Titik Nol 177: Simetris
Bukalah peta dunia. Tengoklah bagaimana bumi kita dibagi-bagi menjadi bidang berwarna-warni, dibatasi oleh garis hitam tebal yang dijuduli garis batas negara. Di atas peta garis-garis ini hanya coretan yang membatasi warna bidang negara. Di atas bumi yang sesungguhnya, garis ini memisahkan takdir dan jalan hidup manusia-manusia yang hidup di kedua sisinya.
Empat bulan yang lalu, saya memandangi perbatasan ini di India, larut dalam ingar-bingar gelora nasionalisme ribuan pesorak. Setiap sore, perbatasan ini menjadi ajang persaingan semangat kebangsaan ketika bendera kedua negara diturunkan dan pintu gerbang pembatas ditutup rapat. Sekarang, saya berada di perbatasan ini lagi, bersama para pendukung Pakistan. Yang saya rasakan – sepi.
Panasnya matahari Punjab membuat debu jalanan lengket di atas kulit yang bersimbah peluh. Saya melangkah dengan bangga dalam balutan shalwar dan kamiz yang sudah lusuh tak pernah dicuci. Pintu gerbang Pakistan berwarna hijau dengan bertahta bulan sabit dan bintang berwarna putih, seperti lambang benderanya.
Di seberang batas, nampak orang India melimpah ruah di podium besar di sisi utara dan selatan. Lautan manusia dengan berwarna-warni pakaian membentuk mozaik yang indah, membludak mengisi setiap jengkal ruang.. Bendera India berkibar-kibar di antara kerumunan orang itu. Ada band musik, tentara berseragam, bocah-bocah sekolah, perempuan bersari, pemuda dengan beragam model pakaian dan jaket, semua ada.
Di sisi Pakistan, pengunjungnya cuma sedikit. Itu pun masih dipisah menjadi dua podium, seperti biasa, satu untuk laki-laki satu untuk perempuan. Suami terpisah dari istri. Abang terpisah dari adiknya. Untuk turis asing dan tamu istimewa ada tempatnya sendiri, di dekat gerbang perbatasan, supaya dapat menyaksikan pemandangan terbaik. Orang Pakistan memberikan terlalu banyak penghormatan bagi orang asing. Sedangkan di India dulu saya ingat pernah tergencet di tengah kerumunan orang yang semuanya tak mau mengalah.
Tetapi walaupun pendukungnya sedikit, bukan berarti tak ada semangat di sini. Seorang kakek tua, Mehruddin, 78 tahun, pedagang sayuran di pasar Lahore, datang ke sini tiap hari untuk membangkitkan sorak-sorai pendukung Pakistan yang cuma segelintir ini. Ia berbaju hijau dengan gambar bulan sabit dan bintang, tertulis dalam huruf Urdu: “Pakistan Zindabad! Hidup Pakistan!”
Dari arah India terdengar gemuruh, “Hindustan Zindabad! Hindustan Zindabad!”
Di sisi Pakistan orang pun tak mau kalah, “Pakistan Zindabad! Pakistan Zindabad!”
Tetapi di sini slogan-slogan bernada religius lebih mendominasi, seperti seruan kalimah syahadat. Jangan lupa, Pakistan adalah negara yang berdiri atas dasar agama.
“Narai takbir!!!” teriak kakek tua berjenggot putih.
“Allahuakbar!!!” Massa Pakistan menyahut. Suaranya lemah, tak ada apa-apanya dibandingkan genderang yang ditabuh di India sana.
Kakek Mehruddin marah, ia berteriak lagi.
“NARAI TAKBIR!!!”
Balasannya kini sedikit lebih keras.
“Narai Risallah!!!” serunya, sambil mengacungkan kedua tangannya.
Bendera besar Pakistan yang dipegangnya berkibar gagah.
“Ya Rasulullah!!!” jawab para pendukung Pakistan.
“Narai Haidri!!!” jerit sang kakek.
