Recommended

Uzbek

#1Pic1Day: The Love We Share #5 (Afghanistan, 2008)

The Love We Share #5 (Afghanistan, 2008) Father’s Face—a young girl of an Uzbek nomadic shepherd is gazing at her father in the steppes of Badakshan, Northern Afghanistan. Wajah Ayah—seorang gadis dari keluarga gembala nomaden Uzbek menatap wajah ayahnya di tengah padang rumput Badakhshan, Afghanistan utara.         [...]

March 7, 2014 // 2 Comments

Selimut Debu 86: Hari Massoud

Orang mengingatkanku untuk selalu berhati-hati dengan perbatasan Iran dengan Afghanistan, karena pemeriksaan bisa sangat panjang. Ya, Iran selalu khawatir dengan tetangganya yang lucu ini, yang selalu dicurigai sebagai pemasok opium dan pengungsi. Tapi tidak demikian dengan sebaliknya bukan? Aku rasa, karena aku menyeberang dari Iran ke Afghanistan, seharusnya semua berjalan lancar. Benar saja. Semua lancar. Malah terlalu lancar. Aku tidak pernah melihat imigrasi perbatasan yang selonggar imigrasi Afghanistan ini. Aku sudah menyodorkan pasporku tepat di halaman visa, sehingga si petugas Afghan tinggal mengecap. Petugas itu langsung mengecap, tanpa menghabiskan sedetik pun untuk melihat visa itu, melihat halaman depannya, atau bahkan untuk melihat wajahku. Tanpa registrasi, tanpa wawancara, tanpa rewel. Proses imigrasi hanya memakan waktu 3 detik. Ini adalah proses yang paling cepat dan efisien yang kualami. Dan berita gembira lainnya, tidak ada pula pemeriksaan barang di bea cukai. Datang dari Iran, kita semua dianggap sebagai makhluk tak berdosa. Meninggalkan gerbang perbatasan Islam Qala, aku seperti masuk ke mesin waktu lagi, meloncati dimensi waktu dan mundur ke masa lalu, dari modernitas kembali ke realita negeri berselimut debu. Debu, dalam artian harfiah, lekat dengan kehidupan penduduk Herat. Di bagian timur kota ini, hingga ke perbatasan Iran, terbentang gurun pasir luas. Selama 120 [...]

February 24, 2014 // 0 Comments

Selimut Debu 80: Malaria?

Aku masih belum sepenuhnya sadar ketika terduduk dalam Falang Coach tua menuju Herat. Aku masih seperti orang mabuk yang separuh memejamkan mata. Pengalaman traumatis dengan bachabazi masih menghantui pikiran. Begitu Falang Coach ini menggetarkan mesinnya, sudah tak mungkin lagi aku tidur. Delapan belas penumpang dijejalkan ke dalam mobil butut ini. Bangkunya rendah, tak mungkin menyandarkan kepala ke belakang. Ke samping kiri tak mungkin, ada penumpang. Ke jendela di kanan tak mungkin, karena tepat setinggi pipiku teronggok sebatang besi panjang melintang. Ditambah lagi dua buah paku berujung bundar di dinding mobil, tingginya pas dengan pelipis. Siapa sih yang pasang paku di tempat seperti ini? Kepalaku sampai benjol dan berdenyut karena empat kali ditempeleng besi, dua kali ditabok paku. Pegunungan tandus, jalan bergerunjal, dan bukit pasir, sudah menjadi rutinitas dalam monotonnya perjalanan di barat laut Afghanistan. Penderitaan ditambah lagi dengan pos pemeriksaan yang tidak ada habisnya. Setiap satu jam perjalanan, mobil kami dihentikan polisi. Semua penumpang disuruh turun, diperiksa bawaannya, diraba-raba badannya, sama sekali tidak asyik. Aku ragu apakah pos-pos ini efektif. Di satu pos, polisi begitu sibuk memeriksa plat nomor mobil dengan obeng, takut kalau ada opium yang disembunyikan di baliknya. Tetapi setelah itu ia kehabisan energi untuk memeriksa tumpukan karung [...]

