Recommended

Islam

Selimut Debu 86: Hari Massoud

Orang mengingatkanku untuk selalu berhati-hati dengan perbatasan Iran dengan Afghanistan, karena pemeriksaan bisa sangat panjang. Ya, Iran selalu khawatir dengan tetangganya yang lucu ini, yang selalu dicurigai sebagai pemasok opium dan pengungsi. Tapi tidak demikian dengan sebaliknya bukan? Aku rasa, karena aku menyeberang dari Iran ke Afghanistan, seharusnya semua berjalan lancar. Benar saja. Semua lancar. Malah terlalu lancar. Aku tidak pernah melihat imigrasi perbatasan yang selonggar imigrasi Afghanistan ini. Aku sudah menyodorkan pasporku tepat di halaman visa, sehingga si petugas Afghan tinggal mengecap. Petugas itu langsung mengecap, tanpa menghabiskan sedetik pun untuk melihat visa itu, melihat halaman depannya, atau bahkan untuk melihat wajahku. Tanpa registrasi, tanpa wawancara, tanpa rewel. Proses imigrasi hanya memakan waktu 3 detik. Ini adalah proses yang paling cepat dan efisien yang kualami. Dan berita gembira lainnya, tidak ada pula pemeriksaan barang di bea cukai. Datang dari Iran, kita semua dianggap sebagai makhluk tak berdosa. Meninggalkan gerbang perbatasan Islam Qala, aku seperti masuk ke mesin waktu lagi, meloncati dimensi waktu dan mundur ke masa lalu, dari modernitas kembali ke realita negeri berselimut debu. Debu, dalam artian harfiah, lekat dengan kehidupan penduduk Herat. Di bagian timur kota ini, hingga ke perbatasan Iran, terbentang gurun pasir luas. Selama 120 [...]

February 24, 2014 // 0 Comments

Selimut Debu 84: Menjadi Afghan

“Aneh. Kalau di Afghanistan, kami tidak lebih dari sekadar Hazara. Tetapi di sini, kami jadi Afghan,” kata Sadeq. Dia adalah seorang pekerja Hazara yang kini tinggal di kota tua Yazd di Iran tengah. Keluarga Sadeq sudah lama tinggal di Yazd, bertahun-tahun. Ia termasuk pekerja resmi, punya kartu penduduk Iran, dan anaknya boleh pergi sekolah. Kampung halamannya ada di Ghazni, di selatan Kabul. Di Ghazni, mayoritas penduduknya adalah Pashtun, tetapi banyak juga terdapat kampung yang menjadi kantong etnis Hazara. Seperti halnya kebanyakan orang Hazara dan suku-suku minoritas di Afghanistan, Sadeq semula tidak merasa dirinya sebagai bagian dari ”Afghan”, yang lebih identik dengan bangsa mayoritas Pashtun. ”Dulu, nama Afghanistan adalah Ariana,” jelas Sadeq, ”Ariana adalah negeri bagi kita semua. Sedangkan, Afghanistan berarti tanah bangsa Afghan, hanya milik orang Pashtun.” Ariana adalah nama kuno yang sudah ada lebih dari tiga ribu tahun silam, termaktub dalam kitab suci umat Zoroaster. Ariana, atau Aryana, tanah bangsa Arya, oleh kaum nasionalis Afghanistan sering digunakan untuk merujuk pada Afghanistan modern dengan masa lalunya sebagai tempat hidup bangsa Arya, bangsa yang selalu bangga akan superioritas dan kesempurnaannya. Kulit mereka putih bersih, menambah keindahan raut wajah mereka dengan garis-garis yang tegas dan kuat. Hidung menjulang tinggi, mengimbangi sepasang mata [...]

