Recommended

ritual

Titik Nol 79: Turisme di Kota Kuno

Kota suci Pushkar di sekeliling danau suci. (AGUSTINUS WIBOWO) Kota kecil Pushkar, tempat datangnya ribuan umat Hindu membasuh diri di kolam suci, hiruk pikuk menyambut datangnya Kartika Purnima. Bukan hanya kaum peziarah, kini unta, karavan, nomad, memenuhi seluruh sudut kota. Tak lupa tentunya turis. Bagaimana turisme mengubah kehidupan di tempat suci ini? Saya dan Lam Li bersama-sama meninggalkan Jaipur menuju kota suci Pushkar. Bus penuh sesak. Orang India selalu tidak sabaran untuk turun dari bus. Saling desak, saling senggol, saya hampir terlindas oleh kakek tua yang mendorong saya dengan kasar. Penduduk negeri ini sepertinya punya konsep waktu yang aneh. Di kala senggang mereka tiduran seperti waktu tak pernah habis. Tetapi kalau sudah urusan turun dari kendaraan, mulai dari bus, rickshaw, kereta api, sampai pesawat terbang sekali pun, mereka harus jadi yang paling dulu menyentuh tanah, seolah waktu mereka tak tersisa lagi barang sedetik pun. Kami berganti bus di kota suci Ajmer, kota suci umat Muslim. Pushkar, kota sucinya umat Hindu, hanya 14 kilometer jauhnya dari Ajmer. Suasana kota kuno segera menyergap begitu kami memasuki gang sempit Pushkar yang berkelok-kelok bagai rumah sesat. Rumah kotak-kotak berwarna putih bertebaran. Alunan mantra terus mengalir dari pengeras suara yang ringsek. Sapi berkeliaran, dan perempuan [...]

September 11, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 45: Dewi Hidup

Sang Dewi mengintip dari balik jendela istananya. (AGUSTINUS WIBOWO) Hari ini adalah hari keempat perayaan Indra Jatra. Kumari Devi, sang dewi hidup, akan memberikan pemberkatan bagi raja dan seluruh warga Kathmandu. Mozaik warna-warni Nepal membungkus Lapangan Durbar dalam gelora perayaan. Tidak ada yang tahu pasti bagaimana kebiasaan menyembah dewi hidup di Nepal bermula. Legenda mengatakan, raja Jayaprakash Malla dari abad ke-17 terpesona oleh kecantikan Dewi Taleju waktu bermain catur dengan sang dewi pelindung kerajaannya. Kecantikan itu membangkitkan nafsu birahinya. Sang Dewi, yang bisa membaca pikiran raja, marah besar dan mengutuknya. Dewi meninggalkan istana itu sambil memberi tahu titisan berikutnya adalah seorang gadis muda dari kasta rendah. Gadis yang dipercaya sebagai titisan Dewi Taleju dijadikan Kumari Devi, dewi hidup pelindung keluarga kerajaan dan Lembah Kathmandu. Tradisi itu berlangsung hingga sekarang. Kathmandu, Bhaktapur, dan Patan masing-masing punya seorang Kumari Devi yang dipuja umat Hindu dan Budha Newari. Kumari Devi dipilih melalui serangkaian upacara dan pemilihan yang mirip dengan tradisi Budha Tantrayana di Tibet dalam memilih Dalai Lama dan Panchen Lama. Serangkaian mimpi, ilham, dan firasat menunjukkan letak nominasi titisan Dewi Taleju. Gadis-gadis kecil keluarga Budha Newari dari kasta Sakya, sekitar empat tahun umurnya, yang memenuhi 32 syarat fisik kesempurnaan, selanjutnya menjalani serangkaian [...]

