Tarakbits 25 Oktober 2014: Manusia Diciptakan di Sini
Hampir semua suku di Papua Nugini mengklaim dirinya sebagai “pusat dunia”, dan mereka masing-masing punya cerita leluhur yang luar biasa berlebihannya. Di Tarakbits, ada klaim bahwa manusia pertama, Adam, diciptakan Tuhan di desa ini.
Saya ingin mengetahui lebih dalam tentang cerita itu. Karena itu saya bertanya kepada seorang tetua desa tentang kisah itu. Dia berjanji akan menceritai saya pukul tiga sore di sebuah ruang kelas di sekolah.
Saya terkejut, karena yang datang bukan satu orang, melainkan enam orang tua sekaligus. Di ruangan itu, mereka duduk tersebar di bangku-bangku kecil (tubuh mereka juga kecil) seperti pelajar sekolah, dan saya adalah gurunya. Saya mulai menanyai nama mereka satu-satu, dan mengajukan pertanyaan. “Jadi bagaimana kisah penciptaan manusia itu di Tarakbits?”
“Nama tempat terlarang itu adalah Dukbitawonkobon,” kata Francis Maiweng, lelaki bertopi bisbol, berumur 50 tahun dan yang paling muda di antara mereka semua, “Tempat suci itu hanya diketahui oleh para tetua desa. Jadi biar Papa Mikes yang cerita, dia sudah umur 60 tahun.”
Lelaki tua yang berwajah panjang itu berkata, “Bukan, aku bukan yang paling tua. Linus lebih tua.”
Linus Kiamen, kakek mungil berkepala botak dan bertelanjang kaki duduk di bangku paling belakang, umurnya 70 tahun lebih. Saya bertanya padanya, “Jadi bagaimana manusia diciptakan di Tarakbits?”
Dia malah bercerita pada masa kecilnya dulu untuk membuktikan dia lebih tua daripada Mikes. “Saat itu tahun 1942, Perang Dunia II, saya sekolah di Mindiptana”—itu di Nugini Belanda, yang sekarang menjadi Papua Indonesia—“saya lihat banyak pesawat perang di udara. Orang-orang tua kami ketakutan, mereka bersembunyi di bawah pohon dan berlutut di tanah, karena mereka tidak pernah lihat pesawat sebelumnya.”
“Ya betul itu,” celetuk seorang lelaki tua lain yang bernama Thomas Kambeng, “Tahun 1984 ketika seribuan orang datang dari seberang garis batas sana, kami juga ketakutan. Aku waktu itu bertanya, kalian siapa? Mereka bilang, ‘Kami OPM’. Terus pemerintah Papua Nugini datang dengan pesawat, bilang mereka adalah pengungsi. Jadi banyak dari mereka yang diangkut ke kamp di Iowara, atau pulang balik ke Mindiptana naik pesawat, atau masuk ke hutan dan tinggal di Digo.”
Saya merasa pembicaraan mereka telah melantur ke mana-mana. Saya langsung menghentikan, dan balik ke pertanyaan asal: “Jadi saya dengar Tuhan menciptakan manusia pertama, yaitu Adam, di desa ini?”
Mereka berenam berpandang-pandangan, lantas saling bicara dalam bahasa mereka sendiri. Satu menit, dua menit, sepuluh menit… mereka seperti mengabaikan kehadiran saya di situ. Mereka mengobrol, penuh semangat, terkadang tertawa terkadang memaki. Saya menceletuk, “Jadi, bagaimana ceritanya?” Mereka tak menggubris saya dan tetap bicara sendiri. Sepertinya sekarang saya boleh tidur siang.
Mereka bicara terus dua jam. Serius ini, dua jam, saya hanya penonton di pinggiran. Mereka akhirnya berhenti bicara. Akhirnya! Seorang bicara dalam bahasa Inggris kepada saya, “Waktu kamu sangat singkat, kamu tinggal di sini cuma dua hari. Kalau kamu mau tahu tentang budaya orang Ningerum dan sejarah Tarakbits, kamu mesti tinggal di sini lebih lama. Setidaknya satu tahun.”
“Saya tidak punya waktu sebanyak itu,” kata saya, sambil dalam hati memaki, dan kalian sudah menyia-nyiakan dua jam.
“Maaf, cerita ini terlalu besar dan penting, dan kamu perlu waktu untuk mendalaminya,” kata mereka.
