Recommended

Afghanistan

Selimut Debu 9: Kalashnikov

Gerbang Khyber yang termasyhur itu (AGUSTINUS WIBOWO) Dari balik jendela taksi ini, aku berusaha mengamati keliaran tribal area. Sekilas mata, semuanya nampak begitu normal dari sini. Pria-pria berjalan hilir mudik di pasar, atau perempuan-perempuan bercadar dan berjubah hitam-hitam yang berjalan cepat-cepat di belakang sang suami. Anak kecil yang menangis minta dibelikan sesuatu, sedangkan sang bunda sama sekali tak menghiraukannya. Semuanya nampak sama seperti kota Pakistan lainnya, atau paling tidak, sama seperti Peshawar tanpa bangunan-bangunan modernnya. Tidak tampak sama sekali kengerian tribal area yang tersohor itu, kengerian tentang tembakan-tembakan berdesingan. Mungkin karena aku hanya seorang musafir, yang hanya melintas beberapa menit dan memandang dari balik jendela. Seorang musafir, yang tidak mampu dan tidak berkesempatan merasakan hembusan nafas dan dengusan hidup mereka. Taksi kuning kami pun melintasi Baab-i-Khyber, sebuah gerbang megah yang dibangun untuk menandai tempat bersejarah ini. Nama Khyber, sejak zaman dahulu sudah menjadi momok bagi semua orang. Sudah tak terhitung berapa banyak pertumpahan darah yang dimulai dari sini. Celah Khyber adalah jalur transportasi dan militer penting yang menghubungkan negeri Barat dengan Asia Selatan. Barisan tentara berbagai bangsa yang menyerang India (termasuk juga Pakistan saat itu) pun melintas dari sini, yang kemudian membawa penderitaan berkepanjangan dan pembantaian atas nama agama. Di [...]

November 7, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 8: Menembus Lubang Singa

Menerjang masuk ke lubang harimau. Entah apa yang menanti di balik sana. (AGUSTINUS WIBOWO) Sinar mentari pagi menyelinap perlahan-lahan dari balik teralis jendela, membangunkanku dari tidurku yang tidak pernah lelap. Semalam suntuk aku tak bisa tidur, memandangi visa Afghanistan yang tertempel di pasporku. Bagaimana ini bisa jadi nyata? Lebih mustahil lagi, hari ini aku akan ke Afghanistan! Kalimat itu selalu menghantui pikiranku sepanjang malam. Nama Afghanistan, dan hanya Afghanistan, yang senantiasa bergema di otakku. Tegang, takut, semangat, antusias,…, semuanya bercampur menjadi satu. Pukul setengah sembilan pagi, aku dan Adam sudah check out dari Peshawar Golden Inn—penginapan yang namanya megah tetapi berupa barisan kamar sempit mirip penjara yang cocok untuk para turis tak berduit seperti kami. Sungguh berat menyiapkan mental menembus gerbang perbatasan yang memisahkan kita dari sebuah dunia lain di sana. Pemilik hotel tersenyum ramah, sembari bertanya, “Sudah siap?” Aku tak bisa menjawab. Dalam hitungan menit, pemilik penginapan sudah membantu kami mencarikan taksi yang akan membawa kami ke perbatasan. Sebagai orang asing, kami tidak diizinkan untuk menggunakan angkutan umum menuju ke Khyber, karena seperti yang selalu dikatakan pemerintah Pakistan, daerah Tribal Area itu ‘teramat sangat berbahaya’. Tawar menawar alot pun sempat terjadi antara supir taksi dan kami, dan akhirnya, “OK! [...]