February 20, 2014 // 7 Comments

Selimut Debu 83: Pakaian

Gerbang perbatasan ini memisahkan kehidupan sampai seratus tahun. Tidak peduli dari negara mana pun, bepergian menuju atau dari Afghanistan sama seperti melewati mesin waktu. Kendaraan mobil Iran ini melaju menuju Mashhad di atas jalan beraspal mulus. Tak ada lagi penderitaan gurun berdebu dan menelan pasir sepanjang hari. Tak ada lagi keledai dan barisan domba yang bersaing ruas jalan dengan mobil dan motor. Tak ada lagi perempuan anonim di balik burqa. Tak ada jubah, serban, gubuk reyot, ranjau darat, bom, perang, dan kelaparan. Iran adalah negara modern. Toko-toko berjajar rapi. Makanan yang populer di sini adalah burger dan sandwich, dijual dengan minuman bersoda produksi dalam negeri. Blokade ekonomi menyebabkan negeri ini mandiri, hampir semua barang adalah produksi dalam negeri. Mobil kuno Paykan melaju di jalan, menyemburkan asap hitam. Terminal bus Mashhad adalah bangunan besar yang bersih, dengan berbagai perusahaan angkutan yang kantornya sudah setara dengan biro travel maskapai udara di Indonesia. Karcis bus dicetak rapi dengan komputer, dengan kertas dan penampilan mirip tiket pesawat, padahal harganya teramat murah—60.000 Rial (saat ini setara dengan Rp 60.000) untuk perjalanan seribu kilometer sampai ke Teheran. Bus berjajar rapi menunggu jam keberangkatan. Tak ada tanah yang lengket karena oli bocor atau sampah bertebaran. Semua begitu [...]

February 19, 2014 // 4 Comments

#1Pic1Day: Antre Air | Line for Water (Mongolia, 2009)

Line for Water (Mongolia, 2009) The dwellers of the village of Tsengel in westernmost corner of Mongolia are queuing for water from a communal pipe in the middle of the village. This is a daily routine in most rural areas of Mongolia, due to unavailability of water system. Tsengel is last village in western Mongolia, neighboring with China and not far away from Kazakhstan, inhabited by predominantly Muslim Kazakh minority ethnic group. A big number of Kazakhs from Western Mongolia have migrated to Kazakhstan. Antre Air (Mongolia, 2009) Para penduduk dusun Tsengel di ujung paling barat Mongolia sedang mengantre air dari pipa komunal di tengah dusun. Ini adalah aktivitas harian di daerah pinggiran Mongolia, yang masih belum memiliki sistem pipa air. Tsengel adalah dusun paling ujung di Mongolia, berbatasan dengan China dan paling dekat dari Kazakhstan, dihuni oleh minoritas Kazakh yang beragama Islam. Sejumlah besar penduduk Kazakh di Mongolia Barat telah bermigrasi ke Kazakhstan. [...]

February 13, 2014 // 2 Comments

#1Pic1Day: A Kazakh Muslim Wedding (Mongolia, 2009)

Muslim Wedding (Mongolia, 2009) A Muslim Kazakh bride in westernmost corner of Mongolia is preparing for nikah, legalization of marriage held by Muslim religious leader. The Kazakhs are predominantly Muslim minority groups inhabiting western Mongolia, especially in the province of Bayan Olgii. Most of the wedding ceremonies here are held in Western (Russian) way, as it comes simpler and cheaper. In Kazakh wedding in Mongolia, vodka is always present. The father of this bride even held a cup of vodka in his hand, praying by reading Bismillah (in the name of Allah) to all guests. The mother of the bride then stood up, saying gratitude to all guests while wailing and weeping, and finished the vodka all at once. Pernikahan Muslim (Mongolia, 2009) Seorang pengantin Muslim Kazakh di ujung paling barat Mongolia sedang bersiap melangsungkan akad nikah. Pernikahan di sini lebih sering dilangsungkan dalam cara barat atau Rusia daripada cara tradisional (yang lebih rumit dan mahal). Dalam pernikahan Kazakh di Mongolia, vodka tidak boleh absen. Ayah pengantin perempuan ini bahkan sempat mengangkat secawan vodka, mengucap Bismillah irrahman irrahim, dan berterima kasih kepada semua tamu yang hadir. Disambung dengan ibunya yang berdiri, berterima kasih sampai menangis-nangis, dan menenggak habis satu cawan [...]