July 3, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 40: Bhaktapur

Kota tua Bhaktapur (AGUSTINUS WIBOWO) Kota kuno ini begitu indah. Saya sampai lupa mengedipkan mata menyaksikan pagoda Nyatapola yang menjulang megah. Barisan kuil dan istana kuno, gang sempit yang meliuk-liuk, melemparkan saya kembali ke masa silam. Di antara ketiga kota kuno di Lembah Kathmandu, bagi saya Bhaktapur adalah yang paling indah. Di sini kita terbebas dari ingar bingar kendaraan bermotor dan pengaruh buruk turisme yang merambah Kathmandu. Kota ini juga lebih teratur dan terawat daripada Patan. Keutuhan gedung-gedung masa lalu masih berbaur dengan kehidupan masyarakat yang teramat tradisional. Kota kuno Bhaktapur atau Bhadgaon dikelilingi tembok. Untuk masuk, orang Nepal tak perlu bayar, tetapi orang asing kena karcis sepuluh dolar. Warga negara Asia Selatan dan Republik Rakyat China cukup membayar 50 Rupee saja. Bagi saya yang berkantung cekak, pilihannya hanya dua – menyamar jadi orang China atau menyelinap pagi-pagi buta ketika penjaga pintu gerbang masih belum bertugas. Saya memilih yang terakhir, berangkat dari Kathmandu subuh-subuh, berbekal tiket pinjaman dari turis lain (selembar tiket berlaku satu minggu), dan berhasil menyelinap ke dalam kota kuno tanpa membayar sepeser pun. Penginapan di kota ini jauh lebih terbatas daripada Kathmandu. Sejak menjadi bagian dari warisan budaya dunia yang ditetapkan UNESCO, keaslian dan kekunoan Bhaktapur dilestarikan. [...]

June 26, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 38: Hari Perempuan

Kuil Pashupatinath dibanjiri kaum perempuan (AGUSTINUS WIBOWO) Kathmandu disapu warna merah. Ribuan perempuan turun ke jalan, menari mengiringi lagu yang meriah. Wanita mana yang tak bergembira di hari khusus bagi kaum perempuan ini? Di awal bulan Bhadra dalam penanggalan Nepal, kaum wanita bersuka cita menyambut Tij, perayaan bagi kaum perempuan. Kuil Pashupatinath dibanjiri perempuan – gadis, ibu-ibu, hingga nenek tua, semua berpakaian sari merah menyala. Walaupun Tij adalah festival perempuan, sebenarnya unsur lelaki sangat kuat di latar belakangnya. Alkisah, Dewi Parwati berdoa dalam kekhusyukan, berpuasa dalam ketabahan, mengharap agar Dewa Syiwa mau menjadi suaminya. Sang dewa, tersentuh oleh ketulusan hati Parwati, akhirnya menikahinya. Sebagai ucapan terima kasih, Dewi Parwati menjanjikan perempuan yang berpuasa dan berdoa akan mendapat kemakmuran dan kelanggengan di keluarganya. Dari sinilah Tij berasal. Sejak semalam sebelum Tij, selepas makan besar, kaum perempuan mulai berpuasa selama 24 jam. Semua ibadah dan perayaan Tij, mulai dari puasa, sembahyang, dan lantunan lagu, ditujukan untuk memuliakan Dewa Syiwa, yang akan menjamin kebahagiaan keluarga. Mereka yang sudah menikah berdoa demi kesehatan dan kebahagiaan suami. Yang belum, memohon agar Dewa Syiwa segera memberikan jodoh yang paling tepat. Yang sudah menjanda, berdoa bagi arwah suami. Tij adalah hari di mana perempuan beribadah mewakili suami [...]

