Titik Nol 138: Pir Wadhai
Di sini mereka menggantung mimpi, bersama deru mesin bus yang tanpa henti, asap knalpot hitam, selokan bau, debu beterbangan, dan tangisan bocah.
Pir Wadhai adalah pembuluh nadi Pakistan, menyambungkan kota-kota di seluruh negeri dengan ibu kota Islamabad yang modern. Terletak di antara kota kembar Islamabad – Rawalpindi, stasiun bus Pir Wadhai adalah tempat interaksi antara saudagar, musafir, pedagang, sopir, kernet, tentara, dan pengungsi. Bermacam mimpi menuntun beragam manusia sampai ke tempat ini. Dan di tempat berdebu dan kumuh inilah tempat mereka menggantung mimpi.
Bau busuk tercium dari jauh sebelum saya mencapai Pir Wadhai chowk, pertigaan penuh lobang jalan yang ironisnya malah menjadi tempat perhentian segala macam jenis bus antar kota yang berhenti di Rawalpindi. Menyengat, menusuk hidung, segala jenis sampah basah dan kering menyumbat selokan terbuka dengan air hitam yang tergenang. Debu dan asap hitam membungkus lingkungan manusia yang bertahan hidup. Ada orang makan di pinggir jalan, dikerubungi lalat beterbangan. Tempat ini adalah surga bagi serangga kotor itu, tetapi neraka bagi manusia yang tinggal di sana.
Perkampungan kumuh semburat tak beraturan di dekat terminal ramai. Warnanya semua sama – coklat kemerahan, warna bata yang tidak dicat, warna tanah lumpur yang membungkus bumi. Sedikit variasi warna yang ada adalah warna sampah kertas dan plastik yang berserakan di jalan gang. Ada gadis-gadis kecil sepuluhan tahun yang minum langsung dari pompa air komunal. Di perkampungan kumuh sebelah, yang ada cuma kemah kumuh beterbaran.
Siapa yang tinggal di sini? Mayoritas penduduknya adalah etnis Pathan, pendatang dari barat. Sebagian besar orang Pathan ini adalah pengungsi Afghanistan, negeri tempat pertumpahan darah masih berkecamuk. Sebagian sisanya berasal dari propinsi perbatasan N.W.F.P (North-Western Frontier Province), mengadu nasib bersama mimpi mereka akan kehidupan yang layak di ibu kota. Ada pula orang Punjab, Sindh, Baluchistan, Northern Areas, bahkan sampai Gurun Thar yang terpencil. Ada magnet yang menarik semua orang dari seluruh penjuru negeri hingga ke tempat ini.
Tetapi kue kemakmuran yang ditawarkan oleh Islamabad bukan untuk semua orang. Rumah-rumah mewah bak istana memang mengundang imajinasi tentang kehidupan kelas atas yang menghuni kota modern Islamabad. Namun kelas menengah yang menjadi penggerak ekonomi tidak terlalu kentara eksistensinya. Di sisi lain, warga miskin di Pakistan mendominasi pemandangan negeri ini, walaupun tak sampai miskin mutlak seperti di India di mana ratusan gelandangan tidur di jalanan kota tanpa alas dan ribuan pengemis dengan agresif memeluk kaki para pejalan dan menggandol tanpa putus asa sampai diberi uang receh. Jumlah penduduk miskin Pakistan sekitar 25-30% menurut laporan PBB, dan sekitar 20% penduduknya adalah pengangguran.
Bocah-bocah laki umur sepuluh hingga 12 tahun sibuk bekerja. Mereka mengaisi gunungan sampah, mencari barang ‘berharga’, dan langsung disimpan dalam karung butut di punggung. Lalat dan kuman adalah kawan akrab mereka. Jubah mereka dipenuhi bercak lumpur yang sudah lama menghitam. Bocah-bocah lainnya sibuk membantu orang tua mereka mengupas jagung tua, mengayak biji jagung dan menjemur. Yang lebih kecil lagi masih belum terlalu banyak berpikir tentang kerasnya hidup, menikmati hari dengan bermain melompati selokan bau atau menyeberang jembatan kayu di atas genangan sampah. Bocah umur tujuh tahun sudah mulai mengulum naswar – tembakau bubuk pengganti rokok. Inilah keseharian yang mereka di sini, karena mereka tak punya televisi untuk ditonton, buku untuk dibaca, atau video games untuk dimainkan.