February 12, 2014 // 8 Comments

#1Pic1Day: Tibetan Muslim (China, 2010)

Tibetan Muslim (China, 2010) Tibetan Muslim women pass through Niujie Street in Beijing. Niujie (the “Ox Road”) is the biggest and oldest Muslim quarter in Beijing. China has dozens of Muslim ethnic groups, but the number of Muslims among Tibetans is actually very low. They inhabit some little villages in northern part of Tibet. Their costumes combine Tibetan dress with Islamic veil. These women came to Beijing as they are preparing to fly to Saudi Arabia for the annual holy pilgrimage. Muslim Tibet (China, 2010) Para perempuan Muslim Tibet sedang melintas di jalan Niujie, Beijing. Niujie (“Jalan Sapi”) merupakan daerah komunitas Muslim terbesar dan tertua di kota Beijing. China memiliki puluhan etnis minoritas yang menganut agama Islam, namun jumlah umat Muslim di kalangan etnis Tibet sangatlah minim. Mereka mendiami beberapa dusun kecil dan terpencil di bagian utara Tibet. Dalam hal berpakaian, mereka pun memadukan baju tradisi Tibet dengan kerudung. Para perempuan ini datang ke Beijing karena mereka bersiap terbang ke Mekkah untuk naik haji.     [...]

January 28, 2014 // 5 Comments

#1Pic1Day: Masjid Gaya China | Mosque in Chinese Style (2010)

Mosque in Chinese Style (2010) Niujie Mosque is the oldest mosque in Beijing, built in 996 during the Liao Dinasty, but most of the buildings we see today are from the Qing Dinasty (17th century). The architecture is a mixture of Islamic and Han Chinese tradition. Niujie, which literally means “Ox Road”, is the biggest and oldest Muslim quarter in Beijing (mostly the Hui Muslims), with numerous shops and restaurants offering halal food. Masjid Gaya China (2010) Masjid Niujie adalah masjid tertua di kota Beijing, didirikan pada tahun 996 M, namun bentuknya yang sekarang utamanya adalah peninggalan dari Dinasti Qing (abad ke-17). Bangunan ini merupakan perpaduan antara seni arsitektur Muslim dan Han China. Niujie sendiri berarti “Jalan Sapi”, merupakan daerah komunitas Muslim tertua dan terbesar di Beijing (mayoritas penghuninya adalah etnis Muslim Hui), dengan barisan toko dan restoran yang menjual produk makanan halal.     [...]

January 27, 2014 // 3 Comments

Selimut Debu 62: Agama Bukan di Baju

Traktor Juma Khan membawaku, Ghulam Sakhi, dan para penumpang lain hingga ke Qala Panja. Dari semua desa di tanah Wakhan ini, Qala Panja adalah yang paling terkenal. Namanya disebut-sebut dalam berbagai catatan perjalanan berabad silam. Karavan kuda yang membawa barang-barang dagangan dari Konstantinopel hingga ke negeri Tiongkok, pernah lewat di sini. Medan pegunungan Wakhan dan Pamir yang berat memaksa para saudagar mengganti kuda beban dengan keledai atau yak di Panja. Dalam catatan perjalanan yang dibuat Hsuan Tsang, disebutkan bahwa benteng-benteng kuno bertebaran antara Ishkashim hingga Qala Panja dan Yamchum (di seberang sungai, wilayah Tajikistan). Wilayah ini adalah sebuah kerajaan bernama Xiumi (Wakhan) yang beribu kota di Saijiazhen (Ishkashim). Kata Qala dalam nama Qala Panja memang berarti benteng, dan reruntuhan benteng kuno itu masih terlihat. Di sinilah Koridor Wakhan berakhir. Lidah sempit Afghanistan yang dimulai dari Ishkashim digantikan sebuah lidah besar yang dikelilingi Tajikistan, Pakistan, dan Cina. Qala Panja adalah tempat kediaman pemimpin besar Muslim Ismaili di seluruh tanah Wakhan, mulai dari Ishkashim hingga ke Boroghil. Namanya Said Ismail. Gelarnya Shah, yang berarti raja, atau lengkapnya Shah-e-Panja, sang raja dari Panja. Kedudukannya adalah pir, pemimpin komunitas umat Ismaili di seluruh Wakhan. Aku turun dari traktor, bersama Ghulam Sakhi dan Wali Mohammad, [...]