June 24, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 37: Kota Cantik

Lapangan Durbar di Patan (AGUSTINUS WIBOWO) Pagi-pagi sekali, keluarga Pushkar Baral sudah sibuk sekali. Istrinya bangun sejak subuh, sibuk menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Anak-anak bersiap masuk sekolah. Pushkar dan istrinya siap-siap berangkat kerja. Hari ini hari Minggu, tetapi bagi orang Nepal hari ini adalah hari kerja biasa. Dalam seminggu, hanya hari Sabtu mereka bisa beristirahat. Sementara Pushkar dan istrinya berangkat ke kantor, saya sendirian berkeliling bagian kuno kota Patan. Patan hanya lima kilometer jauhnya dari Kathmandu, tetapi dulunya Patan adalah ibu kota dari kerajaan terpisah, berpasukan tangguh, dan berkebudayaan tinggi. Semuanya itu masih nampak jelas dari Lapangan Darbar yang dipunyai Patan. Gaya arsitektur bangunan di sini lebih padat, rapi, dan cantik. Patung Dewa Garud (Garuda) yang bersembah di atas tiang memberi penghormatan ke arah kuil suci. Tak salah jika nama lain Patan lebih putis – Lalitpur, atau ‘kota cantik’.. Dibandingkan Lapangan Darbar Kathmandu, Darbar Patan penuh sesak oleh bangunan megah. Saya tak ingat lagi nama-nama bangunan di sini. Terlalu banyak. Semuanya adalah maha karya arsitektur bangsa Newa yang mendiami Lembah Kathmandu, baik Budha maupun Hindu. Setelah datang dari Tibet, saya begitu tertarik melihat kehidupan umat Budha di Nepal. Sang Budha Gautama lahir di Lumbini, di Nepal bagian selatan. Tetapi di [...]

June 23, 2014 // 2 Comments

Titik Nol 35: Mata Buddha

Biksu Tibet mengitari Boudha. (AGUSTINUS WIBOWO) Sepasang mata menatap penuh misteri. Harum asap dupa bertebaran. Kabut masih baru menyelimuti Kathmandu. Dingin. Penuh misteri. Tetapi orang-orang sudah larut dalam doa dan ibadah. Bersama legenda yang mengiringi lahirnya kota kuno Kathmandu, adalah Swayambhunath di puncak bukit tinggi yang membayangi seluruh kota. Alkisah, seluruh lembah Kathmandu adalah danau. Danau ini tiba-tiba mengering airnya, bersamaan dengan sinar yang muncul dari Swayambhunath. Swayambhu, dalam bahasa Nepal, artinya ‘muncul sendiri’. Tak ada yang tahu pasti berapa usia kuil ini. Ada yang mengatakan tempat ini menjadi suci sejak lebih dari 2000 tahun lalu ketika Raja Asoka datang berkunjung. Letaknya di puncak bukit tinggi, yang menurut ahli geologis dulunya adalah pulau di tengah danau. Stupa raksasa Swayambhu sudah ada di abad ke-5, berwarna kuning cerah. Bentuknya bulat besar. Puncaknya adalah pagoda dengan empat sisi, terbuat dari emas. Setiap sisinya tergambar sepasang mata yang menatap garang. Mata Buddha, memandang ke semua arah mata angin, menunjukkan bahwa Tuhan yang maha mengetahui ada di mana-mana. Di atas pasang mata, adalah mata ketiga yang melukiskan kebijaksanaan nurani. Di bawah mata, garis melingkar-lingkar seperti hidung, adalah angka ‘1’ (ek) dalam huruf Nepal, melambangkan persatuan segala makhluk. Tak ada telinga, karena konon Buddha tak [...]

June 19, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 24: Pagoda Selaksa Buddha

