Recommended

Kyrgyzstan

Garis Batas 31: Berakhir di Sini

Pusat kota Bishkek (AGUSTINUS WIBOWO) Anak Satina satu-satunya, Maksat, yang dulu selalu menemani ibunya di Toktogul, sekarang sudah jadi mahasiswa tingkat pertama di ibu kota Bishkek. Satina menganjurkan saya untuk mengontak Maksat kalau ke Bishkek nanti. Kebetulan sekali, di malam ketika saya hendak meninggalkan Toktogul, bapak angkat Maksat datang dari Bishkek. Namanya Moken. Kata Satina, orangnya baik sekali. Siapa Toktogulduk, orang Toktogul, yang tak kenal Moken? Sekarang Maksat menumpang gratis di rumah Moken di Bishkek. Belakangan saya tahu bahwa Moken bekerja sebagai supir taksi. Di Kyrgyzstan, seperti halnya Tajikistan, supir taksi termasuk pekerjaan yang menjamin cemerlangnya masa depan. Saya menumpang mobil Moken langsung ke Bishkek. Jalan dari Toktogul ke arah utara melewati gunung-gunung tinggi. Kendaraan umum yang boleh melintas cuma taksi. Bus besar dilarang lewat sini sejak kejadian bus yang mengangkut para pedagang Uyghur dari China terguling dan menewaskan banyak orang, beberapa tahun lalu. Mobil Moken termasuk mewah. Badannya panjang dan kursinya lebar. Saking nyamannya mobil ini, saya ketiduran terus sepanjang perjalanan sampai ke Bishkek. Rumah Moken terletak di perumahan Ala Too di pinggiran kota Bishkek. Maksat, yang masih mengenali saya, sangat terkejut dengan kedatangan saya yang tiba-tiba bersama bapak angkatnya. Maksat langsung menggiring saya ke ruang tamu, menyiapkan makan [...]

July 26, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 30: Bagaimana Cara Membaca Kyrgyzstan

Aksakal, atau “kakek berjenggot putih” (AGUSTINUS WIBOWO) Bab ini mungkin seharusnya diletakkan pada saat awal-awal kita memasuki negeri ini. Saya yakin, banyak orang yang kesulitan membaca nama negara ini, karena dari sekian banyak deretan huruf itu, hampir semuanya huruf mati. Jadi bagaimana sih membaca Kyrgyzstan? Saya sebenarnya juga baru belajar bahasa Kirghiz. Dapat buku pinjaman dari sukaralewan PeaceCorps asal Amerika. Penutur bahasa Kirghiz sekitar 4 juta jiwa, tersebar di Kyrgyzstan, Kazakhstan, Uzbekistan, Tajikistan, Afghanistan, China, dan Rusia. Bahasa Kirghiz bersaudara dekat dengan bahasa Kazakh, Uzbek, Turkmen, dan Turki, semuanya masuk rumpun bahasa Turki. Ada yang bilang bahasa Jepang dan Korea juga masih bersaudara jauh, semuanya ikut kelompok bahasa Altai. Saya pernah belajar bahasa Jepang, tetapi tidak banyak membantu untuk belajar bahasa Kirghiz. Pertama kali belajar bahasa ini, saya merasa pusing karena begitu banyak rumus-rumus aneh bin ajaib. Dalam dua hari, saya melahap 100 halaman buku tata bahasa dasar itu, dan waktu malam Satina menanyakan mengapa jalan saya jadi sempoyongan. Karakteristik utama dalam bahasa Kirghiz, seperti bahasa-bahasa Turki lainnya, adalah harmonisasi vokal. Dalam satu kata, semua vokalnya harus berasal dari kelompok yang sama. Ada 4 kelompok vokal yang menjadi hukum dasar bahasa Kirghiz: a berpasangan dengan u dan y o berpasangan [...]