January 21, 2014 // 2 Comments

#1Pic1Day: Tertutup dan Terbuka | Veiled and Unveiled (Dubai, 2008)

Veiled and Unveiled (Dubai, 2008) An Arab woman with thick make-up walks in front of a shop selling underwear inside a luxurious shopping center in Dubai. Tertutup dan Terbuka (Dubai, 2008) Seorang perempuan Arab dengan kosmetik tebal melintas di depan toko pakaian dalam wanita di sebuah mal mewah di Dubai.     [...]

January 17, 2014 // 1 Comment

Selimut Debu 54: Hidup dalam Sejarah

Kebudayaan konservatif sudah mengakar di Taloqan jauh sebelum Taliban memperkenalkan persepsi mereka yang konservatif tentang Islam. Orang-orang di sini pun sebenarnya tidak suka Taliban. Kenyataannya memang sempat terjadi pertempuran sangat sengit di provinsi-provinsi utara Afghanistan ini melawan pendudukan Taliban. Ini membuktikan, agama bukan satu-satunya hal yang diperhatikan di Afghanistan. Orang-orang di Utara adalah masyarakat minoritas non-Pashtun, sedangkan Taliban adalah Pashtun yang berusaha menerapkan nilai-nilai mereka ke seluruh Afghanistan. Setelah perang panjang selama dua tahun, akhirnya Taloqan berhasil ditundukkan. Tetapi Taliban tidak pernah berhasil memperluas kekuasaannya lebih jauh dari Provinsi Takhar. Ke arah timur dari Takhar, provinsi Badakhshan, sama sekali tidak tersentuh Taliban (atau mungkin mereka juga tidak tertarik, karena sudah sibuk menghadapi perubahan dunia pasca 9-11). Berita tentang fundamentalisme selalu menjadi perhatian masyarakat. Pada Sabtu 22 Juli 2006 yang lalu, ada bom bunuh diri yang meledak di Kandahar, membunuh 10 orang dan mencederai 40 lainnya. Salah satu korbannya adalah jurnalis, juru kamera dari Ariana TV. Para jurnalis di Radio Takharistan membincangkan berita ini dengan penuh kengerian. Kandahar nun jauh di selatan sana—yang mengklaim diri paling religius—adalah dunia yang jauh berbeda dengan Takhar sini, kata mereka. Mereka mengolok-olok pemahaman Taliban yang sempit. Misalnya, Taliban melarang kerah [...]

