Recommended

Afghanistan

Selimut Debu 41: Ketika Semua Telah Menjadi Normal

Semua tampak normal di Kandahar (AGUSTINUS WIBOWO) “Di sini semua mahal. Yang murah cuma satu: nyawa manusia.” Kandahar adalah kota terbesar kedua di Afghanistan, telah membayangi imajinasi para musafir sejak ratusan tahun silam. Deskripsi dari kisah-kisah kuno tentang Kandahar berkutat pada gelombang panas yang mematikan, gurun yang kejam, juga tentang keramahtamahan bangsa Pashtun yang tiada bandingannya. Anehnya, deskripsi itu masih tetap valid hingga hari ini, walaupun perang berkepanjangan dan fundamentalisme telah mengubah wajah kota ini. Hidup di Kandahar di tengah puncak dari tren “war on terror” tentu didominasi perhatian pada masalah keamanan. Bom bunuh diri dapat terjadi di mana pun. Juga penembakan di jalanan bisa terjadi secara random, langsung mengirimkan peluru melesat ke sebelah kakimu. Taliban adalah pihak yang selalu dituding berada di belakang semua teror ini, tetapi tidak seorang pun yang tahu pasti siapa dalang sesungguhnya. Politik di Afghanistan sangatlah rumit. Bukan hanya para ekstremis religius yang mengenakan topeng agama pada setiap aksi mereka, Afghanistan juga merupakan medan permainan dan incaran banyak negara yang mencampuri politik dalam negeri mereka. Hidup di Kandahar banyak berubah setelah itu. Sejak akhir 2004, situasi di kota ini memburuk dan hanya memburuk. Banyak penduduk setempat yang bahkan tidak berani pulang ke kampung mereka di [...]

December 23, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 40: Afghan Tourism

Pariwisata ala Afghan (AGUSTINUS WIBOWO) Nama “Afghanistan” dan kata “turisme” sepertinya memang bukan pasangan serasi. Yang satu tentang kemelut perang, yang satu tentang piknik suka-suka. Tapi toh kedua kata itu bertemu di papan gedung tua Afghan Tourism Office (ATO) di pinggiran rongsokan bangkai pesawat di jalan menuju bandara (peringatan seram buat siapa pun yang mau terbang dari bandara ini!). Hasilnya adalah sebuah pengalaman turisme yang khas Afghanistan. Hari kedua mengurus surat di Kementerian Informasi dan Kebudayaan ternyata berlangsung mulus-lus. Wakil Menteri kebetulan ada di kantornya. Dia mewawancaraiku, menanyakan tentang apa yang kulakukan di Kabul, di mana aku tinggal, kemudian menandatangani suratku, dan memintaku pergi langsung ke kantor ATO. Masalahnya, tidak banyak sopir taksi yang sungguh tahu di mana itu kantor dinas pariwisata negeri Afghan. “Memangnya ada kantor seperti itu?” beberapa dari mereka bertanya. “Turis atau teroris?” tanya yang lain. Kedua kata serapan bahasa asing ini memang masih sulit diucapkan oleh lidah Afghan, tapi memang bisa saja turis menyambi jadi teroris, atau teroris menyamar jadi turis. Aku memilih naik kendaraan umum, yang harganya cukup murah, 10 afghani. Bus berhenti tepat di bandara, yang ternyata masih cukup jauh dari kantor ATO. Kantor yang dimaksud adalah bangunan tua, suram, gelap tanpa lampu, bolong-bolong [...]

December 20, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 39: Impian Menuju Wakhan

Awal perjalanan menuju Koridor Wakhan (AGUSTINUS WIBOWO) Live must go on. Perjalanan ini harus dilanjutkan, terlepas dari insiden hilangnya duitku di Bamiyan yang telah cukup untuk memperlambat langkahku dan membuatku membatalkan semua rencana yang pernah kubuat. Berkat membaca buku yang dipinjami Maulana di KBRI, aku jadi ingin menjelajahi Afghanistan, sampai ke sudut-sudut terjauhnya, terutama “lidah panjang” yang menjulur di sudut timur laut Afghanistan, yang memisahkan Pakistan dari Tajikistan. Koridor Wakhan masih merupakan daerah yang liar, tidak tereksplorasi, daerah terpencil di negeri terpencil Afghanistan. Daerah ini juga sensitif, menjadi batas banyak negara. Koridor Wakhan juga terisolasi total dari dunia luar di musim dingin (bahkan di awal musim semi dan akhir musim gugur) karena kondisi alamnya yang ganas, dan bahkan kelihatannya terkunci waktu, terlupakan sejarah. Mungkin udara yang ada di sana masih sama dengan udara ratusan tahun lalu. Tidak ada listrik, bahkan tidak ada generator dan baterai. Apalah artinya listrik bagi kaum penggembala nomaden Mongoloid yang mendiami padang Asia Tengah di abad ke-13? Realita itu masih tetap sama di Koridor Wakhan, hingga hari ini. Aku sudah mengumpulkan sejumlah informasi dari internet mengenai cara pergi ke sana. Pertama-tama yang kubutuhkan adalah selembar surat izin, yang diberikan oleh pejabat di Ishkashim, kota terdekat dari [...]

