Recommended

petualangan

Titik Nol 21: Debat

Para biksu berdebat sengit di Kuil Sera. (AGUSTINUS WIBOWO) Kuil Sera, salah satu dari tiga universitas Budhisme penting di Tibet, terletak lima kilometer di  utara pusat kota Lhasa. Sempat ditutup selama Revolusi Kebudayaan, kini dibuka kembali dan menjadi tontonan para turis yang menyaksikan debat keagamaan setiap hari. Seperti halnya kuil-kuil penting lainnya di Lhasa, Kuil Sera pun menarik karcis dari pengunjung. Orang asing dan orang China membayar 50 Yuan, penduduk Tibet 1 Yuan. Tidak bisa ditawar. Untuk ukuran kantong saya, uang itu termasuk besar. Berat sekali rasanya mengeluarkan uang sebanyak itu untuk tiket masuk tempat ibadah. Saya tak pernah setuju kalau tempat ibadah menarik karcis dengan memaksa. Daripada mendukung materialisasi agama, saya memilih beribadah mengelilingi kuil suci ini. Dalam agama Budha Tibet, mengelilingi tempat suci juga termasuk ibadah. Seperti kora mengitari Kailash dan Manasarovar, atau lingkhor mengitari Potala dan Chokpuri di Lhasa, kuil-kuil suci pun punya lintasan untuk dikelilingi. Di sekitar Kuil Sera, orang Tibet dengan khusyuk melaksanakan ibadah mengelilingi kuil. Mereka mendaki batu-batu cadas, dengan mulut berkomat-kamit dan tangan terus memutar roda sembahyang. Ada barisan silinder emas bertulis mantra suci, setiap kali memutarnya, pahala semakin bertambah. Batu-batu besar di lereng tebing pun dilukis gambar dewa. Ada Yama, Dewa Kematian [...]

May 29, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 20: Perayaan Akbar

Pengibaran bendera Republik Rakyat China di depan Potala. (AGUSTINUS WIBOWO) Bendera merah dengan lima bintang emas berkibar di seluruh penjuru Lhasa. Provinsi ini sedang bersolek merayakan empat puluh tahun berdirinya Tibet Autonomous Region (T.A.R), empat puluh tahun yang merombak total wajah dan kehidupannya. Di hadapan Istana Potala, bendera besar berwarna merah berkibar gagah. Lagu kebangsaan China, “Bangkitlah…. orang-orang yang tak hendak menjadi budak ….” membahana. Barisan tentara berseragam hijau memainkan terompet, seruling, genderang. Yang lainnya melakukan gladiresik, menyambut upacara perayaan akbar yang akan berlangsung di lapangan di depan Potala. Pada tahun 1951, utusan pemerintahan Tibet di bawah Dalai Lama menandatangani perjanjian dengan pemerintah komunis di Beijing. Tibet, walaupun punya pemerintahan sendiri, tak pernah diakui oleh negara mana pun sebagai negeri berdaulat. Salah satu poin perjanjian itu adalah menyatakan Tibet adalah bagian dari Republik Rakyat China dengan otonomi. Peristiwa bersejarah itu dirayakan sebagai terbebasnya Tibet, kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Tahun-tahun berikutnya, kedudukan Dalai Lama sebagai pemimpin spiritual sekaligus dewa di hati orang Tibet, secara perlahan namun pasti, mulai tergeser, hingga pada akhirnya sang pemimpin melarikan diri ke India tahun 1959. Tanggal 1 September 1965, berdirilah Daerah Otonomi Tibet (T.A.R) dengan wilayah yang jauh lebih kecil daripada teritorial Tibet di bawah [...]

