Recommended

Titik Nol 179: Heera Mandi (1)

Masjid Badshahi di senja hari (AGUSTINUS WIBOWO)

Masjid Badshahi di senja hari (AGUSTINUS WIBOWO)

Larki-marki dekhaun? Mau aku kasih liat koleksi cewek?” seorang pria berjubah shalwar kamiz yang tidak saya kenal berbisik ketika saya menyusuri gang-gang ruwet di kota kuno Lahore.

Kemegahan Masjid Badshahi, masjid terbesar dari Dinasti Mughal, adalah kebanggaan Lahore dan Pakistan. Tetapi, bayang-bayang masjid ini menaungi daerah prostitusi paling tersohor di negeri ini, bahkan namanya hingga ke negara-negara tetangga. Siapa yang tak tahu nama Heera Mandi (baca: Hira Mandi)? Ratusan tahun lalu, ratusan gadis penari molek ditambah kaum hijra (penari transeksual) meliuk-liukkan badannya menggoda iman di malam yang gelap. Kini, di kota modern Lahore di bawah kibaran bendera Republik Islam Pakistan, gadis-gadis masih menawarkan hiburan malam, namun tersembunyi di balik tembok tebal.

Siang hari, barisan rumah di ruwetnya gang Heera Mandi tak nampak istimewa. Hanya rumah-rumah kuno dari zaman negeri dongeng seribu satu malam. Ada pasar kuno yang ribut, para pria yang semuanya mengenakan ‘seragam’ shalwar kamiz, dan para perempuan yang dibalut purdah hitam pekat.

“Tidak mahal,” kata lelaki berkumis itu masih penuh semangat, “hanya 300 Rupee saja.”

Di siang hari pun, walaupun tidak semarak malam, transaksi masih terus perjalan.

Mujhe dilcaspi nehin. Saya tidak tertarik,” saya bergegas pergi menuju masjid.

Matahari memanggang Lahore sampai 42 derajad. Saya merasakan kesejukan yang melegakan ketika memasuki kawasan Badshahi Masjid. Masjid yang dibangun oleh Aurangzeb pada tahun 1673. Gaya arsitektur Mughal sangat terasa, mengingatkan saya pada Taj Mahal atau Samarkand. Halamannya lapang, bisa menampung sampai 50.000 umat. Gedungnya merah membara dengan barisan kubah yang megah. Doa-doa mengalir lembut, bak angin lembut yang menghapuskan panas membaranya dunia. Saya hanya duduk di atas lantai pualam yang dingin, berkontemplasi, waktu berjam-jam lewat begitu saja.

Tiba-tiba datanglah Jawad, pria muda berkulit gelap dan berkumis tebal. Jawad mengaku bekerja sebagai guru bahasa Inggris sekaligus tour guide. Orangnya ramah dan banyak bicara.

“Kamu mau ke rumahku? Tak jauh, cuma lima menit jalan kaki,” dia menawarkan, “di sana kamu bisa memotret ibuku dan saudara-saudara perempuanku.”

Jarang sekali ada pria Pakistan yang menawarkan ibunya atau saudara perempuannya sendiri untuk jadi objek foto orang asing. Dan, lima menit dari Badshahi Masjid? Bukankah itu kompleks prostitusi Heera Mandi?

Terus terang, yang terakhir ini membuat saya demikian tertarik. Saya ingin melihat lebih dekat kehidupan di daerah ‘lampu merah’ yang nama aslinya semula berarti ‘Pasar Berlian’ ini. Heera Mandi, sekotor apa pun wajahnya sekarang, adalah tempat lahirnya khasanah musik dan tradisi budaya hiburan di Asia Selatan. Nama Heera Mandi begitu menggoda. Saya langsung mengiyakan ajakannya.

“Sebentar, saya salat maghrib dulu,” katanya.

Kami berjalan bersama meninggalkan masjid. Sore hari adalah waktu yang menyenangkan di Pakistan, ketika matahari sudah mulai mereda amarahnya, berganti udara senja yang nyaman. Orang-orang mulai ramai memenuhi jalanan. Taman di sekitar Minar-e-Pakistan, Menara Pakistan, adalah tempat favorit orang Lahore duduk-duduk melewatkan waktu.

Menara Pakistan (AGUSTINUS WIBOWO)

Menara Pakistan (AGUSTINUS WIBOWO)

“Mana yang cantik? Yang kiri? Yang kanan? Atau yang tengah? Kalau menurutku sih yang tengah,” Jawad terus berceloteh, ketika kami baru berpapasan dengan tiga orang gadis di taman.

Sejak tadi obrolan Jawad berkisar hanya soal pacar, asmara, seks.

“Di Indonesia, laki-laki boleh menikah dengan laki-laki?” “Gadis-gadis Indonesia bebas bergaul?” “Mereka tidak pakai purdah?”

Setiap kali ada gadis lewat, dia langsung berkomentar, “Cantik…”, atau “Seksi…”, atau “Manis…” Sungguh ia adalah teman jalan yang memalukan. Kalau bukan karena tergiur tawarannya akan Heera Mandi, sudah saya tinggalkan orang ini sejak tadi.

Setelah puas kami berputar-putar di sekitar Menara Pakistan, Jawad mengajak saya naik rickshaw masuk ke Heera Mandi. Langit mulai gelap. Gang-gang yang berkelok-kelok dan bersilangan amburadul ini malah menyiratkan aroma petualangan.

“Apa benar di Heera Mandi banyak pekerja seks?” saya bertanya.
“Sssssh!!! Jangan keras-keras!”

Kami turun dari rickshaw, masuk ke lorong gelap dan sempit. Rumah-rumah berbaris sepanjang lorong. Semua nampak seragam, sederhana. Daun pintunya terbuka. Kamar itu dipisahkan dari jalan umum hanya dengan selembar tirai. Jawad langsung masuk ke salah satu rumah tanpa basa-basi.

Seorang perempuan tua yang sedang tiduran di atas karpet, terloncat kaget dengan kedatangan kami. Tetapi ia tak marah. Ia merapikan dupatta, selendang, untuk menutupi rambutnya. Jawad dan perempuan tua bercakap-cakap dalam bahasa Punjabi yang tidak saya mengerti. Tetapi jelas sekali dari jarak yang memisahkan interaksi mereka, gerak-gerik dan kesopanan kedua orang ini, perempuan ini pasti bukan ibunya.

Saya duduk di atas karpet bersama dengan perempuan tua yang mengenakan baju panjang kamiz berwarna kuning dan celana kombor shalwar berwarna hijau.

“Kamu rileks aja, seperti di rumah sendiri,” tiba-tiba Jawad berganti bahasa dari Urdu ke Inggris, “dan mulai sekarang, only English, please. Jangan bicara bahasa Urdu lagi.”

Entah saya sekarang berada di mana. Semuanya terasa aneh. Wanita tua yang duduk di samping saya tak banyak bicara. Kikuk sekali rasanya. Tempat apa ini? Sebuah rumah tanpa pintu di kompleks prostitusi? Apakah Jawad menuntun saya ke jalan menuju nikmat dan dosa?

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 13 April 2009

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*