December 19, 2013 // 2 Comments

Selimut Debu 38: Latif Si Pencuri Ulung

Belajar dari kebijaksanaan keledai (AGUSTINUS WIBOWO) Di tengah padang sunyi, kami meneruskan penantian. Satu mobil lain melintas, dilanjutkan yang lain, dilanjutkan yang lain lagi. Tampaknya sedang ada acara pernikahan di Bamiyan. Tetapi semua penuh diisi penumpang perempuan. Tentu saja mereka tak mungkin mengangkut dokter Kabul yang laki-laki ini. Adat melarang perempuan dan laki-laki yang bukan muhrim untuk duduk bersebelahan. Baru dengan mobil kelima, setelah setengah jam menunggu sang dokter kawan kami akhirnya bisa berangkat balik ke Bamiyan. Dari sini ke Bamiyan butuh waktu satu jam. Pergi pulang paling cepat dua jam. Belum lagi masih harus mencari sopir dan kendaraan, bisa-bisa habis waktu sepanjang hari. Semangatku semakin redup. Aku mengeluarkan buku yang teronggok di dalam tasku. Judulnya Afghan Caravan. Karavan Afghanistan. Negeri ini adalah perlintasan karavan para musafir, melintasi gunung dan padang. Perjalanan adalah jiwa sejarah negeri ini, semua termaktub dalam buku kompilasi berisi kumpulan kisah-kisah legendaris dari Afghanistan, mulai dari dongeng, humor, sampai resep masakan. Satu cerita yang tepat sekali kubaca di tengah kegelisahan ini adalah kumpulan petualangan lucu Latif si Pencuri Ulung. Sungguh bodoh orang yang menangisi kesialan dan tak mau belajar dari pengalaman. Demikian ajaran Latif si Pencuri Ulung yang begitu menohokku saat ini. Seperti halnya kisah-kisah Mullah [...]

December 18, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 37: Kesialan Mendatangkan Kesialan

Meninggalkan Bamiyan dalam kemelut (AGUSTINUS WIBOWO) “Jadi kamu pikir kami ini orang jahat?” Raut muka lelaki Hazara yang menginap di sini tiba-tiba berubah jadi serius. Mata sipitnya memicing. “Ayatullah orang jahat? Aku jahat? Dia jahat? Atau dia jahat?” Ia mengarahkan jari telunjuknya pada semua orang yang duduk di ruangan ini, berurutan dari Ayatullah sampai ke Qurban. Ayatullah dan teman-temannya memulai pagi ini dengan mengolok-olokku, lagi-lagi membuat lelucon bodoh mengenai jijig. Aku sama sekali tidak bernafsu dengan humor porno saat ini. Ayatullah menuang teh hijau ke dalam cawan-cawan, menghirup asap teh yang harum dalam-dalam. Tak-tak-tak-tak. Tangannya terus memutar tasbih. Mereka melanjutkan ritual menertawakan orang Tajik yang bermental pencuri. Aku menyanggah. “Orang Tajik itu tidak jahat. Mereka malah menawariku ongkos pulang.” Aku tidak berniat membandingkan dengan orang-orang Hazara di hadapanku yang tidak berusaha membantu apa-apa tapi sibuk menertawakanku ini. Tapi kalimatku tadi sudah membuat seorang dari mereka terluka, marah. Lelaki yang duduk di samping Ayatullah itu tidak terima, ia menyergapku dengan sederet kalimat pedas bernada rasis. Ayatullah tertawa terkekeh. “Kamu tidak perlu khawatir. Bukankah masih ada seratus dolar di dompetmu?” Aku tidak punya uang sebanyak itu. Hanya ada selembar lima dolar dan beberapa uang receh Afghani. Ongkos paling murah ke Kabul 300 [...]

