Recommended

sejarah

Garis Batas 47: Ziarah Suci

Perjalanan suci ke Turkestan (AGUSTINUS WIBOWO) Permata sejarah Kazakhstan, demikian Turkistan dikenal. Bekas ibukota kesultanan Kazakh di abad ke-16 ini kini menarik ribuan Muslim dari Asia Tengah yang menjadikannya sebagai Mekkah kedua. Matahari menampakkan wajahnya ketika saya turun dari kereta di Stasiun Turkistan. Langit biru kelam, berpadu dengan putihnya hamparan salju yang membungkus bumi, membangkitkan semangat saya di ujung perjalanan Kazakhstan ini. Setelah menitipkan backpack di penitipan bagasi stasiun, saya segera menuju ke makam suci Khoja Ahmad Yasawi, monumen sejarah yang paling dibangga-banggakan negeri Kazakh. Khoja Ahmad Yasawi lahir di Turkistan, hampir seribu tahun yang lalu. Dia belajar Islam di Bukhara dan  kembali ke Turkistan, menyebarkan ajaran sufisme di sini. Makamnya menjadi pusat ziarah penting. Begitu pentingnya makam ini sampai orang setempat percaya, tiga kali berziarah ke Turkistan sama dengan sekali naik haji ke Mekkah. Bangunan megah yang sekarang menaungi pemakaman Yasawi dibangun lebih dari 200 tahun sesudah kematiannya. Adalah Timur si Pincang, atau Timurleng, yang sekarang diadopsi sebagai pahlawan besar Uzbekistan, yang membangun gedung megah di Turkistan ini untuk menghormati sang Khoja. Timur memang terkenal dengan monumen-monumen agungnya yang menyilaukan mata. Lihat kota Samarkand yang bertabur masjid-masjid dan madrasah-madrasah raksasa. Bangunan makam Khoja Yasawi ini hanyalah salah satu contoh [...]

August 19, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 43: Lima Belas Tahun Merdeka

Culture Shock? (AGUSTINUS WIBOWO) Kazakhstan memang masih muda. Pertengahan Desember ini, selain semaraknya persiapan Tahun Baru dan Natal, negeri ini juga sibuk merayakan 15 tahun hari jadinya. Memang tak salah kalau perayaan kali ini lebih meriah daripada biasanya. Di antara negara-negara baru Asia Tengah, Kazakhstan telah menunjukkan taringnya sebagai negeri yang paling makmur, memanjakan penduduknya dengan pendapatan per kapita yang menakjubkan, dan kini sedang melenggang ke arah kapitalisme ala negeri-negeri Barat.  Terlepas dari meroketnya harga-harga karena pendapatan penduduk yang terus meningkat, tak semua orang di Almaty menikmati berkah kemakmuran itu. Kapitalisme justru membuat jurang antara kaya dan miskin, yang hampir tidak pernah ada sebelumnya ketika Kazakhstan masih berada di bawah merahnya komunisme Uni Soviet. Ibu kos saya, Nenek Lyubova, sudah rindu sekali akan apel Almaty yang terkenal itu. Sekarang, jangankan untuk membeli apel, untuk menghidangkan makanan seadanya di atas meja makan pun Lyubova sudah tak mampu. Semua menjadi mahal. Karena orang-orang di tengah kota sana menjadi kaya dan semakin kaya. Saya yang sudah mulai terbiasa dengan biaya hidup Almaty, dan belajar banyak dari cara hidup hemat Nenek Lyubova, mulai bisa memenuhi kebutuhan perut sehari-hari dari belanja di Zelyonii Bazaar, pasar sayur. Di sini harganya jauh lebih miring daripada di Silkway [...]

