Selimut Debu 98: Kejujuran Memang Mahal
Hidup di negeri yang bersimbah perang selama puluhan tahun telah membunuh urat takut. Cheragh, sopir Kamaz ini, nekat melakukan apa pun untuk keluar dari kubangan Afghanistan. Tubuhnya gemuk. Jubah kelabunya lusuh dan coreng-moreng oleh minyak. Cambang dan jenggotnya lebat, sangat tak lazim di kalangan etnis Hazara. Matanya sipit namun tajam, miring ke atas membentuk huruf V. Namanya berarti ”lampu” atau ”cahaya”, sungguh nama yang indah di kegelapan pedalaman Afghanistan yang belum diterangi listrik. ”Jangan khawatir,” katanya, ”karena kamu orang Indonesia, besok kamu boleh ikut truk ini sampai ke Bamiyan.” Ternyata Cheragh pernah tinggal di Indonesia. ”Aku dulu tinggal di sebuah pulau, di dekat Jakarta. Pulau kecil, tak ingat namanya.” Taliban menguasai Afghanistan. Kaum Hazara yang Mongoloid dan penganut Syiah mengalami pembantaian massal. Tak banyak pilihan, mereka mengumpulkan segala yang dimiliki untuk meninggalkan kampung halaman yang sudah berubah menjadi neraka. Cheragh naik kapal, berdesakan dengan empat ratus pengungsi Afghan lainnya, menyelundup dari Malaysia menuju Australia. Malang, Angkatan Laut Indonesia menangkap kapal yang ditumpangi para pendatang ilegal ini. Impian Cheragh dan rekan-rekan seperjalanannya untuk mencapai Australia kandas di pulau mungil. Tak banyak yang bisa dilakukan di Indonesia. ”Pekerjaan tak ada. Hidup tak ada. Walaupun mereka mengizinkan tinggal dua bulan, aku tak tahan [...]