Recommended

India

Titik Nol 77: Idul Fitri di Kota Merah Jambu

Suguhan Idul Fitri.(AGUSTINUS WIBOWO) Saya masih belum menemukan kembali semangat traveling yang hilang. Bersama Lam Li, kami berdua menyusuri jalan-jalan kota merah jambu Jaipur. Di Rajasthan, kota-kota kuno berasosiasi dengan warna – kota merah jambu Jaipur, kota biru Jodhpur, dan kota emas Jaisalmer. Kota Jaipur disebut kota merah jambu, karena di balik benteng kota kuno, banyak bangunan berwarna merah jambu. Sebenarnya sejarah merah jambu ini tak terlalu lama. Pada tahun 1876, ketika Pangeran Edward VII berkunjung, kota ini bersolek habis-habisan, menjadi kota cantik berwarna romantis – merah jambu. Bangunan yang menjadi landmark kota Jaipur adalah Hawa Mahal, seperti istana yang tinggi dan megah, dilengkapi dengan 953 lubang jendela. Hawa artinya angin. Dari lubang jendela ini, angin berhembus, memberi kesejukan bagi yang ada di balik bangunan ini. Walaupun nampak seperti istana raksasa dari luar, sebenarnya Hawa Mahal hanyalah sebidang dinding saja, bagian dari istana raja Jaipur, dibangun oleh Maharaja Pratap Singh tahun 1799. Saya jadi ingat setting film kolosal, yang bisa menghadirkan bentuk bangunan megah luar biasa di depan kamera, tetapi sesungguhnya di balik kemegahan hanyalah dinding kosong buruk rupa. Kami berjalan-jalan di kota kuno Jaipur. Saya mengagumi jalannya yang lurus dan teratur, berpetak-petak. Lam Li, dengan observasinya yang lebih tajam, [...]

September 9, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 76: Buka Pintu

Pintu yang terkunci. (AGUSTINUS WIBOWO) “Haruskah aku membuka pintu hatiku?” tanya Lam Li. Si gadis Malaysia baru datang ke Jaipur sore ini. Ia sangat senang akhirnya sampai juga di Rajasthan. Apalagi sekarang kami tinggal di losmen yang sama, dan pemilik losmen memberi kamar yang nyaman untuk Lam Li dengan harga 100 Rupee saja. Saya yang masih tersiksa dengan guncangan gempa sepanjang malam gara-gara truk yang lewat, akhirnya minta pindah kamar juga. “Tahu tidak, tadi aku diundang tukang rickshaw,” ceritanya. Waktu datang mencari losmen ini, ia menumpang rickshaw – kendaraan bajaj yang menjadi angkutan umum di negara ini. Tukang rickshaw mengundangnya untuk ikut acara puja menyambut Diwali di rumahnya. Tetapi raut wajah Lam Li tidak seratus persen senang. Sambil mengunyah jajanan gorengan murah meriah – puri, ia mengisahkan bagaimana susahnya ia mempercayai orang India. Mungkin karena sudah terlalu banyak mendengar kisah buruk tentang kelakuan orang India yang suka tipu-tipu, Lam Li memasang tingkat kewaspadaan penuh menghadapi segala macam undangan. Ia tak pernah mempercayai orang sepenuhnya. Dinding curiga selalu menjadi batas pemisah antara dirinya dengan orang setempat. “Aku selalu menutup pintuku,” katanya, “aku selalu menghindari interaksi dengannya. Atau mungkin sekarang waktunya aku memberi kesempatan, membuka sedikit celah pintu hatiku untuk orang India?” [...]