August 13, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 42: Timbuktu

Apartemen, Karaganda (AGUSTINUS WIBOWO) Semua kota boleh punya sejarah. Tetapi, tak semua sejarah kota-kota Kazakhstan indah untuk dikenang. Karaganda adalah salah satunya.Dalam perjalanan kembali ke Almaty, saya menyempatkan singgah ke Karaganda, kota terbesar keempat Kazakhstan yang terletak hanya 200 kilometer di selatan Astana. Karaganda sempat dinominasikan sebagai calon ibu kota baru pengganti Almaty, tetapi akhirnya tempat terhormat itu direbut oleh Astana. Sama seperti Astana, dulunya kota ini sangat terpencil. Kalau kita sering menggunakan Timbuktu untuk melambangkan tempat middle of nowhere di ujung dunia, orang-orang Rusia punya Karaganda. Kota ini adalah Timbuktu-nya Uni Soviet, di tengah padang gurun luas tempat tinggalnya bangsa pengembara yang terbelakang, tempat pembuangan orang-orang yang hidup untuk dilupakan. Karaganda bermula dari batu bara yang ditemukan di dekat kota ini. Sebagai penghasil tambang, Karaganda menarik datangnya para pekerja paksa yang tinggal di kamp-kamp di sekitar kota.  Para budak inilah yang kemudian membangun kota di ujung dunia ini, dan di sini pulalah ratusan budak yang memberontak dibantai habis. Karaganda berdiri di atas genangan darah para budak. Sekarang pertambangan di Karaganda sudah tidak seaktif dulu lagi, tetapi nama Karaganda masih belum bersih. Timbuktu-nya Kazakhstan ini ternyata punya angka pengidap HIV tertinggi di seluruh negeri. Langit Karaganda kelabu. Asap mengepul dari [...]

August 12, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 40: Kazakhstan Memanggil

Stasiun kereta api Karaganda (AGUSTINUS WIBOWO) Negeri luas ini sedang bergelimang kemakmuran. Penghasilan luar biasa dari produksi minyak ratusan ribu barel per hari membuat apa yang dulu tak mungkin sekarang menjadi mungkin. Sebuah ibu kota baru dibangun di tengah padang kosong. Ribuan orang asing berdatangan, mencoba mencicipi kue yang ditawarkan Kazakhstan.  Saya termasuk dalam ratusan orang yang berdesak-desakan masuk ke gerbong kereta api di stasiun Almaty II sore itu, ketika langit biru bersih akhirnya menghiasi angkasa setelah hampir seminggu kota ini dirundung mendung dan siraman salju. Tujuan saya adalah Astana, ibu kota baru Kazakhstan, sebuah kemewahan yang dibangun di tengah padang kosong. Perjalanan selama 20 jam dari Almaty menyajikan pemandangan yang membosankan. Yang tampak dari jendela hanyalah tanah datar, padang rumput yang membentang tanpa batas. Di musim dingin ini, sejauh mata memandang, yang terlihat hanya warna putih dan kelabu. Padang luas itu berubah menjadi lapisan salju tebal. Cerahnya Almaty kemarin telah berubah menjadi mendung yang muram hari ini. Saya duduk satu kompartemen dengan dua orang pria dari China dan seorang wanita Kazakh. Kedua pria China ini etnis Mongolia, dan salah satunya malah sudah punya paspor Kazakhstan.             “Sekarang bikin paspor Kazakhstan sangat mudah,” kata Ye Shunde, pria 40 [...]

August 8, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 37: Kota Apel

Pemuda-pemudi Kazakhstan menghabiskan waktu di karaoke. (AGUSTINUS WIBOWO) Ketika kota Almaty didirikan sebagai benteng pertahanan oleh orang-orang Rusia pada tahun 1854, orang Kazakh masih hidup sebagai bangsa nomaden yang mengembara di padang luas. Tetapi para gembala ini tidak terima begitu saja tanahnya dijajah oleh bangsa asing. Bersama-sama dengan orang Uzbek, Kirghiz, Tatar, Turkmen, dan suku-suku Turki lainnya, bangsa Kazakh gigih membela ladang gembalanya. Darah membasahi seluruh bumi Asia Tengah. Suku-suku gembala dibantai, diasingkan sampai ke Siberia. Perlawanan ditekuk habis. Ketika Bolshevik berkuasa, Tentara Merah semakin sadis menggempur para pengembara padang ini. Oleh pemerintahan komunis Soviet, orang Kazakh dan suku-suku nomaden lainnya dipandang terbelakang, tak berbudaya, dan oleh karena itu perlu dididik kembali. Gaya hidup nomaden dan penggembalaan di padang-padang harus dihilangkan. Orang Kazakh tidak boleh lagi hidup bersama kuda dan domba, yang selama ini menjadi bagian dari denyut nadi mereka. Orang Kazakh pun harus belajar bahasa Rusia. Ketika Stalin berkuasa dengan tangan besi, suku-suku pengembara ini “disulap” menjadi bangsa sedenter, dan jutaan orang yang membangkang langsung dibantai. Itulah pendidikan kembali. Tak sampai seratus tahun berselang, setelah melewati sejarah penuh darah dan penderitaan, Kazakhstan kini berubah menjadi negeri bergelimang kemakmuran yang sebelumnya tak berani mereka bayangkan. Pertokoan mahal mulai bermunculan [...]