February 14, 2014 // 0 Comments

Selimut Debu 79: Main Bocah

Maimana juga adalah kota pasar. Ada beberapa baris kios di tengah pasar. Mereka menjual segala macam barang, namun kebanyakan toko kain dan permadani. Seorang pedagang etnis Uzbek malah bisa berbahasa Rusia dengan sangat fasih, katanya pernah tinggal enam tahun di Ukraina. ”Di seluruh kota ini, atau malah mungkin di seluruh provinsi ini, cuma aku yang bisa bahasa Rusia,” katanya bangga. Jarang sekali ada orang asing yang datang ke sini. Aku langsung dikerubuti puluhan bocah, digeret ke sana ke sini. Semua pemilik toko minta dipotret. Hampir semuanya seakan berebut untuk berbincang denganku atau menjamah tubuhku. Di antara kerumunan di pasar, terselip Mahmud. Usianya 18 tahun, dahinya lebar dan tubuhnya kekar. Ia mengenakan pakaian shalwar qamiz putih bersih tanpa noda, sungguh langka di tempat penuh debu seperti ini. Mahmud punya kios kecil yang menjual telepon genggam. Katanya dia punya dua puluhan toko di seluruh Maimana. “Menginaplah di rumahku,” ia langsung menawari, ”Karena I like you very much. Kamu bisa makan yang enak-enak. Nasi palao dengan daging sisa pesta. Aku juga punya softdrink. Berapa kaleng pun kamu mau, silakan saja. Kamu juga bisa mandi. Aku suka sekali denganmu.” Aku mengangguk senang. Aku tak pernah melewatkan kesempatan menginap di rumah penduduk, karena ini adalah [...]

February 13, 2014 // 7 Comments

Selimut Debu 78: Laila dan Majnun

Alunan musik lagu Uzbek mengalun dari tape di dalam mobil Tuneis yang kutumpangi, melintasi padang gurun yang menjadi latar belakang kisah Laila dan Majnun. Penumpang bertepuk tangan, mengiringi musik yang rancak. Sopir pun menyetir sambil berjoget, sambil berteriak. Sementara itu, jalan beraspal mulus sudah berganti dengan padang pasir yang membentang. Udara panas menyengat. Debu beterbangan. Serba salah. Jendela ditutup, kami semua bisa mati kepanasan. Angkutan umum di Afghanistan tidak ber-AC, sementara matahari gurun gersang jauh lebih terik daripada panasnya kota Mazar. Kalau jendela dibuka, angin sepoi-sepoi memang masuk, tetapi membawa pula siraman debu yang melapisi wajah. Untunglah, tepuk tangan para penumpang dan tarian sopir seakan menghapuskan kesusahan hidup di sini. Betapa pun beratnya, mereka selalu tahu cara untuk menikmatinya. Ternyata tidak semua mampu membangkitkan suka ria di tengah beratnya perjalanan. Duduk di belakangku adalah seorang perempuan yang terbungkus burqa. Ia memang tak perlu khawatir debu mengotori wajahnya. Tetapi pengap dan sesaknya kungkungan burqa membuatnya terus meratap, ”Tolong buka jendelanya. Tolong buka….” Begitu jendela kaca bergeser, angin sejuk menerpa wajah. ”Fiuhhh…. Fiuhhh….” suara perempuan dari balik burqa mengembus lega. Giliranku sekarang yang harus membungkus wajah dengan kain serban untuk menyelamatkan diri dari bulir pasir yang menerobos hingga ke rongga hidung. “Pasir [...]

