Recommended

Garis Batas 77: Sekali Lagi, Visa Oh Visa…

Bendera Turkmenistan (AGUSTINUS WIBOWO)

Bendera Turkmenistan (AGUSTINUS WIBOWO)

Bila diingat, perjalanan saya di Asia Tengah melintasi negara-negara pecahan Uni Soviet ini, selalu disibukkan dengan urusan visa. Kira-kira hampir separuh konsentrasi saya habis hanya untuk memikirkan trik-trik melamar visa.

Seperti diketahui, paspor Indonesia bukan yang terbaik untuk melancong di sini. Kita tidak bisa nyelonong begitu saja ke kedutaan negara Stan untuk minta visa, tanpa terlebih dahulu mengurus yang namanya ‘letter or invitation‘ atau dalam bahasa kerennya disebut priglashenie, surat undangan. Surat undangan ini harus direstui dulu oleh kementerian luar negeri negara yang dituju, melalui proses berminggu-minggu hingga berbulan-bulan.

Salah satu cara mudah untuk mendapatkan priglashenie, terutama untuk Kyrgyzstan, Kazakhstan, dan Uzbekistan, adalah dengan menghubungi biro perjalanan di negara yang akan dituju. Kantor-kantor travel di sana sudah terbiasa memenuhi permintaan priglashenie. Dengan hanya membayar 30 dolar dan menunggu paling lama dua minggu kita sudah bisa mendapatkan surat undangan dari negara yang dimaksud.

Ini baru surat undangan, prasyarat untuk bikin visa. Visanya sendiri bermacam-macam ceritanya. Ingat kedutaan Tajikistan di Kabul yang benderanya terbalik-balik dan diplomatnya menjual visa seperti calo menjual tiket waktu Lebaran? Di Dushanbe, kedutaan Kyrgyzstan juga cukup antik karena hanya buka sehari dalam seminggu. Di Bishkek, kedutaan Uzbekistan punya kegemaran mengadakan ujian wawancara bahasa Rusia dan kedutaan Kazakhstan suka bagi-bagi visa malam hari.

Belum lagi bicara soal harga. Wah, saya sudah menghabiskan lebih dari 500 dolar hanya untuk visa. Tajikistan dengan ganas menggarong dompet saya 250 dolar (harga normal 120 dolar di Kabul). Kyrgyzstan masih mending, 55 dolar. Uzbekistan 80 dolar, dan di Kazakhstan saya menghabiskan sekitar 140 dolar termasuk priglashenie dan registrasi. Seram sekali, bukan?

Tunggu. Yang paling seram belum muncul. Perkenalkan, Turkmenistan. Negara paling tertutup di antara kakak beradik Stan yang lain ini paling pelit menerbitkan visa. Negara ini juga sangat hobi dengan yang namanya birokrasi. Satu-satunya jenis visa yang bisa saya peroleh, sesuai dengan ukuran kantong dan kemampuan saya, adalah visa transit, maksimal 5 hari. Visa turis sudah jelas di luar kemampuan saya, karena untuk mendapatkan priglashenie, kita harus ikut tour, yang biayanya bisa 200 dolar per hari.

Visa transit pun tidak mudah. Pertama-tama, saya harus bikin dulu visa Iran atau Azerbaijan. Yang disebut terakhir ini, pecahan Uni Soviet juga, sama-sama sulitnya untuk paspor Indonesia. Biro tur setempat minta bayaran 125 dolar hanya untuk menerbitkan priglashenie, dalam sebuah email yang membuat saya sangat mangkel,

“Sedikit lebih mahal, karena negara Anda (Indonesia) termasuk negara rawan.”

Kedutaan Iran di Tashkent juga terkenal pelit menerbitkan visa. Dengan bantuan segala macam surat lamaran, taktik menelepon pada jam-jam yang berbeda (karena, ajaibnya, petugasnya berbeda aturannya pun berbeda walaupun bekerja di kantor yang sama), akhirnya saya berhasil memasukkan lamaran pengajuan visa Iran.

Orang Iran memang terkenal basa-basinya. Dalam bahasa Iran, adat ini disebut taarof. Saya tak peduli taarof adalah cikal bakal diplomasi tingkat tinggi, yang jelas gara-gara omong-omong manis ini, saya harus menunggu lebih dari satu bulan hanya untuk mendapatkan visa Iran. Setidaknya saya lebih beruntung. Seorang gadis Uzbekistan keturunan Iran dan fasih berbahasa Farsi harus bolak-balik tujuh kali, diambil cap sepuluh jari tangan (mungkin sepuluh jari kaki juga kalau perlu), wawancara ini itu, dan masih harus menunggu berbulan-bulan.

Tak ada pelepasan yang lebih dahsyat, selain melihat visa Iran yang cantik dengan motif bunga-bungaan tertempel rapi di dalam paspor saya.