August 5, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 35: Pelarian

Sumpit tak pernah absen di meja makan keluarga Dungan (AGUSTINUS WIBOWO) Bagaimana bangsa Dungan bisa sampai di sebuah desa mungil di pelosok negeri Kirghiz ini? Di negeri ini, identitas mereka sebagai bangsa minoritas sering dipertanyakan. Mereka meninggalkan negeri leluhur di Tiongkok sana dalam sebuah pelarian, meninggalkan bentrokan identitas yang kini disusul pergesekan identitas yang lain. Apakah identitas itu? Anda bisa menjadi seorang bapak, seorang pegawai kantor, seorang warga Jakarta, warga Indonesia, seorang Muslim, seorang pendukung globalisasi, atau seorang pendukung emansipasi wanita, sekaligus pada saat bersamaan. Seorang manusia bisa punya sejumlah identitas sekaligus, ada yang saling mendukung, ada yang saling bergesek.  Demikian pula halnya dengan bangsa. Ada jati diri yang menyatukan beribu manusia yang menyatakan diri sebagai anggota dari golongan yang sama. Di Asia Tengah, pertanyaan tentang identitas suku bangsa semakin kompleks ketika Uni Soviet memutuskan untuk memecah dataran luas ini menjadi beberapa negeri Stan, yang masing-masing dihuni oleh suku-suku yang bersama-sama lahir dalam pencarian identitasnya masing-masing. Apa itu Kirghiz? Siapa itu Uzbek dan Tajik? Pertanyaan-pertanyaan ini baru muncul tak sampai seabad lalu ketika garis-garis batas negara mulai dicoret-coret di atas peta kawasan ini. Pencarian identitas semakin rumit, karena Asia Tengah tidak dihuni oleh lima suku bangsa yang sudah jelas definisi [...]

August 1, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 34: Dungan

Muslim Kirghiz dan masjidnya (AGUSTINUS WIBOWO) Perkenalan saya dengan Dungan (baca: Dunggan) berawal dari ketertarikan saya terhadap makanan China yang banyak bertebaran di kota Bishkek. Bukannya berpapan nama “Chinese Restaurant“, warung-warung ini malah berjudul “Dunganskaya Kukhnia“, artinya “Depot Dungan”. Begitu memasuki ruangan bawah tanah semua warung masakan Dungan di dekat Kedutaan Iran, saya merasa seakan kembali lagi ke negeri China. Makanan yang disajikan sama persis dengan yang ada di Tiongkok sana. Baunya. Hiruk pikuknya. Asapnya. Wajah orang-orangnya. Bahkan sayup-sayup terdengar para koki yang berteriak-teriak dalam bahasa China. Siapakah orang-orang Dungan ini? Rasa ingin tahu membawa saya ke Tokmok, sebuah kota kecil 70 kilometer di sebelah timur Bishkek, yang merupakan basis komunitas Dungan terbesar di seluruh negeri Kyrgyzstan. Terletak di dekat Sungai Chuy yang menjadi perbatasan dengan Kazakhstan di utara, Tokmok adalah kota kecil tempat berkumpulnya berbagai bangsa – Kazakh, Kirghiz, Uzbek, Uyghur, dan Dungan. Di dekat pasar kota terdapat sebuah masjid kecil, tempat beribadahnya Muslim Dungan. Di Asia Tengah, dimana konsep negara-bangsa sangat kuat (Tajikistan negaranya orang Tajik, Kyrgyzstan negaranya orang Kirghiz, dan sebagainya), masjid pun dibeda-bedakan berdasar ras. Orang Dungan hanya sembahyang di masjid Dungan. Orang Kirghiz punya masjidnya sendiri di dekat terminal yang kubahnya mungkin mengilhami [...]