“Ya…..Ali!!!” massa Pakistan menyahut. Kata ‘Ya’ diucapkan panjang, dan nama ‘Ali’ dihentakkan dalam satu hentakan.
Semangat para pemuda Pakistan ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan semangat Kakek Mehruddin yang begitu gagah berani di hadapan lautan ribuan pendukung Hindustan. Ia seperti David yang mungil yang tak gentar oleh kepersaan Goliath. Lantunan teriakan dan slogan kejayaan Pakistan terus mengalir dari mulutnya.
Kalau di India sana ada grup band yang memainkan lagu kebangsaan yang menggelorakan semangat kebangsaan negeri Bharat, Pakistan pun tak mau kalah.. Lagu-lagu mars mengalir sendu dari kaset yang sudah tak karuan suaranya.
Atraksi utama dimulai. Sepasang prajurit Pakistan, berpakaian kamiz hitam dengan celana hitam plus topi hitam berbentuk kipas, melangkah dengan gerakan baris-berbaris yang mengangkat kaki tinggi-tinggi sampai lebih dari sudut tegak lurus. Mereka bergerak menuju gerbang perbatasan. Dari arah India juga datang sepasang tentara perbatasan, berseragam coklat dan juga topi bertopi kipas warna merah, dengan gerakan yang sama persis.
Pakistan dan India memang bak cermin. Jika yang satu berbuat sesuatu maka yang satunya akan membalas secara resiprokal. India dan Pakistan adalah dua bayangan yang saling tak akur. Yang satu menikam dengan pisau, satunya lagi akan membalas dengan belati. Kalau yang satu membikin bom atom, esoknya yang satu akan membuat bom nuklir. Kedua bayangan ini saling bersaing, tak ada yang mau kalah.
Sementara garis perbatasan di tengah, tepat di antara kedua gerbang, tampak begitu gamblang oleh pendukung kedua negara.. Tetapi tak banyak yang bisa melintas garis ini, mengetahui kehidupan di seberang garis dengan mata kepala sendiri. Dunia yang sama sekali berbeda tersembunyi di balik garis sana, tetapi perbedaan itu terbungkus kesimetrisan yang tiada habis.
Di perbatasan ini, semangat kebangsaan yang simetris ini dibenturkan satu sama lain. Garis batas di antara kedua pintu gerbang itulah yang menjadi cerminnya. Langkah-langkah kaki para tentara perbatasan begitu tinggi, nyaris menyentuhkan lutut ke wajah. Pendukung Pakistan bersorak-sorai menyemangati jagoan mereka. Di sebelah garis sana, tak mau kalah, ribuan pendukung India berseru dahsyat. Sama persis, hanya lakonnya saja yang berbeda. Ini adalah teater nasionalisme yang dimainkan di garis batas.
Bendera Pakistan diturunkan menyilang dari gerbang kiri ke kanan. Bendera India sebaliknya. Kedua bendera turun serempak. Tak ada yang mau benderanya berada di bawah bendera yang lain. Keduanya sejajar setiap saat. Ketika sampai ke bawah, tentara Pakistan menerima bendera dan langsung melipatnya. Di sebelah sana, dalam tempo yang sama persis, gerakan yang simetris dilakukan oleh tentara India.
Dengan menghentakkan kaki dan pandangan tajam, tentara kedua negara berhadapan. Kaki diangkat tinggi-tinggi dan tangan diselentingkan.. Mereka bersalaman, tetapi hanya seujung jari, sekelebat. Mereka langsung berbalik ke arah negara masing-masing, berbaris dengan langkah gagah membawa bendera nasional.
Pintu gerbang Pakistan tertutup. Pada saat yang sama, pintu India juga ditutup. Giliran para pendukung yang turun dari podium, mengelu-elukan tentara masing-masing yang membawa harum nama bangsa. Semuanya simetris. Di sebelah gerbang sana kejadiannya persis sama.
Simetrisme malah membuat perseteruan kedua negara ini jadi berharmoni.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 9 April 2009
Wong edhan kabeh…