Titik Nol 52: Maois
Pendakian panjang dan curam akhirnya berakhir juga. Di atas sana, gerbang masuk desa Tal sudah nampak. “Welcome to Manang District”. Selamat datang, selamat datang. Seorang gerilyawan Maois menyambut kami.
Hari sudah mulai tinggi ketika kami berangkat dari Chamje. Keith sudah berangkat duluan, karena mengejar waktu. Sementara Jörg masih berbaring malas di kamarnya yang sejuk. Saya memilih untuk berangkat agak siangan. Jörg, seperti saya, juga tak ingin terburu-buru menikmati perjalanan panjang keliling Annapurna ini.
Pukul 8:30, matahari sudah panas menyengat, kami berdua baru mulai jalan. Tampaknya Jörg dan saya cocok sekali berjalan bersama, sama-sama pelannya. Saya jadi bisa lebih santai berjalan, tak perlu lagi malu karena berleha-leha.
Tangga batu menurun drastis dari desa Chamje. Curam dan panjang. Dari dulu saya paling takut turun gunung terjal. Pengalaman saya terkilir berkali-kali, membuat pandangan saya hanya terpusat ke arah kaki. Keindahan alam sekitar terlewatkan begitu saja. Saya sadar satu hal, saya dilahirkan bukan untuk trekking.
Orang memang tidak pernah memilih untuk dilahirkan di mana. Tengoklah orang-orang desa di sini, setiap hari mereka harus berjalan naik turun gunung yang terjal dan curam, melintasi sungai yang mengamuk di atas jembatan gantung yang bergoyang-goyang. Alam yang keras ini adalah habitat mereka, hidup mereka, hembusan nafas dan denyut jantung mereka.
Dari perjalanan menurun yang panjang, melintasi desa kecil yang sedikit datar, selanjutnya adalah pendakian curam sampai ke dusun Tal, perhentian kami hari ini. Kami memang tak berencana jalan terlalu jauh hari ini, hanya melintas dua desa saja dan menghabiskan waktu beristirahat sepanjang sore.
Pilihan bagus. Saya ternganga melihat pendakian menuju Tal. Curam seperti tembok, sampai harus mendongakkan kepala untuk melihat tujuan akhirnya. Saya yang sudah kelelahan dan berkeringat deras hanya bisa tertatih-tatih. Selangkah demi selangkah. Inilah perjalanan, bukan tujuan yang utama, melainkan proses perjuangan dan pencapaian.
Tetapi tujuan yang terpampang di depan mata selalu menggairahkan.
“Hurray!” saya berseru, begitu melihat pintu gerbang menuju Distrik Manang terpampang di puncak bukit. Welcome di kiri. Swagatam dalam huruf Dewanagari di kanan. Selamat Datang.
“Selamat datang, Sir,” seorang pria kurus berambut keriting. Tak bersenjata, hanya memakai sandal biasa. Tas anyaman tradisional Nepal tercangklong di pundaknya.
“Pajak, please.”
‘Pajak’ yang dimaksud adalah pungutan gerilyawan Maois. Kami memasuki wilayah kekuasaan Maois di Annapurna selatan, di daerah yang dinamakan Republik Tamuwan, di bawah pemerintahan revolusioner Wilayah Otonomi Tamuwan. Kami masing-masing disodori selembar kertas, judulnya Appeal, isinya propaganda empat halaman tentang revolusi rakyat:
Dengan bangga kami memberitahukan bahwa perang rakyat yang suci dan agung, dipimpin oleh partai proletariat Nepal, partai komunis Nepal (Maois) telah melintasi titik ekuilibrium strategis dalam persiapan melawan dan mengambil alih kekuasaan pusat. Negara kuno feodal dilanda krisis, dan tak lama lagi akan runtuh …
…
Nepal adalah negara multi bangsa, bahasa, agama, dan kebudayaan, tetapi dipimpin oleh kasta tertinggi Brahmin dan Khas yang memonopoli hak-hak politik. Rakyat asli, mayoritas penduduk, tersingkir …
…
Sekarang Pemerintahan Regional Otonomi Tamuwan akan menggenapkan formasi dalam perang rakyat. Kami berperang untuk kebebasan kami. Kami mengharap, semua orang di dunia mendukung revolusi kami yang demokratis dan sah. Kami juga mengharap bantuan untuk menyaringkan suara melawan tirani monarki dan reaksionernya, termasuk imperialisme Amerika. Kemenangan kita terjamin. Terima kasih. Sampai bertemu lagi.
Gerakan gerilyawan Maois adalah sebab utama mengapa Nepal berada di dalam daftar travel warning negara-negara Barat. Amerika Serikat jelas-jelas memperingatkan warganya untuk tidak memberikan uang barang sepeser pun kepada Maois. Di musim panas ini, peak season datangnya turis untuk menjelajah Nepal dan pegunungannya, pemerintah Kathmandu dan gerilyawan Maois menandatangani persetujuan gencantan senjata. Tidak akan ada pertempuran selama musim turis membludak. Ini juga demi kesejahteraan rakyat Nepal. Baik pemerintah maupun Maois sama-sama mengklaim memperjuangkan rakyat jelata.
Turis yang melintas wilayah kekuasaan Maois, bertemu dengan gerilyawan yang mengumpulkan dana, diwajibkan membayar ‘pajak’ sebesar 100 Rupee untuk setiap hari mereka berada di wilayah Maois. Annapurna adalah salah satunya. Turis yang membayar akan mendapat tanda terima, bisa ditunjukkan pada gerilyawan Maois lainnya sehingga tidak perlu membayar dobel.
“Wajarlah kalau mereka memungut pajak turis,” kata Jörg, “Bukankah pemerintah Nepal juga memungut karcis dari wilayah kepunyaan Maois dan para gerilyawan ini sama sekali tak mendapat keuntungan apa-apa?”
Jörg langsung mengeluarkan selembar uang seribuan Rupee, untuk membayar sepuluh hari treking di pegunungan.
“Namaste, bhai,” saya menyapa gerilyawan itu, menyebutnya sebagai saudara, “Saya dari Indonesia. Tak punya uang, karena baru saja kecopetan di Kathmandu.”
Dalam bahasa Hindi terbata-bata, saya mempaparkan semua kisah sedih tentang beratnya perjalanan ini, sebagai pelajar miskin, saya merasa sangat berat membayar uang pajak yang lumayan besar itu.
“Mana kartu pelajarmu?” bentaknya.
Saya tak punya. Kartu itu di dompet saya yang tercopet.
Tuan gerilyawan Maois yang terhormat itu hanya memandangi saya lekat-lekat. Nasib saya berada di tangannya.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 14 Oktober 2008
Leave a comment