Recommended

Tais 27 Agustus 2014: Rumah di Sini dan Rumah di Sana (1)

Seorang warga Papua Nugini dengan baju TNI-AD, yang dibeli dari Merauke (AGUSTINUS WIBOWO)

Seorang warga Papua Nugini dengan baju TNI-AD, yang dibeli dari Merauke (AGUSTINUS WIBOWO)

17 Agustus 2003, Sisi Wainetti dan kakak sepupunya Paulus Waibon pertama kali menyeberang perbatasan dari Morehead di Papua Nugini menuju Merauke, Indonesia. Mereka berangkat dari desa penuh semangat. Mereka dengar kabar, pada hari itu akan dirayakan kemerdekaan negara baru: West Papua.

Entah mereka dapat informasi dari mana. Yang jelas, mereka sangat terkejut karena yang mereka temukan hanyalah perayaan kemerdekaan Republik Indonesia. Nyanyian dan tari-tarian, tabuhan gendang kundu (di Indonesia disebut “tifa”), topi dari bulu kasuari, dan kibaran bendera merah putih di mana-mana di lapangan kantor Pemerintah Daerah Merauke. Orang-orang berbagai warna kulit berjoget tradisional maupun bergoyang dangdut dengan ceria. Tebersit kekecewaan di benak Sisi. Kenapa tak ada bendera Papua?

Impian kemerdekaannya kandas seketika. Ketika dia mendengar kabar kemerdekaan West Papua itu, hatinya sempat berpikir: Tidak ada yang lebih bagus daripada ini! Merdekanya West Papua, dalam bayangannya adalah tentang berakhirnya garis batas antara Morehead dengan Merauke yang memisahkan mereka; semua orang Papua di sisi timur dan barat perbatasan akan bersatu dalam negeri yang baru. Perbatasan negeri baru mereka nanti adalah di Sorong. Sisi meyakini, andaikan negara Papua itu terbentuk, maka mereka akan terpisah dari Nugini—bagian utara Papua Nugini yang bekas jajahan Jerman. “Negeri Papua Bersatu itu hanya bagi orang-orang Papua, bukan untuk orang Nugini,” kata Sisi, “kami dan mereka tidak sama.”

Paulus menyambung, “Saat Michael Somare mendapatkan kemerdekaan untuk Papua Nugini di tahun 1975, dia hanya memikirkan Nugini, tanpa memikirkan Papua. Sekarang lihat hasilnya, Nugini lebih maju dan Papua terbelakang. Itulah sebabnya, kami sangat mengharap Papua bisa merdeka, supaya orang-orang Papua di sini maupun di sana bisa bersatu dan jadi negara yang maju.”

Kemerdekaan Papua Nugini, pada 16 September 1975, menandai leburnya perbatasan antara Papua dan Nugini yang sebelumnya menyekat mereka sesama orang Melanesia di sisi timur pulau New Guinea. Sisi dan Paulus ingin perbatasan itu dimunculkan lagi, karena mereka menganggap Nugini bukanlah saudara orang Papua. Saudara Papua mereka ada di barat, di wilayah yang sekarang dikuasai Indonesia.

Sebelum datang ke Merauke di tahun 2003 itu, Sisi dan Paulus sempat sama-sama membenci orang Asia. Kalau ada datang orang Asia—dan itu adalah pelintas batas ilegal dari Indonesia—Sisi dan Paulus selalu melaporkan kepada aparat berwenang supaya orang Asia itu ditangkap dan diusir. Tapi setelah tinggal di Merauke selama berbulan-bulan, yang dilanjutkan lagi dengan dua tahun penuh antara 2006 dan 2007, Sisi kini jauh lebih mencintai orang Asia Indonesia daripada orang Papuanya.

“Itu karena gula, pinang, Indomie, dan uang orang-orang Asia itu untuk membeli hasil kami, sekarang kami sudah jadi saudara,” kata Sisi.

