Recommended

keramahtamahan

Titik Nol 121: Jejak Masa Lalu

Bayang mentari sudah lenyap di balik gunung cadas yang menjulang bak tembok raksasa di kiri dan kanan. Lembah Chapursan diselimuti gelap. Aziz mengundang semua penumpang jip singgah di rumahnya untuk sekadar menghirup segarnya teh susu. Keramahtamahan adalah hukum utama di tempat ini. Semua orang suka menerima tamu. “Ini adalah rumah tradisional orang Tajik,” jelas Noorkhan seperti seorang guide, “terbuat dari tanah liat. Bentuknya kotak persegi atau kubus. Di dalam rumah inilah keluarga menikmati kehangatan.” Rumah tanah liat itu, dari luar nampak seperti kotak kelabu yang tak menarik sama sekali. Di dalamnya, di balik tirai tebal yang menutup lubang pintu, kenyamanan sebuah keluarga langsung menyambut saya. Walaupun ukuran rumahnya tak besar, orang yang tinggal di sini banyak sekali. Lebih dari sepuluh yang jelas, setidaknya ada tiga generasi. Sistem kekeluargaan yang berlaku adalah semua kerabat tinggal bersama. Perlu diingat, sepasang suami istri bisa memproduksi sampai 15 orang anak. Kehangatan tentunya bukan hanya karena banyak orang yang memadati ruangan ini. Di tengah ruangan ada tungku dan cerobong. Api menyala dari dalam tungku yang berisi kayu bakar dan ranting. Seorang perempuan menjerang air, menyiapkan gelas, menata roti. Barisan rumah batu Chapursan yang gersang (AGUSTINUS WIBOWO) Chelpek, roti renyah goreng yang menjadi makanan sehari-hari penduduk [...]

February 9, 2015 // 4 Comments

Titik Nol 112: Gerbang Kemerdekaan

Bus bersejarah itu pun tiba di wilayah India (AGUSTINUS WIBOWO) “Pakistan memang diciptakan untuk membuat jarak antara kita dan mereka, memecah belah persaudaraan kita. Tak perlu kita teruskan lagi [permusuhan ini].” Demikian sebuah koran India menurunkan artikel di rubrik opini. Kedua negara tetangga ini sudah berseteru sejak kelahirannya. Pakistan tercipta dari British India tahun 1947 ketika umat Muslim India minta diberi negara sendiri. Pakistan berarti ‘Negeri yang Murni’, cita-cita luhurnya adalah negara umat Muslim yang berdiri di atas kesucian dan kemurnian Islam. Tetapi, pertikaian dan perselisishan selalu mewarnai sejarah kedua negara, menyebarkan benci yang merayap sampai ke sanubari rakyat jelata. Ingat kasus bom di New Delhi yang serta merta membuat orang India langsung menunjuk hidung Pakistan sebagai kambing hitam? Ingat betapa susahnya orang India mendapat visa Pakistan dan juga sebaliknya? Orang India menggunakan kata Pakistan sebagai umpatan yang paling kasar – “Chalo Pakistan!”, artinya “Enyahlah ke Pakistan”. Mengapa Pakistan selalu digambarkan sebagai tempat bak neraka yang penuh kesengsaraan? Mengapa imej Pakistan di India hanya hitam dan kelabu? India dan Pakistan punya garis perbatasan sekitar 3000 kilometer, tetapi hanya satu perbatasan resmi yang dibuka. Perbatasan Wagah teramat sepi, kecuali di sore hari ketika upacara penurunan bendera berlangsung. Tak banyak orang yang [...]