July 31, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 33: Kumis dan Balbal

Negeri bangsa pengembara (AGUSTINUS WIBOWO) Salju mulai mengguyur kota Bishkek, menyulap taman-taman cemara menjadi negeri Sinterklas. Anak-anak Rusia dengan riang membuat manusia salju. Kakek-kakek melintas pelan karena lapisan es yang licin sudah membungkus jalan setapak. Saya hanya bisa tertegun, karena celana jeans yang saya cuci dan jemur di luar sepanjang malam, kini jadi kaku seperti papan tripleks. Musim dingin sudah datang di Kyrgyzstan. Setelah diguyur salju selama dua hari terakhir, matahari mulai menampakkan senyumnya. Kota yang sempat muram, dingin, dan kelabu, seketika menjadi penuh gairah. Selain taman-taman yang dipenuhi para gadis muda yang sibuk berfoto di tengah lapisan salju, menggelincir di atas lapisan es, dan kakek-nenek yang berjalan-jalan menikmati segarnya udara bermandi sinar mentari, TSUM juga penuh sesak oleh pembeli. TSUM adalah department store pusat, mal terbesar milik pemerintah di seluruh negeri. Mal berlantai tiga ini mungkin tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan pertokoan di Jakarta, tetapi gedung ini cukup fenomenal di Kyrgyzstan. Mal ini adalah satu-satunya gedung di seluruh negeri yang memiliki eskalator, mungkin sudah ada sejak zaman Soviet. Eskalator tua dengan tangga yang tinggi-tinggi dan bersudut tajam, meluncur perlahan dengan suara berderik, seakan sudah tak kuat lagi membawa para pengunjung. Toko-toko tersebar di semua penjuru, mulai dari studio foto [...]

July 30, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 14: Saudara yang Hilang

Keluarga Yodgor, seorang Khalifa dari Langar, bersama potret pemimpin spiritual Ismaili – Yang Mulia Aga Khan. (AGUSTINUS WIBOWO) Tiga bulan lalu, saya pernah berada di seberang sungai sana [di Afghanistan –red], bersama rombongan orang-orang penting dari Afghanistan. Ada Shah (raja) dari Panjah, petinggi kecamatan Khandud, dan para tentara perbatasan. Saya menyaksikan sendiri peresmian jembatan internasional yang menghubungkan desa Ghoz Khan di Afghanistan dengan desa Langar di Tajikistan. Jembatan kayu tua, tak lebih dari lima meter lebarnya, mengantarkan segala harapan dan impian orang-orang di Afghanistan sana akan sebuah kehidupan yang jauh lebih baik yang ditawarkan oleh Tajikistan. Kini, setelah menempuh perjalanan ribuan kilometer memutar, saya sampai di ujung lain jembatan ini. Bersama Mulloev Yodgor Dildorovich, khalifa atau pemuka agama Ismaili dari desa Langar, dikerumuni tentara-tentara perbatasan Tajikistan, saya menatap lagi jembatan kayu ini. Perbatasan ini disegel rapat-rapat. Tak ada orang yang boleh melintas. Di seberang sana nampak barisan bukit gundul Afghanistan. Entah harapan apa yang disodorkan oleh negeri seberang sungai sana. Yodgor, khalifah sekaligus guru sekolah dasar, termasuk salah satu dari ratusan orang yang terkesima oleh pembukaan perbatasan itu tiga bulan lalu, pada tanggal 1 Agustus 2006. Pada hari itu, bazaar atau pasar internasional pertama dengan Afghanistan di desa Langar pertama [...]

June 6, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 9: Mengintip Afghanistan