May 28, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 19: Biksu Muda

Biksu muda dari Qinghai di depan Istana Potala. (AGUSTINUS WIBOWO) “Tashidelek!” dua orang biksu muda menghentikan saya yang sedang berjalan di jalan raya Lhasa. “Budha memberkati.” Mereka membungkuk. Saya ikut membungkuk, membenturkan kepala kami sebagai tanda salam yang paling terhormat. Jalanan kota Lhasa tak pernah sepi. Bendera warna-warni menghias sepanjang jalan, merayakan 40 tahun berdirinya Daerah Otonomi Tibet. Empat puluh tahun ini, sudah begitu banyak perubahan di atap dunia ini. Mobil hilir mudik di jalan utama yang lapang dan beraspal mulus. Toko-toko berbaris, menunjukkan ekonomi yang sedang berkembang. Restoran Sichuan menebarkan aroma masakan Tiongkok yang menggoda. Orang-orang berpakaian trendi, bersepatu hak tinggi atau bersemir hitam mengkilat, berjalan di ruas jalan yang sama dengan para biksu, pria berjubah bulu, atau perempuan berpakaian tradisional. Lhasa adalah percampuran berbagai unsur kehidupan. Para lama atau biksu hilir mudik di jalanan yang kelap-kelip oleh lampu neon modern, sibuk berbicara dengan telepon genggam mode terbaru. Ada pula yang menikmati jalan-jalan sore di kota, membeli yangrouchuan – sate kambing, dari sebuah warung Sichuan. Para biksu muda di ibu kota ini cukup berduit juga rupanya. Selain membaca sutra dan mantra di dalam kuil, mereka pun keluar merambah kesenangan duniawi di kota ramai. “Tashidelek,” dua biksu berambut pendek nyaris [...]

May 27, 2014 // 6 Comments

Titik Nol 18: Modernisasi

Panji-panji perayaan berdirinya Tibet Autonomous Region di bawah pemerintahan Republik Rakyat China menghiasi jalan utama Lhasa. (AGUSTINUS WIBOWO) Kota Lhasa bukan lagi ujung dunia yang misterius. Tibet bukan lagi atap dunia yang tak terjamah. Shangrila ini tidak lagi hidup dalam dunianya sendiri. Istana Potala, bekas tempat kedudukan Dalai Lama, menjulang tinggi di puncak bukit, terletak di pusat kota Lhasa. Siapa yang tak kenal landmark Tibet ini? Bangunan belasan lantai dengan seribu kamar lebih ini sudah ada sejak zaman ratusan tahun silam. Megah, menjulang gagah. Saya pernah menonton dokumentasi tentang Tibet tahun 1930-an. Kala itu, Potala sudah berdiri menjulang, dikerumuni oleh orang-orang Tibet dengan pakaian yang rumit dan berat. Kereta kuda dan keledai di mana-mana. Hulubalang kerajaan berjubah panjang, bersanggul, memakai topi seperti mangkuk. Gambaran Lhasa itu benar-benar mistis, sebuah dunia yang terkurung dalam kosmologinya sendiri. Lhasa disebut sebagai Forbidden City – kota terlarang yang tak terjamah dunia luar. Tibet, tak pernah diakui sebagai negara merdeka, tetapi pernah punya sistem pemerintahan sendiri. Theokrasi, atau pemerintahan agama, membuat rakyat Tibet larut dalam pemujaan tanpa henti. Rakyat tak lagi memikirkan pembangunan material, kesenangan duniawi. Yang semakin besar adalah kuil-kuil dengan patung emas raksasa, istana Potala yang menggurita, serta sekelompok kecil keluarga yang mendominasi [...]

May 26, 2014 // 6 Comments

Titik Nol 17: Patah Semangat

Semakin dekat ke Lhasa, jalan mulai beraspal.(AGUSTINUS WIBOWO) Sembilan puluh jam berlalu sejak saya berangkat dari kota Ngari. Hujan rintik-rintik turun di Lhasa. Ransel saya, yang disimpan di bagasi, terbungkus lumpur lengket setebal satu sentimeter. Kaki saya lemas, ditekuk sepanjang jalan. Yang paling parah, motivasi saya turut hancur. Sembilan puluh jam yang terbuang di atas bus sempit dan pengap sudah menggerogoti semangat berpetualang saya.. Perjalanan di Tibet tak mudah. Saya sungguh takut menghadapi lintasan yang selanjutnya membentang di hadapan saya – Lhasa, Shigatse, Gyantse, sampai ke Nepal. Masihkah saya punya cukup keberanian untuk menyelundup tanpa permit, main kucing-kucingan dengan tentara dan polisi, menumpang truk sepanjang jalan sampai ke batas akhir perjuangan? Tubuh saya yang remuk redam sudah tak ingin lagi bermain gila-gilaan. Mendung tebal yang menyelimuti kota Lhasa seakan mewakili isi hati. Banakshol Hotel adalah salah satu penginapan paling legendaris di Lhasa. Petualang asing dan dalam negeri menginap di losmen bergaya arsitektur Tibet. Nuansa backpacker ghetto ala Khao San Road (Bangkok) atau Phan Ngum Lao (Saigon) yang jarang dijumpai di tempat lain di negeri China, hidup di sini. Saya menginap di sebuah dormitory bersama Man Fai si turis Hong Kong dan seorang turis lain asal Inggris yang hendak berangkat ke [...]

