Recommended

Byron Bay, 3 Agustus 2014: Festival Penulis

Bersama Janet Steele, Jono Lineen, Carina Hoanh, dan Bhuchung Sonam

Bersama Janet Steele, Jono Lineen, Carina Hoanh, dan Bhuchung Sonam

So, where are you from?” tanya Janet Steele membuka panel diskusi “A Guest in Their Country” kepada kami para panelis: seorang pengungsi Tibet yang kini tinggal di Dharamsala, India; seorang Tionghoa Indonesia yang pernah mencari rumah ke negeri China; seorang pengungsi Vietnam yang pernah menjadi manusia perahu dan kini menikah dengan orang Australia dan tinggal di Australia; seorang Kanada-Australia yang kematian adiknya membawanya pergi ke Himalaya dan membuatnya menemukan agama baru—Buddhisme.

Pertanyaan “Dari mana kamu?” adalah pertanyaan sederhana yang ternyata membutuhkan jawaban panjang. Bhuchung Sonam menceritakan bagaimana dia meninggalkan Tibet yang pernah menjadi rumahnya, ketika negerinya berada di bawah pendudukan China yang tidak akan pernah diakuinya sebagai tuan untuk negerinya, dan kini tinggal di India yang juga tidak pernah menjadi rumahnya. Bhuchung, dengan penuh kesedihan, mengatakan, dia tidak pernah kehilangan rumah karena memang dia tak punya rumah.

Janet Steele, seorang jurnalis kawakan dari Amerika Serikat dan seorang Indonesianis, adalah moderator panel ini. Dia mengawali cuplikan dari buku saya Ground Zero, ketika saya berada di Kashmir di tengah keluarga pengungsi yang menjadikan saya sebagai bagian dari keluarga itu. Para pengungsi Kashmir itu berkata pada saya, “Agustinus, ke mana pun kamu pergi ingatlah bahwa kamu punya kami di sini, keluargamu di Kashmir, rumahmu di Kashmir.” Peristiwa itu membuat saya bahagia sekaligus merasakan kesedihan yang mendalam. Rumah saya bisa di mana-mana, dan itu berarti pula rumah saya tidak di mana-mana. Saya menemukan rumah sekaligus kehilangan rumah.

Saya merasakan sendiri, perjalanan pencarian rumah, apabila itu diartikan sebagai sebuah titik geografis, adalah pencarian sia-sia. Saya, dibesarkan pada masa diskriminasi rasial terhadap Tionghoa pada era Orde Baru dan melewati masa-masa berdarah di mana orang bisa dibunuh hanya karena memiliki warna kulit berbeda, sempat mengira bahwa China adalah rumah saya. Tapi dia bukan dan tak akan pernah.

Proses kehilangan rumah adalah proses awal untuk menemukan rumah; sebagaimana proses kehilangan selalu adalah proses penemuan secara spiritual. Banyak sekali memoar yang berhubungan dengan kesedihan dan kematian. Kita memang memerlukan luka-luka batin itu untuk menjadikan kita lebih kuat dan lebih memahami makna hidup.

Carina Hoanh, pengungsi dari Vietnam menceritakan bagaimana ketika dia terapung-apung di atas perahu melintasi kejamnya lautan Indonesia, setiap hari dia menyaksikan satu demi satu kawan seperjalanan yang berubah menjadi mayat yang dibuang ke lautan, sambil bertanya-tanya kapan tiba giliran dia. Dia juga merasakan ironi, bagaimana Thailand yang terkenal di seluruh dunia sebagai Land of Smile tetapi ternyata para perompak juga tidak kalah ganas dan kejinya.

Australia telah menjadi negeri impian bagi banyak pengungsi, pelarian dari negeri-negeri yang dilanda perang: Vietnam, Kamboja, Afghanistan, Suriah, Irak, Mesir, Palestina, Iran… Para pendatang ini memimpikan akan menemukan rumah mereka yang baru di Australia, negeri yang tenang dan serba teratur, negeri di mana hukum berdiri tegak yang diimpikan oleh orang-orang dari negeri tanpa hukum. Hingga saat ini, masalah pengungsi dan perlakuan Australia terhadap calon pengungsi selalu mewarnai debat politik maupun ekonomi nasional.

Sedangkan Jono Lineen membutuhkan waktu 14 tahun untuk menuliskan memoarnya, tentang bagaimana Himalaya membuatnya menemukan makna spiritual dan menerima kematian. Orang Australia, kata Jono dalam percakapan pribadi dengan saya, sangat takut dengan kematian. Itulah sebabnya, di negeri yang semakin lama penduduknya semakin banyak orang tuanya ini, begitu banyak uang dihabiskan untuk menolak realita menjadi tua. Setelah umur 30, mereka menyebut usia mereka, “I am … years young” (bukannya “I am … years old). Mereka tidak menyebut usia tua sebagai Old Age, melainkan New Age . Di toko buku ada rak buku khusus tentang New Age, yang semula saya kira adalah buku-buku tentang dunia futuristik. Itu pula yang mungkin menyebabkan Australia terasa seperti nanny state, begitu banyak peraturan dan peringatan, yang tujuannya agar hidup teratur dan rapi terjamin—orang tua lebih membutuhkan rasa aman dan tidak suka kejutan.Mereka melakukan operasi dan begitu banyak perawatan untuk menolak fakta bahwa manusia menua. Sedangkan di Tibet, mereka sudah tahu bahwa orang hidup pasti akan tua dan mati, serta menerima kematian sebagai bagian dari kehidupan.