Afghanistan, di seberang sungai, terlihat dari Tajikistan. (AGUSTINUS WIBOWO) Saya menumpang sebuah jeep kecil dari Khorog menuju Ishkashim, melalui jalan beraspal di tepian sungai Amu Darya. Jaraknya cuma 106 kilometer, tetapi karcisnya 20 Somoni (6 dollar). Itu pun harus menunggu berjam-jam di terminal karena tidak ada penumpang. Di negara ini, orang hampir-hampir tidak punya uang sama sekali, tetapi harga-harga sangat mahal. Sepanjang jalan, di seberang sungai di sebelah kanan sana, adalah propinsi Badakhshan Afghanistan. Sungainya sendiri, di bulan Oktober yang sudah mulai dingin ini, menjelma jadi sungai kecil yang hanya sekitar 20 meter saja lebarnya. Tetapi bagaimana pun kecilnya, ini adalah pemisah dua dunia. Ketika kami menyusuri jalan beraspal mulus dalam sebuah jeep Rusia tua, di seberang sungai sana yang nampak hanya jalan setapak di punggung-punggung gunung. Saya melihat beberapa pria berjubah dan bersurban duduk dengan nyaman di atas keledai. Sesosok tubuh wanita dibungkus rapat-rapat dengan burqa putih, menunggang keledai dengan pasrah mengikuti sang suami. Sedangkan di sini penumpang jeep duduk bersebelah-sebelahan, tak peduli pria wanita, bersenda gurau sepanjang jalan dan bernyanyi-nyanyi. Di sini, di sepanjang jalan saya melihat tiang listrik berbaris, sambung-menyambung. Di seberang sana, tak ada apa-apa lagi selain debu dan rumput yang mulai menguning. Afghanistan nampak gamblang [...]

June 6, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 5: Istaravshan, Masa Lalu dan Masa Kini

Istaravshan dan sejarah dua ribu lima ratus tahunnya. (AGUSTINUS WIBOWO) Istaravshan baru saja merayakan hari jadinya ke 2500. Wow, usia kota ini sudah dua setengah milenium. Seperti layaknya kota-kota di Asia Tengah, Istaravshan juga berlomba-lomba merayakan angka jadinya yang ribuan tahun, seakan angka milenia itu menjadi tolok ukur tingginya peradaban. Dua ribu lima ratus tahun yang lalu Iskandar Agung dari Makedonia datang menaklukkan negeri ini yang kala itu masih bernama Mug Teppa. Hari penaklukan itu diabadikan sebagai hari jadi Istaravshan. Namun, kedatangan Iskandar Agung yang tersohor tidak serta merta menjadikan kota ini berjaya sepanjang waktu.  Istaravshan timbul tenggelam dalam halaman sejarah, kadang terpuruk, bahkan mati suri selama ratusan tahun. Baru pada abad ke-15 orang Persia datang membawa sinar peradaban baru ke wilayah ini. Masjid dan madrasah bermunculan. Ketika Istaravshan merayakan ‘ulang tahun’-nya yang kedua ribu lima ratus, Tajikistan membangun sebuah gerbang megah di atas bukit gundul Mug Teppa, tempat sang Iskandar Agung pernah berdiri memandangi barisan bukit yang sama gundulnya Istaravshan, yang waktu zaman Rusia diganti namanya menjadi Ura Teppa, memang bukan tandingan Bukhara atau Samarkand. Tetapi umur bangunan-bangunan kuno di sini  termasuk yang tertua di seluruh penjuru Tajikistan, cukup untuk dibanggakan sebagai khasanah peradaban nasional. Namun, kekunoan Istaravshan  tidak [...]

June 6, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 4: Sejarah Ribuan Tahun

PUNCAK AINY – Para pekerja di Puncak Ainy membersihkan es yang menutupi jalan. (AGUSTINUS WIBOWO) Di antara semua negara Asia Tengah, bisa dibilang Tajikistan adalah negara yang paling artifisial pembentukannya. Negara ini dipisahkan dari Uzbekistan tahun 1929. Tajikistan dilahirkan dan didefinisikan. Sulit memisahkan antara orang Tajik dan Uzbek. Walaupun secara linguistik, orang Tajik bicara bahasa Persia dan orang Uzbek bicara rumpun bahasa Turki, namun secara kultural kedua etnis ini sudah saling membaur dan mempengaruhi sejak berabad-abad dalam khasanah sejarah Asia Tengah. Bahasa Persia pada masa kejayaan Jalan Sutra adalah bahasa pemerintahan. Raja dan petinggi negara semua berbicara bahasa Persia, yang kemudian disebut bahasa Tajik. Raja Turki (Uzbek) pun berbahasa Tajik. Kota Samarkand dan Bukhara yang berkilauan dalam sejarah dunia mayoritas didiami oleh orang-orang yang berbahasa Tajik. Tetapi kedua kota bersejarah ini bukannya masuk wilayah Tajikistan malah menjadi kebanggaan nasional Uzbekistan. Uzbekistan berpendapat bahwa penduduk Samarkand dan Bukhara sebenarnya secara genetis adalah orang Uzbek, hanya saja berbahasa Tajik. Tajikistan beranggapan bahwa Uzbekistan telah merampas warisan budaya mereka. Apa yang harus terus-menerus diperdebatkan, manakala definisi ‘Uzbek’ dan ‘Tajik’ adalah rekaan dan ciptaan ahli etnografis Soviet dari Moskwa? Semua negara ‘Stan’ satu-persatu bermunculan karena Soviet ingin memecah [...]