“Saya cuma perlu tahu ringkasannya. Bagaimana manusia pertama diciptakan di Tarakbits?”
“Tidak mungkin. Kamu harus tinggal satu tahun untuk mempelajari sejarah dan budaya Tarakbits secara mendalam.”
Saya mulai kesal dengan sikap kami-adalah-pusat-dunia-yang-harus-kamu-pelajari-secara-mendalam-kalau-tidak-bisa-itu-salahmu-sendiri ini. Saya mengucapkan terima kasih dan membubarkan pertemuan. Meninggalkan kelas, saya berbisik kepada Papa Linus, “Saya hanya perlu satu orang bercerita, kenapa kamu bawa banyak orang? Terlalu banyak orang, malah tidak bisa dapat cerita.”
Linus mengangguk-angguk. “Baiklah, besok aku ceritakan padamu.”
“Sendiri?”
“Ya, sendiri. Tapi kita harus mencari tempat tersembunyi dan tak seorang pun boleh dengar!”
Keesokan harinya, ketika seluruh desa Tarakbits sedang berpesta menyambut kedatangan uskup dari Kiunga, saya dan Linus memojok di sebuah ruang kelas kosong.
“Jadi, tempat itu bernama Dukbitawonkobon,” katanya, “Itu adalah sebuah tempat tersembunyi. Tidak seorang pun yang boleh pergi ke sana, kecuali pemilik tanah itu. Itu adalah sebuah surga, penuh dengan burung-burung surga (cendrawasih), binatang, pohon hijau, sungai jernih. Itu adalah tempat di mana hutan rimba muncul pertama kali di dunia.”
“Di mana letaknya itu Dukbitawon…-apa?” tanya saya.
“Satu setengah kilometer dari Tarakbits. Itu adalah tanah saya,” katanya.
“Dan manusia pertama itu?”
“Namanya adalah Kuru. Dia khawatir karena bayang tubuhnya terpisah darinya dan menjelma menjadi bintang Amkinknyon, lalu berubah lagi menjadi binatang Tawondopdend, lalu berubah lagi menjadi binatang Okbarep, alias buaya. Kemudian Okbarep itu menjadi klan Kimkonwop. Istri Okbarep bernama Eniguim, dialah yang membawa pohon sagu ke dunia.”
Saya mulai pusing. Mungkin mereka benar, saya perlu tinggal satu tahun untuk mengerti cerita rumit mereka.
“Jadi kenapa orang-orang bilang, Adam berasal dari Tarakbits?” tanya saya.
“Itu karena Kuru kemudian menjelma menjadi manusia, jadi dialah Adam,” kata Linus, “Saya pikir, Adam dan Hawa benar datang ke sini, karena saya belajar bahwa Taman Eden adalah tempat tersembunyi. Adam melakukan dosa, jadi dia diusir dari taman itu, keluar dan meninggalkan semua yang ada di taman itu. Semua binatang tertinggal di sana, tidak ada yang merawat. Kemudian salah satu dari binatang itu adalah buaya, dan buaya adalah nenek moyang kami.”
Buaya adalah totem dari klan mereka, sehingga mereka menganggap diri sebagai buaya darat. Saya mulai melihat pola yang sama dalam cerita mereka. Ini adalah cerita rakyat tentang asal usul klan mereka, kemudian setelah mereka menjadi Kristen (hanya beberapa puluh tahun lalu), cerita mereka itu digabungkan dengan cerita Alkitab, sehingga menjadi pemahaman yang baru dan aneh seperti ini.
“Kami adalah Amowan, kamilah awal, kamilah penciptaan,” lanjut Linus, “Dukbitawonkobon adalah gerbang menuju Taman Eden, dan letaknya ada di dekat Tarakbits.”
“Saya dengar semua orang bilang, itu letaknya di semak-semang di samping lapangan di tengah desa, yang dekat asrama para suster Katolik?” saya menimpali.
“Bohong itu,” tangkis Linus, “Tidak ada seorang pun yang menunjukkan pada kami tempat sesungguhnya. Hanya orangtua saya yang tahu, dan saya waktu itu bersekolah di Papua Barat saat orangtua saya meninggal pada tahun 1960. Generasi mereka tidak pernah memberitahu saya rahasia itu. Mikes hanya dengar-dengar saja, tetapi juga tidak pernah mengunjungi tempat rahasia itu.”
“Ada apa di sana?” tanya saya.