January 9, 2014 // 0 Comments

Selimut Debu 53: Kota Burqa

Dengan langkah berat, aku melanjutkan perjalanan ke kota berikut. Hanya dua jam perjalanan dari Kunduz, tiba-tiba aku seperti merasa terlempar ke zaman lain. Kota Taloqan adalah ibukota Provinsi Takhar, salah satu provinsi di Afghanistan Utara. Takhar dulunya adalah bagian dari provinsi besar bernama Qataghan, yang kemudian dipecah menjadi Kunduz, Takhar, dan Baghlan. Taloqan juga panas di musim panas, tapi masih lebih sejuk kalau dibandingkan Kunduz. Kota ini berdebu, tapi jalanan beraspal mulus yang menghubungkan kota ini langsung dengan ibukota Kabul tampaknya menjanjikan masa depan yang sangat cerah. Aneh, di kota ini aku merasa seperti berada di Iran. Tidak seperti halnya kota-kota lain di Afghanistan yang pernah kulihat, Taloqan mempunyai papan penunjuk nama jalan dan rambu-rambu yang jelas dan mengkilap. Beberapa papan penunjuk jalan di pusat kota malah berlatar belakang warna-warni bendera Iran, dan bertuliskan “Afghanistan dan Iran”. Beberapa nama jalan berbau Iran, seperti “Ayatollah Komeini St.” Atau “Hafez St.” Juga ada nama pahlawan Afghanistan yang ada di mana-mana di negeri ini, yaitu “Ahmad Shah Massoud St.”  Ahmad Shah Massoud adalah pejuang etnis Tajik yang berasal dari lembah Panjshir, berperang melawan Taliban dan sekarang diangkat sebagai pahlawan nasional (diakui di Afghanistan kecuali oleh kebanyakan orang-orang Pashtun di Selatan, juga oleh para [...]

January 8, 2014 // 1 Comment

Selimut Debu 50: Melihat Islam dari Mata Pashtun (2)

Langit telah gelap. Wajah dan bayangan Amin berkedip-kedip diterpa sinar lampu petromaks. Pada kegelapan dan keremangan ini, dia melanjutkan ulasannya mengapa pemisahan lawan jenis begitu penting dalam konsep agama. Amin memberikan sebuah contoh. “Islam bilang,”—lagi-lagi Islam bilang, “perempuan terlalu cantik untuk pergi ke pasar untuk membeli kosmetik. Kalau dia memakai kosmetik, dia akan mengundang perhatian para lelaki, dan para lelaki akan ingin mendapatkannya, dan terkadang memakai kekerasan.” Itu artinya, kalau perempuan diperkosa, maka itu kesalahan si perempuan karena terlalu menarik? Dan bukannya salah para lelaki yang tidak bisa mengontrol nafsu mereka? Amin tidak menyangkal. Alih-alih, dia membuat perumpamaan lain. Dia mengambil sebuah permen dari piring kecil di samping poci teh. “Lihat permen ini. Jika aku suka permen ini, maka aku akan berusaha mendapatkannya. Secara legal ataupun ilegal. Paham?” Aku menggeleng. “Dan mengapa cara ilegal diperbolehkan? Kamu hanya boleh mengambil permen yang secara legal adalah milikmu. Ada hukum yang melindungi.” Dia membuat perumpamaan lain. “Kalau kau punya uang banyak, dan aku minta uangmu. Apakah kau beri?” “Tidak,” jawabku. “Maka aku akan membunuhmu,” kata Amin tegas. “Tapi itu adalah uangku. Mau memberi atau tidak, itu adalah hakku.” “Kenapa kau tidak berbagi?” Tampaknya konsep “hak dan kewajiban” sangat kuat dalam pikiranku. Dalam nilai-nilai [...]

January 3, 2014 // 4 Comments

Selimut Debu 49: Melihat Islam dari Mata Pashtun (1)

“Dalam Islam ada lingkaran. Dan kita tidak bisa keluar dari lingkaran itu,” kata Amin tegas. Lelaki Pashtun di hadapanku ini berusia 33 tahun, dan telah melewatkan 29 tahun usianya di Pakistan. Dia pernah menjadi pengungsi, tapi dia tidak mau disebut sebagai pengungsi. Dia bicara bahasa Inggris teramat fasih, tapi dia menuding orang-orang Barat sebagai biang keladi dari masalah-masalah di negeri ini. Dan Amin sangat menghormati Taliban, yang dianggapnya sebagai Muslim terbaik. Dulu Amin tinggal di daerah Mohmand Agency, bagian tribal area dari provinsi NWFP (North West Frontier Province) di Pakistan. Amin menolak menyebut daerah itu sebagai wilayah Pakistan. Dia selalu menggunakan istilah Pashtunistan, dan menganggap wilayah yang didominasi bangsa Pashtun itu adalah bagian dari Afghanistan. Nenek moyangnya berasal dari daerah Kandari, yang ada di sisi Pakistan maupun Afghanistan. Itulah sebabnya, Amin punya paspor kedua negara sekaligus. Amin mengizinkanku menginap di rumahnya malam ini. Ada sebuah kamar khusus untuk tamu. Dalam tradisi Pashtun, para perempuan di rumah tidak boleh terlihat oleh lelaki asing. Karena itu, kamar bagi tamu selalu terpisah dari rumah utama. Diskusi kami tentang Islam bermula ketika aku berbicara tentang Putri Indonesia yang bertanding dalam ajang Miss Universe, dan setuju untuk memakai bikini dalam lomba busana renang. “Kamu beruntung, [...]