Kuil Selaksa Budha. (AGUSTINUS WIBOWO) Kota Gyantse, kota terbesar ketiga di Tibet, terletak di tenggara kota Shigatse. Dulunya kota ini adalah perbatasan Tibet, tempat para pejuang Tibet bertempur melawan Inggris di bawah komando Younghusband. Benteng dzong di atas bukit mendominasi pemandangan kota tua ini, melenggak-lenggok di atas bukit terjal, mengingatkan kita akan kejayaan Tibet masa lalu. Namun sekarang Gyantse menjadi kota kecil yang tenang, perlahan-lahan dirambah modernitas yang berhembus dari Tiongkok. Dulu, Gyantse adalah persimpangan penting jalur perdagangan antara Lhasa dengan Ladakh, Nepal, India, Sikkim, dan Bhutan. Karavan unta dari Ladakh, Nepal, dan Tibet melintas di kota ini, membawa emas, garam, wol, bulu, gula, tembakau, teh, katun, dan sebagainya. Buku-buku yang saya baca menyebutkan bahwa Gyantse adalah kota Tibet yang paling kecil pengaruh China-nya. Tetapi mungkin buku-buku itu sudah terlalu kadaluwarsa. Gyantse pun sudah dipenuhi gedung-gedung tinggi, pertokoan baru, dan orang Han dari Sichuan di mana-mana. Orang China hidup di kota baru, sedangkan kota lama di sekitar kuil Pelkor Chode masih didominasi rumah batu penduduk asli. Daerah kota orang Tibet tertata rapi di sepanjang jalan lebar. Beberapa dari mereka membuka usaha toko yang menjual baju adat dan perlengkapan sembahyang. Beberapa pria nampak sibuk memintal benang wol. Kota ini terkenal dengan [...]

June 3, 2014 // 0 Comments

#1Pic1Day: Sacred Ritual in Sacred Site

Sacred Ritual in Sacred Site A religious leader is preparing to attend a sacred ritual to welcome the arrival of spring, which comes together with the Persian New Year of Naoruz, in the sacred mausoleum of Caliph Ali in Mazar-e-Sharif. Upacara Suci di Makam Suci Seorang imam bersiap mengikuti upacara suci untuk menyambut datangnya Tahun Baru Naoruz di makam suci Hazrat Ali di Mazar-e-Sharif. [...]

March 21, 2014 // 0 Comments

Noraseri – Majlis in Noraseri

March 22, 2006 Roof top gathering Yesterday was the Chehlum, the forty day of the mourning period of the death of Imam Hussain, the third Imam of Shia Muslim sect. Farman Shah telephoned to our office and invited me to join the majlis which would be held in his house. Farman Shah lived in Noraseri, not far from our camp in the village. Farman Shah and his family were all from Shia sect, the Aliwallahs. Majlis, the speech which was held everyday during the mourning period of Muharram until Chehlum, would deliver the story of the death of Imam Hussain. And more than often, the speech brought tears to all of the audience. The Chehlum majlis, as the Ashura majlis (the death day of the Imam) was among the biggest and the most important. I departed early in the morning from Muzaffarabad together with Tajjamal (I called him Taj Mahal), a guy from Noraseri who lived in Muzaffarabad. He came early in the morning, when I was not prepared yet and was still shocked by the whole day of Chehlum self-beating and self-torturing. He rushed me, I was rushed. The transport was not easy either. There was no bus going [...]

March 22, 2006 // 0 Comments

Muzaffarabad – Chehlum

March 21, 2006 It’s real blade The mourning of the death of the Prophet’s grandson, Hazrat Hussain, who was killed in a war in Qarbala, 1400 years ago, still continued until the fortieth day after Ashura. It was 20 Safar, 40 days after 10 Muharram, the final day of all of the mourning. I had experienced the Ashura celebration in Lahore, which was an astonished experience. For Chehlum, I had it in Muzaffarabad. I came quite early in the morning, 12 noon, to the Shia mosque near the chowk of Medina Market. The mosque itself was not big, signified by the black huge flag, distinctive of Shia mosques. An attendant there said that before the earthquake, the mosque was always crowded during this time of the year. But now, many of the believers had gone. Indeed, the majlis was not crowded, the people who came was only about a quarter of the number the space can handle. The majlis speech, delivered in language more about the same as Urdu, also brought the listeners to hysteria. Ya Hussain e The mourning parade in earthquake zone I was escorted by Hamdani, claimed himself as a policeman, to go around the mosque while [...]

March 21, 2006 // 2 Comments

1 2