Random Thoughts
Gerakan politik di Iran selalu tidak terlepas dari seni. Demikian pula dengan gelombang protes besar-besaran yang mengguncang Iran berbulan-bulan pasca kematian Mahsa Amini, perempuan muda 22 tahun yang meninggal setelah ditangkap polisi moral, gara-gara hijab yang dianggap tidak sesuai aturan. Sebuah lagu dinobatkan sebagai “lagu kebangsaan” para demonstran dalam aksi protes menentang pemerintah. Para demonstran Iran serempak menyanyikan lagu ini, baik di Iran maupun di 200 kota di seluruh penjuru dunia, mulai dari London, Paris, Los Angeles, Toronto, Melbourne, hingga Tokyo. Lagu berjudul Baraye ini diciptakan musisi muda Iran, Shervin Hajipour (25). Dia mengumpulkan cuitan para netizen Iran di Twitter mengenai alasan mereka berdemonstrasi menentang pemerintah. Ini berarti, pencipta lagu ini sebenarnya adalah rakyat Iran sendiri. 28 baris dalam lagu ini semuanya diawali kata “baraye”, yang dalam bahasa Persia berarti “untuk” atau “karena”. Ini adalah 28 alasan mereka melakukan protes, kata-kata sederhana yang menggambarkan depresi, luka, dan kemarahan orang Iran. Hajipour menyanyikan sendiri lagu ini diiringi petikan gitarnya, memejamkan mata dan nada sendu yang mengguncang emosi. Dia mengunggah lagu ini di akun Instagram miliknya, langsung viral dengan 40 juta view. Dua hari kemudian, polisi Iran menangkapnya, dan lagu ini dihapus dari akun media sosialnya. Namun, penangkapan itu justru menjadikan Hajipour [...]
Pengaruh Hindu-Buddha dalam Kehidupan Beragama di Indonesia
Indonesia memang adalah negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Tetapi, Islam baru menyebar luas di Nusantara sekitar lima atau enam abad terakhir, sedangkan selama ribuan tahun sebelumnya, agama yang dominan di kepulauan ini adalah Hinduisme, Buddhisme, dan agama-agama lokal. Karena itu, walaupun lebih dari 80 persen penduduk Indonesia kini beragama Islam dan sejumlah besar lainnya beragama Kristen, pengaruh Hindu-Buddha masih sangat kuat dalam kehidupan keagamaan di negeri ini, sering tanpa disadari sebagian besar orang. Dari sisi linguistik saja, banyak kosakata yang berhubungan dengan agama dalam bahasa Indonesia, sejatinya berasal dari tradisi Hindu-Buddha. Yang pertama adalah kata agama sendiri. Alih-alih kata din yang berasal dari bahasa Arab atau religio dari bahasa Latin, dalam bahasa Indonesia digunakan kata agama yang diserap dari bahasa Sanskerta dari India, negeri asal peradaban Hindu-Buddha. Dalam masyarakat Hindu di India, agama adalah sekumpulan tulisan pasca-Weda yang menjelaskan pengetahuan ritual, filosofi, dan spiritual yang digunakan sebagai pegangan bagi para umat Hindu. Agama berhubungan dengan cara menyembah dewa, cara pembangunan kuil dan patung, cara menyelenggarakan festival dan hari raya. Agama juga berhubungan dengan mantra, yoga, meditasi, doktrin filosofis, dan disiplin mental untuk menjadi manusia yang lebih baik. Kata agama kemudian digunakan pula di Jawa. Ada sebuah naskah [...]
