Recommended

Selimut Debu 33: Ranjau, Hidup dan Mati

Tim penjinak ranjau menggunakan anjing yang sudah terlatih untuk melacak ranjau. (AGUSTINUS WIBOWO)

Tim penjinak ranjau menggunakan anjing yang sudah terlatih untuk melacak ranjau. (AGUSTINUS WIBOWO)

Sabur ternyata adalah pintu gerbangku untuk mengenal kehidupan para pembersih ranjau.

Semula aku kurang bersimpati dengannya, gara-gara kebenciannya terhadap orang-orang Hazara hanya karena mereka Syiah. Sabur juga mencurigakan, karena topik pembicaraannya tidak jauh-jauh dari jijig (yang merupakan tiruan bunyi dari orang berhubungan seksual, kemungkinan dari pengaruh bahasa Rusia). Dia bilang, dia tidak pernah berhubungan seksual dengan bocah lelaki, tapi dia tahu bahwa Vaseline berguna dalam urusan itu. Humor-humor berbau homoseksual sangat populer di kalangan lelaki Afghan, bahkan mereka masih tetap menjentikkan untaian bulir tasbih saat bergurau tentang seks.

Sehabis berbanjir peluh dari perjalanan ke Kakrak, Sabur membawaku ke tempat tinggalnya. Semula aku khawatir apabila humor-humor homoseksualnya bukan sekadar humor. Ternyata Sabur tinggal di asrama bersama para pembersih ranjau. Dia adalah sopir untuk organisasi Mine Dog Center (MDC).

Sabur mempersilakan aku duduk, membuatkan jus mangga untukku. Bukan dengan mesin, harap dicatat. Dia cukup meremas mangga dengan kedua tangannya sampai buah malang itu melunak. Melihat ekspresi wajahku yang ngeri melihat cairan mangga itu merembes dari kulitnya melewati jari-jari Sabur hingga masuk ke cangkir, Jamil, teman Sabur yang orang Pashtun, menyiapkan segelas susu untukku.

“Ya,” katanya, “besok kamu harus datang melihat kami bekerja!”

“Sungguhan boleh?” Aku hampir tidak percaya dengan kesempatan yang datang tiba-tiba ini. Para pembersih ranjau yang kutemui sebelumnya tidak mengizinkanku dekat-dekat mereka, karena alasan bahaya. Lagi pula siapa aku? Hanya turis yang selalu terlalu mau tahu.

“Asyiknya lagi, kamu bisa melihat anjing yang mendeteksi ranjau,” kata Jamil.

“Apalagi kalau ada anjing yang meledak kena ranjau. Tubuhnya hancur berkeping-keping, ke angkasa lalu ke tanah. Pemandangan luar biasa!” sambung Sabur.

“Pemandangan cantik,” kata Jamil. Dan mereka pun tertawa terbahak-bahak.

Keesokan paginya, aku sudah berada di puncak bukit patung Buddha, menjajal helm seperti pengendara motor. Panas dan pengap. Di sekelilingku adalah orang-orang Afghan berseragam hijau dengan lencana bertuliskan Main Paki dalam bahasa Farsi. Di bawahnya ada terjemahan bahasa Inggris: De-mining.

Lelaki yang berdiri di hadapanku adalah orang terpenting dalam proyek pembersihan ranjau di Bamiyan. Namanya Waisuddin, alias Wais, dari etnis Pashtun. Usianya sekitar tiga puluhan, tubuhnya tidak tinggi tapi kekar dan kuat. Dia berjenggot, tapi baru saja dipotong pendek. Bahasa Inggrisnya fasih sekali, dan dia menyambut baik kedatanganku karena bisa berlatih bahasa Inggris.

Wais adalah komandan organisasi Mine Clearance Planning Agency (MCPA), yang bekerja sama dengan Mine Dog Center (MDC) alias Mine Dog Group (MDG) tempat Sabur dan Jamil bekerja. Sabur adalah sopir, dan Jamil adalah komandan MDC.

Pertama-tama, Wais membawaku ke atas bukit tempat patung Buddha. Tiga tahun lalu aku “bermain-main” bersama teman Inggrisku bernama Adam pernah memanjat di sini. Kami sungguh gembira menemukan gua-gua kecil tempat kaum gerilyawan bersembunyi. Di dalamnya berserakan ratusan butir peluru dan selongsongnya. Ada yang sudah dipakai, ada yang masih baru. Aku malah sempat memungut beberapa butir peluru tajam untuk suvenir. Oh ya, masih ada pula mesin artileri RPG seukuran dada. Kami bergaya bak pejuang Mujahiddin, menyetir mesin itu ke kanan, ke kiri. Untuk menambah serunya suasana, mulut kami mengeluarkan suara seperti senapan mesin, ”tetetetetttetetetet… piuuuuuuuh… duarrrrrrrr!

