Recommended

Persia

Titik Nol 206: Afganistan, Saya Datang

Khyber Pass yang termashyur (AGUSTINUS WIBOWO) KOMPAS.com — Masuk ke mulut singa. Begitulah yang saya rasakan ketika akhirnya saya melihat papan besar, bertuliskan  “FOREIGNERS ARE NOT ALLOWED BEYOND THIS POINT”. Inilah pintu gerbang Khyber Agency, salah satu dari tribal area yang tersohor itu, di mana orang asing tidak diperbolehkan masuk tanpa surat izin dari Political Agent di Peshawar. Gerbang ini adalah tempat dimulainya daerah tanpa hukum. Yang berlaku selepas ini adalah hukum adat Pashtun. Mata balas mata. Darah balas darah. Dari sekian banyak agency, unit wilayah tribal area di Pakistan, semuanya adalah sumber masalah bagi negara ini. Kata tribal sering diorientasikan dengan keterbelakangan, primitif, dan kekacauan. Dalam kasusnya di Pakistan, memang tidak ada berita bagus tentang tribal area. Taliban, opium, senjata ilegal, hashish, penculikan, perang, bom, tanpa hukum, pemberontakan. Semuanya kumpulan kosa kata berkonotasi negatif. Khyber agency, yang pintu gerbangnya ada di depan mata saya sekarang, adalah urat nadi utama yang menghubungkan Peshawar ke Kabul melintasi Celah Khyber. Nama Khyber sudah membangkitkan nostalgia masa lalu, celah di gunung-gunung yang dilewati para penakluk dunia, mulai dari Iskander Yang Agung, raja-raja Persia, Turki, Mongol, hingga pasukan kolonial Inggris. Sekarang, tempat ini juga sudah mulai dirambah Taliban, didukung Lashkar-i-Islami, pasukan suku setempat, yang [...]

June 6, 2015 // 14 Comments

Titik Nol 125: Urdu

Urdu ditulis dengan huruf Arab bergaya Nastaliq yang cenderung vertikal ke bawah. Perhatikan pulah bentuk hamzah yang berbeda di akhir kata ‘Allah’ (AGUSTINUS WIBOWO) “Itu bahasa Urdu, bukan bahasa Hindi!” kata seorang bocah Pakistan protes. Dia meminta saya menyanyikan lagu bahasa Hindi. Saya menyanyikan sebaris lagu soundtrack film Salman Khan terbaru, Mujhse Shadi Karogi. Si bocah mengira saya berbohong. Ia tak tahu kalau bahasa Urdu dan Hindi hampir sama. Memang tak banyak orang sadar bahwa bahasa Urdu dan Hindi adalah dua bahasa yang serupa, kalau tidak bisa dikatakan sebagai satu bahasa yang sama dengan nama berbeda. Orang biasa melihat hurufnya saja yang berbeda.. Hindi ditulis dengan huruf Sansekerta Devnagari, sedangkan Urdu ditulis dengan huruf Arab-Persia dengan gaya Nastaliq yang cenderung vertikal ke bawah. Tetapi huruf dan bahasa adalah hal yang berbeda. Kenyataannya, kita tidak mudah membedakan seseorang bicara bahasa Urdu atau bahasa Hindi. Kedekatannya melebihi kemiripan bahasa Indonesia dengan Malaysia yang perbedaan aksen dan pelafalannya sangat kentara. Yang membedakan tuturan Urdu dan Hindi adalah pilihan kosa katanya. Untuk kata-kata tertentu, bahasa Hindi lebih memilih kata dari Sansekerta, sedangkan Urdu kaya akan kosa kata Arab dan Persia. Bukan hanya kita yang awam, bahkan orang Pakistan dan India pun banyak yang tak [...]