May 23, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 16: Kebangsaan

Bus mogok di tengah padang luas.(AGUSTINUS WIBOWO) Di dalam kesepian ini, saya malah merasakan kerinduan yang teramat dalam pada kampung halaman. Sudah dua jam kami berhenti untuk sarapan di Coqen. Ada yang aneh. Biasanya bus tak suka berhenti lama-lama. Untuk makan cuma tiga puluh menit, untuk buang air berombongan di pinggir jalan di tengah padang rumput luas, tak lebih dari tiga menit. Laki-laki dan perempuan pun sampai bersamaan melaksanakan hajat, karena bus kami yang merayap lambat di jalan selalu ‘tak punya waktu’ untuk berhenti. Meninggalkan Coqen, bus bukan merambat lagi, tetapi merangkak. Empat puluh menit perjalanan, kami baru menempuh tujuh kilometer. Setelah itu, bus berhenti sama sekali. Rusak. As roda patah. Perjalanan tak mungkin lagi dilanjutkan. Semua penumpang terdampar di padang rumput. Sekarang, tak seorang pun tahu kapan kami bisa sampai ke Lhasa. “Lhasa? Jangan mimpi. Bisa jalan lagi saja sudah hebat,” kata seorang penumpang berpakaian tentara sinis. Satu jam berlalu. Semula saya senang karena dengan terdampar di sini, monotonnya perjalanan di atas bus bisa sedikit terhapuskan. Semboyan perusahaan bus Tibetan Antelope, “Meiyou Lutou de Laoku, Zhiyou Zaijia de Xiangshou – Tak Ada Susahnya Perjalanan, Cuma Ada Nikmatnya Rumah Tinggal”, yang tertulis besar-besar di badan bus adalah ironi. Sudah lima [...]

May 22, 2014 // 3 Comments

Titik Nol 15: Balik Haluan

Peliharalah persatuan bangsa, lawanlah perpecahan bangsa. (AGUSTINUS WIBOWO) Peruntungan saya mungkin memang tidak terlalu baik. Sampai pukul lima sore, di bawah bayang-bayang wajah tergores Gunung Kailash matahari masih panas menyengat, saya memutusukan untuk balik haluan. Kembali ke Darchen, lalu Ngari, kemudian dari sana baru cari bus ke Lhasa. Sudah seharian saya menunggu ke Barga, tak ada satu pun kendaraan yang lewat dari arah mana pun. Man Fai, si turis Hong Kong, sudah menampakkan wajah pasrah. Dahinya mengilap, kumis tipisnya tak karuan. Senyumnya sangat aneh. Tanda-tanda backpacker putus asa. Saya pun tak jauh beda sebenarnya. Sekali lagi, debu mengepul di kejauhan. Ini kendaraan ketiga yang datang dari arah Burang di selatan menuju ke Darchen atau Ngari di utara. Sebenarnya bukan tujuan kami, tetapi nampaknya cuma ini pilihan kami satu-satunya. “Saya sudah tidak mau menginap lagi di sini,” kata Man Fai, “saya harus cepat-cepat ke Lhasa. Waktu saya sudah tinggal sedikit. Tidak tahu lagi kalau menunggu di sini kapan akan ada kendaraan menuju ke Lhasa. Hao nan shuo…. Susah dikata…” Sama sepertinya, saya pun tak punya waktu banyak dengan visa China saya yang tinggal hanya dua minggu lagi. Walaupun bus ini bukan yang kami tunggu, tetapi melihat sebuah kendaraan sebesar ini terhenti [...]