Antara Perempuan, Agama, dan Keberagaman
Mata perempuan itu terpejam dalam hening dan damai. Kakinya bersila dalam posisi lotus, dia duduk bermeditasi di atas stupa. Sikap tangannya membentuk dharmachakra mudra, perlambang kebijaksanaan sebagaimana ditunjukkan Sang Buddha ketika mengajarkan dharma. Tapi yang membuatnya istimewa, kepala perempuan itu dibalut kerudung Islami. Ini adalah patung luar biasa, yang menjadi alasan utama saya mengunjungi Jakarta Biennale, yang digelar di Museum Nasional, Jakarta. Patung dari batu dan resin ini dinamai Sri Naura Paramita, merupakan karya seniman muda Alfiah Rahdini. Kepada saya, Alfi mengatakan bahwa karya ini terinspirasi dari arca Prajnaparamita yang dilihatnya di Candi Gayatri, Tulungagung. Arca ini sering dianggap menggambarkan kecantikan sempurna perempuan Jawa kuno. Arca yang dia saksikan itu sudah kehilangan kepala dan tangannya, namun itu membuat Alfi tersadar, betapa awamnya dia terhadap kesenian Hindu-Buddhis peninggalan Majapahit itu. Juga betapa asingnya dia terhadap budaya dan peradaban luhur leluhurnya sendiri. Sepulang dari perjalanan itu, Alfi kemudian mulai melakukan riset, dan menemukan bahwa pembuatan patung itu didasarkan pada kitab suci Prajnaparamita Sutra, yang mengajarkan “kesempurnaan dalam kebijaksanaan”. Riset itu mengilhaminya membuat patung menyerupai Prajnaparamita versi modern, dengan menggunakan cetakan dirinya sendiri. Dia duduk dalam postur meditasi, mengenakan celana panjang dan hijab, tanpa melepas kacamata yang selalu menemaninya [...]
Jalan Panjang Melatih Kesadaran Pikiran
Saya duduk memejamkan mata, berkonsentrasi mengamati napas. Seekor semut, entah dari mana datangnya, perlahan merayapi kepala saya, lalu turun ke atas daun telinga, dan berbelok ke alis mata. Saya tidak membuka mata sama sekali, tapi saya yakin itu ulah semut. Saya bisa merasakan entakan setiap kaki mungilnya. Rasa gatal merambat, mengikuti jejak semut itu merayapi kulit. Sungguh besar godaan dalam diri saya untuk mengangkat tangan, mengibaskannya untuk mengusir semut itu pergi. Tetapi saya semakin teguh memejamkan mata, berjuang keras untuk tidak menggerakkan tangan atau bagian tubuh mana pun juga. Ini adalah perjuangan biasa dalam bermeditasi. Pagi itu, saya akhirnya berhasil melewati satu jam penuh tanpa bergerak sama sekali. Semut itu adalah guru bagi saya, yang melatih tekad kuat dan kesabaran saya. Tentu pengalaman saya ini tidak ada apa-apanya dibandingkan para biksu Buddhis Theravada di Thailand. Saya dengar mereka lazim bermeditasi di tengah hutan rimba, dan bisa tetap duduk tanpa bereaksi sekalipun badan mereka digerayangi ular atau diendus singa. Tujuan utama meditasi adalah untuk mencapai kebahagiaan. Tapi di mana letak bahagianya duduk diam berjam-jam tanpa bergerak sama sekali? Bukankah ini lebih terlihat seperti penyiksaan diri daripada pencarian kebahagiaan? Meditasi yang saya praktikkan adalah teknik Vipassana, yang dalam bahasa Pali namanya berarti [...]
Resolusi Tahun Baru
Tanpa terasa, kita sudah memasuki 2022. Dua tahun pandemi ini berlangsung sepertinya terlalu cepat, dan jujur saya akui, saya mengalami gegar budaya. Mulai dari paranoia terhadap penyakit mematikan, hingga jaga jarak sosial dan pembatasan pergerakan yang sungguh mengobrak-abrik kewarasan. Dilanjutkan dengan kehidupan yang berpindah ke ranah digital, mulai dari rapat online, webinar, kelas daring, sampai paket wisata virtual, membuat kehidupan di tengah isolasi diri ini justru menjadi sangat sibuk dan melelahkan. Belum lagi derasnya konten digital yang mengisi kebosanan di tengah pandemi. Dengan dalih “meningkatkan imun”, tanpa terasa berjam-jam berlalu begitu saja untuk menonton video-video yang tanpa henti di Youtube, postingan foto Instagram, dan yang lebih adiktif lagi: Tiktok dan Instagam Reels. Tahun 2021 kemarin juga membawa perubahan besar yang memorak-porandakan ritme hidup saya. Demi mencari keamanan finansial, saya mulai belajar untuk berinvestasi saham. Saya menjadi bagian dari “investor angkatan Corona”, mengikuti arus utama generasi milenial yang mencari peruntungan dari perdagangan online di bursa. Setiap hari saya memantengi laporan keuangan, grafik pergerakan harga, dan tabel-tabel transaksi bandar. Isi pikiran saya pun didominasi kegelisahan tentang kapan harus beli atau jual, take profit atau cut loss. Menjelang berakhirnya tahun, saya menyadari betapa waktu terasa terbang begitu cepat, sementara energi setiap hari terus [...]