February 13, 2015 // 12 Comments

Garis Batas 61: Pancaran Sinar Lazuardi

Reruntuhan Masjid Bibi Khanym (AGUSTINUS WIBOWO) Ratusan tahun lalu, kota ini pernah menjadi pusat dunia. Di sinilah segala macam bangunan raksasa, mercu suar peradaban dunia, berdiri dengan segala keanggunannya. Puing-puing reruntuhan Masjid Bibi Khanym, yang pada zamannya pernah menjadi bangunan tertinggi di dunia, dibangun oleh sang Raja Amir Timur sebagai lambang cintanya untuk permaisuri tersayang dari negeri Tiongkok, masih menggambarkan kebesaran dan kejayaan negeri ini. Belum lagi barisan kuburan indah di kota makam bernama Shakhr-i-Zinda, yang diperuntukkan bagi Sang Raja Hidup yang membawa cahaya Islam ke tengah padang Asia Tengah. Bait-bait puisi mengalir bak air bah, di bawah kegagahan gedung-gedung kuno. Bintang, planet, galaksi ditemukan dari teropong panjang milik Ulughbek. Barisan karavan para saudagar tak pernah berhenti singgah di kota yang semakin hiruk pikuk oleh berbagai aktivitas perdagangan. Sinar lazuardi tak pernah berhenti memancar dari keagungan Samarkand. Samarkand memang tak pernah mati. Samarkand sekarang adalah ibu kota Samarkand Viloyati atau Provinsi Samarkand, kota terbesar kedua di Uzbekistan dengan jumlah penduduk hampir setengah juta jiwa. Musim panasnya menyengat, musim dinginnya bermandi salju. Tetapi nama Samarkand, yang senantiasa hidup dalam angan mimpi dan fantasi, adalah sebuah Samarkand yang dipenuhi alunan musik padang pasir, membahana memuja kemajuan peradaban. Zaman terus berputar. Gedung-gedung raksasa [...]

September 6, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 58: Orang Tajik dari Bukhara

Gadis penenun dari Bukhara. (AGUSTINUS WIBOWO)) Masih ingat Dushanbe, ibu kota Tajikistan, yang berkilau di bawah kebesaran patung Ismail Somoni di tengah Jalan Rudaki? Di sini, di Bukhara, ada makamnya Ismail Samani, atau Somoni menurut ejaan Tajikistan. Orang-orang Bukhara pun bicara Bahasa Tajik. Tetapi yang berkibar di sini adalah bendera Uzbekistan. Di antara kakak-beradik Stan, Uzbekistan dan Tajikistan adalah yang paling dekat kekerabatannya secara kultural dan historis. Susah membedakan mana yang murni kultur Uzbek, mana yang eksklusif punya Tajik. Pria-prianya memakai jubah chapan dan topi doppi yang sama. Perempuannya juga sama-sama suka pakai daster ke mana-mana di siang hari bolong. Baik orang Uzbek maupun Tajik sama-sama mendecakkan lidah di gigi belakang sebagai pengganti kata ‘tidak’. Adat pernikahan, perkabungan, arsitektur rumah, tata krama, semuanya mirip. Bangsa Uzbek dan Tajik sudah lama hidup menetap, memeluk Islam, dan saling berinteraksi satu sama lain selama berabad-abad. Perkawinan antar suku pun sudah berlangsung sejak zaman nenek moyang mereka. Perbedaan yang paling mencolok antara orang Uzbek dan Tajik adalah bahasa. Bahasa Uzbek masih sekeluarga dengan Bahasa Turki, sedangkan Tajik sekeluarga dengan Bahasa Persia di Iran. Raut wajah pun kalau diperhatikan betul-betul, memang sedikit berbeda. Orang Uzbek ada kesan-kesan Mongoloidnya, dengan mata yang agak lebih sipit. Nenek [...]

