Recommended

Titik Nol 63: Angkasa Raya

Manusia sungguh tak ada artinya di hadapan gunung-gunung perkasa ini. (AGUSTINUS WIBOWO)

Manusia sungguh tak ada artinya di hadapan gunung-gunung perkasa ini. (AGUSTINUS WIBOWO)

Babak belur saya sampai di Jomsom, diterpa angin ribut dan badai pasir. Kaki saya sudah tak kuat lagi rasanya. Rambut jadi gimbal seperti Bob Marley di Muktinath. Selapis debu bercampur keringat membungkus tubuh.

Ini adalah akhir perjalanan saya di Annapurna. Memang saya belum berhasil mengitari seluruh Sirkuit Annapurna, tetapi saya sudah bulat memutuskan untuk kembali ke Kathmandu esok hari dengan pesawat gunung dari Jomsom menuju Pokhara.

Kekhawatiran terutama saya adalah visa India. Tiga minggu lalu saya sudah menyodorkan pengajuan visa ke Kedutaan India, diminta untuk mengambil visa seminggu sesudahnya. Karena sedang berada di Annapurna, sekarang saya sudah terlambat satu minggu untuk pengambilan visa.

Masalah visa ini sempat menghantui tidur saya di Muktinath. Saya merengek-rengek di depan petugas visa yang kejam, yang hanya bisa memberi saya visa satu bulan. Saya terjepit di Nepal, negeri mungil yang dipepet satu raksasa besar di utara dan satunya lagi di selatan.

Mimpi buruk itu membuat saya memutuskan untuk kembali ke Kathmandu secepatnya. Saya adalah orang yang percaya firasat. Mimpi bisa jadi pertanda alam yang menuntun takdir.

Di pegunungan Himalaya ini, banyak penerbangan swasta yang namanya membawa-bawa misteri atap dunia. Sebut saja Yeti Airlines, yang moga-moga pilotnya bukan makhluk berbulu. Ada pula Budha Air, cocok sekali untuk daerah pegunungan yang dipenuhi kuil, pagoda, dan bendera doa. Saya memilih Shangrila-Air yang konon jadwal keberangkatan lebih terjamin daripada Royal Nepal Airlines.

Memesan tiket dari Jomsom tak sulit, asal kita punya uang. Tiket untuk orang asing 64 dolar, sedangkan warga negara India dan Nepal cukup membayar 1500 Rupee saja, sekitar 22 dolar. Karena membayar mahal, orang asing dipastikan berangkat, sedangkan penduduk lokal dimasukkan waiting list, baru terbang kalau ada tempat tersisa. Biasanya yang memborong penerbangan ini adalah para turis. Di musim peak season, penduduk setempat harus menunggu berminggu-minggu karena waiting list. Tak jarang, jalan kaki enam hari malah lebih cepat daripada menunggu pesawat yang cuma 40 menit itu.

Saya melongok dompet saya setelah mendapat tiket. Tak banyak jumlahnya. Hanya sekitar 30 dolar saja yang tersisa, dan dengan uang ini saya harus sampai India.

Seperti saya yang dilanda kecemasan, Dipak, porter yang duduk di hadapan saya ini pun menceritakan betapa ingin ia meninggalkan Nepal.

“Sekarang memang musim turis, jadi porter sangat menghasilkan duit. Selama beberapa bulan ini kami bisa mendapatkan 1000 dolar. Tetapi, begitu turis pergi, kami tak punya pekerjaan lagi.”

Saya sering kali tak sampai hati melihat porter yang ngos-ngosan naik turun gunung dengan beban puluhan kilogram, sementara turis kaya melenggang santai dengan tongkat trekking, menikmati indahnya gunung dan hutan. Tetapi, ini adalah simbiosis mutualisme. Turis punya uang dan tak mau lelah. Porter punya tenaga dan butuh makan.

Melepas kepergian. (AGUSTINUS WIBOWO)

Melepas kepergian. (AGUSTINUS WIBOWO)

“Saya ingin keluar dari Nepal, masuk British Army,” kata Dipak.