Linus lalu bicara seperti bercerita tentang sebuah surga. “Kita pergi ke sana dan berdiri, kita akan mendapat penglihatan. Kita akan melihat layar, jendela, kemudian Taman Eden. Dan kamu akan mendengar suara, dan kamu akan melihat Taman Eden, dan melihat banyak benda-benda berbeda: uang, emas, dan semua yang lain. Ibu dari ibu saya dulu sering pergi ke tanah rahasia itu, dan pulang membawa uang dari sana.”
Taman Eden itu, kalau di zaman sekarang, namanya mungkin adalah mesin ATM. Tetapi Linus sangat serius dengan ceritanya. Dia bercerita, neneknya tidak bekerja, tetapi selalu pulang membawa uang. Zaman itu, uang yang berlaku di daerah itu adalah uang dari kerang, disebut kina (sekarang nama mata uang Papua Nugini).
“Sekarang Papa Linus sudah menjadi petugas gereja, apakah masih percaya soal taman itu?” tanya saya.
“Saya percaya, kalau saya beriman pada Yesus, maka Yesus akan menunjukkan dan membuka pintu rahasia itu pada saya, sehingga saya bisa kembali ke tempat asal saya.”
Setiap suku yang ada di Tarakbits punya tempat tersembunyinya masing-masing, dan mereka juga punya cerita yang berbeda-beda. Cerita yang Linus ceritakan pada saya ini sebenarnya adalah rahasia besar sukunya. Tetapi, pasca datangnya kekristenan, cerita-cerita seperti ini seharusnya sudah tidak rahasia lagi.
Saat kami bicara, tiba-tiba pintu digedor keras. Menerjang masuk salah seorang lelaki tua yang kemarin bicara bersama kami. Thomas Kambeng. “Stop! Yu stori inap! Ceritamu sudah cukup, harus berhenti!” teriaknya pada Linus, “Ruang kelas ini besok akan dipakai untuk ujian. Saya adalah pengacara!”
Kami keluar dengan perasaan dongkol. Saya tahu, Thomas adalah petugas keamanan dan ketertiban di kampung—sama sekali bukan pengacara—dan saya sudah meminta izin kepada kepala sekolah untuk memakai ruang kelas ini. Linus bilang, Thomas mencurigainya menerima uang dari saya untuk bercerita pada saya, sehingga dia berusaha mengganggu kami.
Saya merasakan orang-orang desa ini sungguh aneh. Mereka suka memperlakukan hal-hal kecil menjadi isu yang sangat besar, luar biasa, spektakuler. Saya menceritakan ini kepada Angoro, si lelaki Sepik yang tinggi besar yang sudah tiga tahun bertugas di daerah Ningerum ini. Dia tertawa keras-keras.
“Memang seperti itu orang di daerah ini, cara berpikir mereka berbeda dengan kebanyakan orang normal,” katanya. Dia bilang, kalau rapat di sekolah, orangtua murid berlaku persis sama dengan yang saya alami. Dia membuka rapat, dan para orangtua murid itu lalu bicara sendiri dengan begitu asyiknya dalam bahasa mereka sampai dua jam. Angoro yang tidak mengerti bahasa setempat, keluar kelas, pulang dulu ke rumah untuk makan dan tidur siang, lalu balik lagi ke kelas itu untuk melanjutkan rapat dengan para orangtua yang akhirnya selesai bicara dalam bahasa mereka sendiri.
Cerita tentang tanah tersembunyi itu sepertinya tersebar merata di seluruh Papua Nugini. Pada tahun 2012, cerita Angoro, seorang tetua desa menyelenggarakan pertemuan akbar di desa Golgobip di Pegunungan Bintang. Itu adalah tempat di mana dukun zaman dahulu mempersembahkan korban manusia untuk mendapat kekuatan gaib. Para peserta pertemuan ini datang dari penjuru negeri, bahkan para pekerja tambang dari Tabubil, pejabat dari Port Moresby, juga orang-orang kaya dari Hagen.
“Dan kamu tahu apa tujuan upacara ini?” lanjut Angoro, “Mereka bilang upacara ini akan membuka kunci ke dunia bawah tanah. Kalau berhasil, maka seluruh minyak di Timur Tengah akan tersedot dan keluar di Western Province ini. Menara Kembar di New York itu akan tiba-tiba muncul di Golgobip. Lalu, Obama bersama Perdana Menteri Israel akan berkunjung ke Papua Nugini.”