September 3, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 56: Permata Islami

Bukhara, permata Islami (AGUSTINUS WIBOWO) O Bokhara! Engkau menghias Langit, Ialah Bulan yang cemerlang, O Langit yang perkasa, memeluk BulanMu dengan riang  Demikian Abu Abdullah Rudaki, sang pujangga Persia, menggoreskan bait syahdu tentang keagungan kota suci Bukhara, lebih dari seribu tahun silam. Keagungan kota suci Bukhara terpancar dari Masjid Kalon yang berdiri megah mendominasi pemandangan langit kota kuno ini. Kalon, dalam bahasa Tajik, berarti besar, secara harafiah mendeskripsikan kebesaran tempat suci ini. Takzim menyelimuti sanubari siapa pun yang berziarah ke Bukhara, kota yang paling mulia di seluruh penjuru dataran Asia Tengah. Pintu gerbang Masjid Kalon membentang tinggi, berhadap-hadapan dengan Madrasah Mir-e-Arab, seperti jiplakan cermin tembus pandang. Gerbang utama, berbentuk kotak, bertabur mozaik dekorasi yang dibuat dengan ketelitian tingkat tinggi, bertahtakan huruf-huruf Arab, dan asma Allah dan Muhammad yang disamarkan dalam ornamen-ornamen yang menyelimuti seluruh dinding. Warnanya coklat, menyiratkan kejayaan masa lalu, dan berkilauan diterpa mentari senja. Menara Kalon, hampir 1000 tahun usianya, menjulang setinggi 47 meter, berselimutkan ukir-ukiran dan detail yang indah. Bentuknya sedikit mengerucut, dan dari puncaknya kita bisa melihat keindahan kota kuno Bukhara. Sayangnya, menara ini sementara tidak boleh dinaiki, gara-gara beberapa bulan yang lalu ada turis bule yang terpeleset dari atas. Keindahan Menara Kalon bahkan menggugah hati [...]

August 30, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 55: Dua Bait

Tukang sepatu dari Bukhara (AGUSTINUS WIBOWO)             “Lihat, ini Bukhara kita,” kata Suhrat penuh bangga, ketika kami melintasi Masjid Kalon subuh-subuh. Gelap masih membungkus bumi. Masjid kuno berhadapan-hadapan dengan madrasah besar yang tidak kalah uzur sejarahnya. Sunyi, namun tak bisu. Ini bukan kali pertama saya datang ke sini, tetapi tetap saja saya terpekur di bawah keagungan gedung-gedung tua yang menyinarkan keluhuran peradaban Islam dan Persia. Bulan begitu bundar, membilas menara masjid yang tinggi menjulang. Siapa yang tidak tunduk di bawah keagungan Buxoro-i-Sharif, kota Bukhara yang suci. Sudah beberapa hari ini saya menginap di rumah Suhrat, seorang pemuda Tajik dua puluhan tahun dari Bukhara. Rumahnya tepat di tengah kota tua Bukhara, dikelilingi bangunan-bangunan kuno yang semuanya berwarna coklat. Bukhara laksana mesin waktu raksasa, melemparkan semua orang ke sebuah masa kejayaan peradaban Asia Tengah. Shokir, ayah Suhrat, adalah penjual sepatu. Bukan sembarang sepatu, tetapi sepatu tradisional dari kulit, berujung lancip dan berhias sulam-sulaman indah. “Bukhara adalah kota kuno, kota budaya, kota peradaban,” kata Shokir dalam bahasa Tajik, “ini adalah kotanya para seniman, di mana seni menjadi nafas dan detak jantung kehidupan.” Shokir berusia empat puluhan. Garis wajahnya sangat keras, khas orang Tajik. Hidungnya mancung, matanya besar, dan alis matanya tebal [...]

