Recommended

Garis Batas 11: Sarandip=Indonesia?

Alisher dan keponakannya. (AGUSTINUS WIBOWO)

Alisher dan keponakannya. (AGUSTINUS WIBOWO)

“Sekarang kamu bukan tamu lagi. Kamu sudah bagian dari keluarga ini. Mari masuk!” kata Muhammad Bodurbekov, alias Alisher, ramah.

Sudah beberapa hari ini saya menginap di rumah Alisher, tinggal di rumah Pamirinya yang indah. Tetapi pagi ini Alisher tidak lagi mengantar sarapan pagi saya ke chid atau Rumah Pamiri, melainkan mengajak saya ke bergabung dengan ibu dan adik perempuannya. Sarapan pagi orang Wakhan adalah shir choy, teh susu yang dicampur dengan mentega dan minyak. Rasanya asin. Dicampur dengan roti yang disobek kecil-kecil, diaduk-aduk dengan sendok, dan dihirup panas-panas.

“Ini adalah sarapan yang luar biasa energinya, bahkan para pejuang zaman dulu cukup makan semangkuk shir choy sebelum berperang,” ucap Alisher.

Bagian Rumah Pamiri di rumah Alisher memang tradisional dan cantik. Tetapi ruang keluarga, tempat di mana Alisher sekarang mengajak saya menikmati sarapan, lebih kecil dan hangat. Di ruangan kecil ini tinggal bersama bapak, ibu, adik perempuan, dan beberapa orang keponakan si Alisher.

Adik perempuan Alisher, bersuamikan orang dusun Shegnon, pulang kampung ke Ishkashim untuk melahirkan. Menurut tradisi orang Shegnon, bayi pertama harus dilahirkan di rumah keluarga ibu. Alisher sekarang menggendong-gendong keponakannya yang masih orok. Bayi itu dibungkus kain berhias manik-manik, dan terbaring di atas guwara, ayunan bayi yang terbuat dari kayu. Ayah Alisher sudah pensiun, tunjangannya 93 Somoni per bulan, sekitar 25 dolar, terbilang cukup besar. Ibu Alisher masih bekerja sebagai kepala sekolah dasar. Alisher punya saudara kembar perempuan, sedang dirawat di rumah sakit karena kecelakaan mobil.

Kehidupan di Ishkashim sangat damai, di tengah kesepian lembah yang dikitari gunung-gunung tinggi. Ketentraman ini sebenarnya datang hanya belakangan ini saja. Ketika perang saudara pecah di negeri ini, pertikaian antar etnis terus menerus menggerayangi lembah ini.

            “Orang Shegnon, Wakhan, Pamir, semua lapar, semua marah,” kenang Alisher.

Di gunung-gunung ini, beda desa terkadang bahasanya pun berbeda. Identitas etnis sangat kuat. Semua tiba-tiba menjadi masalah ketika negara sedang carut marut.

Ketika Alisher berkisah tentang masa lalu di zaman perang saudara, susah sekali bagi saya membayangkannya. Lembah Ishkashim sungguh tenang dan sunyi. Yang ada hanya rumput-rumput yang mulai menguning menyambut musim gugur, dengan rumah-rumah yang tersebar dengan jarak berjauhan. Di seberang sana, Afghanistan bukannya terlihat seram, tetapi sama damainya dengan di sini. Sebagai musafir yang sekadar melintas di sini, saya cuma merasakan kedamaian.

Hishar, gotong royong membangun rumah. (AGUSTINUS WIBOWO)

Hishar, gotong royong membangun rumah. (AGUSTINUS WIBOWO)

Tetapi hidup di sini tidak seindah lukisan yang terbentang di hadapan mata. Bantuan kemanusiaan dari Aga Khan terus-menerus dikurangi, untuk menumbuhkan kemandirian penduduk GBAO yang perlahan-lahan mulai bangkit dari keterpurukan perang. Sekarang orang harus berusaha sendiri, bekerja lagi membangun kehidupan dari awal. Namun badai terus menerpa. Harga minyak dunia melambung tinggi. Tajikistan yang miskin harus mengimpor semua barang karena di negeri ini hampir tidak ada industri. Ibu Alisher sampai terkejut setengah mati ketika tahu harga gula sekarang sudah 3 Somoni, hampir 1 dollar, per kilogram.

Setidaknya orang Ishkashim masih beruntung. Hampir semua keluarga punya kebun yang menghasilkan tomat, kentang, dan gandum. Keluarga Alisher punya gudang yang penuh berisi kentang. Cukup untuk persediaan selama musim dingin. Andai saja tak ada kebun, uang pensiunan bapak Alisher tentu saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga ini.

Tak punya uang memang bukan alasan untuk menyerah pada hidup. Saya sangat terkejut ketika mendengar pengetahuan paman Alisher yang sudah tua. Mereka dengan fasihnya bercerita kepada saya tentang orang-orang Batak yang kanibal, keindahan Danau Toba dan sebuah pulau di tengahnya, dan bunga raksasa dari Sumatra. Paman Alisher yang satunya lagi, sangat gemar membaca buku sejarah, dan bertanya kepada saya apakah Indonesia itu sama dengan Pulau Sarandip?

Saya sendiri tidak pernah mendengar sama sekali tentang Sarandip. Si paman bercerita, menurut hikayat Islam, setelah Nabi Adam diusir dari Taman Firdaus karena memakan buah terlarang, Nabi Adam diturunkan Tuhan ke muka bumi, di sebuah tempat yang bernama Sarandip. Siti Hawa dikirim Tuhan ke Mekkah. Nabi Adam kemudian berjalan kaki dari Sarandip hingga ke Mekah untuk bersatu kembali dengan Siti Hawa.

Hikayat ini sangat terkenal dalam kesusastraan Persia, bahkan nama Sarandip juga disebutkan dalam catatan petualang Arab terbesar sepanjang zaman, Ibnu Battuta. Paman Alisher bercerita, bahwa Sarandip terdiri dari dua belas ribu pulau, tempat Nabi Adam diturunkan. Menurut teorinya, sangat mungkin Sarandip itu Indonesia, karena dia pernah membaca bahwa fosil manusia pertama ditemukan di Jawa. Saya hanya geleng-geleng kepala.

Belakangan saya baru tahu, bahwa Sarandip yang dimaksud adalah Sri Lanka, yang nama lamanya berasal dari bahasa Arab Sarandib. Di Sri Lanka ada Puncak Adam yang dipercaya sebagai tempat diturunkannya Adam ke bumi. Tempat ini kini menjadi tempat suci empat agama – Islam, Kristen, Hindu, dan Budha.

Terlepas dari kekecewaan saya bahwa Sarandip bukan Indonesia, saya takjub bahwa ternyata orang-orang dari tempat terpencil dikurung gunung macam Ishkashim ini punya pengetahuan tentang negeri-negeri seberang lautan sana.

Keramahtamahan dan ketentraman Ishkashim mengingatkan saya pada suasana pedesaan Indonesia. Hari minggu pagi, paman-paman Alisher berdatangan untuk membantu bapak Alisher membangun rumah baru, khusus untuk tamu. Bahan bakunya adalah lumpur, dicampur dengan air dan jerami. Ini adalah ramuan semen tradisional yang sudah digunakan turun-temurun.

Gotong royong, di lembah ini disebut hishar, adalah keramahtamahan dusun-dusun Lembah Wakhan. Di sini, mehman navazi atau keramahtamahan memang bukan sekadar penghias bibir saja.

 

(bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan ulang sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 20 Maret 2008

Leave a comment

Your email address will not be published.


*