November 6, 2013 // 2 Comments

Selimut Debu 7: Mengintip Afghanistan

Bersama para bodyguards Afghan di Konsulat Afghan di Pakistan (AGUSTINUS WIBOWO) Peshawar adalah satu-satunya jalan bagiku untuk mewujudkan mimpi menuju negeri bangsa Afghan. Apa pun rintangannya, harus aku hadapi. Tidak ada jalan lain untuk mundur. Kantor konsulat Afghanistan di Peshawar buka hanya setiap hari Selasa dan Kamis, konon merupakan tempat yang paling mudah di seluruh dunia untuk mendapatkan visa Afghanistan. Aku datang pagi-pagi sebelum jam kantor buka. Sudah cukup banyak orang Pakistan yang berbaris, namun petugas yang melihat wajahku yang jelas sebagai orang asing ini menyuruhku langsung masuk tanpa mengantre dan menunggu di ruangan dalam. Kantor ini rasanya begitu personal. Para penjaga yang bertubuh kekar seperti atlet binaraga sedang sibuk menikmati sarapan bersama para staf lain. Mendengar aku berasal dari Indonesia, mereka tersenyum ramah dan berkata, “Indonesia? Good! Good! Indonesia, our friend,” sambil menawarkan berbagai macam makanan yang mereka punya. Kemudian dengan bahasa Inggris yang pas-pasan, bodyguard yang berbadan kekar itu menceritakan betapa indahnya negeri Afghan, betapa ramah dan baiknya penduduknya. Dan mereka juga terbelalak melihat gambar-gambar perempuan Indonesia tak berkerudung yang ada dalam buku wisata tentang Indonesia yang aku bawa. “Astagfirullah….” kata mereka berulang-ulang. Di kantor konsulat Afghan ini aku berkenalan dengan Adam Smith, seorang traveler dari Inggris yang [...]

November 5, 2013 // 6 Comments

Selimut Debu 6: Wild Wild West Peshawar

Seperti kembali ke masa lalu (AGUSTINUS WIBOWO) Dunia barat yang liar. Peshawar, kota berdebu di ujung barat Pakistan adalah gerbang menuju Afghanistan. Atmosfernya, bahayanya, dengusannya, bahkan ketidakberadabannya…. Peshawar terasa begitu liar. Ibukota provinsi North Western Frontier Province (NWFP) ini seakan melemparkan diriku ke zaman puluhan tahun silam. Keledai-keledai mengiring kereta pengangkut barang, menyusuri jalan-jalan sempit di bazaar kota. Wanita-wanita yang juga tidak banyak jumlahnya, berjalan merunduk-runduk sambil menutupkan cadar di wajahnya. Sesekali nampak juga perempuan-perempuan yang berbungkus jubah hitam atau burqa biru dan putih. Burqa adalah pakaian yang menutup sekujur tubuh dari kepala hingga ujung kaki, termasuk kedua mata dan wajah, menyimpan rapat-rapat kecantikan seorang wanita. Hanya dari kisi-kisi kecil di bagian matalah sang perempuan mengintip dunia luar. Ada traveler Hong Kong temanku yang mendeskripsikan burqa seperti “lampion”, para “lampion” itu berjalan mencari arah di tengah keramaian jalanan. Bagiku, burqa terlihat seperti sangkar rapat, terserah engkau mengartikan itu melindungi atau mengurung makhluk yang ada di dalamnya. Pria-pria berjenggot dengan kibaran shalwar qameez yang gagah menguasai seluruh penjuru kota. Para lelaki itu selalu tersenyum ramah dan menyapa dengan pertanyaan yang sama, yang diulang lagi, yang diulang lagi, yang diulang lagi. “Hello, how are you? what’s your good name? Where are [...]

November 4, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 5: Pakistan yang Sesungguhnya

Sambutan hangat orang-orang Pashtun (AGUSTINUS WIBOWO) Meninggalkan gunung-gunung di utara, aku memasuki dunia Pakistan yang sesungguhnya. Padat, ramai, kotor, kumuh, kuno, dan hanya laki-laki. Rawalpindi adalah kota kembar dari ibukota Pakistan, Islamabad. Jarak antara keduanya hanya 15 kilometer, tapi seperti dipisahkan dalam lintasan waktu yang sama sekali berbeda. Islamabad adalah kota baru yang modern, sepi dan lengang, membosankan. Orang bilang, ibukota Pakistan itu letaknya 15 kilometer jauhnya dari Pakistan. Saking tidak alaminya, ibukota mereka sudah seperti bukan negara mereka sendiri. Sedangkan Rawalpindi memang kuno dan padat, kumuh dan ramai, tetapi sungguh hidup. Inilah Pakistan dalam bayanganku, yang kuimpikan selama ini. Para lelaki berjubah panjang berkibar-kibar lalu lalang di sepanjang jalan. Aroma sate kebab yang menyeruak hidung, juga lezatnya teh susu hangat yang dituang ke gelas-gelas. Suara minyak di wajan datar menjerit, menggoreng roti tipis yang renyah lagi panas. Sayang, karena uangku terbatas, aku tidak pernah berkesempatan mencicip rasanya. Setiap hari makananku adalah nasi berminyak polos yang kubeli di pasar, tanpa sayur tanpa daging, dengan air minum gratisan yang gelasnya harus berbagi dengan semua pengunjung pasar. Meninggalkan Northern Areas, kehidupan lengang di Hunza sudah jadi memori. Kita masuk ke Pakistan yang sebenarnya. Di jalanan hanya ada lelaki, dan cuma lelaki. Aku [...]