September 8, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 75: Diwali

Aneka ragam manisan menyambut Diwali. (AGUSTINUS WIBOWO) Di tengah kegelapan malam, bunyi ledakan petasan bersahut-sahutan. Semua gembira menyambut datangnya Diwali. Malam nanti adalah malam Diwali, hari raya terpenting bagi umat Hindu, Sikh, dan Jain di India. Saya berjalan ke arah kota kuno Jaipur ketika matahari baru mulai bersinar. Kota tua dikelilingi tembok berwarna merah jingga. Bentuknya kotak persegi, dengan gerbang kota masing-masing di utara, selatan, timur, dan barat. Di gerbang barat, pagi-pagi begini sudah ramai orang berjualan bunga berwarna kuning dan merah yang diuntai menjadi kalung panjang. Di hari Diwali ini, ribuan umat membanjiri mandir – kuil Hindu yang tersebar di mana-mana. Untaian bunga-bungaan ini dikalungkan ke patung dewa dewi dalam mandir. Selain bunga dan sesajen, Jaipur juga penuh manisan dari berbagai bentuk, warna, dan ukuran. Ada laddu yang berupa manisan bulat seperti bola, terbuat dari tepung yang berbalut cairan gula. Ada mithai dari susu. Ada pula barfi yang berbentuk kotak dan beralas kertas perak. Semua manisan ini rasanya cuma satu – manis. Segigit saja rasanya sudah seperti menelan bersendok-sendok gula yang dicampur susu. Acara paling penting dalam Diwali adalah sembahyang puja di malam hari. Setiap tahun, waktu untuk melaksanakan puja Diwali berbeda. Orang harus mendengarkan informasi terbaru dari radio [...]

September 5, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 74: Istirahat

Jaipur, kota merah jambu. (AGUSTINUS WIBOWO) Setumpuk masalah visa dan bencana bom di New Delhi membuat saya lelah. Saya ingin istirahat, menenangkan pikiran. Rajasthan adalah pilihannya. “Kamu yakin mau ke Rajasthan untuk menenangkan diri?” tanya Lam Li “kamu mesti ingat, India sama sekali bukan tempat untuk bersantai. Nanti jadinya malah kamu yang stress.” Lam Li, si petualang cewek dari Malaysia, baru saja datang kemarin dari Varanasi dan tak sengaja menginap di losmen yang sama dengan saya. Sejak hari pertama datang ia muntah-muntah hebat. Obatnya cuma Coca Cola campur garam dan sebatang rokok. Hari ini wajahnya masih pucat. Keputusan saya sudah bulat. Saya berangkat ke Jaipur di Rajasthan juga untuk mengejar perayaan hari raya Diwali – festival cahaya, perayaan terbesar bagi umat Hindu di India. Diwali adalah perayaan kemenangan terang melawan kegelapan, pencerahan mengatasi kebodohan, dan kebaikan mengalahkan kejahatan. Apalagi Diwali tahun ini hampir berbarengan dengan Idul Fitri, pasti sangat meriah. “Ya sudah, berangkatlah dulu,” kata Lam Li, “besok aku menyusul. Hari ini aku masih sakit. Kalau sudah dapat penginapan murah di sana, bagi tahu ya.” Saya dan Lam Li rasanya sudah menjadi teman perjalanan yang cocok. Kami tak selalu harus bersama ke mana-mana. Tetapi kami saling bantu dalam memberi informasi. [...]

September 4, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 73: Bom

Ledakan dahsyat di Paharganj meluluhlantakkan pasar yang selalu ramai ini. (AGUSTINUS WIBOWO) New Delhi berguncang. Bom meledak nyaris berbarengan di berbagai penjuru kota. Keramaian pasar Paharganj yang dibanjiri ribuan orang berbelanja menjelang hari raya Diwali dan Idul Fitri tiba-tiba terkoyak oleh aliran darah. Paharganj, distrik kumuh di dekat stasiun kereta api New Delhi, adalah salah satu pusat perbelanjaan murah di ibu kota.. Toko pakaian grosir berbaris sepanjang jalan sempit. Losmen murah, wisma, toko buku, warung internet dan telepon, melengkapi keriuhan pasar ini, membuat tempat ini menjadi pilihan utama backpacker miskin.. Jalan bolong-bolong, sapi yang melenggang santai, bajaj butut dan mobil tua meraung-raung menyumpahi kemacetan di jalan kecil. Belum lagi orang-orang yang memenuhi jalan mencari barang-barang murah. Paharganj adalah sebuah dunia tersendiri. Hari ini, 29 Oktober 2005, dua hari menjelang hari raya Diwali – hari besar terpenting umat Hindu – dan empat hari menjelang Idul Fitri, kesibukan di Paharganj menjadi-jadi. Ribuan orang, umat Muslim dan Hindu, datang memborong barang belanjaan untuk persiapan perayaan. Saking penuhnya, jalan pun susah. Sore hari, pukul 5:40, kerumunan manusia ini semakin semburat. Ledakan bom dahsyat melemparkan kengerian dan histeria. Darah mengalir di mana-mana. Begitu mendengar berita ini, saya yang semula sedang berbuka bersama di Kedutaan Besar [...]