August 29, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 25: Kota Kuno

Khana Ay (AGUSTINUS WIBOWO) Saya merasa begitu dimanjakan di Osh. Setelah melewati susahnya kehidupan di GBAO, berhari-hari menunggu kendaraan melintas di bawah terpaan angin dingin, menahan lapar dan dahaga di tempat di mana makanan begitu berharga, kini saya berada di Osh. Kota ini benar-benar surga bagi orang yang gila makan. Dalam beberapa hari ini tidak banyak yang saya lakukan. Pagi ke warung laghman milik Fakhriddin. Selepas itu kembali ke guesthouse menghafalkan kosa kata dan grammar bahasa Rusia. Siangnya kembali makan laghman, dua mangkok. Sorenya berselancar di internet, membaca buku, dan menghafalkan kosa kata lagi. Malam laghman lagi, ditambah mantu. Dalam tiga hari saja saya bertambah gembul. Sebenarnya ini bukan kali pertama saya datang ke Osh. Musim panas 2004 saya sudah pernah ke sini. Osh, waktu itu, adalah kota bekas Uni Soviet pertama yang saya kunjungi. Memori saya yang paling nyata mengenang Osh sebagai barisan gedung-gedung apartememen berarsitektur khas Rusia – bangunan kotak-kotak seragam yang membosankan, berjajar di pinggir jalan beraspal yang naik turun menyusuri bukit. Ketika kota-kota lain begitu menggebu melepaskan atribut Rusia, Osh masih memelihara patung Lenin yang melambai penuh semangat di pinggir jalan utama yang sepi. Ketika Jalan Lenin di kota-kota lain sudah diganti namanya dengan pahlawan-pahlawan nasional Asia [...]

July 18, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 13: Negeri Para Penganggur

Jalanan Vrang yang lengang, di mana mayoritas penduduknya adalah pengangguran. (Agustinus Wibowo) Berjalan-jalan di Tajikistan memang tidak mudah. Angkutan umum sangkat jarang, karena harga BBM sudah tidak terjangkau lagi oleh penduduk. Di sini hukumnya, semakin tinggi tempatnya, semakin mahal harga bensinnya. Tidak ada yang tahu kapan angkutan akan lewat. Sehari penuh mungkin hanya dua saja yang melintasi desa ini. Itu pun biasanya sudah penuh sesak. Hari ini saya berencana pergi ke desa Vrang, 5 kilometer jauhnya dari Tughoz. Tetapi sudah tiga jam lebih menunggu, tidak ada juga yang lewat. Sambil menunggu, saya mengunjungi rumah sakit di desa itu. Dokter Akhmed yang bekerja sebagai dokter kepala mempersilakan saya masuk. Bahkan desa terpencil seperti ini punya rumah sakit yang bagus. Infrastruktur di Tajikistan memang lebih bagus daripada di Indonesia. Tetapi gaji dokter Akhmed hanya 50 Somoni saja, sekitar 15 dolar, per bulan. Di Jakarta pengemis pun pendapatannya lebih besar dari ini. Dengan uang segitu di Tajikistan memang tidak akan membawanya ke mana-mana. Tetapi ia bangga dengan pekerjaannya, yang jauh lebih terhormat daripada mengemis. Dokter Akhmed bahkan menjerang teh untuk saya, tetapi belum sempat saya minum, saya sudah harus melompat ke angkutan desa yang baru saja melintas. Vrang hanya 5 kilometer saja, tetapi [...]

June 6, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 10: Selamat Datang di Rumah Pamiri

Seorang bocah Tajik di Istaravshan di dalam musholla. (AGUSTINUS WIBOWO) Muhammad Bodurbekov, penumpang satu mobil dari Khorog, membawa saya ke rumahnya di Ishkashim. Rumah Muhammad adalah rumah tradisional Pamiri, dalam bahasa setempat disebut Chid. Karakteristik utamanya adalah adanya lima pilar penyangga ruangan, masing-masing melambangkan Muhammad, Ali, Bibi Fatima, Hassan dan Hussain. Angka lima melambangkan jumlah rukun Islam. Bentuk rumah seperti ini sama dengan rumah-rumah orang Ismaili di Pakistan Utara dan Afghanistan. Rumah adat Pamir sebenarnya sudah ada jauh sebelum datangnya Islam. Simbol-simbol Islam menggantikan simbol-simbol agama kuno Zoroastrian (Zardusht), di mana kelima pilar melambangkan dewa-dewa Surush, Mehr, Anahita, Zamyod, dan Ozar. Karakter lain rumah tradisional Pamir adalah adanya lubang jendela di atap, tempat menyeruaknya sinar matahari menyinari seluruh penjuru ruangan. Jendela ini bersudut empat, melambangkan empat elemen dasar: api, udara, bumi, dan air. Dibandingkan rumah-rumah orang Tajik Ismaili di Pakistan dan Afghanistan, memang rumah di Tajikistan ini jauh lebih modern. Lubang di tengah ruangan sudah tidak lagi digunakan untuk memasak, tetapi lebih sebagai dekorasi saja. Dindingnya dicat rapi, dihiasi dengan karpet-karpet indah, poster, dan foto keluarga. Lantainya dari kayu, dipelitur mengkilap. Di setiap ruangan selalu dipasang foto Aga Khan, pemimpin spiritual Ismaili yang didewakan sebagai penyelamat hidup di GBAO. Ada [...]