December 17, 2013 // 0 Comments

Esquire (2013): Di Atap Dunia

1 2 • 1 3 Esquire Gourmet Halaman 19 Di Atap Dunia Kuliner yang amat mengakar budaya >>> Teks & Foto: Agustinus Wibowo “Makanan apa ini?” gerutu seorang tamu saat memandang piring-piring besar yang disajikan para gembala Pamir. Di satu piring, kepala domba utuh dengan mulut seperti mengerang plus bola mata hitam menyembul,menatap ke arah kami, para tamu kehormatan. Tersaji di pinggan sebelahnya, sebongkah gajih seukuran semangka dari pantat domba, empuk bagai agar-agar yang berbalut minyak. Menu istimewa dari padang gembala di ujung terjauh Afghanistan ini direbus tanpa bumbu dan garam, menyisakan rasa dan aroma domba yang paling murni. Kepala domba adalah bagian paling mulia, simbol penghormatan bagi tamu teristimewa. Lemak domba untuk tamu level dua. Potongan daging sebesar lengan manusia itu untuk tetamu biasa. Berulang kali kami memohon pada tuan rumah untuk diperlakukan sebagai tamu biasa, dalam hati sungguh tidak tega melahap kepala domba dan menelan gumpalan lemak itu. Penghuni Pamir adalah bangsa nomaden Kirgiz, mendiami padang rumput di ketinggian 4.500 meter, dikelilingi barisan gunung bertudung salju. Tidak ada musim panas, apalagi pohon, belukar, buah, toko, atau pasar. Bahkan perdagangan masih menggunakan sistem barter dengan mata uang berupa domba. “Domba murahan adalah yang lemaknya sedikit,” kata pepatah bangsa Kirgiz. [...]

December 16, 2013 // 4 Comments

Selimut Debu 36: Kegelapan Sempurna

Andaikan aku punya uang sebanyak ini. (AGUSTINUS WIBOWO) Di tengah kekalutan dan kegelapan sempurna seperti ini, langkahku terhenti oleh tentara yang mencurigaiku sebagai teroris. Keamanan di Bamiyan termasuk sangat bagus, tapi malam-malam begini jalan sunyi senyap. Siapa pula orang yang berkeliaran di jalanan pada saat seperti ini? Malam adalah waktu untuk meringkuk di rumah. Seperti sejak zaman invasi Soviet, jam malam masih berlaku di Bamiyan. Setelah matahari terbenam, jangan berada di mana-mana selain di dalam rumah. Tentara itu, yang kulihat hanya bayang-bayang gelap mengeluarkan suara, mulai menanyaiku ini dan itu. Aku cuma ingin segera pergi dari hadapannya. Aku berada dalam kondisi mental di mana ratusan kata-kata mengalir begitu saja dari mulutku. Semua dalam bahasa Inggris. Tanpa logika. Bahkan aku pun tak tahu bicara apa. ”I have no money… you know, someone stole my money. I don’t know how to survive… I don’t know what to do… I have to return to Kabul, but how can I go there? I… I… You know what you are doing? You just add my problem. I am afraid, I am angry, how can I survive in Afghanistan? Help me… help me… Sir, let me go. I go… I now…” Tentara itu mungkin terkejut mendengar [...]

December 16, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 35: Mendadak Miskin

Mendadak miskin di tempat segersang ini (AGUSTINUS WIBOWO) Aku terpaksa harus meninggalkan Bamiyan tanpa uang sepeser pun. Semula aku sudah bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Di benakku sudah terbayang petualangan dahsyat Afghanistan yang menanti. Danau-danau biru magis laksana kristal di Band-e-Amir. Jalanan berdebu menuju pedalaman Bamiyan. Atau menumpang truk melintasi daerah-daerah peninggalan sejarah dan peradaban kuno. Aku begitu bersemangat. Sampai di titik ini. Ketika sebuah insiden menjungkirbalikkan semua perasaan, menghablurkan semua harapan. Kemarin, tepat sebelum tidur, aku menghitung semua uangku. Aku menaruh uangku bersama paspor di dalam sebuah amplop, kuletakkan dalam saku beritsleting di rompiku. Uang dan paspor itu selalu terbungkus amplop, dan aku punya kebiasaan selalu menghitung uang yang tersisa selang dua hari sekali. Aku menginap di kantor LSM milik Akbar Danish. Sekitar pukul 7 malam, di ruangan ini ada aku bersama Ayatullah, seorang lelaki tua yang menjadi guru agama dan punya program siaran keagamaan di Radio Bamiyan. Seperti halnya diriku, Ayatullah juga tamu yang menginap di kantor ini. Masih ada dua lelaki Hazara lain, dan seorang pembantu lelaki. Aku sedang mendengarkan lagu dangdut dari MP3 ketika berusaha mengeluarkan uang dari amplop untuk dihitung. Yang meloncat pertama adalah paspor. Kemudian aku menunggu keluarnya uang afghani pecahan besar. Kejutan! Tidak ada [...]