Tak Ada Hitam Putih di Afghanistan
Harian Kompas, 26 Agustus 2021 Oleh AGUSTINUS WIBOWO ”Di sini semua mahal. Yang murah hanya satu: nyawa manusia.” Begitu seorang warga Afghanistan pernah berkata kepada saya tentang situasi negaranya. Sebagai jurnalis yang pernah bekerja di Afghanistan dari 2007 hingga 2009, saya pernah mengalaminya sendiri. Di Kabul, bom meledak setidaknya sekali dalam dua hari. Orang-orang pun senantiasa dicekam teror berupa hujan roket, perampokan, penculikan, dan pembunuhan. Kenangan itu seperti diputar kembali. Jatuhnya Kabul ke tangan Taliban, 15 Agustus 2021, peristiwa mengejutkan sekaligus menakutkan bagi banyak orang Afghanistan. Ribuan orang, termasuk perempuan dan anak-anak, berbondong menuju bandara Kabul, satu-satunya jalur tersisa untuk melarikan diri. Isak tangis dan teriakan bertalu-talu dari lautan manusia. Mayat bergelimpangan di bandara, mungkin terinjak-injak atau tertembak tentara. Para lelaki berusaha bergelantungan pada badan pesawat militer AS yang hendak lepas landas. Beberapa dari mereka terjatuh dari pesawat yang mengangkasa. Begitu takut dan putus asanya mereka, hingga nekat melakukan apa pun. Apa pun. Beberapa kawan jurnalis di Kabul dan Mazar-i-Sharif mengatakan, mereka beberapa hari ini belum berani ke luar sama sekali. Mereka khawatir anggota Taliban akan melakukan pemeriksaan dari rumah ke rumah, membunuhi siapa pun yang dianggap musuh. Apakah kemenangan Taliban bisa dianggap kemenangan rakyat Afghanistan mengusir penjajah AS? Atau [...]
Cina, China, atau Tiongkok?
Saya dibesarkan untuk membenci kata “Cina”. Orangtua mengajarkan kami untuk menyebut negeri leluhur itu dengan nama terhormat Chung Kuo (Tiongkok). Mereka bahkan tidak segan menampar saya apabila saya sampai berani menyebut kata “Cina” di rumah. Kata “Cina” bagi saya memang membangkitkan trauma. Saat masih kecil dulu, saya sering diolok-olok para bocah di gang belakang, “Cina! Cina sipit! Pulang ke negaramu sana!” Sering pula saya dimintai duit hanya karena saya Cina. Semakin saya beranjak dewasa, sirene alarm dalam otak saya berdering semakin nyaring setiap kali mendengar kata itu diucapkan. Tetapi kemudian, saya menemukan satu keanehan. Sebagai kolektor prangko, saya mendapati semua prangko yang diterbitkan Cina pasca tahun 1992 mencantumkan nama negara dalam bahasa Inggris: CHINA. Saya tidak habis pikir. Kalau nama “Cina” itu benar-benar hina, mengapa mereka yang di sana justru bangga menyebut diri sebagai “China”? Bukankah “Cina” dan “China” itu seharusnya sama saja? Di Indonesia pasca Reformasi 1998, penyebutan nama negara Cina dan orang-orang keturunan Cina menjadi perkara sensitif. Media-media resmi pun tampaknya kebingungan. Ada yang masih tetap memakai “Cina”. Ada yang memakai ejaan bahasa Inggris “China”, yang dibaca dengan pelafalan bahasa Inggris Chai-na. Ada pula yang kukuh menggunakan “Tiongkok” dan “Tionghoa”. Mengapa menyebut nama sebuah negara saja bisa begini [...]
