Garis Batas 57: Wajah yang Tersembunyi
Di antara sedikit wajah Islam yang ‘direstui’ oleh pemerintah Uzbekistan, adalah ajaran tassawuf, atau Sufisme, yang dibawa oleh sang guru besar Bahauddin Naqshband Bukhari.
Di negara yang mayoritas penduduknya Muslim ini, agama Islam justru menjadi hal yang sangat sensitif. Saya teringat suatu hari di sebuah taksi antar kota, saya asyik membaca buku tentang pergerakan fundamentalis Islam di Lembah Ferghana, ditulis oleh seorang jurnalis dari Pakistan. Kebetulan penumpang yang duduk di sebelah saya adalah polisi, penasaran ingin tahu isi buku yang sejak tadi menyedot perhatian saya.
Dia terloncat kaget ketika membaca nama-nama yang ‘tidak baik’, seperti Harakatul Islami Uzbekistan (Gerakan Islam Uzbekistan), Hizbut-Tahir, dan Taleqan Juma Namangani – buronan nomer satu pemerintah Tashkent yang sempat membikin ribut negara-negara Asia Tengah karena gerakan garis keras bawah tanahnya. Dalam sekejap, polisi yang semula akrab itu berubah sikap. Setelah menanyai ini itu, dia diam seribu bahasa sepanjang perjalanan. Mungkin dia sibuk mengira-ngira apakah saya ini kawan atau ancaman nasional.
Saya juga ingat betul, di kesempatan lain ketika saya melintas perbatasan Uzbekistan dari Turkmenistan, tas saya digeledah dengan teliti. Kebetulan saya membawa buku-buku pelajaran bahasa Arab dan sejarah Persia. Saya tidak tahu bahwa buku-buku bertulis huruf Arab bisa jadi masalah di sini.
“Kamu bawa buku agama Islam?”
Saya menggeleng, “itu cuma buku pelajaran, bukan buku agama.”
Keadaan sempat jadi runyam, karena di backpack saya ada buku berjudul Taliban, tulisan jurnalis Ahmed Rashid, tentang sejarah pergerakan Taliban di Afghanistan. Setelah pemeriksaan ketat hampir satu jam, baru saya diizinkan lewat.
Pemerintah Uzbekistan memang sangat sensitif terhadap apa-apa yang berbau ‘garis keras’. Teman saya bercerita, dulu di Lembah Ferghana, waktu zaman lagi heboh-hebohnya gerakan Harakatul Islami dan Hizbut Tahir, cuma gara-gara berjenggot pun bisa ditangkap polisi. Saya diwanti-wanti untuk tidak memublikasikan foto dia sedang bersalat di Pasar Ferghana karena takut polisi. Sebegitu besarnyakah ketakutan itu, hingga menunaikan salat di tempat umum malah membuatnya seperti dikejar-kejar dosa?
Tetapi tentu saja Lembah Ferghana adalah cerita lain. Tashkent sangat kosmopolitan, dan kisah-kisah tentang Harakatul Islami dari Ferghana yang ingin mendirikan negara Islam seperti cerita dari dunia lain saja. Bahkan di Bukhara, yang boleh dikatakan paling Islami di antara kota-kota Uzbekistan pada umumnya, kehidupan sangat damai dan tenang, jauh dari bayang-bayang kekerasan. Turis terus berdatangan, restoran-restoran baru bermunculan, dan bahkan sudah ada diskotik bawah tanah di kota kuno Bukhara.
Tidak semua Islamisasi mendapat lampu merah dari pemerintah Tashkent. Tengok saja desa Kasri Orifon, sekitar 12 kilometer dari Bukhara, yang kini menjadi salah satu tempat berziarah terpenting di sini. Sebuah bangunan megah berdiri, dengan arsitektur khas Persia, gerbang diwan yang berbentuk persegi bersambung dengan tembok panjang mengelilingi bangunan utama. Di pintu masuk, sebuah prasasti berbunyi:
Bohauddin Nakshband’s Architectural Complex was Re-created and Restored with Initiative of the First President of the Republic of Uzbekistan Islam Karimov, October 2003
Presiden Islam Karimov, tak lain dan tak bukan, sang presiden sendiri yang meresmikan bangunan peristirahatan bagi seorang tokoh Islam terpenting, Bahauddin Naqshbandi, sang pendiri tarekah Naqshbandiyyah, tarekah Sufi terbesar di Asia Tengah. Pemerintah Uzbekistan kemudian menjadikan ajaran Sufi Naqshbandi sebagai bukti pelaksanaan kebebasan beragama, sebagai teladan pelaksanaan agama Islam yang sejuk dan damai.