February 12, 2014 // 1 Comment

Garis Batas 68: Di Kiri Uzbekistan, di Kanan Kyrgyzstan

  Di kiri Uzbekistan, di kanan Kyrgyzstan. (AGUSTINUS WIBOWO) Apa rasanya jika hidup di persimpangan garis-garis perbatasan internasional yang silang-menyilang tak tentu arah? Anda bisa menemukan jawabannya di desa Gulshan, desa kecil yang menjadi batas dua dunia. Temur, seorang kawan pelajar bahasa Indonesia di Tashkent, menganjurkan saya untuk mengunjungi kampung halamannya di Lembah Ferghana untuk belajar lebih dalam tentang keajaiban garis-garis batas negara yang diciptakan pada zaman Soviet untuk memecah belah Asia Tengah. Temur sendiri tidak sempat menemani saya ke Gulshan, tetapi ia berjanji untuk mengatur semuanya dari jarak jauh. Ahror, seorang kerabat Temur, datang menjemput saya saat saya sedang terlena dalam hingar bingarnya pesta pernikahan di Margilan. Kendang masih bertabuhan, dan suara band memekakkan telinga mengiringi lagu-lagu Uzbek yang membawa nuansa padang pasir. Saya belum sempat mencicip nasi plov yang disediakan tuan rumah, Ahror sudah menggeret saya untuk segera pergi mengikutinya. Ahror, bertubuh agak besar, usianya baru 25 tahun tetapi untuk ukuran orang Indonesia ia nampak jauh lebih tua. Jaketnya hitam, topi bulunya yang juga hitam membumbung tinggi dan bulat, mirip rambut kribo. Beberapa giginya berlapis emas, menyilaukan mata. Ahror mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi melintasi jalan-jalan Ferghana yang gelap dan sepi, menuju selatan, perbatasan Kyrgyzstan. Menjelang tengah malam, [...]

September 17, 2013 // 8 Comments

Garis Batas 66: Yor-Yor

Yor-yor (AGUSTINUS WIBOWO) Adakah yang lebih sempurna dari ini, menghadiri pesta pernikahan tradisional Uzbek di jantung peradaban Uzbekistan, Lembah Ferghana? Yor-yor mengalun lembut menyebar tangis, ibu-ibu tua berkerudung menari-nari, dan mempelai perempuan sesenggukan di balik cadar. Kebetulan sekali waktu saya masih asyik menghabiskan waktu di pabrik sutra Yodgorlik di Margilan, ada orang yang membagikan sobekan kertas undangan pernikahan. Acaranya besok pagi. “Sudah, datang saja,” kata Firuza. Tetapi saya kan tidak diundang. “Tak masalah. Orang Margilan sangat suka kalau acara pernikahannya didatangi orang asing. Malah kadang undangan disebar sembarangan di pasar-pasar.” Dengan muka setebal tembok, saya datang ke alamat yang tertulis di atas sobekan kertas undangan itu. Bukannya dicerca pertanyaan macam-macam, saya malah disambut tuan rumah dengan penuh kehangatan. Keramahan Lembah Ferghana di Uzbekistan memang tidak perlu diragukan lagi. Para tamu pria duduk di halaman, yang sudah dipasangi tenda dan berdinding karpet-karpet bermotif indah. Merah menyala. Tamu-tamu mengenakan chapan, jubah tebal yang sebagian besar berwarna gelap, cocok untuk musim dingin begini. Kakek-kakek tua mengenakan topi bulu hitam, tinggi dan besar. Tuan rumah segera menyiapkan roti nan dan teh hijau, bagian tak terpisahkan dari meja makan Uzbekistan. Melihat ada tamu asing yang datang, tuan rumah buru-buru memperkenalkan saya ke anggota keluarga. Saya [...]