Lockdown ala Wuhan (4): Haruskah Kita Mengikutinya?
Kota Wuhan, episentrum pertama Covid-19, mulai memberlakukan lockdown pada 23 Januari 2020, ketika jumlah kasus positif di kota itu mencapai 495 orang. Tiga minggu pasca diberlakukannya lockdown yang disebut-sebut sebagai yang paling ketat di seluruh dunia itu, wabah Covid-19 di Wuhan mencapai puncak, dan setelah itu, jumlah kasus baru harian berangsur menurun hingga akhirnya menjadi nihil. Setelah dikurung selama 11 minggu, warga Wuhan pun akhirnya dibebaskan dari lockdown. Wuhan kini telah menjadi tempat yang aman ketika dunia justru sedang diterjang badai pandemi. Jadi, haruskah kita meniru lockdown ala Wuhan untuk memenangi perang atas pandemi ini? Lockdown total ala Cina adalah hal yang sangat sulit dibayangkan di negara lain, dan sempat dipandang skeptis oleh banyak pengamat dunia. Alih-alih melakukan lockdown seperti Cina, sejumlah negara Eropa dan Amerika pada mulanya berpandangan bahwa Covid-19 akan berlalu dengan sendirinya ketika masyarakat telah mencapai herd immunity (kekebalan kawanan) secara alami. Biarkan saja penyakit itu menyebar bebas di tengah masyarakat, nanti lama-lama mereka akan kebal sendiri. Ini pada hakikatnya adalah sebuah seleksi alam yang kejam. Masalahnya, dibutuhkan setidaknya setengah dari populasi telah terpapar virus untuk menghasilkan kekebalan kawanan secara alami. Kita tidak tahu berapa lama itu bisa terwujud, namun yang pasti, akan terjadi bencana kemanusiaan yang mengerikan. [...]
Lockdown ala Wuhan (3): Teknologi Pelacakan Modern
Warga Wuhan diwajibkan untuk memindai Kode Kesehatan untuk bisa naik MRT. (Foto: AP) Lockdown tidak mungkin dijalankan terus-terusan. Kehidupan masyarakat yang normal perlahan-lahan harus dipulihkan. Seiring dengan semakin terkendalinya wabah corona di Wuhan dan Provinsi Hubei pasca diberlakukannya lockdown, pemerintah Cina kemudian berusaha menggerakkan warganya untuk kembali bekerja secara normal. Tentu ini sangat berisiko, mengingat pandemi Covid-19 belum sepenuhnya berlalu. Demi mencegah wabah kembali merebak luas, pemerintah Cina telah menerapkan mekanisme pemantauan yang sangat sistematis terhadap pergerakan warganya. Para petugas di dikerahkan di stasiun kereta api, hotel, maupun gerbang kompleks hunian, untuk mencatat data semua orang yang bepergian, mulai dari nama, nomor KTP, nomor telepon, sampai histori perjalanan terkini. Di sejumlah kota, warga bahkan diwajibkan meregistrasi nomor telepon melalui aplikasi sebelum diizinkan menggunakan transportasi publik. Belakangan Cina juga menggunakan inovasi teknologi mutakhir untuk memperkuat kemampuan mereka dalam melacak penyebaran virus. Melalui telepon pintar masing-masing, setiap warga Cina akan mendapatkan “Kode Kesehatan” (健康码) berbentuk kode QR dalam tiga warna. Warna kode ini menunjukkan status kesehatan orang tersebut dan seberapa bebas dia boleh bepergian: Hijau berarti bebas bepergian ke mana pun. Kuning berarti harus tinggal di rumah selama 7 hari. Merah berarti harus karantina 14 [...]