November 1, 2013 // 19 Comments

Selimut Debu 1: Sebuah Kisah Cinta

Impian tentang lembah hijau di negeri perang (AGUSTINUS WIBOWO) Sayup-sayup dia berbisik memanggil dan menyapa, dengan suara yang lemah, lembut, namun dalam, dari balik cadar birunya. Sebuah suara yang menggetarkan hati siapa pun yang mendengarnya. Aku tahu pasti, ada sepasang mata besar yang indah yang tersembunyi di balik sana, menatap tajam penuh pengharapan. Ada seraut wajah putih berhiaskan dandanan cantik, terselubung dalam cadar biru yang kelam. Dan aku berbisik padanya,“Izinkanlah aku menyingkap cadarmu …” Kisah cintaku dengannya di tengah kengerian perang sebenarnya dimulai dari sebuah mimpi. Tentang sepasang mata. Tentang ekspresi misterius di balik cadar pekat. Tentang suara lembut di lembah hijau yang dikelilingi kegersangan padang membentang. Mimpi itulah yang membawaku berjalan ribuan kilometer, untuk menemukan rahasianya, menikmati kecantikan wajahnya, ikut merasakan air matanya yang mengalir di kedua belah pipinya. Saat itu aku masih seorang pelajar di sebuah universitas ternama di kota Beijing. Kengerian baru melanda seluruh negeri. Penyakit misterius merebak, orang-orang meninggal begitu saja. Setiap hari televisi sibuk menyiarkan, berapa kasus tertular, berapa kasus tewas. Kita bahkan tak berani menghirup udara, karena virus-virus penyebar penyakit berbahaya itu bisa saja tiba-tiba hinggap di tubuh, membunuh tanpa ba-bi-bu. Siapa yang tidak takut mati? Virus yang tak sampai sepersejuta meter itu membuat [...]

October 28, 2013 // 8 Comments

Garis Batas 96: Good Boy

Agustinus Wibowo di Perbatasan Pakistan dan Afghanistan. Tentara perbatasan Uzbekistan memang terkenal sangat merepotkan. Penggeledahan barang-barang bawaan sudah menjadi prosedur wajib. Tetapi masih ada yang lebih melelahkan dan menjengkelkan dari ini. Sudah hampir satu jam saya berdiri di hadapan tentara muda itu, dengan semua barang bawaan saya tertata amburadul di atas meja bea cukai. Kaos dan celana-celana lusuh bertumpuk-tumpuk seperti gombal, membuat dia mirip pedagang keliling baju bekas, dan membuat muka saya merah padam. Puas mengobrak-abrik semua isi tas ransel, tentara itu langsung memerintah saya cepat-cepat mengemas kembali semua barang itu. Seperti diplonco rasanya. Saya disuruh mengikutinya, ke sebuah kamar kecil dan tertutup di pinggir ruangan. Ukurannya cuma 2 x 3 meter, sempit sekali, dengan sebuah kasur keras di sisinya. Begitu saya masuk, dia langsung mengunci pintu. Apa lagi ini? Saya berduaan dengan tentara tinggi dan gagah yang mengunci pintu di sebuah kamar dengan ranjang yang nyaman, dan sekarang dia menyuruh saya menungging. Dia mulai menggerayangi tubuh saya dengan kedua tangannya. Jangan berpikir yang aneh-aneh dulu. Setelah barang bawaan yang diperiksa, kini giliran tubuh saya yang diteliti habis-habisan. Dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Dan ini dalam arti harafiah. Ujung sepatu saya diketok-ketok. Kebetulan sepatu yang saya pakai ini [...]

