebihan [...]

May 29, 2011 // 0 Comments

Tempo (2011): Tujuan Berikutnya, Asia Tengah

22 May 2011 Majalah Tempo: Gaya Hidup Tujuan Berikutnya, Asia Tengah Tujuan Berikutnya, Asia Tengah http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2011/05/16/GH/mbm.20110516.GH136711.id.html Negara-negara berakhiran “stan” di Asia Tengah makin digemari para backpacker sebagai tujuan petualangan mereka. Mereka ingin menelusuri Jalur Sutra. PERJALANAN Agustinus Wibowo menembus Afganistan membawanya ke tepian Sungai Amu Darya di ujung utara negeri itu. Menunggang keledai di jalan berbatu dan terjal, ia melihat di seberang sungai berseliweran mobil di atas jalan beraspal. Pemandangan itu membuat Agus penasaran dengan kehidupan di negara-negara pecahan Uni Soviet yang berada di seberang sungai. Agus, yang menetap di Beijing, sebenarnya bisa dengan mudah naik pesawat dari Cina. Tapi ia memilih jalan darat dari Afganistan masuk ke Tajikistan. “Jalan darat itu makan waktu lebih lama,” ujar pria berusia 28 tahun ini. “Semakin lama perjalanan, semakin banyak yang bisa saya pelajari.” Dimulai pada 2006, Agus satu tahun lamanya berkeliling Tajikistan, Kirgistan, Kazakhstan, Uzbekistan, dan Turkmenistan. Hitungannya, ia menghabiskan uang US$ 400 per bulan. “Itu relatif lebih murah daripada ke Eropa,” ujarnya. Kisah perjalanan di negara-negara berakhiran “stan” begitu ia menyebutnya-dibukukan dengan judul Garis Batas. Ahad dua pekan lalu, buku itu jadi bahan diskusi Komunitas Back-packer Dunia di Kafe Pondok Penus, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Selama lima jam nonstop, [...]

May 22, 2011 // 0 Comments

Pikiran Rakyat (2011) Menembus Garis Batas Asia Tengah

16 May 2011 Menembus Garis Batas Asia Tengah SAAT duduk di bangku sekolah dasar, di Lumajang, Jawa Timur, Agustinus Wibowo ditanya oleh gurunya, “Cita-citamu menjadi apa?” Dengan tegas Agustinus menjawab, “Saya ingin menjadi turis.” Jawaban itu tidak dapat diterima oleh sang guru karena cita-cita seorang anak haruslah menjadi dokter, pilot, insinyur, dan berbagai predikat “bergengsi” lainnya. Menjadi turis tidak boleh menjadi cita-cita. Akan tetapi, Agustinus tetap bersikukuh ingin menjadi seorang turis. Belasan tahun kemudian, pada 2003, pada usianya yang baru 21 tahun, Agustinus memang menjadi turis. Namun, dia bukan seorang turis biasa. Pemuda yang tampak culun itu sedang berada di Afganistan, negeri yang sedang terca-bik-cabik perang untuk keseki-an kalinya. Keberadaan Agustinus di Afganistan bukan tidak sengaja. Dia merencanakan perjalanan itu sejak 2001 ketika dia melihat berita di televisi tentang Taliban yang menghancurkan patung Buddha raksasa. Bukan masalah hancurnya patung Buddha yang membuat Agustinus ingin mengunjungi Afganistan, tetapi gambar panorama alam di sekitar parung itu yang memukau matanya, sampai terbawa ke alam mimpi. “Saya lihat sekilas di televisi. Afganistan begitu indah. Kemudian saya bermimpi datang ke Afganistan, di sebuah tempat yang hijau, dan ada seorang perempuan bercadar di sana. Saya singkap cadar itu, dan mungkin itu pertanda bahwa saya harus menyingkap [...]

May 16, 2011 // 0 Comments

Jawa Pos (2011): Agustinus Wibowo dan Petualangan Bertahun-tahun di Afghanistan

16 May 2011 Agustinus Wibowo dan Petualangan Bertahun-tahun di Afghanistan Lolos dari Perampokan, Pernah Ditawar Pria Homo Agustinus Wibowo bisa disebut sebagai petualang langka asal Indonesia. Dia menjelajah daratan Asia Tengah, mulai dari Beijing, Tiongkok, hingga Afghanistan. Setiap selesai berpetualang, dia bukukan pengalaman tersebut. ——————————————————- AGUNG PUTU ISKANDAR, Bandung —————————————————— Secara fisik, orang mungkin tidak akan percaya bahwa lelaki yang karib dipanggil Agus ini pernah blusukan ke kampung-kampung di Afghanistan. Tidak tanggung-tanggung, tiga tahun lebih dia tinggal dan berkumpul dengan masyarakat di negara yang dilanda konflik berkepanjangan itu. Tubuhnya kecil dan tampangnya lugu. Kulitnya putih bersih dan tidak ada kesan sebagai petualang di daerah yang banyak terdapat perbukitan dan padang pasir itu. “Saya di Afghanistan sudah biasa setiap hari dengar ada bom. Bahkan, saya pernah tinggal di daerah paling rawan. Malah kalau sehari nggak ada bom, terasa aneh,” kata Agus lantas terkekeh saat ditemui di toko buku Tobucil, Bandung (13/5). Entah, sudah berapa kali Agus pulang ke Indonesia. Setelah petualangan panjang dia pada 2003 dan disambung 2005?2009 berakhir, Agus tinggal di Beijing, Tiongkok. Dia bekerja sebagai [...]

May 16, 2011 // 0 Comments

Jawa Pos (2011): Traveling Tak Sekadar Jalan-Jalan

15 Mei 2011 Jawa Pos Traveling Tak Sekadar Jalan-Jalan JUDUL: Garis Batas, Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah PENULIS: Agustinus Wibowo PENERBIT: PT Gramedia Pustaka Utama TERIT: April 2011 TEBAL: xiv, 510 halaman Menceritakan petualangan ke negara-negara yang “tak masuk peta” dengan bahasa yang mengalir. Mendefinisi ulang makna garis batas. SEIRING dengan kemajuan ekonomi dan membaiknya kesejahteraan, traveling kini bukan lagi barang mewah di Indonesia. Entah traveling ikut group tour atau model menggelandang gaya backpacker, semuanya sudah jadi gaya hidup anak muda sampai orang tua. Para pelakunya pun seperti berlomba mendokumentasikan perjalanannya. Baik dalam bentuk buku maupun dipajang di situs jejaring sosial untuk sekadar pamer ke teman atau kolega. Namun, di antara sekian banyak buku yang bertebaran itu, tak ada yang seistimewa Garis Batas, Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah, karya Agustinus Wibowo. Istimewa lantaran buku ini tak hanya menginformasikan tempat makan, tempat pelesiran, atau penginapan. Di sini Agustinus mengajak kita bertualang di negara-negara berakhiran Stan yang nyaris jarang mendapat kunjungan. Mulai Tajikistan, Kirgizstan, Kazakhstan, Uzbekistan, dan berakhir di Turkmenistan. Garis Batas adalah buku kedua Agustinus setelah Selimut Debu yang membahas tentang Afghanistan. Saat bertatap muka di Beijing, Tiongkok, akhir April silam, siapa yang menyangka sosok inilah yang berkelana mendaki gunung, mengarungi [...]

May 15, 2011 // 1 Comment

1 4 5 6 7