September 3, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 72: Visa Profesional

Seorang pedagang dari Srinagar di Kashmir, salah satu pendukung saya untuk terus tetap berjuang demi visa Pakistan. (AGUSTINUS WIBOWO) Permusuhan antara India dan Pakistan menyebabkan New Delhi sebagai salah satu tempat paling susah untuk memperoleh visa Pakistan. Bagi sebagian besar orang India, pergi ke Pakistan hampir sama sekali mustahil. Demikian pula sebaliknya. Perseteruan kedua negara tetangga ini, yang dulu sama-sama di bawah pemerintahan British India, sudah diwarnai beberapa kali pertempuran dan perlombaan senjata nuklir. Walaupun demikian, kedutaan Pakistan selalu ramai dipenuhi orang-orang yang mencoba peruntungan untuk memperoleh izin masuk ke negeri itu. Banyak di antara para pemohon visa ini adalah Muslim dari Kashmir. Tanah Kashmir terbelah dua. Sebagian di bawah kontrol India, sebagian sisanya di bawah Pakistan. Para pemohon visa ini umumnya punya sanak saudara di Kashmir-nya Pakistan yang menjadi sponsor visa. Tanpa undangan dari Pakistan, sulit sekali bagi seorang warga negara India bisa mendapat izin ke Pakistan. Kalaupun mereka mendapat visa, bukan berarti mereka bisa berkeliaran bebas di Pakistan. Untuk warga India, Pakistan hanya memberikan city visa. Hanya kota-kota tertentu yang ditulis di atas visa yang boleh dikunjungi. Misalkan seorang India mendapat visa untuk Lahore, maka ia tak boleh ke Karachi. Hal yang sama juga diberlakukan oleh India kepada [...]

September 2, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 71: Surat-surat

Bagi warga negara India, visa Pakistan sangat tak mudah didapat. (AGUSTINUS WIBOWO) Gagal mendapatkan visa Pakistan hampir membuat saya gila. Saya hanya ingin cepat-cepat menuju Pakistan, tetapi sekarang malah terjebak dalam ramah-tamah penuh diplomasi dan birokrasi dalam gedung besar bernama Kedutaan Besar Republik Indonesia atau KBRI. Sudah berulang kali saya mondar-mandir gedung Kedutaan, seperti pelamar kerja yang gigih memperjuangkan nasib. Ke mana-mana saya selalu membawa map berisi surat-surat. Ada surat permohonan untuk Pak Dubes, ada fotokopi dokumen, surat-surat referensi, dan sebagainya. “Surat kamu sudah dibaca Pak Dubes,” kata ibu staf. Banyak staf kedutaan ini yang ramah dan memperhatikan saya, salah satunya ibu ini yang terus membantu memikirkan cara bagaimana menembus birokrasi ini. Tetapi kali ini, ia pun nyaris putus asa. “Percuma saja, dari Pak Dubes surat itu diturunkan lagi kepada Bapak Diplomat yang kemarin, cuma dibubuhi kalimat ‘Bagaimana Menurut Anda?’ Artinya, kamu masih berurusan dengan Bapak Diplomat lagi.” Saya sudah lelah. Pintu yang ini sudah tertutup rapat. Saya tak terbiasa dengan diplomasi, berkata-kata manis untuk memohon-mohon. Lebih baik cari cara lain. Tiba-tiba saya teringat tante saya yang menjadi guru les putra-putri diplomat di KBRI Beijing. Saya langsung meneleponnya, minta tolong untuk disambungkan dengan diplomat penting bagian konsuler di Beijing. Tak [...]

September 1, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 70: Perjuangan Demi Visa Pakistan

