Suki 16 September 2014: Makna Sebuah Kemerdekaan
Hari ini, 39 tahun lalu, kemerdekaan Papua Nugini diproklamasikan. Hari Kemerdekaan, di samping Natal, adalah hari besar terpenting di negara ini. Pesta perayaan digelar di berbagai penjuru negeri, yang menikmati libur panjang mulai dari lima hari hingga dua minggu penuh.
Suki adalah sebuah pusat pemerintahan di Distrik Fly Selatan, di mana biasanya perayaan dipusatkan. Suki sebenarnya adalah sebuah wilayah yang terdiri dari beberapa desa, yaitu Nakaku, Godowa, dan Ewe. Ketiga desa ini terletak di sebuah anak sungai dari Sungai Fly, yang cukup jauh dari aliran sungai utama. Saya sengaja berada di Suki untuk melihat bagaimana kemerdekaan dirayakan di negara muda ini.
Walaupun statusnya adalah “pusat pemerintahan”, keadaan Suki sangat mengenaskan. Tidak ada listrik, rumah sakit, sekolah menengah. Suki juga menempati posisi strategis di perbatasan; Indonesia hanya 70 kilometer jauhnya (atau tiga hari berperahu plus jalan kaki plus naik sepeda melibas hutan), tetapi tidak ada satu pun tentara atau polisi di sini. Setidaknya di Godowa ada sebuah menara pemancar sinyal seluler, dan di Nakaku terdapat satu supermarket dan satu toko milik orang China, juga satu kios agen bank tempat warga bisa mengecek rekening dan menarik uang. Desa-desa ini berpencaran di sepanjang sungai yang jernih bertabur teratai, sehingga penduduk harus mengayuh kano bahkan untuk pergi ke toko atau lapangan.
Di desa Ewe, lapangan rumput dan sebuah panggung semipermanen sudah disiapkan untuk upacara. Ketika matahari mulai meninggi, tiga ratusan penduduk desa berbaris memasuki lapangan. Sebagian besar perempuan, hampir semua bertelanjang kaki. Kebanyakan para perempuan itu memakai seragam paduan suara gereja—mungkin pakaian terbaik mereka. Ada pula yang menyematkan bendera kecil Papua Nugini di atas rambut keriting mereka, yang ikut berkibar-kibar ketika mereka berbaris berderap laksana tentara mengikuti aba-aba. Pengibar bendera adalah seorang lelaki berkemeja lusuh bertelanjang kaki. Lagu kebangsaan dinyanyikan para penduduk yang berbaris di lapangan, mengiringi naiknya bendera yang dikibarkan di batang kayu.
Acara berikutnya: pidato. Para perempuan dan laki-laki duduk bersila di tanah, di bawah terik matahari, sementara di panggung kayu seorang pendeta berjenggot putih keriting panjang berorasi berapi-api dengan mikrofon. “Mulai 16 September 1979, kita tidak lagi di bawah kendali Australia,” seru Pendeta Bruce Maygam, “Kita sudah mengatur sumber daya kita sendiri. Secara ekonomi, secara politik kita sudah merdeka. Tetapi hari ini kita belum mandiri. Kita masih menggantungkan pada Indonesia, Australia, Amerika, untuk memenuhi kebutuhan kita.”
Setelah itu pidato pendeta yang berbaju batik Jawa dan bersepatu itu tiba-tiba berbelok menjadi keluh kesah. Western Province adalah provinsi yang paling terbelakang di Papua Nugini, katanya, dan distrik mereka Fly Selatan adalah yang paling terbelakang di provinsi ini. Fly Utara punya empat sekolah menengah, satu perguruan tinggi, tiga rumah sakit. Fly Tengah punya dua rumah sakit besar. Sedangkan Fly Selatan hanya punya satu rumah sakit dan satu sekolah menengah, semuanya jauh di Daru. “Kenapa pemerintah tidak melakukan pembangunan apa-apa di sini?”
Ini pertama kali saya menghadiri perayaan kemerdekaan yang pidatonya justru didominasi marah-marah. Sesudah berpidato, Pendeta Bruce bicara pada saya, “Semua kegagalan Papua Nugini adalah karena kami merdeka terlalu awal. Kami tidak seharusnya merdeka tahun 1975. Kami seharusnya merdeka tahun 2000, ketika kami sudah punya cukup banyak lulusan universitas.”