July 25, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 29: Susahnya Jadi Guru

Manapova Satkinbu alias Mbak Satina di ruang kelasnya (AGUSTINUS WIBOWO) Sekolah Dasar dan Menengah Birimkulov adalah tempat Satina Eje mengajar bahasa Inggris. Walaupun terletak di desa kecil, Satina sangat bangga bahwa sekolah ini tidak kalah kualitasnya dengan sekolah-sekolah di kota besar seperti Bishkek dan Jalalabad. Satina, yang nama aslinya Manapova Satkinbu, membawa saya ke ruang kelas tempat saya mengajar. Murid-muridnya keleleran karena Satina terlambat datang. Melihat guru mereka datang, murid-murid yang bermain di halaman dalam hitungan detik langsung masuk ke ruangan kelas, duduk manis, seperti domba-domba tanpa dosa. Satina duduk di bangku guru, dengan kaca matanya yang berukuran super besar, mulai mengabsen murid-muridnya. Satina mengajar, mengajukan beberapa pertanyaan dalam bahasa Inggris. Murid-muridnya diam saja. Satina menerjemahkan pertanyaan dalam bahasa Kirghiz, baru ada satu dua murid yang mengacungkan tangan. Satina mengeluh kepada saya yang duduk di barisan belakang, “My students are too much stupid.” Keras sekali. Baru pertama kali ini saya mendengar guru yang mengeluhkan kebodohan murid-muridnya sendiri tanpa tedeng aling-aling. Murid-murid tak bereaksi. Mungkin tak mengerti, mungkin tak berani. Murid-murid Satina memang sangat pasif, seperti yang dikeluhkan Satina. Dia kebagian kelas mengajar siswa yang kurang mampu. Setiap kelas dibagi menjadi dua grup. Grup A, siswa-siswa yang dianggap pandai, ikut kelas [...]

July 24, 2013 // 3 Comments

Garis Batas 28: Kawan Lama dari Toktogul

Depresi Kyrgyzstan (AGUSTINUS WIBOWO) Dari Karakul saya melanjutkan perjalanan ke Toktogul. Sebuah memori indah mengantar saya ke sana. Dua tahun silam, saya terdampar di kota ini, berkenalan dengan dua orang sukarelawan Amerika, Rosa dan Jason, yang mengajar bahasa Inggris. Gelar mereka keren – Peace Corps. Lewat mereka saya berkenalan dengan seorang guru bahasa Inggris di desa itu. Inilah awal persahabatan saya dengan Satina Eje, atau Mbak Satina, guru desa yang tak pernah padam semangatnya. Betapa manis kenangan bersama wanita paruh baya yang ramah dan terus berceloteh tanpa henti tentang kehidupan di Kyrgyzstan. Ia menghabiskan waktu bersama putra satu-satunya, Maksat, yang sudah hampir lulus sekolah, di rumah kayunya di sebuah apartemen kuno di sebuah gang kecil di Toktogul. Rumah Satina seperti mesin waktu. Ada dinding kayu berbalut shyrdak – permadani sulam-sulaman khas Kyrgyzstan. Ada hiasan dinding bergambar Mekkah dan bertulis huruf Arab. Satina tidak tahu kalau tulisan itu berbunyi “Allah” dan “Muhammad”. Ada telepon yang masih menggunakan papan putar yang mengeluarkan bunyi gredek-gredek tiap kali nomornya diputar. Ada pula televisi hitam putih yang tabungnya super cembung. Ada koleksi foto-foto keluarga hitam putih ketika suami Satina masih hidup. Bagi Satina, semua ini adalah barang biasa. Bagi saya, setiap pernik rumah Satina adalah serpihan [...]

