Garis Batas 88: Jejak Soeharto
Siapa sangka di negeri yang penuh dengan patung-patung sang Pemimpin Agung yang selalu ingin dipuja setiap detik, saya menemukan jejak mantan presiden kita, Bapak Pembangunan Soeharto, tersembunyi di sebuah sudut pasar.
Ashgabat adalah kota yang banjir semboyan. Saya sudah hapal di luar kepala apa itu ‘Ruhnama Jalan Hidup’ dan bahwa ‘Turkmenistan Selalu Merdeka dan Netral’. Saya sudah hapal lekuk-lekuk tubuh dan raut wajah Turkmenbashi. Dan saya tak perlu diingatkan lagi bahwa sekarang kita hidup dalam ‘Abad Emas’.
Saya memunguti serpihan-serpihan masa lalu saya dari wajah kota Ashgabat. Saya teringat akan Penataran Pancasila dan jargon-jargon masa lalu seperti era tinggal landas, adil dan makmur, gerakan non-blok, dan semboyan-semboyan penuh kebanggaan sebagai bangsa yang merayakan Indonesia Emas di bawah ‘petunjuk‘ sang nahkoda, Bapak Pembangunan. Mungkin Turkmenistan memang negeri antah berantah yang penuh keajaiban. Tetapi kehidupan di sini bukan hal yang asing sama sekali bagi orang Indonesia.
Di pinggiran kota Ashgabat, sekitar delapan kilometer dari pusat kota, ada sebuah pasar kuno yang termashyur di seluruh penjuru Asia Tengah. Pasar ini bernama Tolkuchka Bazaar, yang dalam bahasa Rusia berarti ‘Pasar Tarik’.
Mengapa namanya demikian, saya pun tak tahu pasti. Tetapi yang jelas, setiap hari Minggu Tolkuchka Bazaar menjadi lautan manusia. Ribuan orang dari desa dan kota berbondong-bondong datang ke sini bersama barisan truk dan mobil yang menyemut sepanjang beberapa kilometer.
Sesaat saya melupakan Abad Emas. Saya kembali ke dunia Jalan Sutra. Gambaran para saudagar yang membawa segala macam jualan eksotis bermunculan dari segala penjuru padang pasir yang menghampar. Kawanan unta menyergap oase segar di Tolkuchka Bazaar yang riuh rendah oleh gemerincing uang dan tawa kemakmuran.
Zaman sudah berganti. Unta-unta sudah berganti truk Kamaz dan taksi. Para saudagar bersurban dan berjubah sekarang digantikan oleh generasi baru Turkmenistan yang menyongsong abad emas. Oasis padang pasir ini sekarang berwujud Tolkuchka Bazaar yang semrawut dan becek.
Barang yang dijual pun macam-macam. Kalau dulu sutra dari Tiongkok membanjiri negeri Asia Tengah, kini giliran barang-barang super murah bermutu parah dari negeri yang sama yang menjadi rebutan di sini. Mulai dari radio yang berisiknya minta ampun sampai celana jeans yang cuma bisa dipakai beberapa kali saja, semua ada. Mesin DVD dengan harga miring, atau gelas dan mangkuk cantik, semuanya campur baur jadi satu di lapangan luas Tolkuchka Bazaar. Pasar musiman ini seperti jawaban bagi warga Ashgabat yang masih mendambakan datangnya supermarket dan toserba.
Bahkan ada pedagang yang jauh-jauh datang dari desa di padang pasir sana dengan membawa televisi bekas model tahun 70’an dengan layar super cembung dan barisan kenop-kenop untuk memilih channel. Barang bersejarah ini, yang ternyata masih fungsional, membuat saya terkenang indahnya masa kecil dulu.
Sudut lain pasar Tolkuchka adalah sebuah dunia yang sama sekali berbeda. Di tengah tanah lapang, permadani-permadani merah menyala berjajar, ditebar dan digantung di semua sudut, membawa kemeriahan pada monotonnya padang pasir. Karpet-karpet Turkmen, buah karya jari-jari lincah para perempuan dari penjuru negeri, adalah kebanggaan tak terkira dari bangsa ini. Coba tengok bendera Turkmenistan. Keindahan motif permadani pun ikut masuk ke bendera, dan seperti kata Turkmenbashi, peradaban karpet menjadikan bendera Turkmen sebagai bendera tercantik di dunia.
Kemeriahan warna menyala di tengah padang pasir ini menjadi semakin mistis dengan segala pernak-pernik tradisi. Nenek tua yang semua giginya bersepuh emas tersenyum manis menawarkan koleksi koin zaman Lenin, bros palu arit, dan duit kertas Tsar. Si nenek, mirip ahli nujum, berikat kepala dan berbaju warna-warni membara penuh sulaman cantik. Di hadapannya terhampar segala macam tas tangan, topi, baju, kain, yang konon kabarnya semua hasil sulamannya sendiri.
Gelora padang pasir yang mendesir-desir di sanubari saya semakin hidup ketika saya menemukan pasar jubah dan telpek, topi tradisional Turkmenistan dari bulu domba yang bentuknya mirip rambut kribo Ahmad Albar. Tak peduli di musim dingin atau panas, seorang pria Turkmen sejati tak akan pernah lepas dari telpek.
Mekan Ataliew, pedagang telpek berumur 25 tahunan ini, langsung sumringah begitu tahu saya dari Indonesia.