October 25, 2013 // 11 Comments

DailySylvia (2013): Yang Tersisa dari Ubud Writers & Readers Festival

    http://www.dailysylvia.com/2013/10/23/yang-tersisa-dari-ubud-writers-readers-festival/ Yang Tersisa Dari Ubud Writers & Readers Festival 23 Oct 2013 agustinus wibowo, daniel ziv, goenawan mohamad, laksmi pamuntjak, ubud, uwrf 2013 by oldy Merayakan “Buku, pesta dan cinta” di tanah dewata. Sejak berdomisili di Ubud beberapa tahun terakhir, Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) masuk dalam agenda wajib tahunan dan paling saya nantikan. Tema UWRF 2013 sama dengan UWRF yang digelar pertama kalinya pada 2004 silam, ‘Through Darkness to Light’ (Habis Gelap Terbitlah Terang), sebagai tema perayaan 10 tahun festival yang dilaksanakan pada 11 – 15 Oktober 2013 lalu. Seperti di UWRF sebelumnya, tahun ini saya melompat dari satu sesi ke sesi lain. Mayoritas diskusi panel yang saya hadiri sangat baik – terorganisir, moderator proaktif, panelis yang tampil pun komprehensif dan alur diskusi sejalan dengan tema. Tetapi beberapa sesi diskusi masih perlu perbaikan, baik dari segi tema maupun panelis yang berpartisipasi. Saatnya Wanita Angkat Bicara Sesi ‘Women in Ancient Text’ yang dipimpin Laksmi Pamuntjak menampilkan Helen Creese – profesor bahasa dan penulis, dan I Nyoman Darma Putra – dosen sastra Indonesia di Universitas Udayana, dengan tema perempuan dan perannya dalam sastra lama. Helen memberi rangkuman tentang bagaimana cara perempuan berpikir, merasa dan menempatkan diri di masa [...]

October 23, 2013 // 0 Comments

Speak Without Interruption (2013): Give Afghanistan back to the Afghans

http://www.speakwithoutinterruption.com/site/2013/10/ubud-encounters-give-afghanistan-back-to-the-afghans/ October 20, 2013 Ubud encounters: Give Afghanistan back to the Afghans Posted by Muhammad Cohen in: Art, Asia, Books, China, Faith, Foreign Affairs, Immigration, Islam, Journalism, Military, Religion, Sociology, Terrorism, Travel, War, Women’s Rights, World Issues Australian painter Ben Quilty and Indonesian writer Agustinus Wibowo told the Ubud Writers and Readers Festival in Bali how they each reached Afghanistan by different routes for different reasons. But following their stays, they both also reached the same conclusion: after a dozen years and thousands of casualties, it’s time for Afghanistan to solve its problems without foreign help. Wibowo came to Afghanistan for the first time as a curious and footloose traveler. In Afghanistan as well as Pakistan, Wibowo said that since he came from Indonesia, people assumed he was Muslim. Telling them he was an ethic Chinese raised in the Buddhist tradition would either provoke suspicion or pointless debate, including attempts to convert him. “But I found the perfect answer,” Wibowo revealed. “When people asked if I was Muslim, I’d say, ‘Insy’allah’ [God willing].” Later, Wibowo said he found an even better answer from Afghan imam. “He told me he was a member of the highest religion of all: humanity.” Wibowo [...]

October 20, 2013 // 1 Comment

#1Pic1Day: Pelajar | Student (Little Pamir, Afghanistan, 2008)

Student (Little Pamir, Afghanistan, 2008) A Pamir Kirghiz girl studies Dari language in school tent in Little Pamir, which is the first school ever established in Pamir, in summer 2008. As there is not yet building and facility provided, the school is held in people’s tents and also nomadic following the movement of the nomadic tribe. Pelajar (Pamir Kecil, Afghanistan, 2008) Seorang gadis Kirgiz dari Pamir Afghanistan sedang belajar bahasa Dari di tenda sekolah, yang merupakan sekolah pertama dalam sejarah yang didirikan di Pamir Kecil pada musim panas 2008. Karena ketiadaan bangunan dan fasilitas lainnya, kegiatan belajar diselenggarakan di dalam tenda penduduk, dan juga berpindah-pindah mengikuti gaya hidup suku-suku nomaden.   [...]