Kedutaan Pakistan yang ramai oleh para pemohon visa. (AGUSTINUS WIBOWO) Berita gempa bumi di Kashmir yang menewaskan hingga 40 ribu jiwa membuat hati saya tak tenang. Betapa ingin saya segera menuju ke Pakistan, mengabdikan diri di daerah gempa, melakukan perjalanan yang punya sedikit arti bagi kemanusiaan. Itu pulalah yang membuat saya bergegas melintas dari Kathmandu hingga ke New Delhi, sampai pada akhirnya saya berada di depan Kedutaan Pakistan di daerah Channakyapuri. Kedutaan ini, levelnya High Commission, bak pasar yang dikerubuti banyak pembeli tetapi tak ada penjual. Pelataran di luar kedutaan dipenuhi orang India yang memohon visa. Banyak di antara mereka yang tidur di tikar, menghabiskan malam di pinggir jalan, hanya untuk bisa menyampaikan formulir kepada manusia-manusia dingin di balik tembok. Petugas visa bersembunyi di balik loket-loket kecil. Loket inilah yang menjadi jendela mungil mereka berhubungan dengan para pemohon visa yang berbaris mengular. Cuma dua loket yang ada orangnya. Satu untuk perempuan, satu untuk laki-laki. Pakistan memang negara yang sangat terkenal membeda-bedakan jenis kelamin. Satu lagi loket khusus, untuk orang asing dan pebisnis. Tak sampai dua menit, saya sudah sampai di depan loket, tak perlu mengantre bersama puluhan pelamar visa lainnya. Tak banyak bicara, petugas memberikan saya formulir untuk diisi, plus [...]

August 29, 2014 // 2 Comments

Titik Nol 69: Paharganj

Masala Dosa. (AGUSTINUS WIBOWO) Saya teringat secuplik tulisan fiksi karya Salman Rushdie berjudul Midnight Children yang mengisahkan pemecahan Pakistan dan India. Ada satu episode yang mengisahkan tentang orang yang terbiasa dengan ‘mata kota’, hidup dalam kota besar bergelimang harta, tak melihat lagi kemelaratan dan penderitaan rakyat papa di pelupuk mata. Pemilik ‘mata kota’ tak lagi melihat penderita kusta yang terkapar atau penderita kanker yang harus berjalan di atas bola. Tulisan itu membuat saya tersindir, mampukah saya melihat India dari kaca mata yang lebih tepat? Kalau Jakarta punya Jalan Jaksa, maka New Delhi juga punya Paharganj, pusatnya turis kere mancanegara. Di sinilah saya menginap, di sebuah losmen murah di dalam gang kecil, di dekat pasar yang hiruk pikuk oleh pedagang baju murah, sapi, klakson rickshaw, bau pesing orang kencing sembarangan, para pekerja dari Nepal, sampai ke sedapnya masakan China, segarnya teh susu di pagi hari, dan renyahnya masala dosa untuk sarapan pagi. Losmen tempat saya tinggal, Hotel Bajrang, cuma 100 Rupee per malam. Kamar yang saya dapatkan dindingnya tipis sekali. Kalau pagi saya terbangun karena ributnya suara orang yang menggaruk-garuk tenggorokan, mengeluarkan dahak yang tersangkut, kemudian meludahkannya bertubi-tubi. Kalau malam saya tak bisa tidur karena berisiknya sepasang kekasih yang memadu kasih [...]

August 28, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 68: Akhir Kisah Kamera yang Rusak

Masjid Juma New Delhi – senangnya bisa memotret dengan leluasa lagi. (AGUSTINUS WIBOWO) Sudah lebih dari dua bulan yang lalu kamera digital saya tiba-tiba rusak, persis ketika saya menyeberang perbatasan dari Tibet menuju Nepal. Kamera ini masih bisa dipakai sebenarnya, tetapi setiap kali memotret satu gambar harus dimatikan dulu, dinyalakan lagi, baru bisa dipakai untuk memotret gambar berikutnya. Saya harus bertahan sekian lama dengan kerusakan kamera ini karena di Nepal tidak ada tempat reparasi khusus. India, sebuah negara besar dan modern, adalah satu-satunya tempat terdekat di mana saya bisa memperbaiki kamera. Saya menaruh harapan yang begitu besar ketika tiba di negara ini. Tetapi ternyata perjuangan saya masih terlalu panjang. Tidak ada hal yang mudah di sini. “Kami harus mengganti motherboard kamera. Biayanya 14.000 Rupee, 450 dollar,” kata teknisi di pusat reparasi ini. Ia bahkan tidak melirik kamera saya sama sekali. Mungkin teknisi gemuk ini termasuk level teknisi dewa yang langsung tahu semuanya tanpa perlu diagnosa. “Tidak mungkin,” bantah saya, “tidak mungkin separah itu. Kamera saya masih bisa memotret. Cuma tidak praktis saja.” “Kalau begitu, kameranya saya periksa dulu.” Teknisi itu membawa pergi kamera saya ke sebuah kamar rahasia di belakang. Saya sama sekali tidak tahu apa yang ia kerjakan di [...]

