Recommended

Titik Nol 18: Modernisasi

Panji-panji perayaan berdirinya Tibet Autonomous Region di bawah pemerintahan Republik Rakyat China menghiasi jalan utama Lhasa. (AGUSTINUS WIBOWO)

Panji-panji perayaan berdirinya Tibet Autonomous Region di bawah pemerintahan Republik Rakyat China menghiasi jalan utama Lhasa. (AGUSTINUS WIBOWO)

Kota Lhasa bukan lagi ujung dunia yang misterius. Tibet bukan lagi atap dunia yang tak terjamah. Shangrila ini tidak lagi hidup dalam dunianya sendiri.

Istana Potala, bekas tempat kedudukan Dalai Lama, menjulang tinggi di puncak bukit, terletak di pusat kota Lhasa. Siapa yang tak kenal landmark Tibet ini? Bangunan belasan lantai dengan seribu kamar lebih ini sudah ada sejak zaman ratusan tahun silam. Megah, menjulang gagah.

Saya pernah menonton dokumentasi tentang Tibet tahun 1930-an. Kala itu, Potala sudah berdiri menjulang, dikerumuni oleh orang-orang Tibet dengan pakaian yang rumit dan berat. Kereta kuda dan keledai di mana-mana. Hulubalang kerajaan berjubah panjang, bersanggul, memakai topi seperti mangkuk. Gambaran Lhasa itu benar-benar mistis, sebuah dunia yang terkurung dalam kosmologinya sendiri. Lhasa disebut sebagai Forbidden City – kota terlarang yang tak terjamah dunia luar.

Tibet, tak pernah diakui sebagai negara merdeka, tetapi pernah punya sistem pemerintahan sendiri. Theokrasi, atau pemerintahan agama, membuat rakyat Tibet larut dalam pemujaan tanpa henti. Rakyat tak lagi memikirkan pembangunan material, kesenangan duniawi. Yang semakin besar adalah kuil-kuil dengan patung emas raksasa, istana Potala yang menggurita, serta sekelompok kecil keluarga yang mendominasi pemerintahan seluruh negeri. Sementara rakyat kebanyakan, hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan, namun berbahagia dalam dunianya sendiri.

Tetapi sekarang, jangan lagi mencari pemandangan seperti itu di sini. Di Lhasa modern, uang juga sudah menjadi dewa. Istana Potala, sejak menjadi daya tarik utama turis di Tibet, mematok karcis masuk yang sangat mahal. Seratus Yuan untuk setiap pengunjung China dan orang asing, harus dipesan sehari sebelumnya dengan alasan untuk membatasi jumlah pengunjung maksimal tiga ribu orang per hari.

Istana Potala adalah permata yang tak ternilai. Di dalamnya, harta karun Tibet yang paling berharga tersimpan rapi. Saya yang kemampuan kantongnya sangat terbatas, hanya bisa mengagumi keanggunan istana raksasa itu dari luar saja, di lapangan yang kini meriah oleh panji-panji warna-warni menyambut perayaan empat puluh tahun berdirinya Daerah Otonomi Tibet di bawah kibaran bendera Republik Rakyat China.

Kuil Jokhang, salah satu kuil terpenting dalam pemujaan umat Budha Tibet, kini mematok tiket seharga 70 Yuan. Berdasar informasi yang saya dapat dari para backpacker mbeling yang punya taktik menghindari tiket, waktu terbaik untuk menyelinap ke Jokhang adalah subuh, bergabung dalam aliran ratusan peziarah Tibet.

Hujan rintik-rintik ketika langit masih gelap. Di Lapangan Barkhor, di hadapan kuil Jokhang, sudah ada belasan orang Tibet yang khusyuk beribadah. Mereka melaksanakan peribadatan yang khas – berdiri, bersembah, tengkurap, berdiri lagi, sampai ratusan kali. Rintik hujan dan dingin pagi hari bukan menjadi halangan.

Tiba-tiba, datanglah serombongan turis China, jumlahnya sekitar dua puluhan, dibawa pemandu wisata. Menyaksikan pemandangan yang tidak biasa, mereka langsung mengeluarkan kamera, berjalan dengan anggun di antara orang bersembahyang, menjepretkan blitz tanpa henti di hadapan orang-orang yang merayap, tertawa-tawa dan berkomentar sinis tentang ‘keanehan’ orang Tibet. Unik, antik, etnik, primitif, dan itulah yang menjadi daya tarik. Turisme yang merambah Lhasa bersama modernisasi, menjadikan ritual keagamaan ini hanya sekadar tontonan turis yang ‘mencari misteri atap dunia’.