Tais adalah salah satu tempat favorit persinggahan para pedagang ilegal dari Indonesia (AGUSTINUS WIBOWO)

Tais adalah salah satu tempat favorit persinggahan para pedagang ilegal dari Indonesia (AGUSTINUS WIBOWO)

Pakaian mereka pun berasal dari Indonesia (AGUSTINUS WIBOWO)

Pakaian mereka pun berasal dari Indonesia (AGUSTINUS WIBOWO)

Tais sering menjadi tempat persinggahan para pedagang dari Indonesia, yang terkadang menginap sampai berminggu-minggu sementara mereka mengumpulkan tanduk rusa dan teripang dari pedesaan Papua Nugini. Perbatasan antara Merauke dengan Morehead ini seharusnya tidak boleh dilintasi para pendatang non-Papua, dan tidak boleh melakukan perdagangan hasil bumi dengan skala seperti ini. Semua aktivitas ini adalah transaksi perdagangan gelap yang melanggar hukum Papua Nugini. Tetapi para penduduk pedesaan justru sangat menyambut kedatangan pembeli dari Indonesia, tanpa pernah melaporkan pada polisi bahkan cenderung melindungi mereka dari kejaran polisi. Tanpa pembeli dari Indonesia, para penduduk pedesaan ini tak punya uang; juga tak punya gula, pinang, Indomie.

“Ide tentang kemerdekaan itu sudah semakin pupus. Apalagi selama tinggal di Merauke, saya selalu tinggal bersama orang Jawa, dan saya suka mereka,” kata Paulus. “Sekarang coba pikir, seandainya West Papua merdeka, hasilnya pasti tidak akan jauh berbeda dengan Papua Nugini. Kami adalah orang hitam yang sama, maka saya bisa tahu masa depan seperti apa itu.”

Saya duduk mendengarkan cerita Sisi dan Paulus itu di rumah Paulus di ujung dusun Tais. Dia salah satu dari tiga orang di desa ini yang mempunyai panel surya, sehingga ketika malam pun dia bisa memutar kaset musik di rumahnya keras-keras. Musik nyaring yang menjadi latar belakang perbincangan kami adalah lagu-lagu sendu Ebiet G Ade, penyanyi pop Indonesia era 1980an. Paulus bilang, musik Indonesia adalah favoritnya sekarang. Sedangkan Sisi menyalakan telepon genggamnya, yang di dalamnya ada video musik favoritnya: dua pemuda ceking berkulit sawo matang (atau “putih” menurut ukuran Sisi), yang disebutnya sebagai “Ja-mer” (“Jawa Merauke”). Kedua pemuda itu berjoget-joget di pinggir jembatan mendendang lagu rap berbahasa Melayu logat Papua yang cukup sulit saya mengerti—Mau bilang sayang, mau bilang cinta, tapi ternyata kau orang pu mama.

“Kami sedang menanti perusahaan Indonesia dari Merauke membangun jalan tol sampai ke Daru,” kata Paulus. “Kalau itu terwujud, kami akan tersambung dengan Indonesia, dan pemerintah Indonesia akan bisa memperhatikan kami, maka kehidupan di sini akan jauh lebih baik.”

Salah satu penantian mereka adalah:  Indonesia datang mengubah nasib mereka (AGUSTINUS WIBOWO)

Salah satu penantian mereka adalah: Indonesia datang mengubah nasib mereka (AGUSTINUS WIBOWO)

Hidup di sini seperti tidak berubah  (AGUSTINUS WIBOWO)

Hidup di sini seperti tidak berubah (AGUSTINUS WIBOWO)

Sisi adalah anak desa Tais. Sejak kecil, dia sudah diberikan orangtuanya kepada pasangan suami-istri dokter Wainatti untuk dijadikan anak. Sisi dibesarkan ayah angkat yang orang Kiwai, dan ibu angkat yang orang Rabaul, bertumbuh di ibukota Port Moresby tanpa mengetahui akarnya di sini yang ribuan kilometer jauhnya. Pada tahun 1999, rumah mereka di Port Moresby itu terbakar, sehingga Sisi mulai merindukan ibu kandungnya yang tinggal di dusun Tais ini. Sisi kembali ke Daru, lalu ke rumah di dusun pedalaman di Morehead ini, dan baru dia menyadari bahwa separuh darah leluhurnya berasal dari tanah di seberang perbatasan sana—sebuah daerah yang mereka sebut sebagai “West Papua” dan kini berada di bawah kontrol Republik Indonesia. Itulah yang kemudian mengawali perjalanan panjangnya ke seberang perbatasan, yang membuatnya hari ini tak pernah bisa lepas lagi dari pengaruh negara di seberang batas itu.