Dia bukan orang pertama yang mengatakan itu. Pada tahun 1972, Michael Somare mengajukan usul memajukan kemerdekaan Papua Nugini yang lebih awal dari target semula 1975. Somare didebat di Parlemen Rendah (House of Assembly), yang menyatakan Papua Nugini belum siap punya negara sendiri. Somare menjawab, “Ini adalah waktu paling tepat bagi orang-orang negara ini untuk mengangkat kepala tinggi-tinggi. Jika bukan sekarang, kapan lagi?” Somare kemudian menjadi Perdana Menteri pertama Papua Nugini pasca merdeka.
Papua Nugini tidak berperang untuk mencapai kemerdekaannya. Kemerdekaan itu adalah pemberian Australia, yang berada di bawah Inggris. Hingga hari ini pun, kepala negara resmi Papua Nugini adalah Ratu Inggris, yang diwakili oleh Gubernur Jenderal. Mungkin karena tidak pernah ada perang untuk meraih kemerdekaan, saya hampir tidak pernah melihat kebencian orang Papua Nugini terhadap Australia, bekas penjajah mereka. Setelah merdeka, 40 persen anggaran Papua Nugini bersumber dari bantuan Australia.
“Kami dan Australia saling tergantung,” kata Pendeta Maygam pada saya, “Tanpa bantuan Australia, Papua Nugini harus mencari bantuan dari negara lain. Tapi karena Papua Nugini dulu di bawah Australia, jadi pertama-tama kami harus minta bantuan dulu dari Australia.”
“Apakah tidak ada efek buruk dari bantuan Australia itu?” tanya saya.
“Tidak ada,” katanya yakin.
Sementara di panggung, orator ketiga berpidato dengan suara serak yang membahana. Dia membawa sebuah bendera Australia yang sudah lapuk dan robek-robek. Suwaka Gainu, tokoh masyarakat yang berbicara itu, menunjuk ke bendera Australia yang dibentangkan di panggung, dan berkata bahwa di tahun 1975 itu bendera Australia dan bendera Papua Nugini berkibar bersama di langit. Dia lalu bertanya kepada orang-orang yang duduk di lapangan, siapa dari mereka yang lahir tahun 1975. Tidak ada yang mengacung, Suwaka Gainu sang orator itu tertawa. “Kalian terlewat hari penting negara kita. Saya bangga, anak laki-laki saya lahir dua bulan sesudah kemerdekaan. Saya bangga, anak lelaki saya dan Papua Nugini lahir di tahun yang sama!”
Dia berpidato selama dua puluh menit. Dan sama seperti orator-orator sebelumnya, inti utama pidato adalah menyalahkan pemerintah yang tidak membangun apa-apa di daerah mereka, layanan pemerintah bahkan jauh lebih buruk daripada zaman Australia. Setelah dia turun ke panggung, saya bertanya kepadanya arti kemerdekaan.
“Kemerdekaan adalah mandiri, mengurus diri sendiri,” kata Gainu, “Tidak seperti saudara-saudara kami yang lain di seberang perbatasan sana.”
“Maksudmu, West Papua?” tanya saya. West Papua adalah sebutan yang dipakai di sini untuk wilayah Pulau Nugini yang berada di bawah Indonesia.
“Iya. Kami sudah merdeka, mereka belum. Kami gembira Australia memberi bantuan dan dukungan pada kami,” katanya.
“Tapi, bukankah bergantung pada bantuan asing juga berarti tidak merdeka, tidak mandiri?”
“Bantuan itu tetap dibutuhkan, itu sumber anggaran kami,” katanya.
“Dan bagaimana dengan pertambangan Australia yang mengeruk emas kalian?”
“Itu adalah emas dan tembaga kami sendiri, kami dapat kompensasi. Saya tahu, itu tidak banyak jumlahnya. Kami juga tahu, uang kami diam-diam dialirkan ke Australia. Tetapi kami sendirilah yang membuat keputusan itu. Merdeka artinya membuat keputusan sendiri.”