July 23, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 27: Depresi (2)

Guldora (AGUSTINUS WIBOWO) Rumah Gulasaira remang-remang. Dindingnya mengelupas tak sedap dipandang. Bau busuk memenuhi seluruh penjuru ruangan. Tetapi, di sini saya justru merasakan kehangantan cinta kasih sebuah keluarga. Eldiyar, bocah 5 tahun itu, memang nakal. Bukan hanya menggoda bayi Gulsaira yang masih sangat kecil sampai menangis, Eldiyar juga memasukkan remah-remah roti yang menjadi makanan pokok keluarga itu ke dalam cangkir tehnya, kemudian menyiramkan teh hijau tanpa gula ke tumpukan remah-remah roti, potongan coklat, dan permen-permen kadaluarsa yang menjadi menu makan malam keluarga. Si bocah itu baru menangis tanpa henti ketika Guldora, si kakak yang berumur 16 tahun, mencubitnya dengan gemas. Saya sempat bingung, bagaimana mungkin Guldora bisa mempunyai adik yang umurnya terpaut begitu jauh? Eldiyar ternyata memang bukan adik kandungnya. Gulsaira memungut bayi kecil Eldiyar yang dibuang di depan pintu rumah mereka. Gulsaira tidak tahu siapa kedua orang tua Eldiyar, atau mungkin saja dia tahu tetapi merahasiakannya. Hati Gulsaira tak tahan ketika si bayi kecil menangis kelaparan. Gulsaira memang miskin, tetapi tidak hatinya. Kemudian, di tengah susahnya kehidupan di negara baru Kyrgyzstan, Gulsaira memutuskan untuk mengasuh bayi itu, mencintainya seperti anaknya sendiri. Kini Eldiyar sudah tumbuh menjadi bocah yang lincah dan nakal. Tahukah ia akan masa lalunya? “Eldiyar masih kecil. [...]

July 22, 2013 // 3 Comments

Garis Batas 26: Depresi (1)

Gulsaira (AGUSTINUS WIBOWO) Saya tak sengaja singgah di Karakol. Sebuah ketidaksengajaan yang membuka mata saya terhadap beratnya hidup di sebuah negara bernama Kyrgyzstan. Semula saya berencana pergi ke Toktogul dengan bus dari Osh. Toktogul terletak di tengah-tengah antara Osh dengan Bishkek, ibu kota Kyrgyzstan. Perjalanan jauh sekali, lewat gunung-gunung. Bus sudah berangkat pagi-pagi buta dari Osh, dan saya tidak punya pilihan selain berganti-ganti bus untuk sampai ke Toktogul. Pertama-tama saya harus naik bus dulu ke Jalalabad, dua jam perjalanan, dilanjutkan ke kota bernama Tashkomur, 90 kilometer jauhnya. Tashomur terkenal karena pembangkit listriknya, namun sekarang keadaan di kota ini semakin memburuk seiring dengan ambruknya perekonomian Kyrgyzstan setelah kemerdekaan. Saya sampai di pinggiran Tashkomur ketika hari sudah mulai gelap. Toktogul masih kurang 100 kilometer lagi, dan saya berharap-harap cemas untuk bisa sampai di kota itu sebelum malam. Cukup lama juga saya menunggu bus yang menuju ke utara. Tiba-tiba ada angkot dengan papan nama berhuruf Rusia “Toktogul”. Saya langsung meloncat ke dalam bus itu dan membayar tiket 100 Som. Sekitar dua jam perjalanan, angkot yang semula padat itu langsung kosong. Ini masih kota Karaköl dan saya sudah disuruh turun. “Toktogul?” saya bertanya. “Nyet. Eta Karakol. Bukan, ini Karaköl,” kata si supir dalam bahasa [...]