“Kamu tahu, dulu bapakku pembuat telpek terkenal di seluruh Turkmenistan. Bapak pernah diminta Turkmenbashi untuk membuat telpek istimewa untuk presidenmu ketika mengunjungi Turkmenistan,” ujarnya bangga
“Turkmenbashi kemudian menghadiahkan telpek bikinan Bapak kepada Presiden Soeharto. Sampai hari ini aku masih menyimpan guntingan koran dan majalah tentang berita itu,” sambungnya.
Saya baru tahu kalau Presiden Suharto pernah ke Turkmenistan. Mungkin Turkmenbashi sempat berguru juga pada presiden kita. Serpihan-serpihan memori saya yang saya punguti dari penjuru Ashgabat selalu mengingatkan saya pada satu nama – Soeharto. Tetapi apa pun itu, saya merasakan kebahagian yang tak terlukiskan terpancar dari bola mata Mekan ketika berkisah. Sebuah kegembiraan untuk berbakti pada sang Pemimpin.
Apakah rasa gembira Mekan yang tiba-tiba meluap itu karena menemukan teman seperjuangan?
“Turkmenbashi adalah pemimpin yang baik,” kata Mekan, “dan saya yakin Soeharto juga demikian.”
Karena menganggap saya sebagai pengikut setia Soeharto yang jauh-jauh datang dari negeri seberang, Mekan mengikuti jejak ayahnya – menghadiahkan saya sebuah telpek kualitas tinggi, hangat di musim dingin dan sejuk di musim panas.
Biarlah Mekan tetap bahagia dalam keyakinannya. Saya tak sampai hati merusak mimpinya dengan membuat makalah perbandingan Soeharto dan Turkmenbashi.
Sinar matahari mulai sayup-sayup menerangi bumi ketika ingar-bingar Tolkuchka Bazaar mulai berkurang. Para pedagang permadani mulai menggulung tikar-tikar cantik merah menyala, mengantarkan padang pasir ini kembali pada alamnya yang asli.
Jalan kembali ke Ashgabat penuh sesak oleh mobil dan truk. ‘Abad Emas’, ‘Ruhnama – Jalan Hidup’, ‘Kemerdekaan dan Netralitas’, ‘Turkmenbashi Pemimpin Agung’, dan segala macam wejangan maha suci tertulis besar-besar di barisan baliho dan papan kampanye. Setelah sempat berkelana ke masa lalu, akhirnya saya kembali juga ke ‘dunia’ yang sebenarnya.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 7 Juli 2008
huahhh.. kyk bukan mas agus ya.. hehe
njenengan manglingi nek macak ‘ahmad albar’ cak agus
Seperti biasa, perjalanannya luar biasa Bang Ming. 🙂
Pingin juga euy foto pake topi kribo kayak gitu hehe.
Mas Gusti, itu telpek-nya size L ya..? 😀
hahahaha… Kakak lucu pake topi itu. Itu topinya masih disimpan sampai sekarang?
wah afro weng:))
Saya sudah baca 3 jilid. Selimut debu, Garis batas dan Titik nol. Akan ada yg diterbitkan lagi?
sekilas spt org berambut kribo, 🙂
ha,..ha.. lucu bgt mas agus.
lucu mas agus.. gkgkgk
keren nian bang
🙂
saya ingin sedikit menyampaikan prespektif saya tentang Suharto…
tadinya dlm mindset saya, suharto itu adalah pimpinan dari rezim orba yg diktator dan korup…namun kenapa setiap saya bertanya ke banyak orang, baik yg awam maupun terpelajar, mayoritas menjawab orde baru lebih baik dari jaman sekarang…pasti ada plus minus, namun klo mereka (dan saya juga) harus memilih…tetap orde baru lebih baik…(seperti halnya negara2 stan (kecuali soal agama) yang ternyata jauh lebih baik saat masih bersatu dlm unisovyet)
tapi setelah saya membaca buku “pak harto : untold stories” terbitan gramed, saya mulai mendapatkan prespektif yg lbh objektif tentang pak harto (karena jg ada testimoni dari tokoh yg notabene berseberangan dgn pak harto), beberapa point yg saya garis bawahi :
– pak harto mahir bhs inggris, tp selalu memakai bhs indonesia dlm forum resmi, krn dia ingin menunjukkan jatidiri sbg bangsa indonesia
– semua orang yg pertama dtg ke cendana pasti terkejut, ternyata cendana itu rumah yg sangat sederhana, jauh dari kata mewah
– pak harto seorang tipikal pemimpin yg mengambil tanggung jawab, meskipun kesalahan itu mungkin krn perbuatan anak buahnya
– pak harto bekerja secara detail, membaca semua berkas dan laporan yg masuk kepadanya
– Lee Kuan Yeuw dan Mahathir Muhammad, keduanya mengakui bahwa mereka memimpin singapura dan malaysia (sampai menjadi maju) dengan mengadopsi cara2 pak harto
– dll
mudah2an bisa menjadi perspektif lain buat mas avgus
Saya d besarkan dlm masa orde baru,dan saya mungkin orang yg berjiwa patuh pemimpin, saya tidak melihat ada yg salah dgn orde baru, malah lebih baik dari orla dan orde demokrazy, eh orde demokrasi..dimasa orba sbg bangsa kita punya tujuan dan tahapan2 utk menujunya..saya pernah penataran p4 sampai pola 100 jam nggak ada yg salah, nilai2 didalamnya sangat luhur…setelah nabi Muhamad SAW, manusia yg paling saya kagumi adalah Pak Harto..