May 21, 2014 // 4 Comments

Titik Nol 14: Altar Mao Zedong

Mao Zedong dipuja bersama dewa-dewi Budha di altar sebuah rumah di pedalaman Tibet. (AGUSTINUS WIBOWO) Potret pemimpin Partai Komunis China itu kini bersanding di altar, di samping gambar Boddhisatva Avalokiteshvara, Sang Dewi Kwan Im. Sesajian, lilin, bunga, dan lampu mentega menghiasi sudut rumah yang paling terhormat ini. Apakah Mao sudah menjadi dewa bagi orang Tibet? Dari Darchen ke arah selatan kendaraan sangat jarang. Tak banyak yang melintas dari sini ke arah Lhasa kecuali turis. Sehari mungkin hanya ada satu kendaraan, malah kadang tiga hari pun tak ada sama sekali. “Untung-untunganlah, lihat nasib,” kata Xiao Wang, pemilik warung Sichuan di Darchen. Saya pun mencoba peruntungan saya hari ini, berangkat dengan kaki yang masih pincang ke arah jalan umum tiga kilometer di selatan Darchen, mencegat truk yang lewat, naik bak terbuka, diaduk-aduk bersama kambing di atas jalan yang bergerunjal.. Seorang biksu, yang sama-sama menumpang truk itu bersama kawanan kambing, hanya memandang tanpa ekspresi. Suara motor truk berderu kencang, menenggelamkan semua bunyi di bak terbuka. Saya harus berteriak-teriak untuk bicara dengan biksu itu, yang kemudian dibalas dengan pandangan penuh tanda tanya karena tak mengerti bahasa Mandarin. Truk bergoyang hebat, menggoncang semua yang ada di atas bak terbuka seperti gempa bumi skala dahsyat. Kawanan [...]

May 20, 2014 // 3 Comments

Titik Nol 13: Danau Suci

Danau Suci Manasarovar. (AGUSTINUS WIBOWO) Saya tercebur ke dalam sungai dari mata air Kailash. Sungai ini dalam dan arusnya kencang. Tubuh saya terseret terbawa arus. Tangan pemuda itu dengan cekatan menangkap saya yang terjatuh dari batu. Basah kuyup saya menaiki batu-batuan ini. Tangan kanan saya dituntunnya. Sekali lagi saya terpeleset, nyaris hanyut. Tetapi bocah gembala ini tak hilang keseimbangannya. Saya begitu berterima kasih ketika berhasil mencapai tepi sungai. Saya tak bisa membayangkan apa yang terjadi jika hanyut sampai ke sungai besar di seberang sana. Kamera saya rusak. Paspor saya basah kuyup. Sekujur tubuh saya menggigil kedinginan. Tetapi saya harus maju. “Darchen masih jauh,” kata bocah itu dengan bahasa Mandarin yang terbata-bata. Ia menunjukkan peta Kailash dari buku pelajarannya. “Di sini sekarang kamu berada,” katanya menunjuk sebuah titik di sebelah barat lingkaran kora. Masih dua puluh kilometer lagi ke Darchen, dan hari sudah mulai beranjak senja. Dengan perasaan hancur lebur, saya menyeret kaki saya yang sudah mulai lumpuh untuk terus maju. Tiga jam perjalanan yang dilewatkan dengan meringis kesakitan. Saya bersorak gembira ketika sampai di sebuah desa. Ada tiang penuh dengan bendera doa. “Bukan. Ini bukan Darchen!” kata seorang turis Korea yang saya jumpai. Darchen masih 13 kilometer lagi jauhnya. Ini [...]

May 19, 2014 // 4 Comments

Titik Nol 12: Terbawa Arus

Meninggalkan rambut ayah bunda di Shiwa Tal (AGUSTINUS WIBOWO) Mantra suci Om Mani Padmi Hom masih terus bergema di hati saya, ketika kami memulai perjalanan kora keliling Kailash di hari kedua. Orang Tibet sungguh tangguh. Mereka menyelesaikan satu putaran kora, lintasan 52 kilometer ini hanya dalam waktu sehari. Berangkat subuh, sampai di Drera Phuk pagi hari, dan sekarang sudah menyalip saya yang terengah-engah kehabisan nafas, dan akan sampai kembali di Darchen malam nanti.. Dari arah berlawanan, juga datang rombongan peziarah yang bukan berjalan, tetapi merayap. Bagi mereka yang berteguh asa membaktikan diri sepenuhnya dalam ziarah ini, berkeliling Gunung Dewa dilakukan dengan merayap. ‘Merayap’, dalam artinya yang paling harafiah. Kedua lutut ditempelkan ke tanah, kedua tangan di samping badan menyeret perlahan-lahan ke depan, hingga sekujur tubuh tertarik dan tertelungkup di atas bumi. Kedua tangan diseret lagi, tubuh perlahan-lahan diangkat, berdiri, maju selangkah, komat-kamit membaca doa dengan mengatupkan telapak tangan, kemudian tengkurap lagi di tanah. Demikian seterusnya, sejauh puluhan kilometer melewati jalan datar, bongkahan batu, hingga sungai dingin di atap dunia ini. Tangan mereka boleh dilindungi sarung tangan dan sandal. Tubuhnya boleh dibalut karet tebal. Sakit perut boleh ditahan dengan obat. Tetapi semangat pengorbanan, melintasi tiga minggu penuh derita, sungguh tak tergantikan. [...]