July 19, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 25: Kota Kuno

Khana Ay (AGUSTINUS WIBOWO) Saya merasa begitu dimanjakan di Osh. Setelah melewati susahnya kehidupan di GBAO, berhari-hari menunggu kendaraan melintas di bawah terpaan angin dingin, menahan lapar dan dahaga di tempat di mana makanan begitu berharga, kini saya berada di Osh. Kota ini benar-benar surga bagi orang yang gila makan. Dalam beberapa hari ini tidak banyak yang saya lakukan. Pagi ke warung laghman milik Fakhriddin. Selepas itu kembali ke guesthouse menghafalkan kosa kata dan grammar bahasa Rusia. Siangnya kembali makan laghman, dua mangkok. Sorenya berselancar di internet, membaca buku, dan menghafalkan kosa kata lagi. Malam laghman lagi, ditambah mantu. Dalam tiga hari saja saya bertambah gembul. Sebenarnya ini bukan kali pertama saya datang ke Osh. Musim panas 2004 saya sudah pernah ke sini. Osh, waktu itu, adalah kota bekas Uni Soviet pertama yang saya kunjungi. Memori saya yang paling nyata mengenang Osh sebagai barisan gedung-gedung apartememen berarsitektur khas Rusia – bangunan kotak-kotak seragam yang membosankan, berjajar di pinggir jalan beraspal yang naik turun menyusuri bukit. Ketika kota-kota lain begitu menggebu melepaskan atribut Rusia, Osh masih memelihara patung Lenin yang melambai penuh semangat di pinggir jalan utama yang sepi. Ketika Jalan Lenin di kota-kota lain sudah diganti namanya dengan pahlawan-pahlawan nasional Asia [...]

July 18, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 24: Cita Rasa Osh

Restoran Laghman Uyghur (AGUSTINUS WIBOWO) Osh, kota terbesar kedua di Kyrgyzstan, adalah sebuah kejutan luar biasa setelah mengalami beratnya hidup di GBAO-nya Tajikistan. Kota ini, walaupun dikelilingi gunung-gunung, suhunya sangat hangat. Osh adalah kota dalam definisi yang sebenarnya, dengan hiruk pikuk manusia dan segala kesibukannya. Bukan kota-kota di GBAO macam Khorog dan Murghab yang hanya menyimpan kisah sedih pegunungan terpencil. Arus mobil dan bus kota berseliweran tanpa henti. Jalanan pasar penuh sesak oleh orang-orang yang berbelanja. Gedung-gedung tinggi berbentuk balok berbaris sepanjang jalan. Penduduk Osh adalah percampuran berbagai suku bangsa. Ada orang Kyrgyz yang berwajah Mongoloid. Ada orang Uzbek yang berwajah keturki-turkian. Ada gadis-gadis Korea yang berpakaian modis. Banyak juga orang Rusia dan Tatar yang berkulit putih pucat. Dering ringtone telepon seluler seakan tak pernah putus di tengah riuh rendahnya pasar kota Osh. Tetapi kejutan yang paling menggembirakan setelah meninggalkan GBAO adalah, saya tidak akan pernah kelaparan di Osh. Dalam bahasa Tajik, Osh memang berarti makanan. Apakah memang ada hubungan antara kata ini dengan melimpahnya makanan lezat di Osh? Duduk di atas dipan, sambil menghirup panasnya secangkir teh hitam dan menyaksikan mengalirnya sang waktu adalah kebiasaan kakek-kakek Uzbek dan Kyrgyz melewatkan hari mereka di Osh. Sambusa, pastel kecil berbentuk segitiga [...]

July 17, 2013 // 2 Comments

Garis Batas 23:Perbatasan di Puncak Gunung

  Jalan mendaki menuju Kyrgyzstan (AGUSTINUS WIBOWO) Saya bagun pagi-pagi sekali, sekitar pukul tujuh. Udara masih teramat dingin meski langit baru mulai terang. Rasa cemas karena visa saya bakal berakhir hari ini membuat tidur saya tidak lelap. Setiap detik yang terbayang hanya penjara Tajikistan.  Mungkin memang karena bintang jatuh, di tengah udara pagi yang dingin saya melihat dua truk Kamaz melintas. Saya melompat kegirangan. Sementara anak buah Khurshed memeriksa rombongan kedua truk itu, suami Tildahan membantu saya ber-chakchak, bernegosiasi dengan para supir, yang bersedia mengangkut saya sampai ke Sary Tash di Kyrgyzstan. Sary Tash adalah kota pertama Kyrgyzstan dari perbatasan Tajikistan. Negosiasi berjalan lancar. Deal, 20 Somoni.  Dengan perasaan lega, saya lemparkan backpack ke dalam truk dan melompat naik. Saya duduk dengan manis sambil tersenyum-senyum sendiri mengingat kegelisahan tadi malam. Di kejauhan gunung-gunung raksasa berbaris sepanjang jalan. Kamaz berjalan pelan. Supir-supir tidak berbicara bahasa Tajik sama sekali. Mereka juga bukan orang yang ramah. Saya berusaha memecah kekakuan dengan berbagai gurauan kecil, tetapi mereka hanya memandang saya sinis dari sudut mata mereka yang lancip. Tak apalah. Pemandangan di luar sana begitu agung. Barisan gunung-gunung bersalju sambung-menyambung. Jalan beraspal terkadang merayap mendaki dengan sudut kemiringan yang nyaris tegak. Tak dinyana, kendaraan sebesar [...]