June 6, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 4: Sejarah Ribuan Tahun

PUNCAK AINY – Para pekerja di Puncak Ainy membersihkan es yang menutupi jalan. (AGUSTINUS WIBOWO) Di antara semua negara Asia Tengah, bisa dibilang Tajikistan adalah negara yang paling artifisial pembentukannya. Negara ini dipisahkan dari Uzbekistan tahun 1929. Tajikistan dilahirkan dan didefinisikan. Sulit memisahkan antara orang Tajik dan Uzbek. Walaupun secara linguistik, orang Tajik bicara bahasa Persia dan orang Uzbek bicara rumpun bahasa Turki, namun secara kultural kedua etnis ini sudah saling membaur dan mempengaruhi sejak berabad-abad dalam khasanah sejarah Asia Tengah. Bahasa Persia pada masa kejayaan Jalan Sutra adalah bahasa pemerintahan. Raja dan petinggi negara semua berbicara bahasa Persia, yang kemudian disebut bahasa Tajik. Raja Turki (Uzbek) pun berbahasa Tajik. Kota Samarkand dan Bukhara yang berkilauan dalam sejarah dunia mayoritas didiami oleh orang-orang yang berbahasa Tajik. Tetapi kedua kota bersejarah ini bukannya masuk wilayah Tajikistan malah menjadi kebanggaan nasional Uzbekistan. Uzbekistan berpendapat bahwa penduduk Samarkand dan Bukhara sebenarnya secara genetis adalah orang Uzbek, hanya saja berbahasa Tajik. Tajikistan beranggapan bahwa Uzbekistan telah merampas warisan budaya mereka. Apa yang harus terus-menerus diperdebatkan, manakala definisi ‘Uzbek’ dan ‘Tajik’ adalah rekaan dan ciptaan ahli etnografis Soviet dari Moskwa? Semua negara ‘Stan’ satu-persatu bermunculan karena Soviet ingin memecah [...]

June 6, 2013 // 4 Comments

Garis Batas 2: Selamat Datang di Tajikistan

Perempuan Tajikistan di dalam bus, bebas bercampur dengan penumpang pria. Sebuah kontras dibandingkan Afghanistan di seberang sungai yang sangat konservatif (AGUSTINUS WIBOWO) Kota terakhir Afghanistan adalah Shir Khan Bandar, di tepian sungai lebar bernama Amu Darya. Sungai ini ditetapkan sebagai batas antara Afghanistan dengan Kekaisaran Rusia pada akhir abad ke-19. Sekarang menjadi batas negara Afghanistan dengan Tajikistan, Uzbekistan, dan Turkmenistan. Bandar dalam bahasa Persia artinya pelabuhan. Tetapi jangan bayangkan Shir Khan Bandar sebagai kota pelabuhan yang sibuk dengan berbagai macam aktivitas perdagangan. Yang ada hanya gedung-gedung bolong seperti rumah hantu. Gedung itu ternyata asrama tentara perbatasan Afghanistan. Debu menyelimuti jalanan. Ada barisan reruntuhan sejumlah rumah di tengah padang pasir luas. Ada sekolah yang tak berdaun pintu, tak berkaca jendela, dan tak beratap. Anak-anak belajar dengan bersila di atas lantai dingin. Di Afghanistan dunia adalah milik laki-laki. Sama sekali tak nampak perempuan di jalan, kecuali dua sosok tubuh dibalut burqa biru, dari ujung mata sampai ujung kaki. Saya menghela napas lega. Di seberang sana Tajikistan sudah tampak di pelupuk mata. Di tengah bulan Ramadan ini, keamanan di Kabul justru semakin gawat. Bulan Ramadan malah jadi musim bom, karena Taliban mendorong pengikutnya untuk ‘berjihad’ di bulan suci. Pernah suatu kali bom meledak [...]