Lockdown ala Wuhan (2): Rumah Sakit Darurat
Gedung olahraga yang disulap menjadi rumah sakit darurat di Wuhan. (Foto: Getty Images) Negara-negara dunia yang sedang menghadapi pandemi corona mengalami permasalahan yang serupa di mana-mana: jumlah pasien tiba-tiba membeludak, rumah sakit kewalahan, sedangkan penularan di kalangan masyarakat terus semakin merajalela, dan angka kematian pun terus menanjak. Wuhan juga menghadapi masalah yang sama, yang membuat kota itu akhirnya terpaksa mengambil langkah lockdown yang sangat ketat sejak 23 Januari 2020. Pada saat itu, rumah sakit yang ada di Wuhan sudah tidak sanggup lagi menangani pasien yang membanjir. Banyak warga yang ketakutan menderita virus corona, berbondong-bondong memeriksakan diri ke rumah sakit, padahal sejumlah besar dari mereka itu sebenarnya tidak apa-apa. Akibatnya pasien yang benar-benar sakit justru tidak bisa mendapatkan penanganan yang memadai. Ketika rumah sakit sudah angkat tangan, orang-orang yang tanpa gejala atau gejalanya ringan akhirnya disuruh pulang untuk karantina mandiri di rumah. Tetapi karantina mandiri itu sangat bermasalah. Pertama-tama, para pasien ini sangat berkemungkinan menularkan penyakitnya pada anggota keluarga. Diperkirakan sekitar 75 hingga 80 persen penularan Covid-19 terjadi di dalam keluarga. Pasien bisa mengalami tekanan psikologis yang besar, karena mereka sadar bahwa penyakit yang mereka derita itu bisa membahayakan nyawa orang-orang tercinta di sekeliling mereka. Pengawasan terhadap karantina mandiri sulit [...]
Lockdown ala Wuhan (1): Mengapa Cina Bisa?
Wuhan sunyi di masa lockdown (Foto:Weibo) Kota Wuhan, episentrum pertama virus corona di Cina, mulai memberlakukan lockdown pada 23 Januari 2020. Pada hari itu, di Wuhan sudah ada 495 orang yang terinfeksi, dan 23 meninggal. Lockdown Wuhan ini menjadi karantina yang paling akbar dan paling ketat sepanjang sejarah modern. Dalam bahasa Cina, lockdown disebut fengcheng (封城), secara harfiah berarti penyegelan atau penutupan kota. Lockdown sendiri ada beberapa level, dan diterapkan secara bertahap. Tahap pertama adalah mengisolasi kota Wuhan. Semua akses jalan keluar-masuk ke kota itu ditutup, termasuk jaringan pesawat terbang, kereta api, dan bus antarkota. Layanan transportasi publik di dalam kota juga dihentikan. Lockdown langsung berlaku dalam beberapa jam setelah diumumkan. Wuhan pun mendadak lengang dan sunyi bak kota mati. Lockdown ini mengurung 11 juta warga Wuhan di dalam kotanya. Pada hari-hari berikutnya, lockdown terus diperluas hingga akhirnya mencakup semua kota di Provinsi Hubei, mengurung 57 juta dalam karantina raksasa. Hari keempat lockdown, 26 Januari, mobil pribadi dilarang turun di jalan. Hanya kendaraan dengan surat izin khusus yang diizinkan beroperasi, seperti kendaraan angkutan barang, kendaraan pengangkut staf, dan sebagainya. Kebetulan pada saat diberlakukannya lockdown itu sudah mendekati masa Tahun Baru Imlek, sehingga sekolah dan universitas sudah libur. Libur sekolah ini [...]
