Titik Nol 101: Dua Dunia
Mumbai adalah dua dunia yang hidup bersama, kontras-kontras yang saling berpadu, membentuk sinergi warna-warni kehidupan yang dinamis, energik, namun juga penuh derita dan air mata.
Tak seharusnya saya mengeluh terlalu banyak dengan penyakit kuning yang saya derita. Setidaknya saya masih bisa tidur di atas kasur, minum air gula banyak-banyak, berjalan-jalan, memotret, dan segala kenikmatan lain yang mungkin hanya mimpi bagi para gelandangan yang tidur beralas kertas karton di trotoar.
Saya tinggal di daerah Colaba di selatan Mumbai atau Bombay. Daerah ini hiruk pikuk. Gedung megah berarsitektur kolonial berbaris rapi. Jalan beruas-ruas, sempit, digerayangi mobil-mobil mewah. Orang-orang Mumbai yang berlalu lalang berpacu dengan modernitas. Tak sedikit perempuan yang bermake-up tebal, memakai baju dengan mode terkini. Yang pria pun bertubuh kekar, berpakaian ketat, seperti bintang Bollywood. Imej India yang ditemukan dari film-filmnya memang ada di sini.
Tetapi, di distrik yang sama, di tempat di mana orang-orang kelas atas berlalu lalang membeli pakaian terkini dan makanan menu internasional, hidup pula kelompok manusia kelas bawah. Ada ibu dan tiga anaknya yang terpejam pulas di trotoar. Ada pula yang tidur di atas kereta dorong kaki lima. Air liur mengalir di pipi pria muda ini, ia larut dalam mimpi indahnya. Saya tak bisa menghitung lagi berapa orang tidur yang saya temui sepanjang jalan.
Tetapi yang paling membuat miris adalah seorang bayi perempuan, dengan dahi beroles tika bundar warna hitam, pulas di balik selimut merah yang indah. Tangannya yang mungil berhias gelang-gelang cantik. Bajunya bersih. Wajahnya manis, damai. Kecantikannya adalah ironi, karena ia terbaring seorang diri di atas trotoar, di pinggir rongsokan besi di tepi jalan. Ratusan kaki-kaki lalu lalang sepanjang hari, namun tak ada yang menyempatkan berhenti. Pemandangan seperti ini sudah terlalu lazim di sini.
Bayi yang dibuang, ditinggalkan begitu saja oleh orang tuanya, sudah bukan berita lagi di surat kabar India. Namun, baru-baru ini saya membaca sebuah berita tentang bayi laki-laki yang dibuang di Bihar. Masuk berita karena pembuangan bayi laki-laki merupakan ketidaklaziman. Yang umumnya yang dibuang adalah bayi perempuan.
Stigma sosio-kultural India membuat anak perempuan kurang disukai. Mempunyai anak perempuan berarti harus menanggung beban berat untuk menikahkannya di kemudian hari, dengan membayar uang dowry atau jehez yang jumlahnya sampai berjuta-juta. Keluarga miskin yang sudah menjerit karena deraan beban hidup memilih jalan pintas, membuang bayinya begitu saja. Toh di negeri yang miliaran penduduknya ini, mencari orang tua bayi yang terbuang lebih susah daripada mencari jarum dalam tumpukan jerami.
Peraturan pemerintah India sudah melarang rumah sakit untuk melakukan praktik pemeriksaan jenis kelamin bayi dalam kandungan. Penyebabnya juga sama. Banyak orang yang cenderung akan melakukan aborsi begitu tahu bayinya perempuan.
Air mata saya hampir menetes melihat bayi mungil ini. Ia tak sendiri. Ada jutaan bayi bernasib sama, terlahir tanpa tahu siapa orang tua yang hanya membekalinya dengan selimut merah, baju baru, dan setitik tika.. Tetapi kaki-kaki yang lalu lalang terus melintas tanpa henti.
Beberapa puluh meter dari tempat ini, di hadapan pintu gerbang kolonial Gateway of India, menjulang dengan megah Taj Mahal Palace. Istana ini adalah hotel berbintang yang sudah lebih dari seabad usianya, dibangun oleh Jamsetji Tata, pendiri perusahaan kelas dunia dari India – Tata Group.
- Istana Taj Mahal menjulang megah
Kubahnya merah menyala, memancarkan keanggunan barisan jendela yang berjajar menurut baris dan kolom. Dindingnya memantulkan sinar mentari, mengiluminasi bayang-bayang keagungan masa lalu. Di dalamnya pernah tidur orang-orang kelas dunia, mulai dari Elvys Presley, Pangeran Charles, Bill Clinton, sampai pada Raja Maroko yang baru datang hari ini. Taj Mahal Palace dan Pintu Gerbang India juga sering menjadi lokasi syuting film-film produksi Bombay, menyiarkan gambaran India sebagai negeri yang kaya dengan penduduk yang semuanya tampan dan cantik berpakaian anggun dan menari penuh gairah.
Jangan bayangkan Anda melihat gambaran itu di terminal dalam kota Mumbai. Tak ada pria yang melamar gadis cantik berpakaian sari di tengah terminal, menyodorkan bunga, sambil menari-nari dengan seratus pengiring. Yang ada adalah stasiun yang penuh dikerubuti manusia. Puluhan ribu penumpang terangkut dari tempat ini setiap harinya. Di atas lantai, beberapa gelandangan tuna wisma tidur lelap tanpa alas. Ada pula bocah-bocah yang mencari sesuap nasi dengan mengemis, menciumi kaki semua orang, atau menyemir sepatu.
Pengalaman naik kereta Bombay sungguh mengerikan, apalagi ketika jam sibuk pulang kantor. Ribuan orang sudah tak sabar menanti kedatangan kereta yang akan mengantar mereka pulang. Setiap sepuluh menit setidaknya ada satu kereta. Namun kerumunan orang di stasiun ini tak pernah sepi.
Sebuah kereta datang perlahan, merapat di stasiun. Belum juga kereta ini berhenti, para penumpang yang tak sabar sudah berlompatan liar ke dalam kereta. Jangan harap tempat duduk kalau Anda bukan tipe orang beringas. Saya hanya berdiri di dekat pintu, tergencet lautan manusia.
Stasiun berikutnya, luapan penumpang semakin menghimpit. Saya terseret arus manusia, masuk semakin dalam ke lambung kereta. Stasiun berikutnya, saya sudah tak punya lagi tempat berdiri. Tangan kanan bergantung pada pegangan, berdiri pun hanya dengan satu kaki. Negeri ini memang sudah terlalu banyak penduduk, bahkan untuk berdiri pun sudah tak ada tempat lagi. Berangkat dan pulang kantor di Mumbai sungguh siksaan. Saya cukup mengalaminya satu kali ini saja.
Kontras-kontras Mumbai terus beradu di benak saya. Hotel bak istana menjulang megah, orang-orang kelas dunia menginap di dalamnya. Sementara di luarnya, manusia yang terpinggirkan bermimpi di bawah tudung langit berbintang. Sementara saya tergencet dalam kereta tua yang merayap perlahan, dalam perjalanan menemukan mimpi semu di kota dua dunia ini.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 23 Desember 2008
Izin berbagi, Cak
izin share ya gus.
Nungguin yang 103… keren kali kisahnya…
heeem Anand Nagar …..