Recommended

Selimut Debu 65: Kebahagiaan yang Sederhana

Hidup di Ghoz Khan begitu sederhana. Nyaris tanpa fasilitas apa pun. Tapi kedamaian, bebas dari ketakutan, adalah kebahagiaan hidup yang sangat mahal di Afghanistan. Dan di sini mereka berlimpah itu.

Minimnya fasilitas menyebabkan mereka menaruh mimpi-mimpi tinggi pada Tajikistan. Tidak ada dokter, selain dokter Alex yang berpatroli dari desa ke desa. Tidak ada listrik, mereka masih hidup dalam kegelapan lampu minyak. Sayang, aku tak berkesempatan menyaksikan apakah benar realita Tajikistan itu sesuai dengan impian orang-orang di sini.

Perjalananku dari Ghoz Khan tempat keriuhan pesta pembukaan perbatasan, menuju desa Kret ini sungguh berat. Di sekelilingku adalah gunung-gunung tinggi, padang rumput, aliran sungai deras, bebatuan raksasa, sementara aku seorang diri di tengah jalan setapak yang terkadang datar, terkadang menanjak, terkadang dibasuh jeram yang dalam.

Berangkat dari Desa Ghoz Khan pagi-pagi buta, hingga menjelang senja sampai ke Desa Kret tempat Faizal-ur-Rahman, Juma Khan, dan orang-orang Pakistan lainnya bekerja. Sebenarnya orang-orang Pakistan itulah yang menjadi alasan perjalanan ini. Aku tidak tahu sejauh apa Kret dari Ghoz Khan. Yang kutahu hanya berjalan dan berjalan, melewati jalan berbatu dan sungai-sungai menggenang. Beberapa kali aku harus menyeberang sungainya yang mengalir deras, terkadang sambil meloncat-loncat mencari titian batu-batu besar—termasuk dalam deretan hal-hal yang paling tidak kusukai dalam perjalanan.

Ternyata Kret tidak dekat. Penduduk Wakhan yang kutanyai jalan selalu bilang, ”Tidak jauh! Tidak jauh! Terus jalan saja ke bala! Bala!” Bala artinya atas. Di daerah pegunungan seperti ini, petunjuk arah hanya cukup satu dimensi: atas dan bawah. Yang menjadi patokan adalah aliran sungai, yang mengalir dari atas ke bawah.

Tetapi standar tidak jauh orang Wakhan tidak bisa dijadikan pegangan. Delapan jam aku berjalan dari Ghoz Khan. Tanpa henti, tanpa makan. Hanya segarnya gemercik mata air yang terkadang membasahi kerongkongan. Jalan ini sepi, cuma ada gunung-gunung di kanan–kiri serta sungai yang berteriak deras di bawah sana. Aku menikmati kesunyian, ketika hembusan nafasku sendiri terdengar begitu jelas, mengiringi desir angin, kepak sayap burung, gemercik air. Inikah yang disebut ”nyanyian alam”? Di tengah kesunyian, gunung-gunung pun terdengar seperti berpuisi, menggemakan kebesaran dan keangkuhan batu padas. Mungkin seperti ini jugalah pegunungan ”fantastik” seperti yang dilihat pesepeda Ceko di Tajikistan sana.

Untuk mengiring sunyi perjalanan seorang diri, aku mendengarkan lagu dari MP3. Sebait lagu ini kumainkan berulang kali, terus terngiang di kepala:

Aku akan pulang ketika sore datang

Kubawakan sebuah senyuman

Akan kita jelang hangatnya hidup ini

Habiskan malam bersamamu

 

Dengarlah burung pun turut bernyanyi

Menyambut hari indah yang tiba

Dan disinari hangatnya, hangat mentari

Satukan hati raih bahagia

 

Pulang. Walaupun ini adalah sebuah negeri yang asing, aku sungguh merasakan pulang. Pulang bukanlah sebuah tempat geografis. Bukan pula hanya berarti kampung halaman. Pulang adalah sebuah rasa, ketika kita kembali pada kedamaian, kegembiraan yang paling sederhana. Di mana-mana kita bisa pulang. Di mana-mana adalah rumah.

Begitu hangatnya persahabatan di tanah damai ini. Terkadang ada desa kecil dengan penduduk ramah menawarkan teh bagi musafir. Tetapi aku terpaksa terus berjalan karena matahari bergeser begitu cepat. Aku tak tahu pasti sampai kapan aku harus melangkah. Yang kutahu hanya: bala.