Virus yang Mengikatkan Takdir Kita Semua
Beberapa tahun sebelum Covid-19 menjadi momok yang merajalela di seluruh penjuru dunia seperti sekarang ini, saya sudah pernah mengalami getirnya hidup bersama virus corona. Di musim semi tahun 2003 itu, kota Beijing yang saya tinggali menjadi episentrum wabah penyakit SARS. Ada virus misterius berbentuk seperti mahkota yang konon menyebar di udara, menyebabkan radang paru-paru aneh yang sangat menular dan sangat mematikan. Menghadapi situasi yang tidak biasa ini, pemerintah Beijing menerapkan kebijakan “isolasi kota”. Perpindahan antar-kota dan antar-provinsi dihentikan total, dan para pendatang dari kota lain harus terlebih dahulu dikarantina selama dua minggu. Penduduk juga dilarang meninggalkan kompleks perumahan masing-masing. Sekolah dan universitas ditutup, transportasi publik ditiadakan, kantor dan toko berhenti beroperasi, kendaraan tidak boleh berlalu-lalang di jalanan. Beijing mendadak menjadi kota mati. Hidup dalam karantina selama berminggu-minggu tentu sangat menyiksa, sangat sulit untuk tetap menjaga kewarasan di tengah belenggu yang memenjara kebebasan kita. Namun isolasi yang sangat ketat yang diterapkan oleh pemerintah Cina itu—metode yang kini populer dengan istilah lockdown—terbukti paling efektif untuk menghentikan wabah penyakit baru yang sangat mengerikan itu. Pada musim panas 2003, hanya beberapa bulan sejak merebaknya wabah, pemerintah Cina sudah bisa mengumumkan kemenangan umat manusia atas virus yang menewaskan tujuh ratusan [...]
Melihatnya dari Sisi Berbeda
Agustus 2019, Katedral Norwich menjadi kontroversi di seluruh Inggris. Di ruang altar utama Katedral, mereka memasang mainan perosotan yang disewa dari sebuah sirkus. Norwich adalah kota di Inggris dengan jumlah gereja terbanyak, tetapi sekaligus yang paling ateis. Apa yang menyebabkan orang Inggris enggan ke gereja? Dan apakah masa depan dari gereja?
Menyoal Identitas Indonesia dan Dunia di London Book Fair 2019
Pertanyaan tentang identitas adalah tema yang terus-menerus dibahas belakangan ini di berbagai penjuru dunia, baik dalam konteks politik global maupun di dunia perbukuan. Pada bulan Maret lalu, saat Indonesia menjadi tamu kehormatan (“Market Focus”) dalam pameran buku terbesar kedua di dunia London Book Fair, saya sebagai penulis mendapat kepercayaan untuk menjadi bagian dari delegasi. Saya diberi kesempatan berbicara dalam tiga panel diskusi, dan kebetulan semuanya berhubungan dengan isu identitas. Panel pembuka bagi kehadiran Indonesia dalam ajang London Book Fair tahun ini diselenggarakan pada 11 Maret 2019 di aula British Library, London. Mengangkat tema “17.000 Pulau Imajinasi: Sastra Indonesia Hari Ini”, tiga panelis—yaitu Seno Gumira Ajidarma, Dewi Lestari, dan saya—berbicara tentang perkembangan kesusastraan Indonesia dari perspektif genre dan latar belakang kepenulisan yang berbeda-beda. Menariknya, moderator Louise Doughty membuka diskusi dengan pertanyaan yang kelihatannya cukup mudah, tetapi sebenarnya sangat sulit dijawab: “Bagaimana Anda mengidentifikasikan diri Anda sendiri?” Sebagai keturunan imigran Cina generasi ketiga di Indonesia, pertanyaan “Siapa saya?” adalah pertanyaan yang menghantui saya sejak kecil. Saya dibesarkan dengan dongeng-dongeng eksotik dari negeri leluhur saya, dan keluarga saya selalu mendidik bahwa saya adalah Zhongguo-ren, orang Tiongkok. Tetapi di luar rumah, saya belajar bahwa saya adalah orang Indonesia, [...]