January 2, 2014 // 5 Comments

Selimut Debu 46: Gerakan Bawah Tanah

Mereka bukanlah kaum perempuan Afghanistan yang pasif menerima keadaan dan tradisi. Sejak lama, perjuangan mereka adalah revolusi berbahaya. Nama RAWA (Revolutionary Association of Women in Afghanistan) telah menjadi legenda, atau bahkan momok bagi banyak orang. Organisasi ini didirikan tahun 1977, hanya setahun sebelum invasi Rusia, dan selalu dalam bentuk organisasi bawah tanah, komunitas rahasia di Afghanistan. RAWA tidak punya kantor di Kabul, para anggotanya bahkan tidak mengenal satu sama lain. Untuk bertemu anggota RAWA sungguh tak mudah. Aku harus menghubungi kantor pusat RAWA di Quetta, Pakistan. Setelah korespondensi cukup lama, akhirnya mereka memperkenalkanku pada Panveen via email. Nama Panveen ini pun sangat mungkin bukan nama sebenarnya. Aku dan Panveen membuat janji melalui telepon, dan bertemu di sebuah sudut jalan yang agak jauh dari pusat kota Kabul, ke arah utara. Panveen datang dengan seorang temannya. Keduanya mengenakan hijab, tetapi hidung dan mulut mereka tertutup, hanya sepasang mata yang kelihatan. Panveen kemudian berjalan tergesa-gesa menyusuri gang kecil. Aku mengikutinya. Pada setiap langkah, dia selalu melongok ke kiri dan ke kanan, takut diikuti. Rumah itu adalah rumah pribadi, gelap dan kosong, punya seorang teman mereka. Panveen mengembus napas lega ketika kami berhasil masuk ke dalam bangunan, lalu menutup pintu rapat-rapat. Dua perempuan, membawa [...]

December 30, 2013 // 4 Comments

Selimut Debu 45: Di Balik Burqa

Pernahkah kau berimajinasi ala film animasi Jepang, menjadi manusia tembus pandang? Ada selimut ajaib yang begitu kaupakai, wusss, tubuhmu jadi tak kasatmata. Kau berubah jadi makhluk yang melayang-layang bersama udara. Kau bebas pergi ke mana saja kau suka. Tak ada yang melihat, apalagi mengenalimu. Tak ada yang peduli padamu. Begitu bebas. Lepas. Selimut ajaib membungkus tubuhmu, mereduksi semua jati diri dan wujudmu menjadi nihil. Selimut ini bukan fantasi. Di Afghanistan, kaum perempuan memakainya. Burqa namanya. Hanya ada lubang-lubang kecil di bagian mata, tempat si perempuan itu bisa mengintip dunia. Semua mengenakan model yang sama, seperti seragam, dengan warna-warna yang itu-itu saja. Itulah impresi utama perempuan Afghan yang dikenal dunia. Burqa membungkus sekujur tubuh, mulai dari kepala, rambut, leher, wajah, dan bahkan mata. Semua bentuknya sama, dengan mode yang itu-itu saja, dengan variasi warna yang juga itu-itu saja. Pemakai burqa menjadi sosok anonim. “Mereka justru merasa nyaman dengan menjadi tak kasatmata,” kata Lam Li. Ini adalah kesimpulan Lam Li setelah tinggal cukup lama di Pakistan dan Afghanistan, khususnya di Peshawar dan Kandahar, dua di antara yang paling konservatif di dua negara. Sebelumnya aku pernah berjumpa Lam Li di Peshawar, Pakistan. Dia menyatakan gagal paham mengapa para perempuan di negeri ini selalu [...]