August 27, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 67: Culture Shock

Selamat datang di New Delhi. (AGUSTINUS WIBOWO) Saya baru saja sampai di New Delhi dan amat terkejut dengan culture shock India. Walaupun sudah beberapa bulan saya berpetualang, tetapi gelar saya masih newbie alias pendatang baru di negara ini. Tak semua orang bisa langsung suka dengan sisi India yang tahu-tahu ditamparkan ke wajah.. Sopir bajaj autorickshaw ini cerewet sekali. Kepalanya yang dibalut surban merah terus bergoyang-goyang selama ia bicara. Mulutnya terbungkus jenggot putih yang menjuntai. Saya hanya ingin menumpang kendaraan untuk menuju ke KBRI, tetapi ia sudah mulai bercerita tentang adat India. Salah satu adat orang India yang langsung saya kenali, bicara tanpa henti dengan kepala miring ke kiri ke kanan berayun-ayun. “Bhai – saudara, saya bawa kamu ke Channakyapuri, tetapi sebelumnya, kita mampir dulu ke toko barang kerajinan. Di sana nanti kamu melihat-lihat barang ya. Sepuluh menit saja. Tak usah lama-lama. Kamu tak perlu beli. Nanti saya dapat komisi dari pemilik toko. Habis itu saya antar kamu ke kedutaan.” Saya hanya ingin naik bajaj dengan harga murah. “Bhai, sekarang adalah musim wisata di India. Turis-turis suka sekali dengan barang kerajinan kami. Ada warna-warni.” Terserah. Saya hanya ingin sampai ke kedutaan. “Bhai, nanti kalau pemilik toko memberi komisi, kamu tidak usah [...]

August 26, 2014 // 0 Comments

Titik Nol (66): Lumbini

Pagoda Mongolia di Lumbini. (AGUSTINUS WIBOWO) Setelah mendapatkan visa India, saya langsung menggeret Nefransjah – seorang kawan backpacker Indonesia, untuk bersama-sama berangkat menuju negeri Hindustan. Perbatasan India dan Nepal yang paling sering dilintasi adalah Sunauli, terletak tiga kilometer di selatan kota Bhairawa yang panas dan kering. Debu langsung memenuhi kerongkongan, begitu kami meloncat dari bus. Lurus ke selatan adalah India. Belok ke kanan adalah Lumbini – tempat kelahiran Budha. Saya menganjurkan untuk singgah dulu ke Lumbini, bermalam di kota suci itu, dan melanjutkan ke India esok hari. Langit sudah mulai gelap, kendaraan pun tak banyak. Masuk ke negeri yang sama sekali asing di tengah kegelapan malam tentunya bukan hal yang menyenangkan. Jalan berdebu ke arah Lumbini sunyi senyap, tak ada kendaraan ke arah desa kecil itu. Hanya turis dan peziarah Budha yang ke sana. Sebagian besar kendaraan umum dan truk barang hanya menuju ke India, negara tetangga raksasa yang menawarkan gelimang kemakmuran. Bulan purnama bersinar, menerangi malam yang berdebu. Saya, Nef, dan seorang backpacker Israel terguncang-guncang di bak truk melintasi jalan batu menuju Lumbini. Lumbini sungguh berbeda dengan kota Nepal kebanyakan. Biksu Budha dari berbagai negara ada di sini. Selamat datang di India. Orang Nepal dan India bebas keluar masuk [...]

August 25, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 65: Visa India yang Gagal

Mimpi buruk di Muktinath jadi kenyataan. (AGUSTINUS WIBOWO) Kedutaan India di Kathmandu selalu ramai oleh antrian panjang para pelamar visa. Nepal mungkin tempat paling mudah untuk mengambil visa India. Tetapi tak semua orang membawa pulang kisah keberhasilan dari sini. Saya terjebak lagi dalam antrean panjang pagi hari di depan kedutaan India yang tersembunyi di sebuah gang kecil tak jauh dari Thamel di Kathmandu. Ini adalah kali ketiga saya datang. Tiga minggu yang lalu, saya sudah mengisi formulir visa dan menyerahkan ke loket. “Datang seminggu lagi!” kata petugas visa. Prosedurnya, formulir saya konon akan dikirim ke kedutaan India di Jakarta untuk klarifikasi. Kalau kedutaan di Jakarta menyetujui dan mengirimkan fksimil ke Kathmandu, maka visa akan diterbitkan. Untuk harga formulir dan kontak lewat kawat ini, pelamar visa masih harus merogoh kocek 1.000 Rupee. Apakah formulir ini benar-benar akan difaks ke Jakarta dengan uang yang sudah kita bayar, hanya Tuhan yang tahu. Keesokan harinya, tiba-tiba saya memutuskan berangkat trekking ke Annapurna. Perjalanan mengelilingi barisan gunung bersalju ini membutuhkan waktu setidaknya dua minggu. Lalu bagaimana dengan formulir visa India saya? Kembali lagi saya ke Kedutaan India, terjebak dalam antrean panjang turis mancanegara yang mengular sampai 30 meter.. Orang Nepal tidak mengantre visa sama sekali, [...]