Dilarang ini, dilarang itu

Dilarang ini, dilarang itu

Berbeda dengan festival penulis di Indonesia yang pernah saya hadiri (Ubud Writers and Readers Festival dan Makassar International Writers Festival) yang mayoritas pesertanya adalah anak-anak muda yang bergairah, kebanyakan peserta Byron Bay Writers Festival adalah kaum manula. Kebanyakan penulis yang dihadirkan adalah penulis senior (sehingga diskusi sangat serius) dan sepertinya memang saya yang paling muda. Sedangkan para peserta, yang harus membayar A$250 untuk menghadiri panel-panel pada festival ini, bisa dikatakan di atas 80 persen adalah kaum manula, bahkan banyak pula yang menggunakan kursi roda. Para peserta sangat antusias menyimak seratusan panel yang digelar di tenda-tenda yang bertebaran di lapangan rumput luas, bahkan ketika pada hari ketiga hujan lebat turun dan duduk di tenda sangatlah dingin. Panel-panel yang populer antara lain yang berhubungan dengan geopolitik dunia, sejarah, filosofi, dan penulisan memoar. Setiap panel bisa dihadiri hingga seribu peserta, dan banyak panel sangat penuh dengan peserta yang membeludak sehingga peserta harus berdiri di luar tenda. Salah satu sponsor dari festival ini adalah Feros Care, organisasi perawatan kaum manula yang semboyannya adalah celebrating ageing dan posternya bergambar tiga nenek tua yang tersenyum riang sambil berpakaian ala penari sorak yang lebih mirip Bugs Bunny, dilengkapi dengan kalimat “Get Bold, Not Old”).

Para peserta

Para peserta

Get Bold, Not Old

Get Bold, Not Old

Dari tenda ke tenda di festival penulis Byron Bay

Dari tenda ke tenda di festival penulis Byron Bay

Dan yang membedakan pula dengan festival-festival penulis di Indonesia, para peserta yang berusia lanjut ini sering kali mengajukan pertanyaan yang mendalam dan kontemplatif, serta mereka sangat kritis mengikuti perkembangan politik dunia (karena mereka adalah komunitas pembaca buku utama di Australia di waktu senggang mereka—yang lebih banyak daripada kita pemuda Indonesia yang disibukkan berbagai kegiatan sosialisasi dan media sosial). Salah satu pertanyaan yang membuat saya berpikir mendalam adalah dari seorang kakek tua yang terbungkuk-bungkuk dalam sesi saya di hari kedua, Travelers’ Tales. “Di mana rumah sebenarnya dan bagaimana kau mendefinisikan rumah?”

Saya juga mengawali buku Ground Zero dengan kalimat satu kata: “Home.” (untuk versi Titik Nol bahasa Indonesia: “Saya pulang.”) Karena inilah sebenarnya inti dari semua perjalanan. Kebanyakan orang mendefinisikan perjalanan sebagai pergi, dan banyak yang lupa bahwa perjalanan adalah tentang pulang, tentang menerima diri kita apa adanya. Saya menyadari ini ketika saya pulang, menghadapi realita ibu saya yang berada pada hari-hari terakhir menjelang kematiannya, menikmati momen-momen indah bersama dan berbagi cerita dan rahasia hidup, serta menyadari betapa cantik dan damainya beliau ketika “pulang”. Itulah saat saya benar-benar “pulang” juga. Rumah, buat saya sekarang, adalah sebuah keadaan batin, bukan tempat. Pertama kita kehilangan rumah, berikutnya kita akan menemukan “rumah”.

Seorang peserta, seorang nenek, menghampiri saya sesudah acara dan mengatakan, “Anak muda, saya 70 tahun dan ibu saya 98 tahun. Ceritamu membuatku tergerak. Hal pertama yang akan saya lakukan sepulang dari sini adalah berbicara dengan ibu saya.”

 

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

10 Comments on Byron Bay, 3 Agustus 2014: Festival Penulis

  1. Kenapa ya kalau baca tulisan mas Agus selalu terharu…

  2. Terimakasih utk catatan perjalananmu….sungguh menginspirasi dan membuka mata

  3. pulang. rumah. kampunghalaman. gohome. home. hometown. mudikkah???

  4. Terima kasih udah bercerita kak, inspiratif banget buatku.

    “Rumah adalah sebuah keadaan batin, bukan tempat.”

  5. Agustinus Wibowo..having read it my 12 years girls said..
    If u lose a home u will find one. And she smiled. Thank you.

  6. lalu jawaban apa yg kau berikan pada kakek tua bungkuk itu?

  7. Inspiratifffff mas…

  8. Tulisannya selalu bermakna.. salut! « Byron Bay, 3 Agustus 2014: Festival Penulis – http://t.co/bEerTtTyyJ»

  9. Udh ngikutin sjak catatan prjalanannya msh dimuat d kompas.kisah2nya bagai dongeng 1001 mlm.Ga sabar nunggu catatan2 brkutny.

  10. Kristianto Budinugroho // October 26, 2015 at 1:55 pm // Reply

    Belakangan saya selalu mengikuti kisah mas Agustinus di laman ini. Sangat isnpiratif. 我很喜欢,非常好!

Leave a comment

Your email address will not be published.


*