October 18, 2013 // 1 Comment

#1Pic1Day: Siapa Itu di Luar? | Who’s Out There? (Little Pamir, Afghanistan, 2008)

Who’s Out There? (Little Pamir, Afghanistan, 2008) Some little kids from a settlement in Little Pamir were curious on the guests coming to their yurt. Raised in such harsh natural environment, Afghan Kyrgyz children have adapted and grabbed certain abilities to live in such environment. For example, they already know how to ride donkeys and horses since a very young age. Siapa Itu di Luar? (Pamir Kecil, Afghanistan, 2008) Beberapa bocah kecil dari permukiman di Pamir Kecil tampak penasaran terhadap para tamu yang berkunjung ke tenda mereka. Anak-anak ini dibesarkan dalam lingkungan alam yang kejam, sehingga telah beradaptasi dan memiliki kemampuan spesial untuk bisa hidup dalam lingkungan seperti itu. Misalnya, mereka sudah bisa mengendarai keledai dan kuda pada usia yang sangat dini. [...]

October 17, 2013 // 4 Comments

#1Pic1Day: Musim Dingin Sepanjang Tahun | Winter throughout the Year (Little Pamir, Afghanistan, 2008)

Winter throughout the Year (Little Pamir, Afghanistan, 2008) A Kyrgyz boy brings his camels to grassland. The Afghan Kirghiz ethnic still maintain the disappearing nomadic way of life at Afghan Pamir, the tip of Afghan Wakhan Corridor bordering with China, Tajikistan, and Pakistan, at elevation more than 4,000 meter. The place, known as bam-e-dunya or Roof of the World, is described by Marco Polo as a place where the snow may come at any time of the year and where birds cannot fly through due to its height. In summer, snowfall is not uncommon. Musim Dingin Sepanjang Tahun (Pamir Kecil, Afghanistan, 2008) Seorang bocah Kirgiz sedang menggiring unta-untanya ke padang. Orang Kirgiz di Afghanistan masih mempertahankan tradisi nomaden, mereka mendiami Pamir Afghan, pada ketinggian 4.000 meter dan terletak di ujung Koridor Wakhan dan berbatasan dan langsung dengan China, Tajikistan, dan Pakistan. Tempat ini dikenal sebagai bam-i-dunyo, atau Atap Dunia, dan dideskripsikan oleh Marco Polo sebagai wilayah di mana salju bisa turun kapan saja dan burung pun tidak bisa terbang di atasnya saking tingginya. Salju di musim panas sama sekali bukan hal yang luar biasa. [...]

October 16, 2013 // 4 Comments

#1Pic1Day: Gadis Ataukah Nyonya, Lihatlah dari Kerudungnya | Available or Not, Just See the Veil (Little Pamir, Afghanistan, 2008)

Available or Not, Just See the Veil (Little Pamir, Afghanistan, 2008) The Afghan Kirghiz ethnic still preserve traditional Kyrgyz costumes, which already disappeared in the Republic of Kyrgyzstan. The veil (jooluk) of Kyrgyz women shows their marital status. Red means unmarried and white means married. Gadis Ataukah Nyonya, Lihatlah dari Kerudungnya (Pamir Kecil, Afghanistan, 2008) Orang-orang Kirgiz yang mendiami Afghanistan masih mempertahankan tradisi berpakaian Kirgiz, yang sekarang sudah sangat langka bahkan di negara Kirgizstan. Kerudung para perempuan disebut sebagai jooluk, juga berfungsi untuk menunjukkan status perkawinan. Kerudung merah berarti gadis, kerudung putih berarti sudah menikah.     [...]

October 15, 2013 // 1 Comment

#1Pic1Day: Permukiman Para Pengelana | The Nomad’s Settlement (Little Pamir, Afghanistan, 2008)

The Nomad’s Settlement (Little Pamir, Afghanistan, 2008) This is a nomadic settlement in Little Pamir. During the summer months, the Kyrgyz live in tents (ooy), while in winter they stay in concrete mud houses. The Kyrgyz still maintain disappearing nomadic way of live, moving into different location of the grassland depending on seasons of the year, on average four different places in a year. Permukiman Para Pengelana (Pamir Kecil, Afghanistan, 2008) Ini adalah sebuah permukiman suku nomaden Kirgiz di Pamir Kecil. Sepanjang musim panas, orang-orang Kirgiz tinggal di dalam tenda (ooy), sementara di musim dingin mereka berpindah ke bangunan padat yang terbuat dari lempung dan kayu. Orang Kirgiz masih mempertahankan gaya hidup nomaden yang sekarang sudah semakin langka. Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain di padang luas, mengikuti pergantian musim. Rata-rata mereka berpindah ke empat lokasi berbeda dalam setahun.   [...]

