Recommended

Titik Nol 103: Mimpi di Air Keruh (2)

Tukang setrika berpose dengan bajunya yang terbaik (AGUSTINUS WIBOWO)

Tukang setrika berpose dengan bajunya yang terbaik (AGUSTINUS WIBOWO)

“Tunggu dulu,” kata Muhammad, lelaki dari Bihar.

Kulitnya hitam, matanya kuning tak bercahaya. Senyum bahagia tersungging di wajahnya. Ia memilih pakaiannya yang paling bagus, jubah panjang berwarna coklat bermotif bunga-bunga emas.

“Sekarang kamu boleh potret saya,” katanya. Dengan bangga ia berpose di ruang kerjanya yang sempit, pengap, dan kumuh.

Muhammad adalah tukang setrika. Tumpukan ratusan baju dari dhobi ghat Mahalaksmi mengalir ke ruang sempit ini. Setrika andalannya entah berasal dari zaman mana sebelum saya lahir. Bentuknya sederhana. Tebal lempeng besinya hanya sekitar tiga sentimeter. Pegangannya sudah dibalut banyak tembelan. Kabel listrik yang sudah melintir tertancap pada salah satu sudut setrika itu.

Seperti Vinoj si tukang cuci, dulu Muhammad juga datang ke Mumbai dengan sebongkah mimpi. Mimpi yang sama pula. Nasibnya pun tak jauh berbeda, berakhir di ruangan kecil bertembok merah muda, dengan dinding yang sudah terkelupas di mana-mana.

Tempat tinggal Muhammad tak jauh dari dhobi ghat. Ini adalah kampung para penjemur dan tukang setrika. Saya melihat lautan kain putih tergantung di tambang yang berseliweran di lapangan ini. Tanahnya tertutup beberapa lapis sampah, mulai dari kulit pisang, plastik, kertas.. Bau busuk menyebar ke mana-mana.

Di sinilah mereka tinggal. Rumah-rumah kecil dan sederhana berbaris di pinggiran. Di satu sudutnya ada patung Lakshmi, dewi kemakmuran. Beberapa tetangga, melihat kuningnya mata saya, langsung menawarkan rumahnya untuk tempat saya tidur. Ini adalah segalanya yang mereka punya, yang tak segan-segan mereka tawarkan untuk tamu yang datang.

Kemiskinan tidak merenggut habis kebahagiaan hidup mereka. Saya masih terharu melihat senyum bahagia tersungging di wajah Muhammad, hanya sekadar untuk berpose dengan baju terbaiknya untuk dipotret kamera digital saya. Kebahagiaan yang begitu tulus dari hal yang teramat kecil.

Masih ada tawa tulus di perkampungan kumuh ini (AGUSTINUS WIBOWO)

Masih ada tawa tulus di perkampungan kumuh ini (AGUSTINUS WIBOWO)

Anak-anak dari perkampungan ini riang bermain ayunan dari kertas yang digantung pada ujung sebuah gerobak. Seorang kakek menggosok gigi dengan air comberan di tepi bak sampah. Wanita Hindu dengan sari kumal melintasi jalanan becek. Juga perempuan Muslim yang terbungkus dalam baju hitam-hitam yang hanya menyisakan sepasang mata yang menatap garang, lewat dengan tergesa-gesa.

Saya berada di sebuah perkampungan kumuh. Mumbai adalah sebuah kota penuh ekstrim. Gubuk-gubuk kumuh bertebaran di kota yang menjadi pusat industri dan denyut nadi perekonomian India. Negara Asia Selatan yang didengung-dengungkan sebagai calon raksasa ekonomi dunia dengan angka pertumbuhan yang melambung tinggi juga adalah rumah bagi ratusan juta kaum papa yang hidup dalam kemelaratan shanty town.

Hidup di perkampungan kumuh ibarat kubangan yang menghisap semua mimpi. Sebuah kubangan dengan air rawa yang mendekap rapat-rapat semua yang terjebak di dalamnya.