June 5, 2013 // 3 Comments

U-Mag (2008): Tulip Merah di Hari Baru

June 2008 U-Mag Travel TULIP MERAH DI HARI BARU Teks dan Foto: Agustinus Wibowo “Biya ke berim ba Mazar…. Mulla Muhammad jan,” lagu rakyat Afghan itu mendayu perlahan-lahan, mengajak semua orang pergi ke kota suci Mazar-e-Sharif. Di sana ada tulip merah merekah, makam suci bertasbih mukjizat, ada semangat Afghan yang menggelora. Di sana ada Singa Allah, raja umat manusia. Di sana, kita menyambut datangnya Hari Baru ketika salju mencair, angin dingin mereda, dan padang rumput menghijau… Naw Ruz Inilah Afghanistan, negeri yang tersembunyi di alam mimpi. Namanya lebih kerap menyiratkan kekerasan, perang, dan maut. Tetapi di sinilah sesungguhnya peradaban mulai berayun. Kota-kota kuno tegak, kejayaan masa lalu berpendar, kehidupan spiritual berbaur dengan adat dan embusan nafas penduduk. Zaman berganti, Afghanistan tetap hidup dalam waktunya sendiri. Di Afghanistan, pengetahuan tentang gerak perputaran bumi dan matahari tumbuh sejak jauh di masa lampau. Ketika matahari berada di garis balik 22,5 derajad lintang utara, zemestan – musim dingin – berakhir. Musim semi datang. Bunga merah bermekaran. Itulah Naw Ruz – Hari Baru. Perayaan Naw Ruz sudah ada sejak zaman Zarathushtra, ketika Dewa Api masih dipuja, jauh sebelum datangnya agama Nasrani dan Islam. Sukacita Naw Ruz dinikmati di seluruh penjuru negeri saat peradaban Persia melintasi [...]

June 18, 2008 // 5 Comments

Mazar-i-Sharif – Perayaan di Makam Suci

The holy flag in the holy shrine Perayaan Naoruz pun dimulai. Pukul 6 pagi, barisan orang sudah mengular di depan keempat pintu gerbang menuju Rawza Sharif, makam suci Hazrat Ali. Bangunan ini megah berdiri dengan kubah-kubahnya yang bak fantasi negeri seribu satu malam. Dindingnya berukir mozaik indah. Orang asing biasa menyebutnya sebagai Blue Mosque, walaupun gedung ini tidak biru dan sama sekali bukan masjid. Mazar, artinya kuburan. Sharif berarti yang agung. Mazar Sharif menjadi ternama karena dipercaya jenazah Hazrat Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad, beristirahat di kota ini. Umat Sunni menganggap Ali sebagai khalifah keempat sedangkan Syiah menganggapnya sebagai Imam pertama. Di kalangan umat Syiah sendiri sebagaian besar menganggap tempat peristirahatan Ali (A.S) ada di Najaf, Iraq. Tetapi di Asia Tengah ada Mazar Sharif dan Shakhimardan (Uzbekistan) yang punya klaim yang sama. Bangunan megah Rawza terletak di tengah taman. Bangunan ini dibangun pada abad ke-13. Berbagai kesaksian mengenai kesucian tempat ini selalu menghiasi buah bibir orang Afghan. Makam suci Hazrat Ali dipenuhi oleh ribuan merpati putih. Konon merpati hitam yang datang akan dengan sendirinya berubah menjadi putih dalam 40 hari. Demikian pula ribuan orang yang datang ke Rawza di hari Naoruz ini. Semuanya menantikan mukjizat dari [...]

