Recommended

Garis Batas 26: Depresi (1)

Gulsaira (AGUSTINUS WIBOWO)

Gulsaira (AGUSTINUS WIBOWO)

Saya tak sengaja singgah di Karakol. Sebuah ketidaksengajaan yang membuka mata saya terhadap beratnya hidup di sebuah negara bernama Kyrgyzstan.

Semula saya berencana pergi ke Toktogul dengan bus dari Osh. Toktogul terletak di tengah-tengah antara Osh dengan Bishkek, ibu kota Kyrgyzstan. Perjalanan jauh sekali, lewat gunung-gunung. Bus sudah berangkat pagi-pagi buta dari Osh, dan saya tidak punya pilihan selain berganti-ganti bus untuk sampai ke Toktogul.

Pertama-tama saya harus naik bus dulu ke Jalalabad, dua jam perjalanan, dilanjutkan ke kota bernama Tashkomur, 90 kilometer jauhnya. Tashomur terkenal karena pembangkit listriknya, namun sekarang keadaan di kota ini semakin memburuk seiring dengan ambruknya perekonomian Kyrgyzstan setelah kemerdekaan. Saya sampai di pinggiran Tashkomur ketika hari sudah mulai gelap. Toktogul masih kurang 100 kilometer lagi, dan saya berharap-harap cemas untuk bisa sampai di kota itu sebelum malam.

Cukup lama juga saya menunggu bus yang menuju ke utara. Tiba-tiba ada angkot dengan papan nama berhuruf Rusia “Toktogul”. Saya langsung meloncat ke dalam bus itu dan membayar tiket 100 Som.

Sekitar dua jam perjalanan, angkot yang semula padat itu langsung kosong. Ini masih kota Karaköl dan saya sudah disuruh turun.

“Toktogul?” saya bertanya.

Nyet. Eta Karakol. Bukan, ini Karaköl,” kata si supir dalam bahasa Rusia. Ia segera mematikan mesin dan lenyap begitu saja.

Saya terdampar di Karakol. Dalam kegelapan malam. Yang saya tahu ini adalah kota yang termasyhur namanya sebagai kota miskin yang penuh dengan penjahat. Saya tak ingin tinggal di sini, tetapi tak tahu lagi hendak ke mana.

Tiba-tiba seorang ibu setengah baya datang menghampiri. Ibu itu yang tadi minta botol minuman saya waktu kami berada di dalam angkot, karena anaknya kehausan. Dia juga membawa bayi kecil yang terus-menerus menangis sepanjang perjalanan.

“Kamu mau ke mana?” tanya si ibu dalam bahasa Rusia.

“Toktogul.”

“Jangan kuatir. Banyak kok mobil yang ke Toktogul. Kami bantu kamu mencari, ya.”

Si ibu kemudian menyuruh anak gadisnya untuk mencari bus yang mau berangkat. Tapi malam sudah larut. Tidak mungkin lagi ada bus yang berangkat. Di tempat bergunung-gunung seperti Kyrgyzstan ini, kendaraan hanya berjalan ketika ada sinar matahari. Melintasi kelokan-kelokan pegunungan di malam hari sangatlah berbahaya.

Saya melihat dompet saya. Isinya hanya kira-kira 1000 Som, sekitar 25 dolar saja. Dengan uang segini saya harus sampai ke Bishkek. Di sana nanti saya bisa menukar uang. Kecemasan membayang. Saya bahkan tidak punya cukup uang untuk bayar penginapan.

Inilah makanan keluarga ini (AGUSTINUS WIBOWO)

Inilah makanan keluarga ini (AGUSTINUS WIBOWO)

“Ayo, ke rumah saya saja,” kata ibu itu dengan ramah.

“Tapi saya tak punya uang.”

“Jangan khawatir. Kami sama sekali tidak mau uangmu.”

Saya hanya bisa berucap terima kasih.

Ibu itu, dengan satu bayi di gendongan dan satu bocah balita di gandengan, berjalan di belakang seorang anak gadis yang cukup tinggi dan berpakaian agak ketat. Kami berempat berjalan bersama menyusuri jalan utama yang hanya lurus memanjang. Yang ada cuma gelap. Lolong anjing bersahutan tanpa henti.

Saya tidak tahu pula hendak ke mana. Ibu dan gadisnya ini hanya orang asing yang saya kenal di angkot, dan saya berada di salah satu kota yang paling berbahaya di kegelapan malam Kyrgyzstan.