July 16, 2013 // 6 Comments

Garis Batas 20: Bagaimana Caranya Keluar dari Sini?

Bazaar Kota Murghab (AGUSTINUS WIBOWO) Bagaimana caranya keluar dari Murghab? Saya sudah tak sabar lagi ingin keluar dari kota yang penuh dengan kemuraman hidup ini. Apalagi, visa Tajikistan saya hanya tersisa empat hari. Saya harus selekasnya masuk ke Kyrgyzstan sebelum visa kadaluwarsa. Murghab memang bukan tempat yang nyaman untuk menunggu kendaraan. Sudah dua hari saya menunggu di pasar Murghab yang sepi dan malas itu. Begitu pula dua orang backpacker bule, orang Israel dan Amerika, yang saya temui di sana. Di sini, tidak seperti di Langar, banyak sekali mobil. Tetapi, tidak ada penumpang. Orang tidak mampu membayar karcis perjalanan yang melambung. Harga bensin di Murghab 3.40 Somoni per liter, lebih murah daripada di Langar yang terpencil. Selain kami bertiga, tidak ada lagi yang berniat pergi ke Kyrgyzstan. Melihat backpacker bule  para supir tidak mau melewatkan kesempatan berharga. Tiga ratus dolar, tidak bisa ditawar, untu menyewa jeep sampai ke kota Osh di Kyrgyzstan sana. Saya tidak tertarik untuk menyewa kendaraan. Angka ratusan dolar jauh sekali di atas kemampuan dompet saya. Tapi, Si Turis Amerika sudah tidak sabar lagi. Visanya berakhir hari ini. Kalau dia tidak berada di Kyrgyzstan malam ini juga, nasibnya akan berakhir di tangan para tentara Tajik yang rakus, atau [...]

June 9, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 17: Padang Gembala

Anak-anak Kirghiz bermain di dekat truk Kamaz. (AGUSTINUS WIBOWO) Semalam di Alichur, tidur di dalam stolovaya, di atas lantai dingin dan dibungkus selimut tebal yang kotor, mungkin bukan idaman semua petualang. Supir-supir truk yang tidak saya kenal dan saya ingat wajahnya, kecuali satu dua orang saja, tidur berjajar seperti ikan yang digelar di pasar. Dalam kegelapan total, suara dengkuran sahut menyahut, seakan bersaing dengan lolongan anjing-anjing gembala di luar sana. Tak bisa tidur, saya membuka mata. Yang terlihat hanya hitam. Tiba-tiba sebuah tangan merangkul saya. Di warung yang sempit ini memang tidak banyak tempat. Saya berbagi tikar dan selimut dengan Dudkhoda, pria Tajik yang menjadi teman bicara saya. Tak tahu apa artinya pelukan ini. Mungkin dia sudah pulas. Tapi, tidak terdengar dengkuran dari mulutnya. Ada hembusan napas yang lebih cepat dari biasanya. Saya diam saja. Tiba-tiba telapak tangan asing itu meraba-raba tubuh saya. Aduh, apa lagi ini? Bau vodka tercium kuat. Dudkhoda tidak sedang tidur lelap. Sepertinya ia butuh sesuatu untuk pelampiasan hasratnya. Suara dengkuran supir-supir Kirghiz masih bersahutan tanpa henti, seperti konser orkestra. Perjuangan Dudkhoda pun tidak pernah berhenti. Berkali-kali saya mengembalikan tangan itu ke tempat yang seharusnya. Berkali-kali pula tangan itu mendarat lagi di atas tubuh saya. Malam [...]