May 16, 2014 // 5 Comments

Titik Nol 11: Om Mani Padme Hum

Wajah utara Kailash dilihat dari Drira Puk. (AGUSTINUS WIBOWO) Batu warna-warni berjajar. Di atasnya bertahta mantra suci Budha, “Om Mani Padme Hum”. Burung elang bertengger gagah di atas batu. Gunung suci Kailash menampakkan wajahnya yang tersembunyi di balik awan. “Perjalanan kora adalah penyucian jiwa,” kata si gadis China, Yan Fang, mengutip sebuah buku yang ia baca tentang kultur Tibet. Dan dalam perjalanan penyucian jiwa itu, orang harus menghadapi lika-liku, cobaan, hingga akhirnya sampai pada pencerahan. Padang rumput yang membentang dan langit biru yang menangkup, semua khusyuk dalam keheningan gunung-gunung. Sebuah hening yang malah membuat hati bergemuruh. Melihat mantra Om Mani Padme Hom tertulis dalam huruf Tibet di atas batu mani, hati saya bergidik. Mantra itu seperti bergema dalam hati saya. Perlahan, tapi tak pernah berhenti. Dari sebuah bukit, saya memandang ke arah padang rumput yang luas itu. Dua buah danau raksasa bersebelahan. Yang kiri berwarna biru, yang kanan berwarna hitam. “Yang kiri itu Danau Suci,” kata Yan Fang, “airnya adalah air suci. Orang Tibet juga ke sana, mengitari danau sampai belasan kali. Yang kanan adalah Danau Setan. Itu danau yang penuh angkara murka. Menyentuh airnya pun membawa petaka.” Danau Suci, dalam tradisi Hindu disebut Manasarovar, milik Dewa Brahma. Orang Tibet [...]

May 15, 2014 // 5 Comments

Titik Nol 10: Kora

Kailash menjulang di balik kibaran bendera doa. (AGUSTINUS WIBOWO) Orang Hindu menyebutnya Kailash. Orang Tibet menyebutnya Permata Agung. Dalam  bahasa Mandarin namanya Shenshan, Gunung Dewa. Menjulang pada ketinggian 6638 meter, bertudung langit malam yang cerah. Ribuan bintang bertabut di angkasa raya. Langit menangkup ke seluruh batas cakrawala. Lolongan anjing bersahut-sahutan. Bulan bulat purnama. Keheningan malam membungkus Darchen. “Kamu harus banyak istirahat,” kata Xiao Wang, pria Sichuan pemilik warung, “keliling Gunung Dewa bukan perjalanan mudah. Kalau dalam perjalanan nanti lelah, jangan dipaksa. Di atas sana oksigen sangat tipis.” Xiao Wang kemudian menceritakan tentang peziarah India yang bertubuh tambun dan mati di puncak sana. Tetapi karena ia Hindu, penduduk Tibet tak mengizinkan mayatnya dibakar di sini. Jenazah pria malang itu dibawa pulang lagi ke negaranya, melalui perjalanan panjang melintasi barisan gunung suci. “Malangkah pria itu? Sama sekali tidak,” lanjut Xiao Wang, “bagi mereka yang percaya, mati di tempat sesuci ini adalah berkah yang tiada terkira.” Sejak China mengibarkan benderanya di Tibet, Dalai Lama mengungsi, hubungan China-India terus memburuk, kesempatan bagi orang Hindu India untuk sekadar melihat wajah Kailash – tempat paling suci dalam agama mereka – sangat tipis. Hanya mereka yang teramat sangat beruntung yang bisa memperoleh visa datang ke sini. Kailash [...]