Penulis Bicara Soal Garis Batas
Seperti halnya oksigen dan gravitasi bumi, garis batas tidak terlihat, tetapi ia memengaruhi setiap aspek hidup kita. Mulai dari garis batas fisik sampai ke kewarganegaraan, etnik, agama, bahasa, warna kulit, ideologi… garis batas ada di mana-mana. Garis batas menempatkan orang dalam kotak yang berbeda-beda, dan telah menyebabkan begitu banyak penderitaan sejak awal peradaban kita. Tetapi, apakah kita benar-benar bisa terbebas dari semua garis batas itu dan hidup dalam sebuah dunia yang tanpa batas? Pada ajang literasi internasional tahunan yang di gelar di Ubud, Bali, tahun ini saya diundang untuk berbicara dalam sejumlah sesi yang berhubungan dengan garis batas. Kebetulan, Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2016 ini mengangkat slogan Tat Tvam Asi, yang diterjemahkan sebagai: I am You, You are Me. Ini adalah sebuah kalimat suci dalam bahasa Sanskerta, yang melambangkan tentang Kebenaran Hakiki yang ada di dalam diri setiap manusia. Tetapi kalimat ini juga bisa diartikan sebagai dukungan terhadap keberagaman: bahwa semua manusia, walaupun berbeda-beda, pada hakikatnya adalah satu. Bagi saya pribadi, slogan Tat Tvam Asi beresonansi sangat kuat. Sebagai minoritas, saya dibesarkan dengan konsep garis batas yang terpatri di benak. Perjalanan saya berkeliling Asia dengan menembus berbagai garis batas negeri pun sesungguhnya berawal dari kegelisahan saya akan garis [...]
On Journey and Reconciliation–A Panel with Yu Hua in Beijing International Book Fair
Back in 2011, when the first time I read any of Yu Hua’s work, I would never imagine that one day I would share the same chair with this great man. Yesterday, in Beijing International Book Fair (BIBF)’s Literary Salon, we sit together in front hundreds of audience, discussing about my book, Zero: When the Journey Takes You Home. We shared ideas about the meaning of journey, conflict of identities, search for meaning, and reconciliation. Yu Hua started with a story, quoting a 1001-night story about a boy from Baghdad, who went all the way to Cairo to find a treasure, but then went home to Baghdad to find the real treasure. He mentioned that the boy’s journey is not unlike my journey–that journey is about going out and returning home. We also shared much about Chinese and Indonesian identity. Raised in 1965, when many Chinese-Indonesians were forced to leave and had to return to China because of racial discrimination, he used to hear bad news about Indonesia. The image of Indonesia among Chinese people reach its worst position after the 1998 riots in Jakarta, and it has never fully recovered, until today. In fact, among so many visas in [...]
Perjalanan Kirghiz: Di Manakah Rumah?
Nama dari surga itu tersebar di seluruh Afghanistan. Kau bisa menemukannya di toko, di restoran, di supermarket, di hotel, biro tur, perusahaan, organisasi sosial, dan bahkan di pesawat terbang. Tidak berbeda dengan Shangri-La, Pamir telah menjadi sebuah mitos utopis—sebuah surga pegunungan yang dilimpahi keindahan dan kedamaian abadi, begitu jauh sampai tak seorang pun yakin tempat itu apakah benar ada. Untuk mencapai Pamir, saya pergi ke Koridor Wakhan yang sangat terpencil. Itu adalah sebuah lidah yang cukup kikuk yang seperti ditempelkan secara paksa ke ujung timur-laut Afghanistan. Daerah itu berupa segaris tanah sempit yang memanjang, hanya 11 kilometer pada sisi tersempitnya, membentang 300 kilometer, dijepit oleh Tajikistan di utara, Pakistan di selatan, dan China di timur juah. Koridor Wakhan terbentuk pada abad ke-19 sebagai zona penyangga antara India Inggris dan kekaisaran Rusia. Saya membutuhkan sepuluh hari untuk bepergian dari Kabul, dengan membonceng berbagai kendaraan hingga mencapai ujung terakhir jalan tak beraspal yang rusak parah di sepanjang aliran Amu Darya. Di sini petualangan dimulai. Saya membonceng sebuah karavan yang terdiri dari empat tentara Afghan dan seorang komandan mereka yang hendak berpatroli ke perbatasan. Mereka punya empat kuda, dan dua warga desa disuruh memandu. Jalan setapak hanya selebar 30 sentimeter, tertutup kerikil dan [...]
Terorisme Tidak Punya Agama—Benarkah?