June 9, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 16: Semalam di Alichur

Alichur, Kota Gembala di Pengunungan Pamir (AGUSTINUS WIBOWO) Di antara semua kesusahan hidup di Tajikistan, yang paling berat adalah transportasi. Langar memang sangat terpencil. Letaknya bukan di jalan utama, sehingga dalam sebulan mungkin hanya ada satu kendaraan saja yang lewat. Saya ingin meneruskan perjalanan ke utara, menuju Pamir Highway yang menghubungkan Tajikistan dengan Kyrgyzstan, negara tujuan saya berikutnya. Tetapi menunggu satu bulan di Langar tentu saja bukan pilihan. Visa Tajikistan, yang saya beli dengan harga 250 dolar di Kabul, hanya memberi saya ijin tinggal satu bulan. Khalifa Yodgor memang orang baik. Tahu kesulitan saya, ia membantu mencarikan saya kendaraan yang akan membawa saya melanjutkan perjalanan. Pemilik mobil yang satu ini memang sudah lama menganggur. Tahu saya ingin ke Alichur, dia langsung mengeluarkan sederetan hitung-hitungan yang membuat kepala saya pening. “Jarak Langar ke Alichur 120 kilometer. Pergi pulang 240 kilometer. Naik turun gunung, 1 liter bensin cuma untuk 3 kilometer. Kamu paling tidak harus memberi 80 liter bensin.” “Bisa bayar tidak pakai uang?” “Terserah kamu, mau bayar pakai bensin atau bayar pakai uang?” Apakah dia menganggap saya sebagai suplier bensin yang selalu membawa 80 liter bensin ke mana-mana? Atau memang di sini, di mana BBM langka sampai harganya mencekik leher, bensin [...]

June 9, 2013 // 1 Comment

Kompas (2011): Perjalanan Melebur Garis Batas

18 October 2011 Kompas Cyber Media Travel travel.kompas.com/read/2011/10/18/08365641/Perjalanan.Melebur.Garis.Batas Backpacker   Perjalanan Melebur Garis Batas   Penulis : Ni Luh Made Pertiwi F Selasa, 18 Oktober 2011 | 08:36 WIB     KOMPAS.com – Manusia, yang sejatinya cuma entitas yang satu, memiliki beragam identitas. Ia dibentuk oleh beragam ras, ditempa oleh beragam aspek kultural, dan tumbuh menjadi sosok yang sarat nuansa. Acapkali, kekayaan nuansa itu membentangkan garis-garis batas yang memisahkan manusia. Melangkah melewati garis-garis demarkasi itu melahirkan pengalaman eksistensial yang unik. Dibutuhkan keberanian. Buka cuma itu, dibutuhkan juga kegilaan. Perjalanan ini bukan hanya garis batas teritorial yang ditembus, tapi juga garis batas kultur, garis batas agama, garus batas ras.   Itulah yang dilakukan Agustinus Wibowo, seorang petualang kelahiran Lumajang, Jawa Timur, 1981. Dari Afghanistan, ia menyeberang menelusuri Asia Tengah. Sebuah sungai selebar 20 meter membentangkan perbedaan peradaban hingga satu abad. Ia menjelajahi Tajikistan, Kyrgyzstan, Kazakhstan, Uzbekistan, hingga Turkmenistan. Ia menerabas batas-batas politikdan sosio-kultural. Ia juga menerabas batas-batas dirinya dan melebur bersama pengalaman masyarakat di negeri-negeri jauh. Ia pantang naik pesawat terbang. Seluruh perjalannya ditempuh melalui jalur darat: naik bus, pedati, keledai, hingga jalan kaki. Agus membukukan kisah perjalanannya di “Negeri-negeri [...]