Saya sungguh berharap, di tanah tersembunyi itu mereka bisa menemukan harta karun yang paling berguna bagi mereka: nalar.
Lucu ceritanya mas,
mereka penuh dengn cerita dan dalam hidup kesederhanaan
bikin emosi ya orang2nya,hhh
Lucu sekaligus mbingungi
Selamat siang mas agustinus, saya Ari dari majalah komunika.
Sekarang saya sedang menulis soal teknologi pariwisata, khususnya wisata virtual seperti google expedition.
Apakah mas Agustinus bersedia memberikan tanggapan terkait hal tersebut?
Wah, saya masih kurang familiar dengan isu teknologi pariwisata itu mas.
secara singkat, pengguna bisa melakukan perjalanan virtual. misalnya ke museum, bawah laut, dan ruang angkasa melalui serangkaian alat salah satunya VR (Virtual Reality). untuk lebih detil, mohon mas Agus cek email. terima kasih
Terlalu primitif cara berpikir mereka,kenapa harus obama,perdana menteri Israel yang ke sana..???kalau mendengar dan membaca seperti apa yang mas Agus tulis saya yakin sampai ratusan tahun juga Papua Nugini akan selalu terbelakang.
Jangan hina mereka primitip karena orang indo juga banyak yg otaknya primitip. Kalo ko percaya manusia itu asalnya turun dari surga ke arap, berarti ko sama aja kayak mereka
hahah betul juga
Ya. Saya percaya manusia adalah keturunan Adam dan Hawa. Dijadikan berbangsa2 dan bersuku2 supaya saling kenal mengenal. Yang paling baik adalah yg paling bertakwa (baik akhlaknya).
masyarakat indonesia sudah pintar semua,sampai-sampai percaya sama kanjeng dimas 🙂
Buku baru oyy
Kapan ??
Ringan dan bermakna… diluar ekspektasi bgt ini kisahnya. Ijin share yaa pak penulis…
silakan kak 🙂
Gile…. ya, harta yang paling awal orang” ini perlu itu nalar. dikasih minyak ato emas percuma juga, bakal dieksploitasi orang asing ini
Suka pesta2 ya orang sana
Sangat bagus tulisannya. Saya baca ketiga buku yang lalu. Ga sabar baca versi buku untuk kisah Papua Nugini ini. Kisah di perbatasan memang unik. Adakah niatan untuk menggali cerita di batas Indonesia – Timor Leste, mas Agus?
kpan ya ada buku perjalanan kak agustin ke PNG
Menarik.
Hampir semua kelompok masyarakat memiliki mite2 yg mereka percayai secara kolektif. Dan itu diwarnai banyak faktor, sosial, budaya, geografis dll.
jujur sebelumnya saya buta sama sekali dengan PNG, dengan mengikuti kisah Anda dan bekal Google map saya jadi tahu banyak tentang PNG… khususnya jadi paham budaya malanesia termasuk OPM.
sebelumnya, yang saya tahu tentang PNG adalah kemiskinan ternyata memang benar miskin bahkan lebih parah dari bayangan saya sebelumnya. masih mending Papua indonesia dari pada PNG.
juga masalah OPM, yang sebelumnya saya berpikir mereka pantas ditumpas habis karena tidak lebih dari pemberontak, namun setelah saya baca kisah Anda pikiran saya terbuka.. harusnya pemerintah merangkul mereka dengan cinta, bukannya dengan jalan militer.
meski ada kepentingan asing yang bermain dalam OPM.. akan tetapi OPM di lapisan masyarakat bawah ini tak tahu apa², mereka ini korban.. disatu sisi korban ketidak Adilan sosial termasuk ketimpangan pembangunan, disisi lain juga korban konspirasi kepentingan asing.
momok bangsa ini (NKRI) bukan dari luar, namun justru dari dalam yaitu disintegrasi bangsa. dan musuh utama bangsa ini adalah kemiskinan dan kebodohan.
NB: kalau boleh Request liput juga tentang timles.. 🙂
Sampai saya menulis komentar ini, saya masih geleng-geleng dengan tulisan sampeyan. Tidak percaya. Kok ada ya masyarakat macam itu? Heh..heh..
Tapi di samping itu, jangan-jangan sampeyan menjadi semacam Borat bagi Papua Nugini. Papua ya Papua, tapi ya nggak segitunya kaleee…
yang koment kebanyakan tidak paham akan isi artikel 🙂