Awal tahun lalu Paris dikejutkan dengan penembakan keji di kantor koran satir Charlie Hebdo, yang sering menerbitkan karikatur yang mengolok-olok Islam (di samping Kristen, Yahudi, dan berbagai kelompok lain di dunia). Pada November tahun yang sama, Jumat tanggal 13, Paris kembali diguncang ledakan bom simultan dan penembakan di sejumlah kafe, restoran, sebuah teater, menewaskan setidaknya 130 orang. Pelakunya adalah para radikal Muslim yang berkaitan dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Kemudian giliran Belgia, minggu lalu mengalami aksi teror paling mengerikan dalam sejarahnya: dua bom meledak di bandara Brussel dan satu bom di stasiun metro, menewaskan setidaknya 38 orang. ISIS juga mengaku bertanggung jawab untuk serangan ini. Berbeda dengan masa dahulu, aksi teror tidak dilakukan oleh orang asing. Para teroris dalam serangan di Paris dan Belgia adalah warga Eropa sendiri, generasi keturunan migran Muslim yang lahir dan besar di Eropa. Itu salah kalian sendiri. Begitu komentar Donald Trump, calon presiden Amerika dari Partai Republik terhadap insiden teror di Brussel. Trump sebelumnya sempat meneriakkan ide “gila” bahwa dia akan melarang semua pengunjung Muslim dari negara-negara Muslim (termasuk Indonesia) masuk ke Amerika Serikat, demi melindungi keamanan AS dan rakyat AS. Mayoritas warga Amerika tidak setuju dengan ide Trump ini, tetapi tidak sedikit [...]
Dari Frankfurt ke Ubud—Jalan Panjang Kebebasan Sastra Indonesia
Hanya beberapa pekan silam, dunia sastra dan perbukuan Indonesia merayakan sebuah momen bersejarah: Indonesia didapuk menjadi tamu kehormatan Frankfurt Book Fair 2015. Ini adalah ajang pameran buku tertua dan terbesar di dunia. Pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Anies Baswedan pada pembukaan pameran itu, 13 Oktober 2015, jelas menyiratkan optimisme atas keberhasilan yang telah dicapai Indonesia, terutama dalam hal demokrasi dan “memanajemen perbedaan”. “Inilah negeri dengan 17.000 pulau, 800 bahasa, 300 tradisi lokal,” kata Anies, “Berabad-abad, melalui perdagangan atau diplomasi, perang atau damai, keanerakagaman itu belajar untuk hidup bersama.” Karena itu, dia mewakili Indonesia “mengajak Eropa dan Dunia ke dalam sebuah percakapan yang lebih luas. Terutama di masa ini, ketika Eropa menemukan apa yang di Indonesia kami sebut sebagai “ke-bhineka-an”, keanekaragaman ekspresi dan cara hidup.” Sementara pada hari yang sama, ribuan kilometer jauhnya di Jakarta, puluhan massa justru menggelar unjuk rasa di depan Kementerian yang dipimpin Anies. Mereka menuding adanya agenda gelap yang dibawa Anies dalam ajang Frankfurt Book Fair, karena delegasi yang dibawa disusupi pembahasan dan pameran peristiwa kasus G30S/PKI 1965. Frankfurt Book Fair adalah ajang bisnis perbukuan terbesar di dunia Leila Chudori bicara di The Blue Sofa Sejumlah penulis dalam rombongan besar delegasi yang dibawa Indonesia ke Frankfurt [...]
From Zero to Frankfurt: The Translating Process of Ground Zero
The journey began when a mother is lying on a hospital bed, dying. The son who has been years living overseas finally returns. Realizing not much time left, the son sits beside her, reads his diary about faraway lands he saw. About their ancestral land of China, about the Himalayas, about the Pakistani desert and the warzone of Afghanistan. Along with his stories, the mother starts to recount her stories that have been buried for long. About her childhood, her love, her awaiting, her struggle, her God, her life and death. Two journeys set in two dimensions of time and place intertwine, and eventually converge. In the final days, the mother and son share a journey of life together. This is the story of my travel-narrative memoir, Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan (lit. Point Zero: The Essence of a Journey), published in Indonesian language by Gramedia Pustaka Utama in 2013. It received quite warm welcome from Indonesian readers. Some months after the launching, Gramedia asked whether I was interested to translate this book into English. At that time Indonesia has been confirmed to be the Guest of Honor in the Frankfurt Book Fair 2015. This is the biggest book exhibition [...]