October 18, 2011 // 2 Comments

Garis Batas – Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah (Borderlines)

My second published travel writing book, on journey to Central Asian countries (The “Stans”). Indonesian language. Borderlines – Journey to the Central Asian States Everyday, Afghan villagers stare to “a foreign country” which is just a river away. They look at passing cars, without even once experiencing sitting inside the vehicles. They look at Russian-style villas, while they live in dark mud and stone houses. They look at girls in tight jeans, while their own women are illiterate and have no freedom to travel. The country across the river seems magnificent—a magnificent fantasy. The same fantasy brings Agustinus Wibowo travel to the mysterious Central Asian states. Tajikistan. Kyrgyzstan. Kazakhstan. Uzbekistan. Turkmenistan. The “Stan brothers”. This journey will not only bring you step on snowy mountains, walk accross borderless steppes, adsorbing the greatness of traditions and the glowing Silk Road civilization, or having nostalgy with Soviet Union communism symbols, but also finding out the mystery of fate of human beings who are always being separated in the boxes of borderlines. Paperback, 528 pages Published April 14th 2011 by Gramedia Pustaka Utama ISBN13 9789792268843 primary language Indonesian original title Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah url http://www.gramedia.com/buku-detail/84515/Garis-Batas ————– Garis Batas: Perjalanan [...]

April 25, 2011 // 4 Comments

Shakhimardan – An Uzbek Island Surrounded by Kyrgyz Mountains

Shakhimardan, an Uzbek “island” surrounded by Kyrgyzstan As artificial as any other thing in Central Asia was the border lines between the countries. The nations created by the Soviet rulers now had to be provided their homeland. Stalin might say, land populated by most Uzbek should be Uzbekistan, those inhabited by mostly Mongoloid Kyrgyz then became Kazakhstan (the Kazakh was called as Kyrgyz) and Kyrgyzstan (of which people was called as Black Kyrgyz). But the matter was not simple in the Ferghana Valley. Ferghana Valley was always a boiling pot in Central Asia. The people were renowned as deeply religious Muslim, if not fundamentalist. It was more than necessary for the Russian to divide this huge mass with the highest population density all over Central Asia. Then, besides the division of ethnics (who were Uzbek, who were Kyrgyz, and who were Tajik), there was a clever intrigue by dividing the border lands to divide the people. Then, the identity in Ferghana Valley was not single ‘Islam’ anymore, but new artificial entities of Kyrgyz, Uzbek, and Tajik. But this was not something special if it was just borderlines. Borderlines created by Stalin were so complicated, zigzagging, and nobody understood the reason. [...]

April 7, 2007 // 1 Comment

Tokmok – The Dungan

A Dungan family “Хуэйзу либянди щинфу” – Happiness Among the Dungan Hueimin Bo 26.01.2006 My first interaction with the Dungans was with its food. There is a busy, crowded, small restaurant near the Iranian embassy in Bishkek offering Dungan food. When I entered the underground room, I felt I was thrown again to China. It is Chinese, and only Chinese language, spoken among the cook and servants. The food also resembles Chinese food you eat in mainland China, with slight variation of Central Asia touch. That second I immediately decide: I want to know who the Dungans are. Tokmok is a little town 70 km east of Bishkek. This town is located nearby to Chuy River which now separates Kyrgyzstan and Kazakhstan. Tokmok is a kaleidoscope of ethnics: Kyrgyz, Kazakh, Uzbek, Russian, Uyghur, and Dungan traders stuff its busy Sunday bazaar. Tokmok is home of most Kyrgyzstan’s Dungan population. Not far from the bazaar there is a little Dungan mosque. Here, in Central Asia, as countries are split into ethnic-nation idea (e.g. Kyrgyzstan – the country of the Kyrgyz, Uzbekistan – the country of the Uzbeks, etc) even the mosques are now ethnic-based. The Dungans only go to their own [...]