October 14, 2013 // 4 Comments

Detik (2013): Traveling ke Afghanistan, Seberapa Aman?

Sri Anindiati Nursastri – detikTravel – Jumat, 11/10/2013 07:42 WIB http://travel.detik.com/read/2013/10/11/074232/2384172/1382/1/traveling-ke-afghanistan-seberapa-aman Jakarta – Bagi sebagian traveler, Afghanistan membangkitkan rasa penasaran. Negeri itu seperti dirundung konflik tak berkesudahan. Padahal alamnya sangat memukau, sejarah dan budayanya kaya. Seberapa aman traveling ke Afghanistan? Bicara soal Afghanistan, yang terlintas di benak Anda pastilah Taliban. Banyak orang menyebut Afghanistan sebagai ‘negeri perang’. Konflik dengan Taliban bahkan bahkan masih berlangsung sampai sekarang. Padahal, Afghanistan punya banyak cerita. Budaya dan sejarahnya memukau traveler dari berbagai belahan dunia. Ada Kabul sebagai ibukota, Bamiyan yang dulu punya patung Buddha terbesar sedunia, juga Herat yang beratmosfer Persia. Soal keindahan alam, Afghanistan jagonya. Ada dataran tinggi Pamir tempat para pendaki menikmati panorama ala Puncak Dunia. Ada pula Band-e Amir National Park, yang punya 5 danau berwarna biru bak safir! Agustinus Wibowo adalah salah satu traveler Indonesia yang pernah berkeliling Asia Tengah. Perjalanan itu ditorehkannya lewat buku-buku berjudul Selimut Debu, Garis Batas, dan Titik Nol. Traveling ke Afghanistan, menurut Agustinus, cenderung aman dan tak selalu berisiko. Afghanistan cukup besar sehingga kondisi kemanannya pun bervariasi. “Daerah-daerah di utara cukup aman. Banyak pendaki gunung dan trekker yang terpukau [...]

October 11, 2013 // 1 Comment

#1Pic1Day: Kehidupan Nomaden | Nomadic Life (Little Pamir, Afghanistan, 2008)

Nomadic Life (Little Pamir, Afghanistan, 2008) Kyrgyz men prepare to move. Yurt, or tent, or ooy in their language, is the traditional home of nomadic Kyrgyz and is highly portable. The skeleton is made of wood, bought from neighboring countries or traveling traders. The top of yurt is a circle, where the sunshine passes through. This roof circle hole is now used on the flag and national emblem of the Republic of Kyrgyzstan. Kehidupan Nomaden (Pamir Kecil, Afghanistan, 2008) Orang-orang Kirgiz ini sedang bersiap untuk berpindah. Yurt, tenda atau ooy dalam bahasa mereka, adalah rumah tradisional bangsa nomaden Kirghiz yang sangat portabel. Rangka yurt terbuat dari kayu, dibawa oleh para pedagang yang berkeliling dari negara-negara tetangga. Bagian atas dari yurt adalah sebuah lubang tempat masuknya sinar matahari. Pola desain lubang matahari ini sekarang merupakan bendera dan lambang negara dari Republik Kirgizstan. [...]

October 11, 2013 // 0 Comments

#1Pic1Day: Tidak Ada Burung Terbang | No Birds Fly (Little Pamir, Afghanistan, 2008)

No Birds Fly (Little Pamir, Afghanistan, 2008) Pamir, roof of the world, is a flat stony land in extreme elevation, surrounded by snow-capped mountains. Described by Marco Polo as, “The region is so lofty and cold, that you cannot even see any birds flying”. With snow may come at any time of the year, Pamir is extremely cold even in the middle of summer. Tidak Ada Burung Terbang (Pamir Kecil, Afghanistan, 2008) Pamir, dijuluki juga sebagai Atap Dunia, adalah tanah datar berbatu dan luas di ketinggian ekstrem, dikelilingi pegunungan bertudung salju. Marco Polo mendeskripsikan Pamir sebagai: “daerah yang sangat mulia dan dingin, engkau bahkan tidak bisa melihat satu pun burung yang terbang.” Dengan salju yang bisa datang kapan saja sepanjang tahun, Pamir teramat dingin bahkan di puncak musim [...]