September 13, 2013 // 6 Comments

Garis Batas 63: Diciduk Polisi (2)

Polisi Uzbek berpatroli (AGUSTINUS WIBOWO) Halim yang baru saya kenal di dalam bus, setelah mengajak saya berputar-putar di desa yang sama sekali asing, kini membawa saya ke sebuah apartemen kuno di Ferghana. Saya tak tahu lagi ini ada di mana. Saya hanya memasrahkan nasib saya kepada orang ini, yang kini sedang bercakap-cakap dengan gadis berdaster di sebuah apartemen remang-remang dengan temaram lampu merah jingga. Saya tidak paham apa yang dirundingkan antara Halim dengan perempuan itu. Tak sampai lima menit mereka bercakap-cakap, Halim langsung menyeret saya keluar dari gedung bobrok dan bau itu. “Kita ke tempat lain saja,” katanya. Siapa perempuan itu tadi? “Adik,” jawabnya singkat, seolah ingin menghindari cecaran pertanyaan saya yang dungu ini. Halim memanggil taksi lagi. Saya semakin bingung ada di bagian kota mana ini. Malam yang gelap gulita membuat saya mustahil mengingat jalan dan gedung-gedung yang bisa saya jadikan penanda. “Halim aka…..,” sambut seorang wanita hamil yang muncul dari balik pintu sebuah apartemen kecil di lantai dasar. Aka, bahasa Uzbek, artinya kakak laki-laki. Si wanita itu bicara tanpa henti. Saya tak mengerti apa pun, hanya merasakan nada bicara yang merajuk manja. Semua giginya berlapis emas. Halim mengajak saya untuk masuk ke sebuah ruangan. Kosong, tumpukan kurpacha, matras [...]

September 10, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 52: Asyiknya Belajar Bahasa Indonesia

Pelajar bahasa Indonesia di Tashkent (AGUSTINUS WIBOWO) Ternyata bukan hanya tari-tarian Indonesia yang ikut menyemarakkan keindahan khasanah budaya Uzbekistan, orang-orang Uzbek pun mulai belajar bahasa nasional kita. Gedung yang terletak di jantung kota Tashkent ini bernama Tashkent State Institute of Oriental Studies. Di sinilah Temur Mirzaev, mahasiswa asal Lembah Ferghana berusia 20 tahun, mendalami Bahasa Indonesia. Temur boleh dikata adalah mahasiswa yang kemampuan bahasa Indonesianya paling menonjol diantara mahasiswa lainnya. Selain menjadi yang terbaik di sekolahnya, ia juga berhasil mendapat beasiswa satu tahun belajar Bahasa Indonesia di Surabaya, mengikuti program Dharmasiswa yang ditawarkan pemerintah Indonesia melalui KBRI. Tak heran dia sama sekali tidak kesulitan bercakap-cakap dalam Bahasa Indonesia dengan saya. Bahkan ia sesekali menggunakan kata-kata bahasa gaul yang otentik, seperti cuek, curhat, nih, dong, deh. “Saya sangat suka Surabaya, Mas Jagoan,” kata Temur bercerita, “saya suka kulturnya, budayanya, alamnya…” Kebetulan nama Temur, dibaca ‘Timur’, pas sekali dengan propinsi Jawa Timur. Di Surabaya Temur tinggal di kost-kostan di tengah gang kampung dan sempat menghadiri acara pernikahan tradisional Jawa Timuran di Kediri. Temur pun terbiasa makan nasi putih, mie instan, dan menjalani kehidupan kampung. Mungkin karena kenang-kenangannya akan Surabaya dan Indonesia, ia menjuluki saya ‘Mas Jagoan’. [...]

August 26, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 46: Naik kereta api, tenge… tenge… tenge…