January 27, 2015 // 4 Comments

Titik Nol 102: Mimpi di Air Keruh

Pencucian dhobi ghat di Mahalaksmi (AGUSTINUS WIBOWO) Di antara beragam suratan nasib yang diterima umat dari berbagai kasta, ada jutaan yang ditakdirkan menjadi dhobi, tukang cuci. Di kota Mumbai, para dhobi tenggelam dalam perkampungan kumuh yang terbentang menggurita tersembunyi bisnis binatuan terbesar di Asia. Sebut saja Vinoj. Pria berusia tiga puluhan tahun ini berasal dari propinsi Bihar, dua ribu kilometer jauhnya dari sini. Sepuluh tahun lalu, Vinoj datang ke Mumbai membawa sebongkah mimpi—hidup makmur bergelimang harta, bangkit dari kenistaan kemiskinan di kampungnya. Ini adalah mimpi yang sama dengan puluhan juta manusia lainnya yang menghuni kawasan miskin di kota metropolis ini. Tetapi kota ini sudah terlalu penuh sesak oleh orang-orang penuh mimpi seperti Vinoj. Kota ini kejam, rodanya menggilas mereka-mereka yang hanya datang dengan mimpi. Sudah belasan juta mulut yang mengais rezeki di sini. Tak semua orang seberuntung artis Bollywood. Nasib Vinoj, istri, dan kedua anaknya berakhir di dhobi ghat, di antara ruas-ruas batu, air keruh, dan ratusan ribu helai kain. Ghat, dalam bahasa Sansekerta, berarti anjungan di pinggir sungai, biasanya untuk membasuh tubuh. Di tepian sungai Gangga atau di tepi danau suci Pushkar tersedia undak-undakan tempat umat Hindu melakukan mandi suci. Dhobi ghat adalah ghat untuk para dhobi—tukang cuci. Bentuknya [...]

January 13, 2015 // 7 Comments

Titik Nol 40: Bhaktapur

Kota tua Bhaktapur (AGUSTINUS WIBOWO) Kota kuno ini begitu indah. Saya sampai lupa mengedipkan mata menyaksikan pagoda Nyatapola yang menjulang megah. Barisan kuil dan istana kuno, gang sempit yang meliuk-liuk, melemparkan saya kembali ke masa silam. Di antara ketiga kota kuno di Lembah Kathmandu, bagi saya Bhaktapur adalah yang paling indah. Di sini kita terbebas dari ingar bingar kendaraan bermotor dan pengaruh buruk turisme yang merambah Kathmandu. Kota ini juga lebih teratur dan terawat daripada Patan. Keutuhan gedung-gedung masa lalu masih berbaur dengan kehidupan masyarakat yang teramat tradisional. Kota kuno Bhaktapur atau Bhadgaon dikelilingi tembok. Untuk masuk, orang Nepal tak perlu bayar, tetapi orang asing kena karcis sepuluh dolar. Warga negara Asia Selatan dan Republik Rakyat China cukup membayar 50 Rupee saja. Bagi saya yang berkantung cekak, pilihannya hanya dua – menyamar jadi orang China atau menyelinap pagi-pagi buta ketika penjaga pintu gerbang masih belum bertugas. Saya memilih yang terakhir, berangkat dari Kathmandu subuh-subuh, berbekal tiket pinjaman dari turis lain (selembar tiket berlaku satu minggu), dan berhasil menyelinap ke dalam kota kuno tanpa membayar sepeser pun. Penginapan di kota ini jauh lebih terbatas daripada Kathmandu. Sejak menjadi bagian dari warisan budaya dunia yang ditetapkan UNESCO, keaslian dan kekunoan Bhaktapur dilestarikan. [...]

June 26, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 37: Kota Cantik

Lapangan Durbar di Patan (AGUSTINUS WIBOWO) Pagi-pagi sekali, keluarga Pushkar Baral sudah sibuk sekali. Istrinya bangun sejak subuh, sibuk menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Anak-anak bersiap masuk sekolah. Pushkar dan istrinya siap-siap berangkat kerja. Hari ini hari Minggu, tetapi bagi orang Nepal hari ini adalah hari kerja biasa. Dalam seminggu, hanya hari Sabtu mereka bisa beristirahat. Sementara Pushkar dan istrinya berangkat ke kantor, saya sendirian berkeliling bagian kuno kota Patan. Patan hanya lima kilometer jauhnya dari Kathmandu, tetapi dulunya Patan adalah ibu kota dari kerajaan terpisah, berpasukan tangguh, dan berkebudayaan tinggi. Semuanya itu masih nampak jelas dari Lapangan Darbar yang dipunyai Patan. Gaya arsitektur bangunan di sini lebih padat, rapi, dan cantik. Patung Dewa Garud (Garuda) yang bersembah di atas tiang memberi penghormatan ke arah kuil suci. Tak salah jika nama lain Patan lebih putis – Lalitpur, atau ‘kota cantik’.. Dibandingkan Lapangan Darbar Kathmandu, Darbar Patan penuh sesak oleh bangunan megah. Saya tak ingat lagi nama-nama bangunan di sini. Terlalu banyak. Semuanya adalah maha karya arsitektur bangsa Newa yang mendiami Lembah Kathmandu, baik Budha maupun Hindu. Setelah datang dari Tibet, saya begitu tertarik melihat kehidupan umat Budha di Nepal. Sang Budha Gautama lahir di Lumbini, di Nepal bagian selatan. Tetapi di [...]