Kakiku sudah hampir tidak bisa digerakkan lagi. Di kananku berdiri gunung yang sangat megah. Namanya Baba Tangi, bentuknya seperti piramida. Puncaknya diselimuti salju, dikalungi awan-awan tipis bak selendang indah. Di bawahnya, air sungai berlomba-lomba mengalir deras. Dengan kaki yang cuma bisa diseret, aku harus melompati batu-batu besar dan kerikil tajam.

Pukul dua sore, setelah sembilan jam berjalan dari Ghoz Khan, aku masih belum sampai juga di Kret. Setelah kaki kiri yang harus diseret, kini kaki kanan juga tak bisa digerakkan. Dengan bantuan kedua tangan aku berhasil menyeret kaki kiri, kemudian kaki kanan. Setapak demi setapak aku melintasi bebatuan.

Tertatih-tatih, aku hampir tersungkur ketika melihat orang-orang Pakistan yang sedang menatah batu.

Yih Kret hai?” tanyaku dalam bahasa Urdu. Ini Desa Kret?

Han ji! Iya!” kata orang Pakistan itu, terkejut melihat keadaanku. Ia langsung berlari membantu memapahku. Pemuda lain berteriak memanggil Faizal-ur-Rahman.

”Kamu dari Ghoz Khan langsung ke sini?” tanya Faizal.

Aku mengangguk lemas.

”Jalan kaki?” tanyanya sambil memijat kakiku.

Aku mengangguk lagi, sambil menjerit kesakitan.

”Gila. Jauh sekali. Kamu sudah berjalan hampir empat puluh kilometer!”

Jarak sebesar itulah yang sedari tadi dibilang penduduk, ”Tidak jauh! Tidak jauh!”

Faizal langsung membawaku ke rumah Bakhtali si mualem, alias guru. Orangnya baik, katanya meyakinkan. ”Bakhtali adalah teman terdekatku di sini,” kata Faizal.

Nasi dalam genangan minyak tampak berkelap-kelip dalam cahaya lampu petromaks yang dinyalakan Bakhtali, setelah sang empunya rumah ini puas bercerita tentang mimpi-mimpi dan masa lalunya. Aku tidak mampu makan banyak. Aku terlalu lelah.

 

 

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

1.Ghoz Khan (AGUSTINUS WIBOWO)

1. Ghoz Khan (AGUSTINUS WIBOWO)

2.Bocah gembala (AGUSTINUS WIBOWO)

2. Bocah gembala (AGUSTINUS WIBOWO)

3.Hotel dan turis, tumpuan masa depan bagi desa-desa Koridor Wakhan (AGUSTINUS WIBOWO)

3. Hotel dan turis, tumpuan masa depan bagi desa-desa Koridor Wakhan (AGUSTINUS WIBOWO)

4.Bocah dan radio (AGUSTINUS WIBOWO)

4. Bocah dan radio (AGUSTINUS WIBOWO)

5.Menumpang kuda (AGUSTINUS WIBOWO)

5. Menumpang kuda (AGUSTINUS WIBOWO)

6.Di jalan sepi aku sendiri (AGUSTINUS WIBOWO)

6. Di jalan sepi aku sendiri (AGUSTINUS WIBOWO)

7.Pencari rumput (AGUSTINUS WIBOWO)

7. Pencari rumput (AGUSTINUS WIBOWO)

8.Bocah-bocah Wakhan (AGUSTINUS WIBOWO)

8. Bocah-bocah Wakhan (AGUSTINUS WIBOWO)

9.Barisan tenda sekolah (AGUSTINUS WIBOWO)

9. Barisan tenda sekolah (AGUSTINUS WIBOWO)

10.Para pekerja dari Pakistan (AGUSTINUS WIBOWO)

10. Para pekerja dari Pakistan (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

6 Comments on Selimut Debu 65: Kebahagiaan yang Sederhana

  1. Selalu menggetarkan baca tulisan Agustinus.

  2. It’s owesome agustinus, peace 4 u

  3. wiiiiiihhhhhhhh mlaku sak munu adohe. kaitan. ra ngerti nggon. dewekan pisan. dikon mbaleni ngunu piye cak agus? pisss

  4. seperti merasakan syurga dalam bentuk yg paling sederhana ya mas…tetaplah mengembara dan kutunggu buku terbarunya.thanks utk cerita perjalanannya yg luar biasa..:)

  5. Mereka sangat cantik… dan saya sudah membaca banyak refrensi tentang hal ini… dan ternyata BETUL. tapi mereka tidak terlalu mengekspos kecantikan mereka seperti kita di indonesia dan dunia barat. Kecantikan mereka hanya untuk suami mereka. bukan untuk laki laki lain… LUAR BIASA… very very amazing….. 🙂

  6. Berjln sendirian, klo terpeleset saat menyeberang sungai njur piye kuwi ?

Leave a comment

Your email address will not be published.


*