December 13, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 34: Para Penjinak Ranjau

Menyisir ladang ranjau secara manual. (AGUSTINUS WIBOWO) Setiap hari mereka bergelut di garis batas antara hidup dan mati. Tapi mereka tetap berusaha menikmati rutinitas berbahaya ini. Wais semula memang tidak mengizinkanku memotret para pembersih ranjau. Tetapi akhirnya dia membolehkan, asalkan para “model” sudah memakai jaket dan helm sesuai yang diwajibkan organisasi. Kalau tidak, pelanggaran keamanan ini bisa diketahui atasan, dan mereka semua akan dapat masalah. Tidak ada yang dapat menjamin pulang dengan selamat kalau mengerjakan pekerjaan ini. Bahkan anjing yang mempunyai penciuman sensitif pun sering kali menjadi korban. Saat menemukan ada logam yang dipendam di lokasi, para anjing seharusnya duduk satu meter jauhnya dari benda yang dicurigai itu. Tapi kenyataannya, cukup banyak anjing yang tergoda untuk menggali “barang menarik” itu. Kejadian berikutnya bisa ditebak: si anjing meledak berkeping-keping ke angkasa, lalu ke tanah (deskripsi yang disebut oleh Jamil dan Sabur sebagai “pemandangan luar biasa” atau “pemandangan cantik”). Jam kerja para penjinak ranjau sebenarnya dipengaruhi oleh cara kerja anjing. Anjing adalah binatang rewel, mereka hanya bekerja pada temperatur tertentu. Para petugas penjinak ranjau harus memulai pekerjaan mereka pagi-pagi sekali, yaitu sekitar setengah enam ketika langit baru saja terang, dan mengakhiri kerja mereka sebelum hari mulai panas, sekitar pukul 11:00. Lain dari [...]

December 12, 2013 // 4 Comments

Selimut Debu 33: Ranjau, Hidup dan Mati

Tim penjinak ranjau menggunakan anjing yang sudah terlatih untuk melacak ranjau. (AGUSTINUS WIBOWO) Sabur ternyata adalah pintu gerbangku untuk mengenal kehidupan para pembersih ranjau. Semula aku kurang bersimpati dengannya, gara-gara kebenciannya terhadap orang-orang Hazara hanya karena mereka Syiah. Sabur juga mencurigakan, karena topik pembicaraannya tidak jauh-jauh dari jijig (yang merupakan tiruan bunyi dari orang berhubungan seksual, kemungkinan dari pengaruh bahasa Rusia). Dia bilang, dia tidak pernah berhubungan seksual dengan bocah lelaki, tapi dia tahu bahwa Vaseline berguna dalam urusan itu. Humor-humor berbau homoseksual sangat populer di kalangan lelaki Afghan, bahkan mereka masih tetap menjentikkan untaian bulir tasbih saat bergurau tentang seks. Sehabis berbanjir peluh dari perjalanan ke Kakrak, Sabur membawaku ke tempat tinggalnya. Semula aku khawatir apabila humor-humor homoseksualnya bukan sekadar humor. Ternyata Sabur tinggal di asrama bersama para pembersih ranjau. Dia adalah sopir untuk organisasi Mine Dog Center (MDC). Sabur mempersilakan aku duduk, membuatkan jus mangga untukku. Bukan dengan mesin, harap dicatat. Dia cukup meremas mangga dengan kedua tangannya sampai buah malang itu melunak. Melihat ekspresi wajahku yang ngeri melihat cairan mangga itu merembes dari kulitnya melewati jari-jari Sabur hingga masuk ke cangkir, Jamil, teman Sabur yang orang Pashtun, menyiapkan segelas susu untukku. “Ya,” katanya, “besok kamu harus datang [...]