Rumah ibu itu adalah rumah kayu, terlihat besar dari luar, tetapi sangat reyot dan muram di dalamnya. Ada beberapa pintu. Ibu itu mengetok salah satu pintu. Wajah seorang ibu tua menyembul dari dalam. Mereka berdua bercakap-cakap dalam bahasa Kirghiz yang sama sekali tidak saya mengerti. Si ibu tua lalu memberikan sebuah kunci. Kami pindah ke pintu yang lain. Si ibu membuka pintu dengan segerendel kunci yang ia dapatkan dari ibu tua, kemudian mempersilakan saya masuk.

Rumah besar yang saya lihat dari luar ini sebenarnya adalah apartemen tua. Si ibu yang saya kenal dari angkot itu adalah salah satu penghuni dari delapan keluarga yang tinggal di sini. Rumah ibu ini sangat kecil sebenarnya. Lantainya kayu, sudah rusak-rusak. Temboknya kotor. Lampu yang dipasang sangat suram. Ada bau tak sedap yang memenuhi seluruh ruangan ini, sepertinya berasal dari kakus yang tidak pernah disiram.

Si ibu kemudian mengundang saya masuk ke sebuah ruangan. Kami semua duduk di atas lantai. Si anak gadis menggelar kain di atas tanah. Kain ini, namanya dastarkon,semacam taplak, berfungsi sebagai meja makan . Si ibu kemudian menyiapkan kurpacha, bantal duduk, di sekeliling taplak. Kurpacha tebal berwarna merah ini sudah kumal dan bau. Gadis itu kemudian sibuk menjerang air, menyiapkan teh. Si bayi duduk manis, dan si bocah kecil bermain mobil-mobilan.

Sekarang waktunya makan malam. Tetapi gadis dan ibu itu tidak memasak. Bukan karena malas, tetapi karena mereka memang tidak punya apa-apa lagi untuk dimasak.

Di bawah remang lampu 5 watt, saya mulai mengenali si ibu dan anak gadisnya, kedua orang yang benar-benar asing yang mengundang saya begitu saja ke dalam rumah mereka yang sederhana ini.

Gulsaira, nama ibu itu, berumur 45 tahun. Pengangguran sejati. Suaminya sudah lama meninggal, dan sendirian ia harus mengasuh ketiga anaknya. Yang paling besar, si gadis, bernama Guldora. Usianya 16 tahun. Guldora tinggi sekali, wajahnya manis dan senyumnya malu-malu. Matanya tak begitu besar, hidungnya tidak mancung, karakter wajah khas orang Kirghiz. Menurut saya gadis ini cantik sekali.

Guldora sibuk menyiapkan makan malam, tetapi terkadang masih sempat bermain dengan bayi kecil yang baru berumur satu tahun itu. Eldiyar, si bocah berumur 5 tahun, nakal sekali. Hobinya membikin si bayi kecil menangis. Tetapi kemudian giliran dia yang menangis, menunjukkan giginya yang bolong, setelah dicubiti dengan gemas oleh Guldora.

Makan malam, menurut budaya orang Asia Tengah, biasanya selalu besar dan mengenyangkan. Tetapi keluarga ini tidak punya apa-apa lagi selain menumpahkan segunung permen-permen, remah-remah roti yang sudah mengeras, patahan-patahan coklat, beberapa buah busuk, teh tanpa gula, …, hmm…. apa lagi ya? Rasanya sudah saya sebutkan semua. Ya…, memang sudah semua.

Bagi orang kebanyakan, yang tersaji di atas taplak rumah Gulsaira ini hanyalah cemilan pagi hari. Apalagi barang-barang Gulsaira semua sudah kadaluarsa. Tetapi bagi keluarga ini, remah-remah makan an yang entah dikumpulkan dari mana ini adalah menu utama.

“Seperti inilah makan malamnya orang miskin,” kata Gulsaira, “apa lagi yang bisa kami makan selain ini?”

Keremangan lampu 5 watt yang kadang nyala kadang mati, mengaburkan wajah-wajah lapar para penghuni rumah yang duduk dengan lesu di sekeliling gunung remah-remah makan an. Hanya Eldiyar yang masih bersemangat menumpahkan teh dan menangis. Sebuah makan malam yang penuh depresi, seperti depresi kota Karaköl di tengah keterpurukan Kyrgyzstan.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 10 April 2008

1 Comment on Garis Batas 26: Depresi (1)

  1. Sangat mengharukan, di dlm kemiskinan yg akut msh ada semangat menolong org asing

Leave a comment

Your email address will not be published.


*