Lebih dari setengah juta orang hidup terhimpit dalam setiap kilometer persegi perkampungan kumuh. Di tempat sesempit ini, hanya ada dua atau tiga kamar mandi umum. Bagi laki-laki, urusan toilet bisa dilakukan di mana-mana, menjadikan kota besar di India berbau amat pesing. Bagi perempuan, urusannya lebih susah lagi. Menahan kencing sehari penuh menyebabkan penyakit.

Terlelap dalam mimpi indah (AGUSTINUS WIBOWO)

Terlelap dalam mimpi indah (AGUSTINUS WIBOWO)

Di sudut jalanan tersedia keran minum. Pada masing-masing keran tergantung gelas kaleng yang terikat rantai besi. Semua orang bisa minum dari sini, memakai gelas yang sama. Kuman dan bakteri mengalir dengan leluasa.

Lalat dan nyamuk berpesta pora di atas sampah yang menggunung. Anak-anak dengan perut buncit kurang gizi berlari-larian. Saya juga melihat banyak penduduk kampung ini yang bermata kuning, seperti saya, penderita hepatitis. Hepatitis A, yang ditularkan oleh makanan dan minuman tak bersih, sama sekali bukan penyakit berat di negara ini. “Ah, cuma jaundis,” kata dokter yang kemarin saya temui, “kamu istirahat saja, nanti juga sembuh sendiri.” Penderita hepatitis parah B dan C juga ada jutaan.

Penyakit merebak dari kemiskinan. Dan penyakit menyeret orang semakin dalam ke jurang kemiskinan. Demikian seterusnya. Orang miskin semakin sakit dan orang sakit semakin miskin.

Tetapi tidak semua orang menderita di sini. Seorang tukang gembreng loak bercerita bahwa tidak semua yang tinggal di perkampungan kumuh adalah orang miskin. Ada pula orang miskin yang berhasil. Misalnya dia sendiri dengan toko barang loaknya, yang penghasilannya bisa puluhan ribu Rupee per bulan.

Di antara kubangan ini masih ada pula sebongkah mimpi yang bersinar.

Saya kembali lagi ke barisan dhobi ghat.. Matahari sudah mulai berkurang teriknya. Anjungan-anjungan batu itu mulai sepi. Beberapa pemuda mandi dalam genangan air berwarna lunturan baju. Beberapa tumpuk pakaian dikeringkan, disetrika, dibungkus, untuk dikembalikan kepada para pelanggan.

Jangan menangis, anakku... (AGUSTINUS WIBOWO)

Jangan menangis, anakku… (AGUSTINUS WIBOWO)

Aneh sekali, di tempat yang nampak semrawut ini, di mana setengah juta helai pakaian bercampur aduk setiap hari, tanpa sistem manajemen atau database komputer, pakaian-pakaian itu bisa kembali ke masing-masing pemiliknya tanpa salah. Bagi saya, ini masih merupakan misteri.

Perkampungan kumuh ini adalah denyut nadi kota Mumbai, yang turut menyuapi dan membangun kemegahan ekonomi India. Di kejauhan nampak barisan gedung pencakar langit kota Mumbai, mengiring negeri ini sebagai superpower ekonomi masa depan, sementara lebih dari 50 persen penduduk metropolis ini hidup dalam slum yang mengenaskan.

Terbersit sebuah pertanyaan, berapa lama lagi orang-orang yang bergantung pada bongkahan mimpi ini bisa terentas dari kubangan raksasa perkampungan kumuh, meraih mimpi yang sebenarnya di gedung-gedung pencakar langit yang tampak di pelupuk mata sana?

Suara baju yang dicelup ke dalam air bersahut-sahutan dengan bunyi kain yang dipukulkan ke atas batu. Realita memang tak seindah mimpi.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 25 Desember 2008

2 Comments on Titik Nol 103: Mimpi di Air Keruh (2)

  1. Kalo saya nonton film2 india..sangat kontras dgn pemandangan mas agus..india adalah negara dg produksi film paling banyak didunia…! Thank mas agus ttg tulisan2..

  2. tulisan mas agus sprt oase bagi jiwa sy yg mungkin seumur hidup akn trkungkung dlm garis batas..ya mngkin krn sy type orng yg menolak keluar dr zona nyaman..salut

Leave a comment

Your email address will not be published.


*