December 11, 2013 // 3 Comments

Selimut Debu 32: Legenda Masa Lalu

Ahmad Sabur di Kakrak (AGUSTINUS WIBOWO) Lembah ini bersimbah air mata. Ada sebuah legenda indah namun tragis tentang Bamiyan. Konon, di lembah Bamiyan pernah bertahta raja Jalaluddin. Raja memaksa putrinya menikah dengan seorang pangeran tampan dari Ghazni. Tapi hati sang putri bukanlah pada lelaki itu. Dia tidak rela dipaksa menikah oleh ayahnya. Dalam hatinya tumbuhlah dendam pada sang ayah. Pada saat itu, kabar mengenai keganasan bangsa Mongol sudah tersiar ke negeri-negeri tetangga. Pasukan Jenghis Khan membabi buta menerjang ke negeri-negeri Muslim, menghancurkan semua peradaban, membakar habis kota-kota, memerkosa dan membantai penduduk yang malang. Tidak lama lagi, pasukan Mongol itu akan tiba di negeri Bamiyan. Tebersit dalam benak sang putri, inilah saat  terbaik untuk menghukum ayahnya. Apabila kekuatan seorang wanita tidak sanggup menghukum lelaki jahanam itu, batinnya, bagaimana kalau dengan menggunakan tenaga para lelaki Mongol yang tidak pernah kenal belas kasihan? Hanya dengan kata-kata, sang putri yakin ayahnya akan hancur. Dia membocorkan rahasia benteng kerajaan ayahnya pada pasukan Mongol. Tidak perlu lama, tanpa bertele-tele, pasukan Mongol berhasil menundukkan benteng Jalaluddin berkat informasi rahasia dari sang putri. Jenghiz Khan terkenal sebagai kaisar berhati dingin. Di kebanyakan negeri yang dikalahkannya, semua makhluk dibantai habis. Lolongan ratapan berkumandang dari seluruh penjuru benteng itu. Pria, [...]

December 10, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 31: Perjalanan Hazara

Foto raksasa pahlawan Hazara dalam perang Mujahiddin menghiasi langit Bamiyan. (AGUSTINUS WIBOWO) “Indonesia? Aku tahu Indonesia! Jawa, Bali, Roti!” seru lelaki Hazara di pondok kayu bobrok di pinggir pasar utama Bamiyan ini begitu aku menyebut asal negaraku. Ramazan mengejutkan aku dalam dua hal. Pertama, dia adalah lelaki yang berasal dari pedalaman Afghanistan di tengah pegunungan tinggi yang cukup terpencil. Tidak banyak orang Afghan yang benar-benar tahu apa atau siapa itu Indonesia. Sejumlah orang Afghan yang kutemui malah mengira Indonesia itu adalah kota kecil di dekat London. Atau negara pecahan Uni Soviet. Atau negara mungil lagi miskin di pedalaman Afrika. Kejutan kedua, Ramazan bahkan tahu tentang Roti, sebuah pulau kecil nun jauh di pelosok kepulauan Indonesia, yang tentunya banyak orang Indonesia sendiri pun tidak tahu pasti di mana itu letaknya. Ramazan ternyata bukan cuma tahu tentang Roti. Dia pernah tinggal di sana. Bukan sebagai pengunjung short time sepertiku di Afghanistan sekarang ini, Ramazan tinggal di Roti sampai 14 bulan dari tahun 2001 sampai 2002. Selain Roti, ternyata Ramazan pernah tinggal di Jakarta dan Bali. Ini bukan jalan-jalan piknik suka-suka. Perjalanan Ramazan adalah menembus gunung dan bukit-bukit berdebu, bersembunyi dari terjangan peluru dan kemelut perang, lalu menyelundup dari negeri yang satu ke [...]