Perayaan kemerdekaan Papua Nugini ini begitu berbeda dengan perayaan kemerdekaan di negara tetangganya, Indonesia. Di Indonesia, isu kemerdekaan adalah bagian penting dari nasionalisme; jiwa patriotisme rakyatnya dibangun dengan narasi tentang tiga hal: musuh asing, perjuangan bangsa, dan kemenangan. Kecintaan pada tanah air dibangun dengan kebencian, yang ternyata memang efektif. Anak-anak sekolah sejak kecil diajarkan dan selalu diingatkan tentang kekejaman penjajah Belanda, juga perasaan senasib seperjuangan melawan Belanda itulah yang menjadikan penghuni puluhan ribu pulau Nusantara sebagai satu bangsa. Bahkan konsep nasionalisme serupa itu juga merasuk dalam diri sesama orang Melanesia di West Papua. Gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) juga menekankan pada penindasan yang dilakukan musuh asing (Indonesia) terhadap orang Melanesia, merampas kemerdekaan yang seharusnya hak mereka, dan karena itulah mereka berjuang melawan untuk merdeka.
Sebaliknya, di sisi perbatasan sebelah sini, tidak ada narasi tentang musuh asing itu. Orang tidak menganggap Australia sebagai penjajah, melainkan sebagai malaikat penolong. Mereka bahkan menyayangkan kemerdekaan mereka yang datang kepagian. Mereka mengeluhkan seharusnya Australia terus menyuapi dengan berbagai fasilitas hingga mereka benar-benar siap merdeka, daripada sekonyong-konyong memberi kemerdekaan dan hasilnya malah berantakan. Dan kini mereka menyalahkan pemerintah, yang tidak mampu memberikan apa-apa pada mereka.
Dalam pandangan Sila Wainetti, dokter perempuan dari Daru yang memberi tumpangan saya perahu sampai ke Suki ini, kemerdekaan yang terpenting bukanlah tentang mempunyai negara sendiri, atau bendera sendiri, melainkan kemerdekaan pikiran.
“Kami adalah bangsa yang terjajah sejak dari pikiran,” katanya, “Saya rasa itu karena mentalitas kamu putih, kami hitam—bahwa orang hitam selalu lebih terbelakang daripada orang putih.” Pemikiran ini juga diawali dengan sikap orang putih memperlakukan orang hitam, di tanah jajahan mereka, sebagai objek yang bodoh dan harus dididik. Lama-lama pemikiran ini juga mengakar dalam pemikiran orang hitam.
Sila sendiri pernah mengalami pengalaman pribadi dengan warna kulitnya. Suaminya adalah dokter kulit hitam pertama di Western Province. Sebelum kemerdekaan, dokter Australia yang berpatroli di desa-desa ini. Sesudah merdeka, Dokter Wainetti yang berkeliling desa-desa dengan naik perahu untuk memberi pelayanan. Suatu hari, seorang pasien di Sigabaduru membutuhkan pertolongan darurat. Dokter Wainetti mengontak melalui radio ke Australia, sehingga datang satu helikopter untuk menjemput pasien itu. Mereka bersama menuju Thursday Island, pulau Australia di selatan Papua Nugini, tempat rumah sakit terdekat. Begitu turun dari helikopter, suster kulit putih di Thursday Island menyambut, langsung mendatangi pilot yang kulit putih dan menanyainya tentang pasien. Si pilot menjawab, “Bukan saya dokternya. Kamu tanya dia,” sambil menunjuk dokter kulit hitam itu. Si suster memandang seperti tidak percaya, bagaimana mungkin dokternya orang kulit hitam?
Pemikiran bahwa orang kulit hitam itu inferior daripada kulit putih, lama-lama juga ditelan oleh bangsa kulit hitam itu sendiri. Bahkan orang kemudian menerimanya sebagai kebenaran, tanpa mempertanyakan lagi.
Contohnya saja, nama resmi negara ini yang sangat kental unsur penjajahan, dan tanpa diketahui oleh kebanyakan orang Papua Nugini sendiri. Papua, berasal dari bahasa Melayu, berarti orang-orang berambut keriting berkulit hitam dan pada zaman itu menempati status rendah dalam masyarakat. Sedangkan Nugini, yang artinya “Guinea Baru” berasal dari penjelajah Spanyol yang melihat bahwa penduduk di sini mirip warga Guinea di benua hitam Afrika. Filosofi di balik itu adalah mereka sebagai objek, yang tidak beradab, liar, tidak berpendidikan, terbelakang, tidak bisa melakukan apa-apa, perlu didominasi, …. Jangan lupa, nama ibukota mereka adalah Port Moresby, “pelabuhan yang ditemukan oleh Kapten John Moresby”. Ya, mereka adalah orang-orang yang “ditemukan”.