May 14, 2014 // 2 Comments

Titik Nol 9: Darchen

Sebagai dusun peziarah dan turis, Darchen dipenuhi hotel dan restoran. (AGUSTINUS WIBOWO) Cemas masih menggerayangi ketika mobil mulai oleng diterpa air sungai yang menderas. Kami tepat di tengah-tengah. Dua puluh meter ke belakang, dua puluh meter ke depan, untuk bisa keluar dari kubangan menyeramkan ini. Sopir memilih mundur. Para penumpang sudah menjerit marah bercampur ketakutan. Beberapa lelaki Tibet turun, ikut mendorong mobil yang tertambat. Tepat sepuluh menit berkubang, mobil kami akhirnya berhasil mencapai tepian. Para penumpang mendengus kesal. Barang bawaan mereka yang ditaruh bagasi belakang semua jadi hitam bercampur lumpur. Ibu polisi Tibet itu lebih sedih lagi, sekarung beras yang dibawanya juga jadi beras lumpur. “Itulah pengabdian,” katanya sambil menghela nafas panjang, ketika kami melanjutkan perjalanan. Saya tersentuh oleh pengabdian polisi senior ini. Gajinya cuma 2500 Yuan. Di Tibet, di tempat yang terpencil dengan semua harga barang melambung tinggi, gaji itu sama sekali tidak ada apa-apanya. Naik bus seperti ini sepuluh kali saja sudah habis. Untuk makan tiga orang aja selama satu bulan juga tidak cukup. Belum lagi untuk tabungan, biaya hidup anak dan keluarganya. Tetapi bu polisi tetap tegas menjalankan tugas, menegakkan hukum di pelosok terjauh Republik Rakyat China, tak peduli dengan rengekan orang asing yang melakukan perjalanan-perjalanan ilegal. [...]

May 13, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 8: Polisi

Kota Ngari di ujung barat Tibet dihuni oleh mayoritas penduduk etnis Han dari pedalaman China. (AGUSTINUS WIBOWO) Sungguh tak enak rasanya menjadi pencuri. Saya yang masuk tanpa izin sama sekali ke daerah terlarang ini, sekarang malah duduk satu mobil bersama polisi China. Terminal bus kota Ngari, seperti sebelumnya, sepi. Tempat ini jauh dari mana-mana. Jangankan ke Beijing yang dipisahkan ribuan kilometer di balik puncak gunung salju dan padang gurun luas, dari sini ke Lhasa pun butuh perjalanan berhari-hari melintasi medan yang berat. Pintu keluar Ngari yang paling dekat adalah propinsi Xinjiang di utara, itu pun dua hari perjalanan melewati Parit Kematian. Tetapi terlepas dari keterpencilannya, Ngari justru paling dekat dengan ‘Pusat Dunia’. Sekitar tiga ratus kilometer di selatan Ngari, Gunung Kailash yang dimuliakan umat berbagai agama berdiri dengan gagah. Ke sanalah tujuan saya berikutnya. Harga angkutan di Tibet terbilang mahal. Untuk jarak Ngari sampai Kailash, harga karcisnya 230 Yuan. Kalau orang asing lebih mahal lagi, 300 Yuan. Untunglah saya masih bisa menyamar sebagai orang Tiongkok. Tetapi Seum dan Kim dengan bahasa kemampuan bahasa Mandarin yang pas-pasan, terpaksa membayar lebih. Kami bertiga duduk berimpitan di baris paling belakang. Sejatinya jip ini cuma muat tujuh penumpang, tetapi semua dijejalkan sampai sepuluh. Bagasi [...]

May 12, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 7: Penantian di Pinggir Jalan

Tas ransel tergeletak di jalan. Pemiliknya menanti dalam keputusasaan. (AGUSTINUS WIBOWO) Lengang. Kami berempat menanti dalam ketidakpastian. Tak ada manusia, tak ada kendaraan yang melintas. Kerajaan yang hilang itu tersembunyi di balik gunung-gunung tinggi sana. Pria Jerman berjaket merah ini bernama Hans, seorang trekker sejati. Umurnya sudah mendekati lima puluhan, tetapi keberanian dan ketangguhannya melebihi orang muda sekalipun. Seorang diri ia sudah mengelilingi Tibet selama tiga bulan, mendaki gunung-gunung dan merambah tempat-tempat tersembunyi. Zanda, kerajaan Guge, termasuk tempat terakhir yang belum disentuhnya di tanah Tibet. Hans bisa sedikit bahasa Mandarin. Bertualang di Tibet sebagai seorang laowai – bule – sangat tidak mudah. “Hitchhike – menumpang truk – sangat susah. Sopir truk kebanyakan tak berani mengangkut laowai, karena kalau tertangkap polisi mereka akan didenda mahal.” Untuk soal permit Tibet, Hans lebih memilih mematuhi hukum. Tetapi itu pun tak mudah. Aturan di Tibet berubah setiap saat. Tidak ada yang tahu aturan apa yang sedang berlaku. Permit yang sudah dibeli mahal-mahal pun bisa jadi tak berlaku di tempat lain. Sekarang pada permit yang dipegang Hans pun tak tercantum nama Ngari, yang artinya ia pun pelancong ilegal. Hans punya segudang nasihat terhadap para pelancong ilegal seperti kami. “Berhati-hatilah, di Barga nanti ada pos pemeriksaan [...]