Perjalanan panjang dalam kereta api (AGUSTINUS WIBOWO) Dua minggu di Kazakhstan adalah hari-hari yang berat. Mie instan yang sudah menjadi makanan pokok saya di sini, karena harganya yang paling terjangkau, telah mengantarkan beberapa lubang sariawan di sudut-sudut mulut. Dinginnya bulan Desember yang tak bersahabat di Kazakhstan, ditambah lagi harga-harga yang terus menghisap darah, membuat saya tak sabar untuk meninggalkan metropolis Almaty.  Sebagai negara daratan yang sangat luas, jaringan kereta api menjadi alat transportasi vital di Kazakhstan. Dengan kereta api orang bisa ke mana-mana, dari Almaty di pucuk selatan, sampai ke Astana yang seribuan kilometer jauhnya, hingga ke Petralovsk, Semey, Atyrau, dan Uralsk di pucuk-pucuk negeri, bahkan sampai ke Moskwa dan Siberia. Seratusan tahun yang lalu, Kazakhstan cuma tempat terpencil di ujung dunia, layaknya Timbuktu yang terlupakan. Sekarang Timbuktu ini sudah disulap menjadi negara makmur. Saya yang terpukau oleh stasiun Almaty 1, tahu-tahu digeret polisi stasiun. Saya ketahuan memotret di dalam lingkungan stasiun. Saya dibawa ke ruang interograsi. Di sana ada seorang wanita gendut yang sepertinya polisi kepala. Dengan sabar ibu polisi itu bertanya mengapa saya memotret, karena itu haram hukumnya di sini. Saya manggut-manggut, minta maaf dan menghapus foto-foto saya. Para penumpang dengan brutal memasuki kereta. Yang kuat yang menang, [...]

August 16, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 34: Dungan

Muslim Kirghiz dan masjidnya (AGUSTINUS WIBOWO) Perkenalan saya dengan Dungan (baca: Dunggan) berawal dari ketertarikan saya terhadap makanan China yang banyak bertebaran di kota Bishkek. Bukannya berpapan nama “Chinese Restaurant“, warung-warung ini malah berjudul “Dunganskaya Kukhnia“, artinya “Depot Dungan”. Begitu memasuki ruangan bawah tanah semua warung masakan Dungan di dekat Kedutaan Iran, saya merasa seakan kembali lagi ke negeri China. Makanan yang disajikan sama persis dengan yang ada di Tiongkok sana. Baunya. Hiruk pikuknya. Asapnya. Wajah orang-orangnya. Bahkan sayup-sayup terdengar para koki yang berteriak-teriak dalam bahasa China. Siapakah orang-orang Dungan ini? Rasa ingin tahu membawa saya ke Tokmok, sebuah kota kecil 70 kilometer di sebelah timur Bishkek, yang merupakan basis komunitas Dungan terbesar di seluruh negeri Kyrgyzstan. Terletak di dekat Sungai Chuy yang menjadi perbatasan dengan Kazakhstan di utara, Tokmok adalah kota kecil tempat berkumpulnya berbagai bangsa – Kazakh, Kirghiz, Uzbek, Uyghur, dan Dungan. Di dekat pasar kota terdapat sebuah masjid kecil, tempat beribadahnya Muslim Dungan. Di Asia Tengah, dimana konsep negara-bangsa sangat kuat (Tajikistan negaranya orang Tajik, Kyrgyzstan negaranya orang Kirghiz, dan sebagainya), masjid pun dibeda-bedakan berdasar ras. Orang Dungan hanya sembahyang di masjid Dungan. Orang Kirghiz punya masjidnya sendiri di dekat terminal yang kubahnya mungkin mengilhami [...]

July 31, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 25: Kota Kuno

Khana Ay (AGUSTINUS WIBOWO) Saya merasa begitu dimanjakan di Osh. Setelah melewati susahnya kehidupan di GBAO, berhari-hari menunggu kendaraan melintas di bawah terpaan angin dingin, menahan lapar dan dahaga di tempat di mana makanan begitu berharga, kini saya berada di Osh. Kota ini benar-benar surga bagi orang yang gila makan. Dalam beberapa hari ini tidak banyak yang saya lakukan. Pagi ke warung laghman milik Fakhriddin. Selepas itu kembali ke guesthouse menghafalkan kosa kata dan grammar bahasa Rusia. Siangnya kembali makan laghman, dua mangkok. Sorenya berselancar di internet, membaca buku, dan menghafalkan kosa kata lagi. Malam laghman lagi, ditambah mantu. Dalam tiga hari saja saya bertambah gembul. Sebenarnya ini bukan kali pertama saya datang ke Osh. Musim panas 2004 saya sudah pernah ke sini. Osh, waktu itu, adalah kota bekas Uni Soviet pertama yang saya kunjungi. Memori saya yang paling nyata mengenang Osh sebagai barisan gedung-gedung apartememen berarsitektur khas Rusia – bangunan kotak-kotak seragam yang membosankan, berjajar di pinggir jalan beraspal yang naik turun menyusuri bukit. Ketika kota-kota lain begitu menggebu melepaskan atribut Rusia, Osh masih memelihara patung Lenin yang melambai penuh semangat di pinggir jalan utama yang sepi. Ketika Jalan Lenin di kota-kota lain sudah diganti namanya dengan pahlawan-pahlawan nasional Asia [...]