October 10, 2013 // 1 Comment

#1Pic1Day: Perempuan dan Perhiasannya | Glamorous (Little Pamir, Afghanistan, 2008)

  Glamorous (Little Pamir, Afghanistan, 2008) The Kyrgyz women plays important role in preserving Kyrgyz cultures by making traditional dresses and accessories. As there is no shops in Pamir, business have to be done in primitive barter system, so the women has responsibility to make clothes for the families. The materials are brought by traders from lower lands of Afghanistan. Perempuan dan Perhiasannya (Pamir Kecil, Afghanistan, 2008) Perempuan Kirgiz Afghan berperan penting dalam mempertahankan kebudayaan Kirgiz dengan membuat pakaian dan perhiasan tradisional. Di Pamir tidak ada toko sama sekali, dan perdagangan masih dilakukan dengan sistem barter yang masih primitif, sehingga para perempuan punya tanggung jawab untuk membuat pakaian bagi anggota keluarga mereka. Bahan-bahan pakaian ini dibawa ke pegunungan ini oleh para pedagang dari daerah Afghanistan yang lebih [...]

October 9, 2013 // 4 Comments

#1Pic1Day: Perjalanan Mematikan | Perilous Journey (Little Pamir, Afghanistan, 2008)

   Perilous Journey (Little Pamir, Afghanistan, 2008) Pamir was supposed to be winter settlement of the Kyrgyz herdsmen, before the international borderline dividing Afghanistan with British India and Soviet Union was fixed. Once the border was enforced, the Kyrgyz were locked in Pamir for all seasons through the year. The road to Little Pamir, used to pass through some easier paths in today’s Tajikistan, now is 5-day journey on horseback through the perilous steep paths next to high cliffs. Perjalanan Mematikan (Pamir Kecil, Afghanistan, 2008) Pamir seharusnya adalah lokasi permukiman musim dingin dari masyarakat gembala Kirgiz, sebelum ditetapkannya perbatasan internasional yang memisahkan Afghanistan dari British India dan Uni Soviet. Setelah perbatasan diberlakukan, para nomaden Kirgiz terkunci di Pamir untuk keempat musim sepanjang tahun. Jalan menuju Pamir Kecil, dulunya adalah lintasan yang jauh lebih mudah di wilayah yang sekarang Tajikistan, tetapi kini berupa perjalanan mematikan lima hari berkuda melintasi jalan setapak yang curam di pinggir [...]

October 8, 2013 // 6 Comments

#1Pic1Day: Danau Agung | The Great Lake (Little Pamir, Afghanistan, 2008)

The Great Lake (Little Pamir, Afghanistan, 2008) Lake Chaqmaqtin, the second biggest lake in Afghan Pamir after Zor Kol or Lake Victoria, is the water source of Murghab River. The lake is 9 kilometer and 2 kilometer in size. The lake water provides life to several nomadic Kirghiz settlements nearby. The north bank of the water body is the winter settlements while the south bank is for summer period. Behind the snow-capped mountains at the north side is Tajikistan’s Gorno Badakhshan Autonomous Oblast region. Danau Agung (Pamir Kecil, Afghanistan, 2008) Danau Chaqmaqtin, danau terbesar kedua di Pamir Afghan setelah Danau Victoria (Zor Kol), adalah sumber air utama bagi Sungai Murghab yang mengaliri Pamir di sisi Afghanistan maupun Tajikistan. Danau ini panjangnya 9 kilometer dan lebarnya 2 kilometer. Air danau menghidupi sejumlah permukiman nomaden Kirgiz di sekitarnya. Sisi utara danau adalah daerah permukiman di musim dingin, sedangkan sisi selatan danau adalah untuk musim panas. Di belakang pegunungan bertudung salju di sebelah utara danau itu adalah wilayah Tajikistan. [...]

October 7, 2013 // 0 Comments

1 12 13 14 15 16 23