Islam di Asia Tengah punya nuansa yang berbeda dengan Islam di Timur Tengah. Di sini, ajaran Sufi begitu kuat, sehingga agama berharmonisasi dengan budaya dan tradisi. Orang pun sering merancukan mana yang Islam, mana yang budaya. Seperti Shokir si tukang sepatu yang pernah mengingatkan saya,
“Agama kami mengatakan, kalau tidur harus dengan celana panjang. Kalau tidak, haram hukumnya.”
Memasuki pemakaman Naqshbandi, kita harus melangkahkan kaki kiri terlebih dahulu. Di bagian pelataran ada batang pohon yang sudah tumbang. Orang bilang, pohon ini hidup bersama-sama dengan sang guru besar, dan perjalanan hidup pohon ini sama persis dengan perjalanan hidup sang Naqshbandi.
Beberapa nenek dari desa nampak berbaris mengitari batang pohon yang terbujur melintang ini berlawanan arah jarum jam. Di salah satu sisinya, batang pohon membujur sangat rendah, hampir mencapai tanah. Sehingga orang yang sedang ‘berupacara’ mengelilingi pohon harus jongkok nyaris merayap. Semua percaya, mengitari batang pohon tiga kali akan membawa nasib baik, dan merupakan seremoni wajib dalam acara ziarah ke makam Naqshbandi.
Sederet bangku panjang di depan gedung penuh diduduki oleh para peziarah. Laki-laki dan perempuan duduk bersama-sama, tidak dipisah. Seorang imam komat-kamit pembaca doa. Para peziarah bersama-sama menengadahkan tangan, dan berseru “Amin!” menutup doa. Kemudian mereka berebutan mendapatkan air suci dengan botol kosong yang dibawa masing-masing.
Demikianlah agama berpadu dengan mistis, kepercayaan, dan tradisi lokal, menghasilkan keunikan Islam di Asia Tengah.
Lorong-lorong kota kuno Bukhara meliuk-liuk bak labirin. Warna coklat menyelimuti gedung-gedung tua, membawa eksotisme dunia seribu satu malam. Ratusan madrasah, masjid, hamam, bazaar, semuanya berukuran fantastis, bertabur di seluruh sudut kota. Sebagian besar sudah berubah fungsi menjadi tempat pedagang menawarkan suvenir, atau museum kerajinan. Di antara puluhan gedung-gedung raksasa itu, saya terdampar di Madrasah Abdul Aziz Khan.
Berhadapan dengan Madrasah Ulughbek, gedung kuno berarsitektur Persia ini sekarang sudah berubah fungsi menjadi toko-toko kerajinan tangan. Seorang ibu Tajik, yang gembira sekali berjumpa dengan saya yang dari Indonesia, menghadiahkan saya sebuah kemeja tradisional Bukhara. Tipis nyaris transparan, berhias sulaman-sulaman benang merah yang cantik.
“Ikut saya,” ajak ibu bertubuh subur dan bergigi emas itu, “saya ada kejutan buat kamu.”
Saya dibawa ke sebuah ruangan gelap. Ruangan ini berdinding putih, di ujung sana ada mihrab. Di sebelah kiri kanan mihrab, seperti biasanya model arsitektur masjid di sini, ada ornamen berupa lekuk-lekuk di dinding.
Tampaknya tak ada yang istimewa. Sampai si ibu Tajik ini mengarahkan lampu senternya ke arah sudut dinding itu. Ajaib, dalam kegelapan yang disinari pancaran lampu senter, lekuk-lekuk tadi berubah wujud.
Sebuah wajah seram tergambar di sudut tembok itu. Pria berjenggot lebat dan bersorban, seakan terkekeh melihat keterkejutan saya.
“Ia adalah Abdul Aziz Khan,” kata si ibu menjelaskan, “pendiri madrasah ini.”
Karena Islam melarang penggambaran wujud hewan dan manusia, sang guru yang ingin dirinya tetap dikenang, menyembunyikan potretnya dalam lekuk-lekuk di sudut tembok, sebuah teknik khusus yang hanya bisa dilihat dengan cara yang khusus pula.
Sebuah wajah penuh misteri tersembunyi dalam heningnya kehidupan religius di Uzbekistan.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 23 Mei 2008
Leave a comment