July 18, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 24: Cita Rasa Osh

Restoran Laghman Uyghur (AGUSTINUS WIBOWO) Osh, kota terbesar kedua di Kyrgyzstan, adalah sebuah kejutan luar biasa setelah mengalami beratnya hidup di GBAO-nya Tajikistan. Kota ini, walaupun dikelilingi gunung-gunung, suhunya sangat hangat. Osh adalah kota dalam definisi yang sebenarnya, dengan hiruk pikuk manusia dan segala kesibukannya. Bukan kota-kota di GBAO macam Khorog dan Murghab yang hanya menyimpan kisah sedih pegunungan terpencil. Arus mobil dan bus kota berseliweran tanpa henti. Jalanan pasar penuh sesak oleh orang-orang yang berbelanja. Gedung-gedung tinggi berbentuk balok berbaris sepanjang jalan. Penduduk Osh adalah percampuran berbagai suku bangsa. Ada orang Kyrgyz yang berwajah Mongoloid. Ada orang Uzbek yang berwajah keturki-turkian. Ada gadis-gadis Korea yang berpakaian modis. Banyak juga orang Rusia dan Tatar yang berkulit putih pucat. Dering ringtone telepon seluler seakan tak pernah putus di tengah riuh rendahnya pasar kota Osh. Tetapi kejutan yang paling menggembirakan setelah meninggalkan GBAO adalah, saya tidak akan pernah kelaparan di Osh. Dalam bahasa Tajik, Osh memang berarti makanan. Apakah memang ada hubungan antara kata ini dengan melimpahnya makanan lezat di Osh? Duduk di atas dipan, sambil menghirup panasnya secangkir teh hitam dan menyaksikan mengalirnya sang waktu adalah kebiasaan kakek-kakek Uzbek dan Kyrgyz melewatkan hari mereka di Osh. Sambusa, pastel kecil berbentuk segitiga [...]

July 17, 2013 // 2 Comments

Garis Batas 5: Istaravshan, Masa Lalu dan Masa Kini

Istaravshan dan sejarah dua ribu lima ratus tahunnya. (AGUSTINUS WIBOWO) Istaravshan baru saja merayakan hari jadinya ke 2500. Wow, usia kota ini sudah dua setengah milenium. Seperti layaknya kota-kota di Asia Tengah, Istaravshan juga berlomba-lomba merayakan angka jadinya yang ribuan tahun, seakan angka milenia itu menjadi tolok ukur tingginya peradaban. Dua ribu lima ratus tahun yang lalu Iskandar Agung dari Makedonia datang menaklukkan negeri ini yang kala itu masih bernama Mug Teppa. Hari penaklukan itu diabadikan sebagai hari jadi Istaravshan. Namun, kedatangan Iskandar Agung yang tersohor tidak serta merta menjadikan kota ini berjaya sepanjang waktu.  Istaravshan timbul tenggelam dalam halaman sejarah, kadang terpuruk, bahkan mati suri selama ratusan tahun. Baru pada abad ke-15 orang Persia datang membawa sinar peradaban baru ke wilayah ini. Masjid dan madrasah bermunculan. Ketika Istaravshan merayakan ‘ulang tahun’-nya yang kedua ribu lima ratus, Tajikistan membangun sebuah gerbang megah di atas bukit gundul Mug Teppa, tempat sang Iskandar Agung pernah berdiri memandangi barisan bukit yang sama gundulnya Istaravshan, yang waktu zaman Rusia diganti namanya menjadi Ura Teppa, memang bukan tandingan Bukhara atau Samarkand. Tetapi umur bangunan-bangunan kuno di sini  termasuk yang tertua di seluruh penjuru Tajikistan, cukup untuk dibanggakan sebagai khasanah peradaban nasional. Namun, kekunoan Istaravshan  tidak [...]

