Recommended

Titik Nol 105: Ruang Gawat Darurat

Anjing di ruang gawat darurat (AGUSTINUS WIBOWO)

Anjing di ruang gawat darurat (AGUSTINUS WIBOWO)

Jarum infus disuntikkan ke tangan saya yang sudah menguning. Saya ingin berbaring, tapi tak bisa. Sudah ada dua orang lain di atas dipan. Mata kuning pekat pasien-pasien lain membuat saya semakin takut. Sementara anjing kecil berkeliaran di antara kasur ruang gawat darurat rumah sakit ini.

Rumah Sakit Lady Hardinge didirikan lebih dari 90 tahun lalu ketika Ratu Mary mengunjungi New Delhi. Sekarang rumah sakit yang merangkap sebagai sekolah kedokteran ini adalah salah satu yang paling direkomendasikan di ibu kota. Saya pun menaruh harapan kesembuhan dari penyakit kuning.

Tetapi perjuangan masih panjang. Ratusan orang lalu lalang tanpa henti di halaman rumah sakit. Gedungnya besar sekali, saya tak tahu harus ke mana. Puluhan perempuan duduk bersila di atas lantai karena tidak ada cukup tempat duduk. Sampah berserakan di mana-mana. Tak ada tempat bertanya karena semua orang sibuk dengan urusan masing-masing. Orang sakit punya egoisme yang tinggi juga.

Susah payah saya menemukan ruang konsultasi. Sudah ada antrean dua puluhan pasien perempuan. Masing-masing membawa formulir registrasi.

“Di mana kita bisa mendapat formulir?” saya bertanya pada seorang pasien yang menutup wajahnya dengan kerudung. Ia tak memberi jawaban jelas.

Pertama kali seumur hidup saya merasakan diinfus.  Sekujur tubuh sudah berubah warna jadi kuning (AGUSTINUS WIBOWO)

Pertama kali seumur hidup saya merasakan diinfus. Sekujur tubuh sudah berubah warna jadi kuning (AGUSTINUS WIBOWO)

Saya kembali berkeliling gedung rumah sakit besar itu, mencari-cari loket kecil yang membagikan formulir. Koridor-koridor gelap penuh sampah, puluhan orang yang duduk bersila di atas lantai menunggu giliran, bau obat-obatan, dokter dan pasien yang lalu lalang, gedung-gedung yang berpencaran, semuanya campur aduk membuat rumah sakit ini hiruk pikuk.

“Tak perlu formulir,” kata suster di loket registrasi, setelah saya susah payah menemukannya, “kamu langsung tunggu saja, bicara langsung dengan dokter.”
“Tetapi semua orang yang lain bawa formulir?”
“Saya bilang tidak perlu!” wanita itu galak membentak.

Saya kembali lagi ke antrean ruang konsultasi.

Barisan pasien ini maju lambat-lambat. Baru setelah satu jam lebih saya bisa melihat wajah dokter muda itu.

“Mana formulirnya?” tanya dokter.

Saya terpaksa kembali lagi ke loket formulir, beradu mulut dengan suster galak demi selembar kertas, dan kembali lagi ke antrean panjang di depan ruang konsultasi. Antre lagi dari belakang.

Dua jam terbuang. Tubuh saya rasanya sudah lemas sekali ketika dokter mendaftar keluhan-keluhanku. Mata kuning. Tidak ada demam. Nafsu makan menurun. Tubuh lemas. Abdomen sakit. Urine pekat dan faeces keputihan. Dokter menulis beberapa lembar formulir pemeriksaan dan langsung merujuk saya ke ruang gawat darurat.

Seranjang bertiga (AGUSTINUS WIBOWO)

Seranjang bertiga (AGUSTINUS WIBOWO)

Di ruangan ini ada delapan dipan dengan sepuluh pasien. Saya dipersilakan duduk di salah satu ranjang bersama dua orang pasien lainnya. Dua orang suster berusaha keras memompa darah saya untuk diambil sampel. Sakit sekali rasanya.

Tangan saya diinfus Dextrose 5 persen. Ini pertama kali saya diinfus. Sungguh tidak sabar rasanya melihat tetes demi tetes cairan bening itu merayap menembus tubuh melalui lubang jarum. Satu kantung infus butuh waktu dua jam.