”Pengalaman edan!” komentar Wais mendengar cerita kenakalanku waktu itu, ”Daerah ini penuh ranjau! Untung kamu tidak mati!”

Turis memang tidak seharusnya menjadikan Afghanistan sebagai destinasi Disneyland versi petualangan. Ancaman bom dan ranjau yang merenggut nyawa itu benar nyata. Rata-rata, tiga penduduk terbunuh atau terluka setiap hari gara-gara ledakan. Ini juga menjadikan Afghanistan sebagai negara yang paling banyak proporsi penyandang cacatnya.

Ranjau, sisa-sisa perang, masih jutaan jumlahnya bertaburan di seluruh penjuru Afghanistan. Dua puluh tahun sudah negeri ini disibukkan oleh ranjau. Tingkat pengalaman para penjinak ranjau Afghan sudah masuk jajaran dunia hingga mereka bisa melatih rekan-rekan seprofesi di Sudan, Somalia, Irak.

Di perbukitan Bamiyan ini ternyata memang masih banyak ranjau. Ada beberapa lelaki yang bekerja dengan anjing dan detektor logam, menyusuri dan memindai lapangan luas di bawah terik matahari.

Pekerjaan survei ini adalah kolaborasi antara MCPA dan MDC. MCPA menyusun program tugas dan melakukan pemindaian dengan detektor secara manual, sedangkan MDC menyediakan anjing untuk membantu tugas pemindaian. Tugas mereka adalah area seluas 7.000 meter persegi, membutuhkan waktu setidaknya satu bulan penuh. Jangka waktu penyelesaian tugas bervariasi. Misalnya, di daerah datar dengan sedikit kemiringan tentunya akan lebih cepat daripada memindai daerah dengan banyak aliran sungai.

Pemindaian di daerah perbukitan ini membutuhkan kerja sama erat antara manusia dan binatang. Para anjing dan pawangnya (staf MDC) pertama-tama memindai daerah. Anjing hanya bisa bekerja di daerah datar, tidak efektif untuk daerah dengan kemiringan. Untuk tugas di daerah miring harus dikerjakan oleh manusia dengan menggunakan detektor logam (ini tugas staf MCPA). Demi menjamin hasil pemindaian, para petugas masih harus melakukan pemindaian manual dengan menggali tanah setiap jarak 500 meter dengan menggunakan pisau untuk mengetahui ada tidaknya logam lain yang dipendam di bawah tanah. Ini adalah tugas yang sangat berbahaya, karena mereka bisa saja tidak sengaja menginjak atau menggali ranjau aktif, yang bisa meledak hanya dengan sedikit saja tekanan di atas tanah.

Wais tidak mengizinkanku mengambil gambar dari para petugas yang sedang memindai lapangan. Alasannya, para pekerja tidak memakai jaket dan helm sesuai prosedur keamanan yang ditentukan atasan.

”Terlalu panas di sini,” katanya, ”Kamu lihat sendiri matahari bersinar terik siang-siang begini. Bayangkan betapa menderitanya berada di bawah helm seperti itu. Tak ada gunanya juga. Lagi pula hidup dan mati itu ada di tangan Tuhan!”

 

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

 

Kemelut perang masih membayangi Afghanistan (AGUSTINUS WIBOWO)

Kemelut perang masih membayangi Afghanistan (AGUSTINUS WIBOWO)

Batu bercat merah menandakan keberadaan ranjau aktif di sekitar lokasi. (AGUSTINUS WIBOWO)

Batu bercat merah menandakan keberadaan ranjau aktif di sekitar lokasi. (AGUSTINUS WIBOWO)

Kontak dilakukan dengan teknologi modern. (AGUSTINUS WIBOWO)

Kontak dilakukan dengan teknologi modern. (AGUSTINUS WIBOWO)

Mereka bertugas dari pagi sampai siang. (AGUSTINUS WIBOWO)

Mereka bertugas dari pagi sampai siang. (AGUSTINUS WIBOWO)

Pekerjaan yang bersinggungan dengan maut (AGUSTINUS WIBOWO)

Pekerjaan yang bersinggungan dengan maut (AGUSTINUS WIBOWO)

Para penjinak ranjau di gua Buddha Bamiyan. (AGUSTINUS WIBOWO)

Para penjinak ranjau di gua Buddha Bamiyan. (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

3 Comments on Selimut Debu 33: Ranjau, Hidup dan Mati

  1. …kereeenn…siang ini cari bukunya di Gramedia.

  2. tulisanmu sangat bagus begitu juga dengan foto2nya. Saya baru punya Selimut Debu dan Titik Nol

Leave a comment

Your email address will not be published.


*