Recommended

Melihatnya dari Sisi Berbeda

Agustus 2019, Katedral Norwich menjadi kontroversi di seluruh Inggris. Di ruang altar utama Katedral, mereka memasang mainan perosotan yang disewa dari sebuah sirkus. Norwich adalah kota di Inggris dengan jumlah gereja terbanyak, tetapi sekaligus yang paling ateis. Apa yang menyebabkan orang Inggris enggan ke gereja? Dan apakah masa depan dari gereja?


Norwich adalah kota dengan gereja terbanyak, sekaligus yang paling ateis.

Norwich adalah kota yang bertabur gereja Abad Pertengahan.

Norwich, ibukota daerah Norfolk di bagian timur Pulau Britania, pernah menjadi kota perdagangan yang penting di masa Abad Pertengahan. Hingga tibanya era Revolusi Industri, selama berabad-abad Norwich senantiasa menjadi kota terbesar kedua di Inggris setelah London. Posisinya sebagai kota perdagangan utama itu menyebabkan Norwich memiliki banyak gereja. Para saudagar wol pada masa itu berlomba-lomba membangun gereja, demi menunjukkan status sosial dan kemakmuran mereka. Norwich adalah kota dengan jumlah bangunan gereja Abad Pertengahan terbanyak di seluruh Inggris. Pada masa puncak kejayaannya, Norwich pernah memiliki 57 gereja. Lebih banyak jumlah gereja di Norwich daripada jumlah hari Minggu dalam setahun.

Tapi masa itu telah berlalu. Norwich hari ini justru telah menjadi kota yang paling ateis. Menurut sensus tahun 2011, sebanyak 42,5 persen penduduk Norwich mengklaim diri mereka “tidak punya agama”, tertinggi di seluruh Inggris. Banyak gereja, tetapi penduduknya tidak lagi beragama, maka otomatis banyak gereja tidak lagi berguna. Dari 31 bangunan gereja Abad Pertengahan yang masih bertahan di Norwich, hanya sembilan yang masih berfungsi sebagai tempat ibadah.  

Jadi, apa yang terjadi dengan bangunan gereja yang sudah kehilangan fungsinya?

Salah satunya adalah Gereja St. Gregory, gereja Abad Pertengahan yang terletak di Jalan Pottergate di kota tua Norwich. Dari luar, dia memang masih tampak seperti gereja, terbuat dari bahan batu flint berwarna kelabu dengan menara yang tinggi menjulang. Namun di dalamnya, dia telah berubah menjadi toko barang antik. Di sini kamu bisa menemukan gaun pengantin, manik-manik, kartu pos, botol-botol kaca aneka warna, lukisan, boneka horor untuk hiasan Halloween, sampai patung kepala Buddha, semuanya campur aduk di dalam aula utama yang pada suatu masa yang telah silam pernah menjadi altar suci. Memang masih ada jejak sebuah gereja tua di sini: deretan pipa orgel raksasa, ukir-ukiran, lukisan dinding Santo Gregorius membunuh naga, patung malaikat, dan kaca patri warna-warni bergambar para orang suci. Namun mereka semua telah kehilangan roh mereka yang mula-mula, kini hanya berfungsi sebagai ornamen cantik yang menambah nuansa antik toko barang antik.

Gereja St. Gregory yang telah berubah fungsi menjadi toko barang antik.

Gereja seperti St. Gregory ini dikategorikan sebagai redundan, atau “berlebihan”. Setelah kehilangan fungsinya sebagai gereja, bangunan-bangunan gereja ini umumnya menjadi terbengkalai dan rusak parah. Beberapa gereja—termasuk St. Gregory—bahkan pernah direkomendasikan untuk dirobohkan karena dianggap jelek atau menghalangi pembangunan kota.

Sejarah penggunaan gedung gereja untuk tujuan non-ibadah pertama kali dimulai dari gereja St. Peter Hungate. Gereja ini terletak di daerah Elm Hill, yang merupakan daerah hunian warga kelas menengah di Norwich Abad Pertengahan. Pada masa kejayaannya, gereja ini memang pernah sangat makmur, namun di abad ke-19, seiring dengan modernisasi Era Industri, banyak warga Norwich yang berpindah ke kota besar, sehingga gereja ini pun kehilangan umat, menjadi miskin dan terbengkalai. Sebagaimana yang lazim terjadi pada banyak gereja “berlebihan” lain di Norwich, gereja ini pun beberapa kali terancam dirobohkan pemerintah setempat di awal abad ke-20.