Nenek Sisi, ibu dari ayahnya, berasal dari Kondo, tempat paling timur di Indonesia, 100 kilometer di tenggara Merauke. Nenek Sisi pindah ke sisi Papua Nugini sebelum Indonesia masuk, gara-gara terpikat oleh para pemuda dari seberang perbatasan yang datang berkunjung ke desanya, lalu menikah dan menjadi warga seberang. Zaman itu, perbatasan antara Papua Timur dan Papua Barat memang tidak terlalu ketat, orang bebas berpindah dari kedua sisi perbatasan. Nenek Sisi itu meninggal ketika Sisi masih sangat kecil, sehingga Sisi sama sekali tidak tahu silsilah keluarganya yang berasal dari daerah Merauke sana, bahwa ada darah suku Marind yang mengalir dalam tubuhnya.

Di tahun 2000, Sisi melihat begitu banyak pengungsi Marind berdatangan dari daerah sekitar Merauke, bercerita bahwa tentara Indonesia membunuhi orang hitam sehingga mereka semua lari ke Papua Nugini. Di tahun itu pula pemerintah Indonesia mengirim kapal besar untuk memulangkan ribuan pengungsi itu dari Daru kembali ke “West Papua”. Orang-orang seluruh kota bertangisan melepas kepergian para pengungsi itu, yang sudah mereka anggap sebagai saudara. Dalam benak Sisi, tentara Indonesia pasti sangat kejam terhadap orang Papua, sehingga orang Papua berlarian dari barat sana ke Papua Nugini. Saat pertama kali datang ke Papua Indonesia di tahun 2003, Sisi sangat ketakutan melihat tentara, sampai tidak bisa tidur selama seminggu penuh. Berselang sebulan, Sisi menyadari bahwa tentara tidak pernah menyakiti dirinya, Sisi bahkan berkawan dengan banyak tentara dan teman main utamanya malah para tentara dari Jawa.

Sisi adalah orang yang paling lancar berbahasa Indonesia di sini, dengan logat Papua yang teramat kental (seperti “Kitorang suka pergi ke sana to”). Itu karena dia pernah tinggal di Merauke cukup lama, dan separuh darah “West Papua” yang mengalir dalam dirinya telah membuatnya menanggap diri sebagai “separuh Indonesia”. Dan kefasihan bahasanya membuat Sisi sangat populer di kalangan buyer dari Indonesia. Walaupun pekerjaannya semula adalah guru, dan selama dua tahun dia tinggal di Merauke dia tetap menerima gaji buta sebagai guru, Sisi punya pekerjaan penting yang lebih menghasilkan: membantu menyelundupkan orang-orang dari berbagai negara untuk melintasi perbatasan secara ilegal.

Sisi pernah membantu orang India yang mau masuk Papua Nugini dari Merauke, orang Australia yang mau pergi ke Merauke, juga orang Afghanistan yang mau mengungsi ke Australia. Saya datang dari Indonesia, legal dengan paspor dan visa, sungguh berbeda dengan orang-orang lain yang pernah Sisi bawa. Keindonesiaan saya ini justru merepotkan bagi Sisi, karena semua orang desa pesisir tahu siapa Sisi, yang sudah berulang kali membawa pembeli ilegal yang menyeberang dari Merauke untuk membeli hasil laut dan hasil hutan di Papua Nugini.

“Mereka orang-orang di sini semuanya suka jealous,” kata Sisi, “Mereka kira Sisi dapat uang dari orang-orang asing yang Sisi bantu. Mereka benci Sisi karena Sisi suka bantu orang asing. Mereka iri. Tapi Sisi bantu orang karena Sisi suka bantu, Sisi tak pernah minta apa-apa.”

Sisi memaksa saya untuk mengatakan pada semua orang di luar desa ini bahwa saya adalah orang Filipina yang bekerja di supermarket milik orang China. Saya baru menyadari bahwa semua sandiwara ini adalah demi menghindari kecurigaan bahwa saya adalah salah satu klien Sisi.

Tapi kenapa Sisi harus bermain banyak sandiwara?

Kegiatan sehari-hari warga Tais (AGUSTINUS WIBOWO)

Kegiatan sehari-hari warga Tais (AGUSTINUS WIBOWO)

Sisi sering membantu pedagang ilegal dari Indonesia menjalankan aksi mereka (AGUSTINUS WIBOWO)

Sisi sering membantu pedagang ilegal dari Indonesia menjalankan aksi mereka (AGUSTINUS WIBOWO)

Setelah Sisi mencintai orang Indonesia, Sisi kemudian mencintai uang Indonesia. Itu menjerumuskannya dalam kegiatan bisnis ilegal. Sisi banyak membantu para pedagang dari Indonesia untuk membeli barang-barang hasil bumi Papua Nugini dengan harga yang paling murah. Gelembung ikan kakap, tanduk rusa, kayu gaharu, teripang, … sebutkan apa saja yang kau mau, Sisi pasti bisa mencarikannya untukmu. Asal jangan lupa, sediakan selalu pinang lengkap dengan sirih dan kapur supaya mulutnya itu jangan sampai mengaso dan menjadikannya gelisah.