December 27, 2013 // 4 Comments

Selimut Debu 44: Jantung Negeri Bangsa Pashtun

Perang memang telah mengubah banyak hal tentang Kandahar. Tetapi tidak sedikit pula pernak-pernik kehidupan bangsa Pashtun yang tidak berubah. Tidak adil kiranya jika kita menganggap Kandahar hanyalah kota yang penuh kengerian dan kekerasan. Kota ini sesungguhnya adalah kota yang menyenangkan, terlepas dari panasnya musim panas nan ganas. Ya, suhu udara naik setiap hari. Saat aku datang 45 derajat, lalu besoknya 46, lalu 47, lalu 48, dan hari ini 49 derajat Celcius. Kenapa Kandahar sepanas ini? Ada dongeng tentang Baba Farid, seorang pertapa Sufi yang menghukum Kandahar karena penduduknya yang tidak ramah. Dia menyamar sebagai pengemis, meminta makanan di pinggir pasar. Tapi tidak seorang pun yang sudi mengasihaninya. Dia marah karena kelakuan para penduduk. Dia menangkap ikan dari sungai, mengangkatnya tinggi-tinggi ke langit. Matahari perlahan turun mendekat, memanggang ikan itu sampai matang dan bisa dimakan. Bukan cuma ikan yang dipanggang. Seluruh penduduk Kandahar pun menjadi bangkai gosong. Matahari yang mendekat, inilah alasan kenapa panas musim panas Kandahar begitu ganas. Panas beberapa hari ini semakin tidak tertahankan, karena pasokan listrik begitu buruk setelah Taliban menyerang pembangkit listrik di Helmand. Terlepas dari begitu banyak peringatan keamanan, aku memaksakan diri sendirian berkelana melewati gang-gang sempit di pasar kuno Kandahar. Ada empat bazaar utama: Herat [...]

December 26, 2013 // 2 Comments

Selimut Debu 25: Bamiyan, Setelah Tiga Tahun

  Siaran berita Hadi Ghafari di Radio Bamiyan (AGUSTINUS WIBOWO) Tiga tahun. Seiring dengan perputaran roda waktu, dusun kecil di lembah hijau ini pun turut menggeliat. Aku melangkah ke gedung Radio Bamiyan yang tersembunyi di gang kecil di balik jalan utama. Tiga tahun lalu, tidak ada stasiun radio di sini, tapi sekarang dusun kecil ini sudah punya stasiun radio, warung internet, dan segera memiliki stasiun televisi sendiri. Hadi Gafari yang bertanggung jawab sebagai pemimpin Radio Bamiyan ini mengatakan, teknologi sudah mulai terjangkau di sini. Internet mereka bersumber dari satelit yang berukuran besar di halaman belakang, mirip antena parabola, dan biayanya adalah US$ 600 per bulan. Bukan cuma teknologi, pasar Bamiyan pun tampak semakin sibuk. Jauh lebih ramai dibandingkan tiga tahun lalu. Barang yang dijual pun lebih bervariasi, mulai dari buah-buahan, gandum, sampai buku. Masyarakat yang dicekam ketakutan perang meletakkan buku pada prioritas terbawah dalam kebutuhan mereka, apalagi mayoritas warga Afghanistan buta huruf. Tetapi warga Bamiyan sekarang sudah mulai membaca buku! Bukankah ini sebuah kemajuan luar biasa? Begitu pun dalam hal penginapan. Dalam kunjungan pertamaku di Bamiyan, satu-satunya tempat menginap adalah Restoran Mama Najaf, yang harganya mahal, tamu hanya tidur di lantai di atas matras kumal, plus bonus kutu busuk dan [...]