Yang masih bayi bisa menjadi komoditi mencari uang. Pengemis wanita berkulit hitam duduk di pinggir jalan, bersiram asap knalpot hitam bus besar dari pagi hingga malam, bersama dengan bayi mungil di pelukan untuk mencari simpati orang yang melintas. Tetapi yang membuat saya takjub, jumlah pengemis di sini relatif sangat sedikit dibandingkan kemiskinan yang luas. Saya hanya melihat lima bocah pengemis dan tak sampai sepuluh pengemis perempuan berbungkus cadar tebal. Dibandingkan dengan angka kemiskinan yang begitu besar, apalagi dibandingkan dengan kelamnya wajah kemiskinan India, pengemis di Pakistan sangat kecil jumlahnya. Walaupun hidup susah, kebanyakan mereka masih berusaha hidup di atas kaki mereka sendiri.
Di sekitar genangan busuk, ada puluhan pedagang makanan, mulai dari daging kebab, gorengan, jeruk, pisang, nasi, rokok, korek api, baju, sampai ban mobil. Semuanya campur aduk jadi satu, dibungkus debu, asap, dan aroma busuk yang sama. “Makanlah ini,” kata Fariat, seorang pedagang fruit chat – salad buah-buahan khas Asia Selatan – sambil menyodorkan sepiring potongan buah disiram cairan putih. Saya sebenarnya tak tega memakannya, tetapi Fariat bersikeras. “Aap hamare mehman hai. Kamu adalah ‘tamu’-ku. Terimalah.” Fariat bahkan menolak pembayaran saya. Di sebelahnya adalah bocah penjual potongan daging sapi yang dimasak di atas wajan datar berdiameter satu meter. Di depannya adalah selokan berair hitam pekat. Lalat beterbangan. Adik si bocah mencuci piring dengan air kotor, di sebelah selokan. Di sini hal yang teramat biasa.
Banyak dinamika yang dialami oleh anak jalanan dari kampung kumuh ini. Pendidikan sekedar mimpi, jumlah orang buta huruf di Pakistan tak juga turun. Separasi gender sangat kental, orang Pathan jarang mengirim anak perempuannya bersekolah. Yang paling mencengangkan adalah laporan LSM perlindungan anak SACH tentang pelecehan seksual yang dialami anak-anak miskin Pir Wadhai.
Bocah laki-laki di bawah umur, dalam keterjepitan ekonomi, malah dimanfaatkan oleh pemilik hotel untuk menarik tamu, mulai dari penumpang bus, tentara, sampai pedagang sayur dan buah. Mereka didandani sedemikian rupa untuk merangsang libido para pria yang tak tersalurkan. Kasus perkosaan disembunyikan di bawah karpet, menjadi rahasia umum yang tabu untuk diperbincangkan. Beberapa bocah ini menerima pendapatan sepuluh hingga 15 Rupee saja untuk sekali ‘main’.
Sebagai seorang pria asing yang sendirian mewawancarai penduduk Pir Wadhai, saya sendiri sempat menjadi korban pelecehan macam ini. Saya diundang oleh seorang tentara untuk mengunjungi asramanya, sebuah rumah kecil dari bata yang kotor dan gelap di tengah perkampungan kumuh beraroma sampah. Ada sepuluh orang pria yang tidur di dalam kamar sempit itu, dibagi menjadi dua shift. Lima tentara yang tugas siang, tidur bersama di malam hari, dan lima yang tugas malam tidur di siang hari. Tak ada hiburan lain di sini, selain berbincang ditemani teh susu dudhpati yang dibawa bocah-bocah kecil. Ketika saya minta izin meninggalkan rumah ini, saya diantar oleh seorang serdadu yang sempat-sempatnya meremas bagian belakang saya, sambil berujar, “Yih accha chiz hai… Ini barang bagus!” Sempat terlompat karena terkejut, saya langsung lari meninggalkan tempat itu.
Pir Wadhai, perkampungan hiruk pikuk yang berpadu dengan terminal bus terbesar di belahan utara Pakistan, memang tidak selalu bersahabat. Beberapa penduduk melempari saya dengan batu dan kerikil ketika saya hendak mewawancara. Beberapa lagi mengusir dengan kata-kata kasar. Namun hati saya selalu bersama masyarakat kelas bawah Pakistan yang menggantung mimpi tinggi-tinggi dalam kepulan asap dan debu.
(bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 12 Februari 2009
omg, semakin baca tulisan mas agus jadi semakin cinta