Sudah menunggu lama di bawah guyuran hujan, Kuil Jokhang tetap tak dibuka untuk umum. Ada kunjungan seorang wanita VIP dari Partai Komunis. Bukan hanya para turis yang kecewa, tetapi peziarah Tibet yang sudah menunggu dari subuh, siap dengan selendang khata, tasbih, roda doa, dan alunan mantra.

Ritual sebenarnya bukan hanya di dalam kuil saja. Dalam tradisi Budha Tibet, mengelilingi tempat-tempat suci juga bagian dari ibadah ziarah. Sekarang Lapangan Barkhor di hadapan Kuil Jokhang, titik awal dari ziarah berkeliling kuil suci, sudah modern. Toko-toko berjajar, menawarkan alat sembahyang, baju, celana jins, sampai VCD. Lintasan kora di jalan-jalan sempit sekeliling Jokhang juga sudah penuh dengan toko, restoran, bar. Negeri misterius di atap dunia kini sudah menjadi tempat turis lainnya. Tetapi modernitas di mana-mana tak menghalangi para peziarah yang khusyuk, berkeliling dengan terseok-seok, terus membaca mantra dan memutar roda doa.

Angka sensus pemerintah tahun 2000, komposisi etnik Tibet di Tibet adalah 92,2 persen. Tetapi sulit sekali mempercayai angka itu, setidaknya di Lhasa di mana restoran orang Han mendominasi. Menurut pengamatan saya, bangsa pendatang sudah hampir separuh jumlah penduduk total. Memang tidak selalu mudah menentukan mana yang pendatang mana yang orang asli karena orang Tibet sekarang juga sudah berbaju modern seperti saudara-saudarinya di Beijing. Makanan Sichuan merajai jalan utama Lhasa, selain juga barisan bar dan kafe yang semakin menarik perhatian turis yang menikmati ‘kehangatan rumah di atap dunia’. Restoran masakan Tibet malah termasuk kategori langka di ibu kota Tibet ini.

Hotel, supermarket, gedung megah Bank of China, mesin ATM, dering telepon genggam, restoran cepat saji, diskotek, warung, kafe, bar, toko suvenir, jalan beraspal, mobil mewah, adalah pemandangan di Lhasa hari ini. Gambar kuno kota Lhasa, di mana puluhan ribu biksu memenuhi jalan sempit kota misterius, sukar sekali dibayangkan sekarang. Biksu tak banyak jumlahnya. Saya melihat satu atau dua yang menyusuri jalan raya. Yang satu asyik berbicara dengan HP, satunya lagi makan sate kambing dari restoran Sichuan dengan lahap.

“Kalau ingin melihat Tibet yang asli, mungkin tahun ini adalah kesempatan terakhir,” kata seorang backpacker asal Israel, “Karena tahun depan, kereta api dari daratan China akan diresmikan. Pendatang dari pedalaman akan lebih membanjir ke sini. Tibet akan menjadi tak beda dengan kota China lainnya.”

Pembangunan memang mengubah negeri eksotik menjadi kota modern biasa, seperti kota-kota lainnya dari abad milenium. Apakah orang Tibet berbahagia dengan kemajuan materialisme yang kini mereka nikmati? Tak mudah mendapat jawab. Di sisi lain, layakkah para pelancong menuntut negeri-negeri lain untuk tetap hidup dalam keterbelakangan, supaya tetap ‘eksotik’ dan ‘misterius’ di ujung bumi yang terpencil, sebagai taman bermain melupakan deraan hidup di dunia modern?

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 27 Agustus 2008

Wanita tua dan VCD. (AGUSTINUS WIBOWO)

Wanita tua dan VCD. (AGUSTINUS WIBOWO)

Beer, whisky, brondy? (AGUSTINUS WIBOWO)

Beer, whisky, brondy? (AGUSTINUS WIBOWO)

Kuil Jokhang. (AGUSTINUS WIBOWO)

Kuil Jokhang. (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

6 Comments on Titik Nol 18: Modernisasi

  1. dua kata : tumpang tindih.

  2. Michael Igarov // September 6, 2016 at 5:42 pm // Reply

    Satu kata : crroooottt…!

  3. tiga kata: konsekuensi dari pembangunan

  4. empat kata: aku ora popo mas

  5. Lima kata: 2018 gw baru baca ini

Leave a comment

Your email address will not be published.


*