November 29, 2013 // 1 Comment

#1Pic1Day: Dua Tahun Sebelum dan Sesudah | Two Years Before, Two Years After (Sust, Pakistan, 2006)

Two Years Before, Two Years After  (Sust, Pakistan, 2006) Two years before, I met these five girls of Sust, near the Chinese border. Two years after, again I met four of them and brought them the old photo. Can you see which girl is missing? Dua Tahun Sebelum dan Sesudah  (Sust, Pakistan, 2006) Dua tahun sebelumnya, saya berjumpa dengan lima gadis Sust di dekat perbatasan Pakistan dengan China. Dua tahun sesudahnya, saya berjumpa lagi dengan empat dari mereka dan membawakan mereka selembar foto lama. Bisakah Anda melihat, gadis mana yang hilang?                 [...]

November 6, 2013 // 11 Comments

#1Pic1Day: Gadis-Gadis Pakistan Utara | Sisters (Sust, Pakistan, 2006)

Sisters (Sust, Pakistan, 2006) In most part of Pakistan, photographing women (including girls) have to be done cautiously, as this might be regarded as violation to their culture and religion. But in some villages in Northern Pakistan inhabited by the followers of moderate Ismaili sect of Islam, the attitude is much more laidback. Women and children might be happily showing in front of your camera if you ask politely. Gadis-Gadis Pakistan Utara  (Sust, Pakistan, 2006) Di mayoritas tempat di Pakistan, memotret perempuan (termasuk anak-anak) harus dilakukan dengan sangat berhati-hati, karena bisa dipandang sebagai pelanggaran terhadap tradisi dan agama mereka. Tetapi di beberapa desa di Pakistan Utara yang dihuni umat Ismaili yang moderat, aturan ini jauh lebih longgar. Para perempuan dan anak-anak bisa bergaya ceria di depan kamera asalkan Anda minta izin dengan sopan.                 [...]

November 5, 2013 // 3 Comments

Selimut Debu 6: Wild Wild West Peshawar

Seperti kembali ke masa lalu (AGUSTINUS WIBOWO) Dunia barat yang liar. Peshawar, kota berdebu di ujung barat Pakistan adalah gerbang menuju Afghanistan. Atmosfernya, bahayanya, dengusannya, bahkan ketidakberadabannya…. Peshawar terasa begitu liar. Ibukota provinsi North Western Frontier Province (NWFP) ini seakan melemparkan diriku ke zaman puluhan tahun silam. Keledai-keledai mengiring kereta pengangkut barang, menyusuri jalan-jalan sempit di bazaar kota. Wanita-wanita yang juga tidak banyak jumlahnya, berjalan merunduk-runduk sambil menutupkan cadar di wajahnya. Sesekali nampak juga perempuan-perempuan yang berbungkus jubah hitam atau burqa biru dan putih. Burqa adalah pakaian yang menutup sekujur tubuh dari kepala hingga ujung kaki, termasuk kedua mata dan wajah, menyimpan rapat-rapat kecantikan seorang wanita. Hanya dari kisi-kisi kecil di bagian matalah sang perempuan mengintip dunia luar. Ada traveler Hong Kong temanku yang mendeskripsikan burqa seperti “lampion”, para “lampion” itu berjalan mencari arah di tengah keramaian jalanan. Bagiku, burqa terlihat seperti sangkar rapat, terserah engkau mengartikan itu melindungi atau mengurung makhluk yang ada di dalamnya. Pria-pria berjenggot dengan kibaran shalwar qameez yang gagah menguasai seluruh penjuru kota. Para lelaki itu selalu tersenyum ramah dan menyapa dengan pertanyaan yang sama, yang diulang lagi, yang diulang lagi, yang diulang lagi. “Hello, how are you? what’s your good name? Where are [...]

November 4, 2013 // 1 Comment

1 3 4 5 6 7 10