June 6, 2013 // 4 Comments

Mazar-i-Sharif – Malam Naoruz

Busy Mazar street and business before the great holy day Proses mengurus izin liputan Naoruz memang ribet. Saya mesti bolak balik ke kantor urusan kebudayaan, minta surat sana-sini, ketemu pejabat ini itu. Akhirnya kami baru sampai pada tahap akhir: penitipan kamera. “Kawanku,” kata bapak tua yang bertugas di kantor itu, “jangan lupa nanti kirim hadiah padaku ya.” Bapak itu berbicara bahasa Rusia. Entah mengapa di sini banyak sekali orang yang lebih bangga berbahasa Rusia dengan orang asing. Si bapak, walaupun baru ketemu pertama kali, sudah minta saya mencatat nomor telepon dan alamat di Indonesia. Mau kirim surat katanya. Kamera, lensa, batera, memory card kepunyaan saya, ditambah mikrofon dan kaset perekam milik Zabiullah, semuanya kami titipkan di kantor ini. Sudah ada antrean panjang jurnalis dan kameraman Afghan dan mancanegara. Petugas yang menerima pentitipan barang-barang berharga ini tampak begitu serabutan, bahkan untuk mencatat pun malas sekali. “Jangan kuatir,” katanya, “tidak akan ada yang rusak. Serahkan saja pada kami.” Bapak yang tadi minta kiriman hadiah itu juga meyakinkan saya, “besok pagi, jam 6 pagi, kamu tinggal datang ke Makam Hazrat Ali untuk mengambil barang-barang ini.” Kami cuma diberi secarik tanda terima sederhana, lebih kumal daripada karcis bus, tanpa kartu pengenal apa pun. “Ini [...]

March 19, 2008 // 0 Comments

Mazar-i-Sharif – Orang Pashtun

Pashtun guys having fun in Mazar Kantor Pajhwok Afghan News dipenuhi orang Pashtun. Selain Zabiullah Ehsas dan adiknya yang tinggal di sini, hari ini mereka kedatangan serombonan tamu dari Kabul. Sebagian dari tamu ini saya kenal sebelumnya, karena kami pernah bekerja di kantor yang sama di ibu kota. Suasana lantai atas hotel ini semakin ramai oleh kedatangan tamu-tamu ini. Dalam sekejap, saya menjadi sangat kikuk. “Jangan sekali-sekali kau bicara bahasa Persia di sini,” kata Israr, seorang pemuda Pashtun dari Kunar yang pernah memperoleh gelar juara dalam lomba programing internasional, memperingatkan dengan tegas, “di sini cuma boleh ada bahasa Pashtu!” “Orang Tajik itu brengsek,” kata yang lain, “mereka sama sekali tidak taat dan banyak melakukan dosa. Bahasa mereka sama sekali tidak terhormat.” Saya merasa tidak enak dengan Naqeeb yang mengantar saya ke sini, karena Naqeeb adalah orang Tajik. Tetapi Naqeeb bisa berbahasa Pashtu dan para pemuda Pashtun ini sama sekali tidak tahu ke-Tajik-an Naqeeb. Primordialisme etnik adalah fenomena yang sangat kuat di Afghanistan. Semua suku punya kebanggaan kesukuan yang luar biasa, jauh melebihi segala-galanya. Identitas Islam tidak cukup kuat untuk mengikat semua suku ini bersatu. Dalam sejarah Afghanistan kita teringat bagaimana semua suku Afghan bersatu padu melawan invasi Rusia tetapi kemudian [...]

March 19, 2008 // 5 Comments

1 4 5 6