August 22, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 63: Angkasa Raya

Manusia sungguh tak ada artinya di hadapan gunung-gunung perkasa ini. (AGUSTINUS WIBOWO) Babak belur saya sampai di Jomsom, diterpa angin ribut dan badai pasir. Kaki saya sudah tak kuat lagi rasanya. Rambut jadi gimbal seperti Bob Marley di Muktinath. Selapis debu bercampur keringat membungkus tubuh. Ini adalah akhir perjalanan saya di Annapurna. Memang saya belum berhasil mengitari seluruh Sirkuit Annapurna, tetapi saya sudah bulat memutuskan untuk kembali ke Kathmandu esok hari dengan pesawat gunung dari Jomsom menuju Pokhara. Kekhawatiran terutama saya adalah visa India. Tiga minggu lalu saya sudah menyodorkan pengajuan visa ke Kedutaan India, diminta untuk mengambil visa seminggu sesudahnya. Karena sedang berada di Annapurna, sekarang saya sudah terlambat satu minggu untuk pengambilan visa. Masalah visa ini sempat menghantui tidur saya di Muktinath. Saya merengek-rengek di depan petugas visa yang kejam, yang hanya bisa memberi saya visa satu bulan. Saya terjepit di Nepal, negeri mungil yang dipepet satu raksasa besar di utara dan satunya lagi di selatan. Mimpi buruk itu membuat saya memutuskan untuk kembali ke Kathmandu secepatnya. Saya adalah orang yang percaya firasat. Mimpi bisa jadi pertanda alam yang menuntun takdir. Di pegunungan Himalaya ini, banyak penerbangan swasta yang namanya membawa-bawa misteri atap dunia. Sebut saja Yeti Airlines, [...]

August 20, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 62: Badai

Kagbeni di kejauhan. (AGUSTINUS WIBOWO) Ziarah ke tempat-tempat suci bukan hanya berkunjung dan berdoa. Setiap langkah dalam ziarah ada maknanya. Setiap tapak kaki adalah penyucian diri. Orang berjalan menempuh ratusan kilometer melewati alam yang tak selalu bersahabat, untuk mencapai tanah suci di Muktinath. Para peziarah ini banyak datang dari India. Ada rombongan sadhu berjubah kuning, bersandal jepit, berjenggot putih nan lebat. Ada barisan bikuni Tibet, berjubah merah marun, berambut hampir botak. Ada pula umat jelata, mencari kesembuhan dan mukjizat di tempat suci. Yang paling banyak adalah rombongan turis dengan berbagai macam tujuan – mencari arti hidup, menikmati kedahsyatan gunung raksasa, menjelajah Shangrila dan negeri yang hilang, berziarah di kuil kuno, memotret, menghabiskan liburan, melaksanakan misi keliling dunia, membebaskan diri sehabis wajib militer, pendekatan dengan pacar, dan lain sebagainya. Hikmah dari ziarah suci bagi tiap orang, setelah melintasi jarak yang jauh dan medan yang berat, tentunya berbeda-beda pula. Ada yang puas, telah berhasil ‘menaklukkan’ tantangan. Ada yang terpekur oleh kebesaran alam. Ada pula yang hanya capek dan tak berhenti mengomel. Saya berjalan lambat-lambat ke arah Jomsom. Setelah Thorung La, yang ada cuma turun dan terus turun, kembali ke habitat normal di dataran rendah sana. Kalau sebelum melintas Thorung La, setiap perjalanan [...]