March 20, 2008 // 1 Comment

Mazar-i-Sharif – Malam Naoruz

Busy Mazar street and business before the great holy day Proses mengurus izin liputan Naoruz memang ribet. Saya mesti bolak balik ke kantor urusan kebudayaan, minta surat sana-sini, ketemu pejabat ini itu. Akhirnya kami baru sampai pada tahap akhir: penitipan kamera. “Kawanku,” kata bapak tua yang bertugas di kantor itu, “jangan lupa nanti kirim hadiah padaku ya.” Bapak itu berbicara bahasa Rusia. Entah mengapa di sini banyak sekali orang yang lebih bangga berbahasa Rusia dengan orang asing. Si bapak, walaupun baru ketemu pertama kali, sudah minta saya mencatat nomor telepon dan alamat di Indonesia. Mau kirim surat katanya. Kamera, lensa, batera, memory card kepunyaan saya, ditambah mikrofon dan kaset perekam milik Zabiullah, semuanya kami titipkan di kantor ini. Sudah ada antrean panjang jurnalis dan kameraman Afghan dan mancanegara. Petugas yang menerima pentitipan barang-barang berharga ini tampak begitu serabutan, bahkan untuk mencatat pun malas sekali. “Jangan kuatir,” katanya, “tidak akan ada yang rusak. Serahkan saja pada kami.” Bapak yang tadi minta kiriman hadiah itu juga meyakinkan saya, “besok pagi, jam 6 pagi, kamu tinggal datang ke Makam Hazrat Ali untuk mengambil barang-barang ini.” Kami cuma diberi secarik tanda terima sederhana, lebih kumal daripada karcis bus, tanpa kartu pengenal apa pun. “Ini [...]

March 19, 2008 // 0 Comments

Mazar-i-Sharif – Orang Pashtun

Pashtun guys having fun in Mazar Kantor Pajhwok Afghan News dipenuhi orang Pashtun. Selain Zabiullah Ehsas dan adiknya yang tinggal di sini, hari ini mereka kedatangan serombonan tamu dari Kabul. Sebagian dari tamu ini saya kenal sebelumnya, karena kami pernah bekerja di kantor yang sama di ibu kota. Suasana lantai atas hotel ini semakin ramai oleh kedatangan tamu-tamu ini. Dalam sekejap, saya menjadi sangat kikuk. “Jangan sekali-sekali kau bicara bahasa Persia di sini,” kata Israr, seorang pemuda Pashtun dari Kunar yang pernah memperoleh gelar juara dalam lomba programing internasional, memperingatkan dengan tegas, “di sini cuma boleh ada bahasa Pashtu!” “Orang Tajik itu brengsek,” kata yang lain, “mereka sama sekali tidak taat dan banyak melakukan dosa. Bahasa mereka sama sekali tidak terhormat.” Saya merasa tidak enak dengan Naqeeb yang mengantar saya ke sini, karena Naqeeb adalah orang Tajik. Tetapi Naqeeb bisa berbahasa Pashtu dan para pemuda Pashtun ini sama sekali tidak tahu ke-Tajik-an Naqeeb. Primordialisme etnik adalah fenomena yang sangat kuat di Afghanistan. Semua suku punya kebanggaan kesukuan yang luar biasa, jauh melebihi segala-galanya. Identitas Islam tidak cukup kuat untuk mengikat semua suku ini bersatu. Dalam sejarah Afghanistan kita teringat bagaimana semua suku Afghan bersatu padu melawan invasi Rusia tetapi kemudian [...]