Etnis Gurung, yang punya karakteristik wajah Mongoloid, sering direkrut menjadi tentara elit di luar negeri. Untuk jadi anggota pasukan Gurkha tidak mudah. Selain tes fisik, masih ada ujian mental dan intelegensia. Pria muda ini sudah berulang kali mencoba, tetapi selalu gagal di tes mental. Tahun depan adalah kesempatan terakhirnya.

“Tentara Gurkha bermacam-macam. Yang paling tinggi tingkatannya adalah yang bekerja di British Army, bayarannya selangit. Lalu tentara Singapura, seribuan dolar. Yang paling murah jadi tentara India, hanya 150 dolar. Lebih murah lagi adalah tentara kerajaan Nepal, nyaris gratis.”

Bagi tentara Gurkha, kesetiaan kebangsaan mereka adalah bagi siapa pun yang membayar. Menjadi tentara bayaran, kata pria ini, sama sekali tak masalah, yang penting bisa tetap hidup. Nepal terlalu miskin, pendapatan rata-rata penduduknya hanya 235 dolar per tahun, rakyatnya banyak ke luar negeri mencari nafkah. Sekarang salah satu negara favorit adalah Malaysia, sehingga orang Nepal di dusun-dusun terpencil pun fasih berbahasa Melayu.Kemiskinan pulalah yang membuat pemuda ini bersimpati pada Maois.

“Maois dan komunis memperlakukan semua orang dengan rata. Tak ada kaya miskin. Tak ada kasta tinggi rendah. Orang Gurung bisa sejajar dengan Brahmin. Bukankah itu hal yang bagus?”

Sistem kasta di Nepal bukan hanya merujuk pada kedudukan manusia dan pekerjaan turun-temurun, tetapi juga suku dan etnis. Gurung dan Tamang, serta suku-suku Mongoloid lainnya termasuk kasta yang direndahkan. Karena ini pulalah, Maois banyak mendapat dukungan di pegunungan yang dihuni suku-suku minoritas.

Shangri-La Air. (AGUSTINUS WIBOWO)

Shangri-La Air. (AGUSTINUS WIBOWO)

Di angkasa raya saya memandangi barisan gunung salju. Ada Macchapuchre yang seperti ekor ikan, gunung suci yang disembah umat. Ada Annapurna yang gagah perkasa. Lebih banyak lagi hamparan salju yang tak saya kenal namanya. Di sini, terlihat alam yang demikian berkuasa. Bayangan dua minggu penuh yang penuh perjuangan merangkak di kaki-kaki puncak salju, menempuh perjalanan 160 kilometer lebih, berjumpa dengan beragam suku dan manusia, mendengar berbagai kisah dan cerita, saya terhanyut dalam renungan.

Walaupun manusia hanya sebintik noktah di hadapan barisan gunung itu, tetapi ada kemauan dan perjuangan yang membuat sebintik noktah ini terus bertahan. Ada kecerdikan yang membuat dusun terpencil macam Manang dikenal di seluruh penjuru negeri sebagai pedagang sukses. Ada kekuatan yang terpancar dari pria Gurung berpostur pendek, namun sanggup menahan beban puluhan kilogram dengan kepala baja mereka. Ada perjuangan kelas yang dikobarkan gerilyawan Maois. Ada kepercayaan diri dalam senyuman bocah-bocah berseragam tentara seraya memamerkan bedil. Ada keriangan yang disebarkan oleh tawa bocah-bocah desa, bermain ayunan di dahan pohon tinggi di tepi jurang. Ada denting melodi indah yang mengiringi kesenduan gunung salju. Reesham phiri-ri, kibaran kain sutra, haruskah aku terbang ke puncak dan pinggang bukit untuk meraihnya?

Saya memejamkan mata. Terbayang senyum manis dan kehangatan, mulai dari Besisahar hingga Thorung La, mulai dari lereng Muktinath sampai padang badai Jomsom. Setiap senyum, diiringi tangan terkatup, mengucap, “Namaste!”

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 29 Oktober 2008

1 Comment on Titik Nol 63: Angkasa Raya

  1. 235 dollar per tahun????? Very little amount. Dianugerahi gunung tertinggi tapi dinjak dalam kehidupan yg rendah.

Leave a comment

Your email address will not be published.


*