June 23, 2014 // 2 Comments

Titik Nol 36: Dimabuk Arak

Pagi, siang, malam, menunya selalu dhal bat. (AGUSTINUS WIBOWO) Pushkar Baral adalah pegawai Radio Nepal. Wajahnya bersih, dahinya lebar, dan tubuhnya kekar. Sore ini, ia mengajak saya ke rumahnya di Patan. Perkenalan saya dengan Pushkar sebenarnya tak sengaja. Seorang kawan, wartawati di Indonesia, pernah ikut pelatihan jurnalisme di Eropa dan berkenalan dengan seorang jurnalis Radio Nepal. Saya diberi alamat emailnya, lengkap dengan ucapan basa-basi titip salam dan apa kabar, dengan harapan bisa membantu saya menambah kawan di Kathmandu. Alamat email yang dipakai adalah email kantor, Radio Nepal. Jurnalis yang dimaksud sudah tidak bekerja di sana lagi, dan penggantinya, Pushkar Baral, sama sekali tidak tahu-menahu ke mana rimbanya kawan itu. Akhirnya, setelah berulang kali berbalas email, saya malah berkawan dengan Pushkar. “My friend, kalau memungkinkan saya ingin berbagi pengalaman denganmu dan masalah yang kau hadapi di Kathmandu ini.” Sehabis tutup kantor, jam 6 sore, Pushkar menjemput saya di losmen. Kami berangkat bersama ke rumahnya di Patan, kota kuno yang masih di lingkungan Lembah Kathmandu. “Jadi jurnalis di Kathmandu gampang-gampang susah,” katanya, “Di sini kita harus berhati-hati kalau berurusan dengan kabar kerajaan. Kebebasan pers memang ada, tetapi ada batasnya.” Pembantaian besar keluarga kerajaan Nepal, tanggal 1 Juni 2001, adalah kejutan besar di [...]

June 20, 2014 // 1 Comment

Garis Batas 66: Yor-Yor

Yor-yor (AGUSTINUS WIBOWO) Adakah yang lebih sempurna dari ini, menghadiri pesta pernikahan tradisional Uzbek di jantung peradaban Uzbekistan, Lembah Ferghana? Yor-yor mengalun lembut menyebar tangis, ibu-ibu tua berkerudung menari-nari, dan mempelai perempuan sesenggukan di balik cadar. Kebetulan sekali waktu saya masih asyik menghabiskan waktu di pabrik sutra Yodgorlik di Margilan, ada orang yang membagikan sobekan kertas undangan pernikahan. Acaranya besok pagi. “Sudah, datang saja,” kata Firuza. Tetapi saya kan tidak diundang. “Tak masalah. Orang Margilan sangat suka kalau acara pernikahannya didatangi orang asing. Malah kadang undangan disebar sembarangan di pasar-pasar.” Dengan muka setebal tembok, saya datang ke alamat yang tertulis di atas sobekan kertas undangan itu. Bukannya dicerca pertanyaan macam-macam, saya malah disambut tuan rumah dengan penuh kehangatan. Keramahan Lembah Ferghana di Uzbekistan memang tidak perlu diragukan lagi. Para tamu pria duduk di halaman, yang sudah dipasangi tenda dan berdinding karpet-karpet bermotif indah. Merah menyala. Tamu-tamu mengenakan chapan, jubah tebal yang sebagian besar berwarna gelap, cocok untuk musim dingin begini. Kakek-kakek tua mengenakan topi bulu hitam, tinggi dan besar. Tuan rumah segera menyiapkan roti nan dan teh hijau, bagian tak terpisahkan dari meja makan Uzbekistan. Melihat ada tamu asing yang datang, tuan rumah buru-buru memperkenalkan saya ke anggota keluarga. Saya [...]