August 19, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 42: Freak Street

Lam Li, si gadis Malaysia penghuni Freak Street, pernah membotaki rambutnya untuk menyamar jadi bikuni di Tibet. (AGUSTINUS WIBOWO) Dari hubungan kawannya kawannya kawannya kawan, akhirnya saya bejumpa dengan gadis Malaysia ini. Ajaib, walaupun belum pernah mengenal sebelumnya, saya merasakan kedekatan yang tak terkira, seperti kami memang sudah ditakdirkan berjumpa. Namanya Lam Li, umur tiga puluh tahunan, tetapi masih nampak energik dan ceria. Tubuhnya kurus, kepalanya nyaris botak. Sengaja dibotakin, katanya, untuk menyamar jadi bikuni di Tibet supaya bisa masuk kuil gratis. Selain suka menyamar, berkeliling Tibet ilegal, Lam Li juga punya rekor yang cukup membanggakan sebagai seorang perempuan – tak pernah sekalipun ia membayar untuk masuk kuil di Tibet. Semuanya mengandalkan teknik ‘panjat tembok dan loncat’-nya yang menakjubkan. Sungguh saya malu di hadapan perempuan ini. Sebagai lelaki, saya yang sekali meloncat langsung kecemplung lubang kakus sama sekali tidak ada apa-apanya. Lam Li pernah bekerja sebagai wartawati The Star, media yang cukup besar di Malaysia. Setelah menabung sekian lama, ia memutuskan untuk berkeliling dunia. Seperti saya juga ceritanya. Ia menempuh jalan darat dari Malaysia, melintas Thailand, Kamboja, Vietnam, masuk ke China, lalu Tibet, dan sekarang Nepal. Ia juga berencana menuju India, Pakistan, Afghanistan, terus ke barat sampai Eropa. Karena saya [...]

June 30, 2014 // 8 Comments

Titik Nol 41: Ceroboh

Keamanan di Nepal terbilang sangat baik. (AGUSTINUS WIBOWO) Tak ada satu kata lagi yang lebih tepat untuk mendeskripsikan diri saya – ceroboh. Pelajaran hari ini membuat saya kembali bertanya pada diri sendiri, mampukah saya mewujudkan mimpi saya melihat dunia? Daerah Thamel memang surganya para backpacker. Apa lagi yang kurang di sini? Losmen murah bertaburan. Restoran yang menjual segala jenis makanan mulai dari dal bat Nepal, thali India,  bakmi China, spageti Italia, sampai humus Israel dan tortilla Meksiko, dari teh susu sampai tequila. Mau cuci baju? Laundry yang siap menerima baju kotor kiloan pun berjajar. Toko buku murah punya koleksi selengkap perpustakaan, menawarkan bau-bau misteri surga Shangri-la di lekukan Himalaya. Yang kangen Indonesia bahkan bisa beli shampo lidah buaya diimpor langsung dari Nusantara. Mau Internet? Ini apa lagi, murah meriah. Sepuluh Rupee per jam dengan kecepatan yang lumayan banter. Sejak dari Tibet yang penuh perjuangan berat, ditambah lagi suntuk karena tidak bisa memotret dengan kamera yang separuh rusak, saya akhirnya menghabiskan lebih banyak waktu di warung Internet murah di sebuah sudut Thamel. Tempat ini bagaikan surga bagi orang malas seperti saya. Warnet, warung, hotel adalah habitat saya selama berhari-hari. Dari sore sampai malam saya berselancar di dunia maya, sebuah kemewahan yang [...]