March 19, 2008 // 5 Comments

Mazar-i-Sharif – Perjalanan Menuju ke Utara

Biya ke berim ba Mazar, Mullah Muhammad jan (Mari pergi ke Mazar, Mullah Muhammad sayang) – Lagu tradisional Afghanistan   Electricity… sign that development in Afghanistan is going the right track Sudah hampir sebelas bulan berlalu sejak saya melintas perbatasan Uzbekistan-Afghanistan di desa Hairatan, beberapa kilometer jauhnya dari kota Mazar-i-Sharif. Sejak saat itu kehidupan saya hanya terkurung dalam lingkup kota Kabul. Saya bahkan tidak pernah bepergian lebih dari lima kilometer. Tak bisa dibayangkan, betapa rindunya lagi saya untuk kembali ke jalan, pergi ke tempat-tempat baru dan belajar hal-hal unik. Tahun baru Naoruz, tahun barunya orang Afghan yang didasarkan pada perhitungan matahari, akan segera tiba. Naoruz adalah perayaan penting untuk orang-orang berlatar belakang kebudayaan Persia. Di Iran, tradisi merayakan Naoruz penuh dengan pengaruh dengan tradisi pra-Islam, seperti mengumpulkan tujuh buah bahan yang berawalan huruf ‘s’ (haft sin), atau merayakan Rabu malam dengan api dan petasan. Di Uzbekistan, Navruz adalah hari di mana orang menyiapkan sumalak – puding dari rerumputan – dan tari-tarian indah menghiasi kota-kota kuno. Naoruz juga tahun baru bagi masyarakat Tajikistan, Kyrgyzstan, Kazakhstan, Turkmenistan, Azerbaijan, dan Afghanistan. Kota Mazar-i-Sharif adalah pusat perayaan Naoruz di Afghanistan. Ratusan ribu orang berbondong ke kota besar di utara itu. Apalagi tahun ini libur [...]

March 17, 2008 // 0 Comments

Khorog – The Journey to GBAO

One of the two brothers, fellow passengers on the journey to Khorog, GBAO, Tajikistan GBAO, the Gorno Badakhshanskaya Avtonomnaya Oblast (Gorno Badakhshan Autonomous Oblast) is my main reason to come to Tajikistan. It is dominated by the minority Ismaili Badakhshani Tajiks and Sunni Kyrgyz. It has majestic mountain architectures. But the main reason I want to go to this restricted area was its history. The province was supporting rebel side in the civil war of Tajikistan. The province suffered a lot from the blockade of the central government. Going to Tajikistan is already something strange for my Indonesian friends in Kabul. “Why going to Tajikistan? It is a poor country.” Going to GBAO is another thing to be objected by my Tajik friends in Dushanbe. “Why going to GBAO? It is so far and poor…” Even the Tajik diplomat in Kabul raised his eyebrows when my embassy staff insisted to get a Tajik visa together with GBAO permit. “Is he really a tourist???” For the ‘GBAO’ four letters to be added on my visa I had to pay a painful 100 dollar fee. It is a bureaucratic country, and my embassy told me to follow the rules, as for this [...]

October 18, 2006 // 0 Comments

Dushanbe – Tajikistan, First Impression

Just across the river border, even the grilled meat looks very different, despite of the same name, kabab. Oh, it also gets a Russian name here, sashlik. Before actually physically stepped on the country, I had heard, and seen Tajikistan when I was still in Afghanistan. It is the country idolized by many people in the Badakhshan province. It is the country of freedom, flourished by goods, electricity, and public services. It is the country where women can walk on the streets freely without fear of not covering properly. Now, I am in Tajikistan, seeing and experiencing what man of the northern rural Afghans dreaming about. But for me, Tajikistan is not about dream. According to a reference, the average salary of the people in the country was only 61.81 Somoni (US$ 19.93/month, 2005) and average pension was as low as 16.92 Somoni (US$ 5.23/month, 2005). Life cost is not cheap at all, at least in Dushanbe, compared to the low income statistics. Long distance transport was incredibly expensive, comparable to Afghanistan, as oil costs almost 1 US$ per litre. 93% of Tajikistan’s land is mountains, making it only 7% inhabited and potential for agriculture. It has distinctive four seasons [...]

October 8, 2006 // 0 Comments