Keesokan harinya, saya melangkah dengan gagah berani ke Kedutaan Turkmenistan, tersembunyi di sebuah gang kecil, berbelok-belok seperti labirin. Kedutaan ini baru buka jam 11 untuk menerima permohonan visa, dan ketika saya datang sudah ada belasan orang berbaris di luar gedung yang mirip rumah biasa ini, diterpa dinginnya angin kencang.

Di antara yang berbaris itu ada Suhrat, 30 tahun. Tubuhnya sedikit gemuk. Matanya sipit, dan hidungnya bulat. Benar-benar mirip orang Kazakh. Inilah orang Turkmen pertama yang saya lihat seumur hidup.

Suhrat memang orang Turkmen, tetapi ia bukan warga Turkmenistan. Bukan pula warga Uzbekistan.

“Saya bukan warga negara mana-mana. Saya tidak punya kewarganegaraan,” ujarnya.

Tetapi ia punya paspor, dikeluarkan oleh Uzbekistan khusus untuk orang-orang tanpa kewarganegaraan. Baru pertama kali saya melihat paspor yang berjudul ‘People with No Citizenship‘.

Suhrat lahir di Turkmenistan. Ketika Uni Soviet buyar pada tahun 1991, Suhrat masih kuliah di Tashkent. Waktu itu adalah zaman seru-serunya, ketika daerah-daerah yang dulunya setingkat provinsi sekarang sudah jadi republik merdeka semua. Uzbekistan sekarang tiba-tiba menjadi negara lain. Suhrat, walaupun orang Turkmen, tidak mau repot-repot bikin paspor Turkmenistan karena dia masih ingin tetap sekolah di Tashkent. Uzbekistan juga tidak mau memberi paspor untuk pendatang seperti dia.

Jadilah Suhrat kehilangan kewarganegaraan. Tidak inginkah dia mengurus paspor Turkmenistan? Bisa saja, tetapi butuh proses 10 tahun. Suhrat tidak mau repot.

“Setidaknya, no citizenship adalah yang paling cocok buat saya sekarang.”

Saya sukar sekali membayangkan hidup sebagai orang yang tak punya kewarganegaraan. Kewarganegaraan, arti harafiahnya memang ke negara mana seseorang itu terkait. Tetapi kewarganegaraan juga merupakan ikatan mental, sejarah, spiritual, dan kesamaan identitas seseorang dengan orang-orang lain yang berkewarganegaraan sama. Tanpa kewarganegaraan berarti tak punya kawan-kawan dengan persamaan sejarah komunitas, persamaan perasaan senasib sepenanggungan, persamaan rasa kebangsaan. Semuanya adalah nihilisme bagi Suhrat, yang sekarang juga butuh visa untuk pergi ke negaranya sendiri – 51 dolar untuk 10 hari tinggal di Turkmenistan.

Ketika saya yang orang Indonesia ini, masih sangat bersyukur punya KBRI yang senantiasa mengayomi dan memberi segala macam bantuan, termasuk seringkali makan-makan gratis, bagaimana dengan orang-orang macam Suhrat? Setahu saya, masih belum ada kedutaan bagi ‘people with no citizenship‘. Negaranya saja tidak ada.

“Tetapi ini adalah pilihan terbaik bagi saya,” Suhrat tetap yakin dengan paspornya, yang butuh visa ke negara mana pun di dunia, dan sudah pasti ditolak masuk Turki dan Uni Emirat Arab.

Saya mengisi dua salinan formulir visa Turkmenistan, yang pertanyaannya sangat detail seperti detektif. Hanya untuk visa transit 5 hari, saya harus menunggu 10 hari. Itu pun masih belum pasti, karena sebentar lagi Turkmenistan akan mengadakan pemilu, dan negara ini terkenal dengan hobi segel-menyegel negara setiap saat ada peristiwa besar.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 20 Juni 2008

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

6 Comments on Garis Batas 77: Sekali Lagi, Visa Oh Visa…

  1. Luar biasa perjalanan yang mengagumkan

  2. Saya ingin mengunjungi Turkmenistan. Embarkasi Jakarta. Dimana saya bisa mengajukan permohonan Visa Turis.?
    Thx //eNDRo

  3. Saya jadi ingin napak tilas langkah sampean di buku Garis Batas, bnr2 mengagumkan
    kira2 butuh waktu berapa lama ya?

  4. Gila, saya sampai nahan nafas baca artikel ini. Baru tahu ada passport untuk ‘people with no citizenship’. Ngebayanginnya aja susah. Btw, I noticed this is from 2013. Has it become easier for Indonesians to apply for Turkmen tourist (or transit) visa? Dan apakah bisa apply di Indonesia?

Leave a comment

Your email address will not be published.


*