Recommended

Titik Nol 112: Gerbang Kemerdekaan

Bus bersejarah itu pun tiba di wilayah India (AGUSTINUS WIBOWO)

Bus bersejarah itu pun tiba di wilayah India (AGUSTINUS WIBOWO)

“Pakistan memang diciptakan untuk membuat jarak antara kita dan mereka, memecah belah persaudaraan kita. Tak perlu kita teruskan lagi [permusuhan ini].” Demikian sebuah koran India menurunkan artikel di rubrik opini.

Kedua negara tetangga ini sudah berseteru sejak kelahirannya. Pakistan tercipta dari British India tahun 1947 ketika umat Muslim India minta diberi negara sendiri. Pakistan berarti ‘Negeri yang Murni’, cita-cita luhurnya adalah negara umat Muslim yang berdiri di atas kesucian dan kemurnian Islam. Tetapi, pertikaian dan perselisishan selalu mewarnai sejarah kedua negara, menyebarkan benci yang merayap sampai ke sanubari rakyat jelata.

Ingat kasus bom di New Delhi yang serta merta membuat orang India langsung menunjuk hidung Pakistan sebagai kambing hitam? Ingat betapa susahnya orang India mendapat visa Pakistan dan juga sebaliknya? Orang India menggunakan kata Pakistan sebagai umpatan yang paling kasar – “Chalo Pakistan!”, artinya “Enyahlah ke Pakistan”. Mengapa Pakistan selalu digambarkan sebagai tempat bak neraka yang penuh kesengsaraan? Mengapa imej Pakistan di India hanya hitam dan kelabu?

India dan Pakistan punya garis perbatasan sekitar 3000 kilometer, tetapi hanya satu perbatasan resmi yang dibuka. Perbatasan Wagah teramat sepi, kecuali di sore hari ketika upacara penurunan bendera berlangsung. Tak banyak orang yang bisa melintas, karena visa India nyaris mustahil untuk orang Pakistan, dan visa Pakistan sama susahnya untuk orang India. Yang banyak melintasi perbatasan ini malah orang asing.

Tetapi hari ini sungguh berbeda. Tepat pada hari terakhir visa India saya, saya melintas perbatasan India ini. Kebetulan pula, hari ini adalah hari yang bersejarah bagi hubungan kedua negara.

Di depan pintu gerbang India, sudah ada puluhan bocah berpakaian penari. Berjubah putih dengan rompi warna-warni, lengkap dengan surban yang berbentuk kipas. Ada merah, jingga, hijau, kuning, biru. Mereka adalah penari Bhangra, sebuah tarian tradisional tanah Punjab yang ceria, diiringi tetabuhan drum dhol dan seruling.

Ada apa dengan keceriaan pesta di perbatasan yang biasanya sepi ini?

Para penari bhangra menyambut datangnya hari bersejarah (AGUSTINUS WIBOWO)

Para penari bhangra menyambut datangnya hari bersejarah (AGUSTINUS WIBOWO)

“Hari ini akan ada bus yang melintas dari Pakistan,” kata seorang kameraman TV dengan tersenyum bahagia, “ini adalah peristiwa bersejarah yang menandai membaiknya hubungan India dengan Pakistan.”

Saya melihat di kejauhan sebuah bus merayap perlahan di belakang gerbang Pakistan.

“Mereka datang! Mereka datang!” Orang-orang berseru.

Bocah-bocah penari Bhangra langsung melompat-lompat bak kesetanan. Tetabuhan rebana, genderang, seruling, bertalu-talu. Saya larut dalam suasana bahagia.

Bus merayap perlahan, menyeberangi garis putih yang menandai secara harafiah perbatasan kedua negara. Merayap melintasi gerbang masuk India. Sorak sorai bergemuruh. Para pejabat India yang kebanyakan orang Sikh dengan surban mereka yang khas sudah siap berbaris dengan karangan bunga. Ketika pejabat Pakistan turun dari bus, mereka dihujani serpihan bunga, ciuman pipi, sambutan hangat, dan gegap gempita tarian Bhangra.

“Bus langsung dari Lahore sampai ke Amritsar akan membantu mendekatkan kembali rakyat antara kedua negara,” kata Hasim Khan, Direktur Utama Pakistan Tourism Development Corporation (PDTC), pejabat penting Pakistan dalam rombongan ini.