June 6, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 3: Dushanbe, di Bawah Kemilau Somoni

Patung Somoni di Dushanbe (AGUSTINUS WIBOWO) Dushanbe, dalam bahasa Tajik berarti hari Senin. Dinamai demikian karena dulunya di kota ini, yang seratus tahun lalu masih berupa desa mungil, ada pasar mingguan setiap hari Senin. Untuk menghindari kerancuan, orang Tajik menambahkan kata ruz, artinya hari, di depan kata dushanbe, jadi ruzi dushanbe, untuk menyebut hari Senin. Dushanbe menjadi ibu kota Tajikistan ketika negara bagian ini dibentuk pada tahun 1929, dipisahkan dari Uzbekistan. Kishlak, desa kecil itu, kini berubah menjadi kota yang rapi. Suasana Dushanbe hari ini masih sangat lekat dengan masa lalunya sebagai bagian dari kejayaan Uni Soviet. Jalan utama kota ini hanya satu, Jalan Rudaki, diambil dari nama pujangga Persia yang lahir di Penjikent, sekarang menjadi bagian wilayah Tajikistan. Jalan Rudaki panjang dan teduh. Bagian tengah jalan ini adalah taman tempat orang berjalan-jalan, duduk, dan membaca. Gedung-gedungnya semua berbentuk sama, balok kotak-kotak berwarna jingga. Sebuah keseragaman dan kesamarasaan yang dibawa oleh Uni Soviet, mengharmonikan detak jantung dan denyut nadi orang-orang pegunungan ini dengan para pemimpin merah di Moskwa sana. Jalan-jalan di sini nyaman sekali. Tidak banyak mobil lalu lalang. Orang pun tidak ramai seperti di Kabul sana. Semua berpakaian rapi dan trendy. Dibanding Afghanistan, kehidupan di Tajikistan seperti langit dan [...]

June 5, 2013 // 2 Comments

Mazar-i-Sharif – Secuplik Masa Lalu

During Taliban era, celebrating Naoruz was forbidden “Sekarang semua serba mahal. Waktu zaman Taliban, semuanya murah,” Obaidullah (32 tahun), kakak Naqeebullah memulai selasar kenangannya tentang kehidupan Mazar di masa lalu. Harga barang yang terus melambung tinggi belakangan ini menjadi bahan kegelisahan hampir semua orang. Roti nan yang tahun kemarin masih 5 Afghani sekarang sudah jadi 10 Afghani (sekitar 2.000 Rupiah). Harga sepiring nasi di Salang sekarang 100 Afghani, dua dollar. Obaid berkumis tipis, berkaca mata, dan bertubuh besar. Sekarang bekerja sebagai insinyur di sebuah NGO lokal bernama CHA (Coordination for Hummanitarian Assistance). Bahasa Rusianya bagus sekali karena ia melewatkan waktu bertahun-tahun sebagai insinyur di Uzbekistan dan beberapa bulan di Turkmenistan. Sering kali ia lebih suka berbicara dalam bahasa Rusia daripada bahasa Dari dengan saya. Bahasa Inggrisnya pas-pasan. “Waktu zaman Taliban dulu, sewa rumah tak sampai 40 dolar. Sekarang, sudah ratusan dolar per bulannya.” Tetapi itu bukan berarti hidup di zaman Taliban lebih mudah. Walaupun harga murah, tetapi orang tak punya uang. Tak ada pekerjaan. Dan semua dirundung ketakutan. “Siapa yang tak takut, potongan tangan digantung di pohon, untuk memperingatkan orang akan kejamnya hukuman bagi para pelanggar.” Obaidullah menceritakan bagaimana Taliban melaksanakan hukum rajam dan gantung di lapangan. “Waktu pertama kali, [...]