May 9, 2014 // 3 Comments

Titik Nol 6: Kerajaan yang Hilang

Pagi hari di Ngari, ketika gunung-gunung salju bersinar kemerahan dibilas mentari. (AGUSTINUS WIBOWO) Mashang, segera, dalam konsep sopir truk Uyghur ini ekuivalen dengan menunggu delapan jam. Truk merek Dongfeng – asli buatan China – baru berangkat meninggalkan Rutog menjelang malam setelah penantian dari siang tadi. Saya duduk berdesakan di bangku sempit sebelah sopir. Saya tak sendiri. Ada Ilya, seorang pesepeda dari Italia. Tibet memang surga bagi para pesepeda. Banyak yang datang jauh-jauh dari Eropa, menempuh perjalanan dengan sepeda melintasi Rusia dan Asia Tengah, masuk Tibet hingga ke Nepal dan India, atau berbelok ke Vietnam dan Asia Tenggara. Di mana-mana saya melihat pesepeda. Bukan hanya orang asing, pemuda-pemudi China pun sudah menempuh perjalanan keliling negara mereka yang luar biasa luasnya, hanya dengan sepeda. Lima tahun lalu, kegiatan menjelajah masih belum terlalu populer di kalangan generasi muda China. Anak muda yang saya temui di universitas semua sibuk belajar untuk meraih beasiswa ke luar negeri. Cita-cita mereka – melihat dunia luar. Waktu itu dengan paspor China sungguh sulit bisa ke luar negeri. Negara-negara lain tak mau memberi visa. Semuanya penuh perjuangan. Sekarang, ketika perekonomian sudah mulai maju, bocah-bocah dari kelas menengah sudah mengenal gaya hidup backpacking. Belajar giat, tetap. Tetapi waktu liburan juga [...]

May 8, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 5: Meja Biliar

Kota modern di tengah gunung (AGUSTINUS WIBOWO) Kalau ada daftar tempat-tempat di ujung dunia yang paling aneh, Rutog pastilah salah satu nominasi. Kota baru yang muncul di tengah kumpulan gunung, sepetak jalan aspal lurus yang mulai dari kepulan debu dan berakhir pada kepulan debu, polisi yang berkeliaran, serta penduduk yang sehari-hari hanya bermain biliar dari pagi hingga malam. Para pesepeda Perancis baru saja berangkat menuju kota Rutog – pemukiman orang Tibet pertama dari arah Pegunungan Kunlun – sepuluh kilometer di selatan Danau Pangong yang masih dibungkus kesunyian ketika matahari pagi sudah memancarkan sinarnya ke sudut-sudut gunung. Jarak sepuluh kilo mestinya tak telalu jauh, bisa jalan kaki. Tetapi karena ini di atap dunia, pada ketinggian 4000 meter lebih, di mana oksigen tipis dan kepala selalu terasa berat, menggendong ransel pun saya hampir tak kuat lagi. Saya duduk di pinggir jalan, di atas ransel, menunggu mobil atau truk yang bisa ditumpangi. Wajah saya sekarang sama dekilnya dengan tas ransel – berbalut debu. Rambut kusut dan kasar. Kulit penuh daki. Pakaian pun jadi hitam. Danau Pangong adalah ironi, di mana danau luas berair jernih dan dingin membentang, di pinggirnya ada perkampungan gubug kumuh dan toilet tanpa air yang dikerubungi lalat hijau sebesar ujung [...]

May 7, 2014 // 4 Comments

Titik Nol 3: Parit Kematian

Rumah makan Sichuan di tengah gunung gersang. (AGUSTINUS WIBOWO Bus tergoncang hebat melintasi barisan gunung gersang kelabu. Jalan berkelok-kelok di atas bebatuan. Sungguh alam yang keras tanpa ampun di luar sana. Hanya mereka yang tangguh sajalah yang boleh bertahan di alam seperti ini. Tak disangka, bus ini sungguh luar biasa. Sejak pagi kami suah melintasi tiga gunung pada ketinggian rata-rata 4500 meter. Mulai dari Kudi, Chiragsaldi, dan sekarang Mazar. Karena terhenti selama empat jam tadi pagi, kami baru sampai di puncak Mazar pukul tiga sore. Perut saya sudah keroncongan dan mata berkunang-kunang. Di tempat setinggi ini, oksigen sangat tipis, membuat kita mudah terserang sebuah gejala yang disebut altitude sickness atau penyakit ketinggian. Kepala berat, aliran darah melambat, mual dan muntah. Lebih parah lagi sampai pembuluh darah pecah. Orang yang tak terbiasa tempat tinggi atau yang staminanya buruk mudah sekali terserang gejala ini. Waktu turun di sebuah dusun selepas Mazar, baru 250 kilometer dari Kargilik, kaki saya sudah lemas dan pandangan mulai kabur. Di kanan gunung batu. Di kiri pun gunung batu. Gersang. Angin berhembus kencang, menderu seram, membawa bulir-bulir debu berputar-putar. Kami sekarang berada di ketinggian 3780 meter. Ternyata ada pula manusia yang bisa hidup di tempat seperti ini. Beberapa [...]