September 13, 2013 // 6 Comments

Garis Batas 27: Depresi (2)

Guldora (AGUSTINUS WIBOWO) Rumah Gulasaira remang-remang. Dindingnya mengelupas tak sedap dipandang. Bau busuk memenuhi seluruh penjuru ruangan. Tetapi, di sini saya justru merasakan kehangantan cinta kasih sebuah keluarga. Eldiyar, bocah 5 tahun itu, memang nakal. Bukan hanya menggoda bayi Gulsaira yang masih sangat kecil sampai menangis, Eldiyar juga memasukkan remah-remah roti yang menjadi makanan pokok keluarga itu ke dalam cangkir tehnya, kemudian menyiramkan teh hijau tanpa gula ke tumpukan remah-remah roti, potongan coklat, dan permen-permen kadaluarsa yang menjadi menu makan malam keluarga. Si bocah itu baru menangis tanpa henti ketika Guldora, si kakak yang berumur 16 tahun, mencubitnya dengan gemas. Saya sempat bingung, bagaimana mungkin Guldora bisa mempunyai adik yang umurnya terpaut begitu jauh? Eldiyar ternyata memang bukan adik kandungnya. Gulsaira memungut bayi kecil Eldiyar yang dibuang di depan pintu rumah mereka. Gulsaira tidak tahu siapa kedua orang tua Eldiyar, atau mungkin saja dia tahu tetapi merahasiakannya. Hati Gulsaira tak tahan ketika si bayi kecil menangis kelaparan. Gulsaira memang miskin, tetapi tidak hatinya. Kemudian, di tengah susahnya kehidupan di negara baru Kyrgyzstan, Gulsaira memutuskan untuk mengasuh bayi itu, mencintainya seperti anaknya sendiri. Kini Eldiyar sudah tumbuh menjadi bocah yang lincah dan nakal. Tahukah ia akan masa lalunya? “Eldiyar masih kecil. [...]

July 22, 2013 // 3 Comments

Garis Batas 26: Depresi (1)

Gulsaira (AGUSTINUS WIBOWO) Saya tak sengaja singgah di Karakol. Sebuah ketidaksengajaan yang membuka mata saya terhadap beratnya hidup di sebuah negara bernama Kyrgyzstan. Semula saya berencana pergi ke Toktogul dengan bus dari Osh. Toktogul terletak di tengah-tengah antara Osh dengan Bishkek, ibu kota Kyrgyzstan. Perjalanan jauh sekali, lewat gunung-gunung. Bus sudah berangkat pagi-pagi buta dari Osh, dan saya tidak punya pilihan selain berganti-ganti bus untuk sampai ke Toktogul. Pertama-tama saya harus naik bus dulu ke Jalalabad, dua jam perjalanan, dilanjutkan ke kota bernama Tashkomur, 90 kilometer jauhnya. Tashomur terkenal karena pembangkit listriknya, namun sekarang keadaan di kota ini semakin memburuk seiring dengan ambruknya perekonomian Kyrgyzstan setelah kemerdekaan. Saya sampai di pinggiran Tashkomur ketika hari sudah mulai gelap. Toktogul masih kurang 100 kilometer lagi, dan saya berharap-harap cemas untuk bisa sampai di kota itu sebelum malam. Cukup lama juga saya menunggu bus yang menuju ke utara. Tiba-tiba ada angkot dengan papan nama berhuruf Rusia “Toktogul”. Saya langsung meloncat ke dalam bus itu dan membayar tiket 100 Som. Sekitar dua jam perjalanan, angkot yang semula padat itu langsung kosong. Ini masih kota Karaköl dan saya sudah disuruh turun. “Toktogul?” saya bertanya. “Nyet. Eta Karakol. Bukan, ini Karaköl,” kata si supir dalam bahasa [...]

July 19, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 13: Negeri Para Penganggur

Jalanan Vrang yang lengang, di mana mayoritas penduduknya adalah pengangguran. (Agustinus Wibowo) Berjalan-jalan di Tajikistan memang tidak mudah. Angkutan umum sangkat jarang, karena harga BBM sudah tidak terjangkau lagi oleh penduduk. Di sini hukumnya, semakin tinggi tempatnya, semakin mahal harga bensinnya. Tidak ada yang tahu kapan angkutan akan lewat. Sehari penuh mungkin hanya dua saja yang melintasi desa ini. Itu pun biasanya sudah penuh sesak. Hari ini saya berencana pergi ke desa Vrang, 5 kilometer jauhnya dari Tughoz. Tetapi sudah tiga jam lebih menunggu, tidak ada juga yang lewat. Sambil menunggu, saya mengunjungi rumah sakit di desa itu. Dokter Akhmed yang bekerja sebagai dokter kepala mempersilakan saya masuk. Bahkan desa terpencil seperti ini punya rumah sakit yang bagus. Infrastruktur di Tajikistan memang lebih bagus daripada di Indonesia. Tetapi gaji dokter Akhmed hanya 50 Somoni saja, sekitar 15 dolar, per bulan. Di Jakarta pengemis pun pendapatannya lebih besar dari ini. Dengan uang segitu di Tajikistan memang tidak akan membawanya ke mana-mana. Tetapi ia bangga dengan pekerjaannya, yang jauh lebih terhormat daripada mengemis. Dokter Akhmed bahkan menjerang teh untuk saya, tetapi belum sempat saya minum, saya sudah harus melompat ke angkutan desa yang baru saja melintas. Vrang hanya 5 kilometer saja, tetapi [...]