Beliau menjanjikan kemudahan visa, membangun konsulat di Amritsar sehingga rakyat setempat tidak perlu jauh-jauh ke New Delhi untuk membuat visa, dan berharap akan semakin akrabnya hubungan kedua negara ini. Doosti, artinya Persahabatan, demikian layanan bus ini dinamai, akan menjembatani hubungan warga Lahore dengan Amritsar.

Saya hanyut dalam kegembiraan, tetabuhan tarian Bhangra yang mensyukuri rahmat. Walaupun saya bukan warga India atau Pakistan, setelah sekian lama di sini, berucap bahasa mereka, makan makanan yang sama dengan mereka, saya pun ikut merasakan kebahagiaan yang mereka rayakan. Betapa indahnya masa depan Asia Selatan jika perseteruan kedua bersaudara ini berakhir. Bus lintas-batas ini, walaupun hanya sebagian kecil dari jalan panjang menuju perdamaian, menunjukkan betapa dalam kerinduan rakyat untuk kembali hidup berdampingan.

Tentara perbatasan India di seberang kibaran bendera Pakistan (AGUSTINUS WIBOWO)

Tentara perbatasan India di seberang kibaran bendera Pakistan (AGUSTINUS WIBOWO)

Perbatasan kembali lagi dalam hidupnya yang sepi ketika bus Pakistan yang berisi para pejabat penting negara itu perlahan meninggalkan tempat ini menuju kota Amritsar. Gegap gempita tarian Bhangra mereda. Tentara perbatasan India, dengan topinya yang seperti kipas kertas, kembali berdiri tegak dalam bisu.

NAMASTE!!!” Saya mengucap perpisahan pada India. Singa Ashoka, lambang nasional India, adalah pemandangan terakhir India yang nampak di mata saya.

Pintu gerbang Pakistan terpampang di hadapan. “Baab-i-Azadi”, tertulis di atas gerbang itu dalam huruf Urdu. Gerbang Kemerdekaan. Gerbang ini dibangun tahun 2001 untuk memperingati ratusan ribu umat Muslim yang mati syahid dalam perjalanan mencapai tanah tumpah darah mereka yang suci ketika Pakistan dibelah dari India. Bendera hijau Pakistan berkibar di mana-mana. Pakistan bertabur bulan sabit dan bintang. Tentara perbatasan Pakistan berpakaian hitam-hitam, juga dengan topi yang seperti kipas.

Dibandingkan perbatasan India yang modern perbatasan Pakistan jauh lebih sederhana dan penuh suasana kekeluargaan. Para pejabat imigrasinya duduk-duduk di bawah pohon, bercengkrama, menghabiskan waktu yang membosankan. Siapa yang tak bosan kerja di perbatasan yang sepi seperti ini. Saya diajak minum teh, mengobrol tentang hubungan India-Pakistan, dan berfoto.

Pos imigrasi Pakistan (AGUSTINUS WIBOWO)

Pos imigrasi Pakistan (AGUSTINUS WIBOWO)

Paspor saya hanya dilihat sekilas. Visa dicek di bawah lampu yang biasanya dipakai untuk memerika uang palsu. Di tembok tertera daftar negara rawan yang harus melaporkan diri ke polisi setibanya di Pakistan, antara lain Afghanistan, Bangladesh, Israel, Iraq, Bhutan, Nigeria, Yemen, Serbia, dan tak lupa tentunya, India.

Sejurus berikutnya, saya sudah berada di dalam bus menuju Lahore, 30 kilometer dari perbatasan. Wajah Pakistan yang nampak di sini sungguh kontras dengan India sana. Jalan bolong-bolong, barisan rumah kumuh, debu yang mengepul di mana-mana, membuat saya merasa seperti berada di padang pasir. Ini adalah dunia lain yang hanya terletak beberapa jengkal dari tanah India. Pakistan, dunia terlarang yang hanya hidup dalam bayang-bayang dan imajinasi orang India.

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 7 Januari 2009

4 Comments on Titik Nol 112: Gerbang Kemerdekaan

  1. sy selalu takjub dg cara smpean berbahasa mas,, keren,,

  2. Ga pernah bosan walau sdh baca berkali2…

Leave a comment

Your email address will not be published.


*