December 9, 2013 // 8 Comments

Selimut Debu 30: Universitas Bernama Kedai Teh

Belajar bersama di universitas kehidupan. (AGUSTINUS WIBOWO) Tidak semua hal yang buruk membawa kesialan. Justru karena aku didepak dari Radio Bamiyan tempat Hadi Ghafari itu, aku malah mendapat mendapat kesempatan untuk belajar langsung dari sebuah universitas kehidupan bernama “kedai teh”. Kedai teh, orang Afghan menyebutnya samovar, sedangkan buku panduan menyebutnya sebagai chaikhana (chai=teh, khana=rumah), bukan hanya sekadar tempat makan dan minum. Bagi orang Afghan di daerah pedesaan seperti ini, kedai teh adalah tempat untuk bercengkerama, berbagi cerita, dan mendengar tentang dunia. Para musafir (laki-laki, dan hanya ada laki-laki) bahkan menginap gratis di kedai teh, tidur di atas matras di ruang utama, berjajar-jajar tanpa sekat privasi, dan mensyukuri berkah karena masih ada tudung atap dan kehangatan untuk melewati malam yang dingin. Aku terpesona dengan kedai teh, ketika tiga tahun lalu aku berjumpa musafir Jepang yang sudah lusuh, tidur dari kedai teh satu ke kedai teh lain, berkeliling negeri Afghanistan dengan kemampuan bahasa Farsi yang mengagumkan. Sekarang, sepertinya aku sudah mengikuti jejaknya yang sama persis, tinggal di kedai teh dan mengamati kehidupan Afghanistan yang sesungguhnya. Aktivitas di kedai teh sudah bermula sejak pagi buta, kala orang-orang sudah sibuk mengambil wudu dan menunaikan ibadah. Alunan azan terdengar sayup-sayup, begitu lembut, dinyanyikan merdu dari [...]

December 6, 2013 // 2 Comments

[Audio] UWRF13: Reflections of Afghanistan

Ubud Writers and Readers Festival 2013 Reflections of Afghanistan : Ben Quilty, Agustinus Wibowo & Michael Vatikiotis Forgotten wars & forgotten people. Hear from two individuals who have made the journey to Afghanistan to record the lives of the people there through their images. What does it look like through their eyes? Indus, 15 October 2013   http://www.ubudwritersfestival.com/audio/reflections-of-afghanistan-ben-quilty-agustinus-wibowo-michael-vatikiotis/ Featuring: Ben Quilty Ben Quilty has been widely recognised for his artwork. Quilty’s paintings of his Holden Torana produced a sell-out show in 2002 and since then his work has been seen in many exhibits and art fairs. Some of his work can be seen at the Art Gallery of New South Wales and the Museum of Contemporary Art. Quilty won the Doug Moran Portrait Prize in 2009 for his painting Jimmy Barnes, ‘There but for the Grace of God Go I, no.2′. In the same year Quilty was named runner up in the Archibald Prize for this portrait. He then won the Archibald Prize two years later for his portrait of fellow artist Margaret Olley. Find out more about Ben Quilty   Michael Vatikiotis Michael Vatikiotis is a writer and novelist who has lived in Southeast Asia since 1987. He has [...]

December 5, 2013 // 0 Comments

Selimut Debu 29: Mengapa Harus Sembunyi?

Bamiyan yang sederhana ini sesungguhnya penuh lika-liku. (AGUSTINUS WIBOWO) Pertanyaannya, di mana Hadi Ghafari? Suasana di Radio Bamiyan begitu mencurigakan. Matahari sudah hampir gelap ketika kami sampai di kantor radio. Begitu kami tiba, Irfan si penyiar langsung berusaha mendorongku ke halaman, untuk menghalangiku agar tidak masuk ke kantor. Begitu ramah, berlebihan malah, dia menyambutku dengan kata berbunga-bunga, yang justru membuatku makin curiga. “Kantor dikunci, Hadi sudah berangkat ke Kabul, jadi kamu tidak bisa masuk,” begitu katanya berulang kali. Aku masuk ke ruang siaran radio. Aku mendengar suara siaran berita, dan jelas-jelas itu suara Hadi. Bukankah Hadi sudah ke Kabul? Bagaimana mungkin dia siaran? “Oh, itu rekaman kemarin,” kata Irfan. “Kalau kemarin, bukan berita lagi dong namanya, tapi sejarah,” sanggahku. Irfan manggut-manggut. Sementara Zaffar, bocah belasan tahun yang bekerja di radio, mengeluhkan betapa sulitnya hidup sepeninggal Hadi ke Kabul. Ruangan kantor Hadi ternyata memang tidak dikunci (seperti yang kuduga), tapi komputernya dikunci dengan password, sehingga tidak bisa digunakan. Tanpa ba-bi-bu bertele-tele, Akbar langsung menerjang masuk ke kantor. Dia tidak perlu menghadapi prosesi rumit dengan para bocah ini. Dia tak peduli. Dia bergegas masuk ke ruangan kecil di samping kantor, dan kudengar suara bercakap-cakap yang cukup keras. Suara Hadi! Tiba-tiba, bersama Akbar [...]

December 5, 2013 // 4 Comments

1 10 11 12 13 14 23