May 5, 2014 // 3 Comments

Titik Nol 2: Mimpi Buruk

Bus ranjang susun Tibetan Antelope, satu-satunya perusahaan bus umum yang menuju ke Tibet dari Kargilik. (AGUSTINUS WIBOWO) Bagaimanakah rasanya menyelundup? Keindahan bintang pun tak bisa meneduhkan hati. Dalam tidur malam digoncang-goncang bus yang melintas jalan berbatu pun, yang selalu muncul adalah wajah garang polisi. “Pemeriksaan tadi sangat ketat,” kata Deng Hui, penumpang China yang duduk di depanku. Deng Hui sudah berumur 37 tahun, tetapi hasrat berpetualangnya masih menggebu. Sudah berkali-kali ia masuk Tibet, dan sekarang ia sedang dalam misi menuju Nepal. Bus datang sekitar satu jam setengah setelah saya diturunkan dari taksi. “Tadi polisi benar-benar memeriksa semua orang, mencari apakah ada orang Uyghur di antara penumpang. Katanya ada buronan Uyghur yang mencoba melarikan diri dari Xinjiang menuju Tibet.” Pos pemeriksaan kedua adalah pos tentara. Semua penumpang turun, menunjukkan dokumen. Orang asing hanya menunjukkan sampul paspor, langsung dibolehkan lewat. Perjalanan bus ini seperti penginapan berjalan. Di tengah malam, kami berbaring di kasur kami masing-masing. Lebarnya cuma setengah meter, panjangnya 1.25 meter. Sepanjang malam lutut harus ditekuk. Bau tak sedap, campuran antara bau badan, kaki, sepatu, telur, asinan, memenuhi bus ini. Penumpang tak boleh berjalan di dalam bus beralas sepatu. Setiap naik bus, sepatu harus langsung dimasukkan tas kresek dan digantung di [...]

May 2, 2014 // 3 Comments

Titik Nol 1: Kilometer Nol

Etnis Muslim Uyghur di Kargilik, kota terakhir propinsi Xinjiang Uyghur sebelum memasuki Tibet (AGUSTINUS WIBOWO) Dari titik nol inilah petualangan saya dimulai. Dari sinilah langkah awal perjalanan panjang menembus atap dunia, melintas barisan gunung dan padang, memuaskan mimpi untuk menemukan berbagai kisah tersembunyi di ujung dunia. “Orang Asing Dilarang Melintas Jalan Ini Menuju Ali Tanpa Izin,” demikian tertulis pada sebuah papan besar di Kilometer Nol di ujung kota Kargilik. Papan itu bergambar sepasang polisi laki-laki dan perempuan dalam sikap hormat. Pesan polisi itu ditulis dalam bahasa Inggris, Mandarin, dan Uyghur. Jantung saya berdegup kencang. Saya akan memulai perjalanan ilegal menuju tanah Tibet. Daerah Otonomi Tibet adalah daerah spesial di Republik Rakyat China. Orang asing yang masuk ke daerah ini harus punya izin khusus. Ada berbagai macam permit yang harus dipegang – Tibet Travel Permit (TTB), izin polisi (PSB – Public Security Bureau – Permit), izin militer (military permit). Segala macam birokrasi itu ujung-ujungnya duit. Tibet juga terlarang bagi jurnalis asing dan diplomat kecuali setelah menempuh proses yang panjang dan berbelit-belit. Buat ukuran kantong saya yang sangat tipis, permit-permit itu bukan pilihan. Saya juga tak berkehendak menghabiskan ratusan Yuan untuk mengurus kertas-kertas yang tak jelas ke mana juntrungannya. Tekad saya sudah [...]

May 1, 2014 // 8 Comments

1 2 3 4 5 6 9