November 26, 2006 // 1 Comment

Bishkek – Uzbekistan Visa

Another bureaucratic thing to do in Bishkek For Indonesian passport holders, Uzbekistan visa requires Letter of Invitation. Recently getting Uzbekistan visa is more difficult then before, since the Andijan massacre in 2005. Before the American passport holders were granted multiple entry visa, but since the Karimov president kicked all the American soldiers out, the visa is now only for one month, single entry, same for anybody else. Only the Japanese passport holders still enjoy the privilege of no LOI, no visa fee (they only pay 15$ for the visa). I got my invitation from the Embassy of Republic of Indonesia in Tashkent. It is a personal invitation from one of the diplomats there, Mrs Sunarti Ichwanto. It is also a 1-month, single entry visa. But they said that the visa can be extended. The Uzbekistan embassy requires invitation per telephone for people who apply for visa, and as interview will be conducted, everybody either should speak Russian or bring a Russian translator. I came very early today. The snow just started. It was very cold to wait outside the embassy. I got the first turn to enter, as I called 3 days earlier. The application form was completely in Russian. [...]

November 22, 2006 // 0 Comments

Bishkek – A Wedding in the Capital

The bride and the groom departs from the very same house Moken big house became very crowded since the previous week, when relatives from Toktogul all flooded the house complex. Moken house was considered quite big, located at the outskirt of Bishkek, at least 40 minutes by car from the city center. He should be considered a middle class, if not rich, in the living standard of Kyrgyzstan. He had an expensive car as he was a taxi driver plying Toktogul – Bishkek road, and his house consisted of several separated buildings, including a stable which housed his numerous sheep and goats. As in Tajikistan, in Kyrgyzstan taxi drivers generally had quite high position in society spectrum of the people. Everybody in Toktogul knew about him. Moken had three sons. The eldest, Timur, has just married to a girl recently. Both of Timur and Zarina, his wife, were very young, not more than 20 years old. In Central Asia, people marry at very early age. Timur and Zarina lived together since their marriage a month before. Now they were preparing for the reception. It was weird for me that the reception had to wait long after the marriage. Maybe Moken [...]

November 19, 2006 // 0 Comments

Bishkek – Lost Passport

My Indonesian passport. Looks old and dirty, but without which I am nobody. I am, maybe as well as the readers of this blog are, tired of my own carelessness. I lost count already of how many problems I faced in this trip due to my stupidity. And now it happened something that almost destroyed my entire traveling dream. I went with Maksat to the city center. I stayed with Moken family in a complex outskirt of Bishkek. From Ala Too complex to Bishkek city center we need to take mashrutkoe (lit. fixed line, means minibus) for 30 minutes. There was no internet café around so the only choice was to go to the city to get a web access. After about 1 week in the villages between Bishkek and Osh, now I desperately needed and internet connection. We want to Tsum. Tsum, center department store, is always available in all ex-Soviet big cities. In Bishkek, it is 3 storey building at the city’s commercial center. The internet access is fast, but expensive. I noticed many Internet cafes in Kyrgyzstan try to scam the clients by so-called ‘traffic fee’ system. They charge the Internet time usage as well as how [...]

November 16, 2006 // 0 Comments

Toktogul – The Kyrgyz Language

It still looks so Russia It is the first chance for me to get acquainted with one of the Turkic languages. Kyrgyz, as well as Kazakh, Uzbek, Turkmen, Turkish, and Mongol are Turkic languages. The first five are quite close each other, but Mongol is completely intelligible to other Central Asian Turkic speakers. Some linguists put Korean and Japanese in the Turkic language group, due to similarity of word order and agglutinative verbs. But newer linguistic classification, as what I believe, has thrown away the two Oriental languages out of the group. Before getting confused, please notice the difference between ‘Turkic’ and ‘Turkish’. The Turkic languages family is a group of languages with similarities of grammar and word forms, which includes Turkish and most of Central Asian languages. Books for learning Kyrgyz in English language are quite difficult to find even in Kyrgyzstan, and I was lucky that I met two Peace Corps volunteers who lent me the grammar book. For me, Turkic language experience was very fascinating, full of formulas, and I read 100 pages of grammar rules in 2 nights, and used to wake up full of linguistic formulas in my head. The Turkish languages have similar word [...]

November 14, 2006 // 0 Comments

1 2 3