June 27, 2014 // 3 Comments

Titik Nol 38: Hari Perempuan

Kuil Pashupatinath dibanjiri kaum perempuan (AGUSTINUS WIBOWO) Kathmandu disapu warna merah. Ribuan perempuan turun ke jalan, menari mengiringi lagu yang meriah. Wanita mana yang tak bergembira di hari khusus bagi kaum perempuan ini? Di awal bulan Bhadra dalam penanggalan Nepal, kaum wanita bersuka cita menyambut Tij, perayaan bagi kaum perempuan. Kuil Pashupatinath dibanjiri perempuan – gadis, ibu-ibu, hingga nenek tua, semua berpakaian sari merah menyala. Walaupun Tij adalah festival perempuan, sebenarnya unsur lelaki sangat kuat di latar belakangnya. Alkisah, Dewi Parwati berdoa dalam kekhusyukan, berpuasa dalam ketabahan, mengharap agar Dewa Syiwa mau menjadi suaminya. Sang dewa, tersentuh oleh ketulusan hati Parwati, akhirnya menikahinya. Sebagai ucapan terima kasih, Dewi Parwati menjanjikan perempuan yang berpuasa dan berdoa akan mendapat kemakmuran dan kelanggengan di keluarganya. Dari sinilah Tij berasal. Sejak semalam sebelum Tij, selepas makan besar, kaum perempuan mulai berpuasa selama 24 jam. Semua ibadah dan perayaan Tij, mulai dari puasa, sembahyang, dan lantunan lagu, ditujukan untuk memuliakan Dewa Syiwa, yang akan menjamin kebahagiaan keluarga. Mereka yang sudah menikah berdoa demi kesehatan dan kebahagiaan suami. Yang belum, memohon agar Dewa Syiwa segera memberikan jodoh yang paling tepat. Yang sudah menjanda, berdoa bagi arwah suami. Tij adalah hari di mana perempuan beribadah mewakili suami [...]

June 24, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 4: Surga Burung

Danau Pangong (AGUSTINUS WIBOWO) Pegunungan Kunlun membelah dunia. Di utara, Xinjiang dibungkus debu yang beterbangan dari gurun Taklamakan. Kering dan panas. Begitu melewati puncak Satsum La, dunia berubah menjadi padang rumput hijau menghampar di kelilingi gunung salju, ditangkupi langit biru. Tibet adalah sebuah dunia lain. Di sini banyak kisah tentang kehidupan di puncak bumi, di tanah yang dipeluk langit dan mega. Ada Parit Kematian yang menghantar maut, ada gunung tak berpenghuni dengan desingan angin lembah, dan sekarang, saya tiba di sebuah danau yang terhampar laksana lukisan surgawi. Danau Pangong, atau Pangong-Tso, bukan sembarang danau. Terletak pada ketinggian 4300 meter di atas permukaan laut, panjangnya sekitar 150 kilometer, lebar rata-ratanya cuma empat sampai lima kilometer. Pada bagian tersempit lebarnya cuma lima meter saja. Dengan bentuknya yang mirip lidah panjang, danau ini terbentang dari pegunungan Tibet sampai ke Kashmir. Sekitar 100 kilometer danau ini masuk wilayah China, sisanya lagi di seberang perbatasan India. Yang membuat danau ini tak biasa adalah di sisi China airnya tawar dan segar, sedangkan di sisi India berubah menjadi air asin. Hanya saya dan Deng Hui yang turun di tepi danau ini. Kernet bus Tibetan Antelope menurunkan tas ransel kami berdua dari bagasi. Dua hari perjalanan dengan bus [...]

May 6, 2014 // 0 Comments

Selimut Debu 88: Belajar Membaca

”Lima ratus Afghani!” kata sopir beserban yang baru saja datang dengan truk barangnya. Ia datang dari Herat menuju Cheghcheran di timur. Semula aku bersorak gembira ketika akhirnya debu mengepul dari arah barat dan truk besar ini singgah di restoran Kakek Iqbal. Itu harga yang terlalu mahal. Kakek Iqbal ikut marah. ”Jangan zalim! Dia ini tamu di negara kita. Mana boleh kamu menarik ongkos begitu mahal dengan truk bobrokmu itu?” “Truk ini sudah penuh,” sanggahnya, ”Tidak ada lagi tempat buat penumpang. Lihat sendiri, ada dua perempuan yang duduk di badan mobil. Kalau mau sih orang asing ini bisa duduk di bagian truk terbuka dengan barang-barang.” Aku tak keberatan. Kakek Iqbal membantu menawar sampai 150 Afghani. Sudah dua hari aku menunggu kendaraan lewat di Chisht, yang kuinginkan sekarang cuma cepat-cepat meninggalkan desa ini dan melanjutkan perjalanan. ”Kalau begitu, besok pagi kau harus siap jam delapan. Kita berangkat,” kata sopir. Sopir ini membawa konvoi tiga truk. Semuanya penuh barang yang berkarung-karung. Bersama konvoi ini sudah ada belasan orang yang ikut menumpang ke arah barat. Di jalur tengah Afghanistan, di mana tak ada jalan raya dan angkutan umum sangat mahal, truk adalah satu-satunya pilihan bagi kebanyakan orang. Malam hari, Kakek Iqbal menikmati panen. Dengan [...]

February 26, 2014 // 1 Comment

1 2 3 4 5