March 17, 2008 // 0 Comments

Dushanbe – A Night in Student Dormitory

Rainbow in Tajikistan I went early to the Kyrgyz embassy just to find that the embassy only opened one day in a week, that is on Tuesdays. The embassy itself is well hidden in the alley, long way from the city center. It is next to a medicalcampus of the university Teby. When I was asking direction here and there, I met this boy. His name is Alyourov Bakhriddin. He is a medical student in the second year. He is an Uzbek boy from the northern town of Istaravshan, about 200 km away from Dushanbe. Bakhriddin has a Russified Islamic name. The names of Uzbek and Tajik were following the same pattern as those of the same ethnics in Afghanistan, but since the Russian occupation, the names of the people also consist of 3 parts: imya (name), otchestva (fatherly name) and familia (family name). The father’s name (otchestva) has ending –ovich for males and –ovicha for females, and the family name or grandfatherly name has ending –ov for men and –ova for women. Thus the Tajik president, Imamali Rakhmanov Sharifovich, hasname Imamali, is the son of Sharif and grandson of Rakhman. The Russians follow the pattern: imya – ochestva – [...]

October 9, 2006 // 0 Comments

Maimana – Bacchabazi

Friendly Maimana men “Playboy is good” – Massoud The public vehicle going to Maimana from Mazhar e Sharif departed as early as 4 a.m. Traveling in Afghanistan is painful. Road lights don’t exist at all so that traveling should be only done during the daylight. Road to Maimana starts to deteriotae at Shibargan, when the road turned into Dasht-i-Laili desert. I took a Town Ace, 500 Af, which is 100 Af more expensive than the crowded Falancoach. But the extra money was really worth for the comfort. The Town Ace only takes 8 passengers while Falancoach 18, and the road in the desert is not a nice roller coaster trip in a jammed minibus. The distance between Maimana and Mazhar e Sharif is merely 341 km, but it took 10 hours to reach. When arriving in Maimana, the driver tried to extort money from me. I gave 1000 Afs then he said, “sahih shod, everything is allright.” Instead of giving me 500 Af bill, he gave me much filthy smaller money, and when I counted, it was only 400 Af. I got angry, asked my money back. He gave me the right change. Then it was turn of him getting [...]

August 13, 2006 // 1 Comment

Taloqan – The Colorful Mondays

Welcome to Taloqan “First it was the culture, then it mixed with the religion” – Sa’dat The city of Taloqan is the capital of the Takhar province, one of Afghanistan northern provinces. Takhar was part of the Qataghan province which once comprised the nowadays provinces of Kunduz, Takhar and Baghlan. Taloqan is hot in summer although compared to Kunduz, it’s much cooler. The city is dusty, but the smoothly paved road which connected the sleepy provincial capital to Kabul promised its brighter future. The city has somehow a strong link with the Islamic Republic of Iran. Unlike other cities in Afghanistan, the roads in Taloqan has clear name and road signs, and many of the main road signs in the town center are backgrounded with Iranian flag, and signed “Afghanistan and Iran”. Some of the roads have quite Iranian smell, like the “Ayatollah Khomeini” St. Some other main roads are Hafez St., and as in all other cities in Afghanistan, the “Ahmad Shah Massoud” St. Massoud is a Tajik warrior from the Panjshir valley who fought against the Taliban and now is respected by many as a national hero. Taloqan: Ahmad Shah Massoud, Iranian flag, and burqa The people of [...]

July 23, 2006 // 0 Comments