Sementara saya masih gelisah melihat setetes demi setetes cairan di kantung infus, seekor anjing berkeliran di antara dipan pasien ruangan ini, mencari makan. Tampaknya tidak ada yang aneh di sini. Pasien biasa saja. Para pengantar pun seperti tak melihat. Apalagi dokter dan suster yang sibuk menyuntik, memompa darah, mencatat, mengisi formulir, tak ada yang menghiraukan kehadiran anjing di ruang gawat daruat yang gelap ini. Sepertinya anjing ini sudah menjadi anggota keluarga besar rumah sakit.

Saya termasuk pasien bandel. Dengan jarum infus masih melekat di tangan dan sambil menggeret tiang infus ke sana ke mari, saya ikut berkeliaran ruangan ini memotret sana sini. Seorang suster yang gemas langsung memaksa saya kembali ke tempat tidur.

“Penyakit kamu itu parah, harus istirahat!”

Tetapi bagaimana saya bisa istirahat, ranjang saya sudah diduduki dua pasien lain. Berbaring tak bisa. Duduk menyaksikan setetes demi setetes cairan infus membosankan sekali.

Akhirnya botol bening ini kosong juga. Seorang suster sekarang menyuruh saya berangkat mengambil laporan tes darah di bank darah dan lab mikrobiologi. Suster menggambar denahnya supaya saya tidak kesasar di rumah sakit besar ini. Dengan denah yang ia gambar, setelah kesasar berkali-kali, saya butuh waktu satu setengah jam menemukan dua tempat ini. Hasilnya semua nihil. Laporan masih belum siap.

Tiga kali saya bolak-balik ruang gawat darurat, bank darah, dan lab mikrobiologi. Jalan pun sudah berat. Saya akhirnya menemukan laporan tes darah saya di atas lantai, disebar seperti sampah bersama laporan puluhan pasien lain. Orang-orang memunguti berkas mereka masing-masing seperti pemulung.

Penderita asma dengan tabung gas tua (AGUSTINUS WIBOWO)

Penderita asma dengan tabung gas tua (AGUSTINUS WIBOWO)

Saya kembali ke UGD. Suster sekarang menuruh saya ke ruang pemeriksaan sinar X. Saya seperti diplonco habis-habisan di rumah sakit raksasa ini. Semua energi terkuras menyusuri koridor-koridor gelap dan bau, mengunjungi ruang-ruang yang tersebar di seluruh penjuru, dan menyaksikan ratusan pasien yang tiduran di lantai menanti uluran tangan dokter.

Setelah jam makan malam, hasil laporan mikrobiologi keluar. Angka bilirubin saya 14,6, sedangkan ambang normal adalah 1,0. Bilirubin inilah yang membuat mata berwarna kuning.

“Kamu kena hepatitis,” kata suster. Kalau hanya kesimpulan ini, saya pun sudah tahu sebelum berangkat ke rumah sakit ini.

“Kamu harus diopname!” dokter memutuskan.

Saya berusaha membantah dengan berbagai alasan. Suster membaca kekhawatiran saya,

“Jangan kuatir, my dear, di sini semua gratis!”

Gratis? Apakah saya tidak salah dengar? Dalam sekejap, rumah sakit yang kotor dan kejam ini berubah drastis dalam benak saya. Anjing yang berkeliaran di UGD langsung termaafkan. Sanitasi yang parah, tembok yang terkelupas, dipan yang berkarat, semuanya langsung berbalik menjadi apologi wajar sebuah tujuan yang teramat mulia. India, negara yang tingkat kemakmurannya jauh di bawah Indonesia, punya komitmen yang besar untuk menjawab setiap ketukan dari warganya. Obat-obatan, jarum infus, ranjang opname, pemeriksaan UCG dan sinar-X, semuanya cuma-cuma.

Bahkan negara ini mengulurkan tangannya menolong saya, seorang warga asing, tanpa memungut pembayaran sepeser pun.

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 29 Desember 2008

5 Comments on Titik Nol 105: Ruang Gawat Darurat

  1. Minum sirup sarang sari kak, pasti cepat sembuhnya

  2. Semoga lekas sehat…. Aamiin

  3. Seperti apa rasanya di negeri oranga, sebatang kara pula.

  4. Seperti apa rasanya sakit di negeri orang, sebatang kara pula.

  5. incridle india…..#nirkata

Leave a comment

Your email address will not be published.


*