Mayoritas penduduk Papua Nugini lahir setelah tahun 1975, sehingga mereka tidak tahu bagaimana kehidupan di bawah Australia yang sesungguhnya. Buku-buku pelajaran mereka pun tidak menuliskan itu, dan sebagian besar materi pelajaran sejarah mereka dituliskan oleh Australia (yang menjadi konsultan utama sistem pendidikan Papua Nugini). Kenyataannya, dalam mengatur keamanan di negara jajahannya ini, Australia menyebar patroli penegak hukum yang disebut kiap. Mereka berfungsi luar biasa, sebagai polisi, hakim, bahkan eksekutor. Merekalah hukum itu sendiri. Banyak kasus penduduk lokal ditembak tanpa peradilan, atau orang kulit hitam dipenjara hanya karena menatap perempuan kulit putih. Mereka membuat penduduk terbiasa dengan kultur kontrol, eksploitasi, dan represi, serta menerima itu semua apa adanya. Konon, kiap adalah singkatan dari Keep Indigenous Always Primitive (Biarkan Penduduk Asli Selalu Primitif).
Dari sedikit sejarah nasional Papua Nugini yang tertuang dalam buku-buku mereka adalah tentang heroisme Kokoda Trail. Itu adalah bagaimana tentara Australia bertempur melawan Jepang dalam Perang Dunia II di pegunungan Kokoda, Papua. Tentara Australia mendapat bantuan tak ternilai dari penduduk asli Papua, sehingga mereka berhasil mengalahkan Jepang. Australia sangat berterima kasih mengenai peristiwa itu, sehingga di Melbourne sampai dibangun tiruan bukit Kokoda, yang menjadi destinasi populer bagi para pencinta alam dan turis Jepang. Tetapi pada masa perang itu, tentara Australia justru menyebut para penduduk Papua sebagai fuzzy wuzzy angels (malaikat keriting yang hitam dan jelek). Bagaimana pun juga, para penduduk lokal ini hanya peran pembantu dalam sejarah mereka sendiri.
Ketika perahu saya tiba kembali di Nakaku, desa utama di daerah Suki, saya disambut oleh Justin Tutamasi si kepala desa. Dia memakai kaos dengan desain bendera Papua Nugini: separuh merah dan separuh hitam, dengan siluet burung cenderawasih dan lima bintang yang membentuk konstelasi Salib Selatan—seperti bintang-bintang pada bendera Australia.
“Apa makna warna merah di bendera Papua Nugini?” saya bertanya padanya.
Dia sama sekali tidak menduga pertanyaan itu. Seumur hidup, tidak ada yang bertanya itu. Dan dia pun tak pernah memikirkannya.
“Saya tidak tahu.” Dia tergelak sendiri. “Aneh memang, saya tidak tahu arti bendera saya sendiri. Kenapa bisa begitu? Itu salah pemerintah. Pemerintah tidak pernah datang ke sini untuk memberitahu kami arti bendera kami.”
Di hari kemerdekaan ini, begitu banyak penduduk dengan penuh bangga memakai baju bergambar bendera nasional yang cantik itu. Tanpa tahu artinya. Saya lebih tercengang lagi ketika menemukan, di kerah belakang semua kaos bendera nasional ini tercetak tulisan: Made in China.
Sangat menarik sekali ceritanya, mata dan pikiran seakan terbuka tentang secuil kisah dari negara tetangga kita, PNG.
Selalu suka membaca tulisan kaq Agustinus Wibowo, selalu rinci dan membuatku tak ingin berhenti membaca hingga akhir..:)
Dua hal yang muncul setelah membaca tulisan ini.
Pertama, saya merasa bangga terhadap Indonesia. Dua, saya merasa kasihan terhadap warga Papua Nugini.
Entah, dua kesan saya itu simpatik atau bukan, benar atau salah, saya agak geli
Tapi, semoga dua kesan saya itu tidak sedangkal dan secetek itu
papua nugini.negri yang setau saya kaya akan sumber daya alamnya dan baru saya tau kalau papua nugini.juga masih di bawah inggris