Sisi adalah orang yang cerdas membidik kesempatan. Dengan gelak tawa penuh kebanggaan, Sisi menceritakan pada saya tentang kepiawaiannya menipu orang pedesaan Papua Nugini yang tidak tahu harga dan buta kurs rupiah. Misalnya, Sisi bisa membeli 1 kilogram kepiting dengan harga hanya 10 kina (Rp 50.000), dengan memberi mereka sedikit tepung dan minyak dari Merauke. Atau dia pernah membeli 10 kilogram teripang dengan ditukar telepon genggam Nokia yang murah (orang-orang Papua Nugini mengira itu barang mahal!), dan menukar 100 kilogram teripang dengan satu genset bekas yang diklaim sebagai baru. Sisi pernah menjanjikan pada orang-orang desa itu untuk memberikan komputer untuk ditukar dengan sirip hiu, tetapi kenyataannya Sisi memberi mereka hanya mesin DVD portabel dari Merauke (dan lagi-lagi, orang pedesaan PNG tidak tahu bedanya komputer dengan DVD player!).

Sekarang, semakin banyak pedagang dari Indonesia yang berinteraksi langsung dengan penduduk Papua Nugini, juga banyak orang Papua Nugini yang sering pergi langsung ke Merauke. Orang Papua Nugini kini sudah pintar, sudah tahu harga dan tahu kurs rupiah. Dan itu berarti, prospek bisnis Sisi berakhir. Ketika Sisi datang ke satu desa hendak membeli hasil, orang-orang desa itu mengusir Sisi, berteriak, “Sisi, just fuck off with your price!” Ada beberapa desa yang bahkan Sisi tak berani menginjakkan kaki sama sekali, karena nyawanya terancam oleh orang-orang yang telah terlalu banyak ditipunya dan ingin membalas dendam. Itulah sebabnya pergerakan Sisi di daerah ini sangat terbatas. Saya pernah ingin berjalan kaki dari Ber ke desa tetangga Buzi, Sisi tidak mengizinkan. Saya ingin jalan kaki dari Tais ke Mari hingga Jarai dan Bula dekat perbatasan Indonesia, Sisi juga tidak mengizinkan. Saya seperti terpasung dalam cengkeramannya.

“Tapi Sisi,” kata saya, “Izinkan saya untuk melihat lebih banyak….”

“Sayangnya, kamu sudah datang ke sini dengan orang yang salah. Sekarang kamu tahu kan siapa aku?” katanya.

“Tapi… saya bisa pergi tanpa menyebut namamu.”

Sisi menangis di hadapan saya. “Agus, saya perempuan, kamu harus mengerti hati seorang perempuan. Kalau kamu pergi, bagaimana mungkin saya bisa tenang? Kamu nanti dibunuh, kamu dilukai orang-orang. Ingat, semua orang di sini orang jealous. Kamu mau Sisi sedih? Kamu mau Sisi mati?”

Dengan semua larangan Sisi itu, Tais, 100 kilometer jauhnya dari perbatasan Indonesia, tampaknya akan menjadi titik terjauh saya untuk mengintip Indonesia dari pesisir selatan Papua Nugini ini.

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

4 Comments on Tais 27 Agustus 2014: Rumah di Sini dan Rumah di Sana (1)

  1. “Awas yang cakep mau lewat” :)) Nice story, mas (as always)

  2. oala Sisi. siapa menabur dia menuai.

  3. Ah Sisi kenapa kepintaranmu kau gunakan untuk menipu bangsamu sendiri?

  4. ah, Sisi… Kamu nakal. Terkadang ini membuat saya berpikir mendalam mengenai OPM. Mereka ingin Papua merdeka, tapi kenyataannya Papua Nugini pun hanya menjadi adik kecil Australia. Sedangkan kita menganggap orang Papua sama derajatnya dalam republik ini. Sama darahnya. Kita ingin Papua maju seperti ujung lain republik ini.
    Koh Agustinus Wibowo,tulisanmu selalu menarik dan memberi inspirasi.

Leave a comment

Your email address will not be published.


*