June 6, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 11: Sarandip=Indonesia?

Alisher dan keponakannya. (AGUSTINUS WIBOWO) “Sekarang kamu bukan tamu lagi. Kamu sudah bagian dari keluarga ini. Mari masuk!” kata Muhammad Bodurbekov, alias Alisher, ramah. Sudah beberapa hari ini saya menginap di rumah Alisher, tinggal di rumah Pamirinya yang indah. Tetapi pagi ini Alisher tidak lagi mengantar sarapan pagi saya ke chid atau Rumah Pamiri, melainkan mengajak saya ke bergabung dengan ibu dan adik perempuannya. Sarapan pagi orang Wakhan adalah shir choy, teh susu yang dicampur dengan mentega dan minyak. Rasanya asin. Dicampur dengan roti yang disobek kecil-kecil, diaduk-aduk dengan sendok, dan dihirup panas-panas. “Ini adalah sarapan yang luar biasa energinya, bahkan para pejuang zaman dulu cukup makan semangkuk shir choy sebelum berperang,” ucap Alisher. Bagian Rumah Pamiri di rumah Alisher memang tradisional dan cantik. Tetapi ruang keluarga, tempat di mana Alisher sekarang mengajak saya menikmati sarapan, lebih kecil dan hangat. Di ruangan kecil ini tinggal bersama bapak, ibu, adik perempuan, dan beberapa orang keponakan si Alisher. Adik perempuan Alisher, bersuamikan orang dusun Shegnon, pulang kampung ke Ishkashim untuk melahirkan. Menurut tradisi orang Shegnon, bayi pertama harus dilahirkan di rumah keluarga ibu. Alisher sekarang menggendong-gendong keponakannya yang masih orok. Bayi itu dibungkus kain berhias manik-manik, dan terbaring di atas guwara, ayunan [...]

June 6, 2013 // 0 Comments

Islamabad – Theft

April 11, 2006 Sebuah keluarga terpandang dan religius Saya tinggal di sebuah keluarga di Islamabad. Keluarga ini cukup terpandang dan mempunyai bisnis keluarga yang cukup besar. Secara religius pun sangat dihormati, karena mempunyai nama keluarga Syed, yang berarti keturunan langsung dari Nabi Muhammad. Keluarga Syed Ijaz tinggal di sebuah real estate besar di kawasan orang kaya Islamabad. Islamabad memang dipenuhi oleh orang-orang kaya dengan rumah-rumah raksasa macam istana, macam kompleks Galaxy atau Dharmo di Surabaya. Walaupun modern dan kaya, keluarga Ijaz amatlah sangat religius. Dalam keluarganya, ruang tamu dipisahkan sehelai kelambu, sehingga tamu laki-laki tak bisa melihat penghuni rumah yang perempuan. Hingga beberapa hari tinggal di rumah ini, aku pun tak pernah tahu ada siapa saja perempuan di sana. Yang jelas banyak sekali, namun selain anak-anak dan bari amma, tak satu pun yang pernah aku lihat secara langsung. Aku merasa aman tinggal di rumah ini. Aku disediakan sebuah sofa untuk membaringkan badan. Dan tas ku, yang berisi uang dan paspor, aku biarkan saja tergeletak. Toh dalam tradisi Muslim, jika kita bertamu, kita seharusnya mempercayakan diri kita kepada sang pemilik rumah. Pernah aku ingat seorang tuan rumah Uzbekistan yang marah-marah melihat seorang teman yang diundangnya mengunci pintu kamarnya. Bagi tuan rumah [...]

April 11, 2006 // 0 Comments

1 2