Pada tahun 1930an, bangunan gereja St. Peter Hungate berhasil diselamatkan, dengan cara diubah fungsinya sebagai museum benda-benda seni gereja. Ini pun bukannya tanpa kontroversi. Para petinggi pada masa itu harus meyakinkan publik luas bahwa museum itu bukanlah semata-mata bangunan sekuler, tetapi juga rohaniah. Dalam upacara peresmian museum, Uskup menyatakan harapannya agar gedung ini nantinya tetap menjadi “Rumah Tuhan, yang mengajarkan ajaran Tuhan melalui mata, kalau bukan lagi melalui telinga.”

St. Peter Hungate menjadi gereja pertama di Norwich, dan juga di seluruh Inggris, yang dialihfungsikan untuk kegiatan non-rohaniah. Ini kemudian menjadi teladan untuk melestarikan gereja-gereja bersejarah lain yang bertebaran di seluruh Inggris. Saat ini, bangunan-bangunan gereja yang tidak lagi terpakai di Norwich dikelola oleh sebuah organisasi pelestarian. Demi menutup biaya perawatan yang sangat tinggi, solusi mereka adalah menyewakan gedung-gedung gereja tua ini kepada masyarakat untuk beragam penggunaan. Itu sebabnya banyak bangunan gereja tua di Norwich yang kini telah menjelma sebagai toko, kafe, gedung opera, perkantoran, museum, gedung pernikahan, sampai gedung olahraga dan sekolah bela diri.   

Gereja St. Peter Hungate telah berubah menjadi lokasi pameran barang seni.

Museum di gereja St. Peter Hungate itu sudah ditutup beberapa tahun lalu. Bangunan ini kini disewa oleh sekelompok kecil relawan yang berdedikasi untuk memperkenalkan kesenian Abad Pertengahan kepada publik melalui pameran gratis. Mereka hanya hidup dari donasi pengunjung untuk menutup biaya sewa yang sebesar seribu poundsterling per bulan. Karena mereka semua adalah relawan, dan jumlah mereka tidak banyak, St. Peter Hungate hanya dibuka untuk publik di akhir pekan, dan itu pun hanya di musim panas. Ketika musim dingin tiba, ruangan gereja yang tidak dilengkapi pemanas ini menjadi terlalu dingin bagi para relawan untuk berjaga di dalamnya selama berjam-jam.

 Seorang relawan tampak bosan berjaga sendiri di kursi di dekat pintu masuk. Salah satu tugasnya adalah mengeklik alat penghitung di tangannya, untuk mencatat berapa banyak pengunjung yang datang pada hari itu. Tidak banyak orang yang datang, dan lebih jarang orang yang mengajaknya bicara.

“Apa yang membuat kalian rela melakukan semua ini?” saya bertanya kepadanya, memecah kesunyian.

“Kami mencintai sejarah,” kata relawan bernama Sophie itu, seketika menjadi antusias. “Kami merasa sayang sekali jika publik tidak memiliki akses untuk menikmati bangunan bersejarah yang sangat indah ini.”

Pameran seni Abad Pertengahan yang digelar di dalam gereja ini memiliki tema yang berbeda-beda setiap bulan. Kali ini, gereja ini tampak kosong melompong tanpa benda ekshibisi, karena yang mereka pamerkan adalah suara. Lagu yang monoton dan berat, dimainkan dari belasan tape recorder yang bertebaran di ruang altar gereja, bersahut-sahutan, membangkitkan nuansa misterius dan mistis dari Abad Kegelapan. Tetapi kosongnya barang pameran membuat saya justru lebih leluasa mengamati detail gereja tua yang luar biasa ini. Lukisan kaca patri warna-warni di belakang altar, ukir-ukiran emas bergambar orang-orang suci yang menghiasi sambungan struktur bangunan pada langit-langit, dan yang paling dahsyat adalah ukiran berkilau bergambar Yesus di Hari Penghakiman pada bagian pusat langit-langit. Keindahan yang begitu memabukkan, detail yang begitu teliti…

“Apa yang orang-orang sebut sebagai Abad Kegelapan itu sebenarnya sama sekali tidak gelap, bukan?” komentar saya.

“Tentu saja tidak,” tangkis Sophie, “Abad Pertengahan justru merupakan era puncak kesenian yang sangat dahsyat, dan kebanyakan dari mahakarya itu justru berada di dalam gereja.”

Sophie kebetulan adalah seorang arkeolog. Bekerja sebagai relawan di gedung gereja tua ini juga berhubungan dengan penelitian arkeologisnya. Setiap detail dari gereja ini punya sejarah, mulai dari langit-langit, kaca patri, pegangan pintu, tembok, penutup lantai, sampai tengkorak-tengkorak yang dikubur di bawah lantai. Dia sendiri bukan umat gereja, tetapi kecintaannya pada sejarah membuatnya mendalami sejarah gereja.

Banyak ornamen di dalam gereja Katolik yang dihancurkan atau dirusak karena dianggap sesat.

Penghancuran gereja-gereja yang berlebihan, kata Sophie, bukanlah merupakan fenomena baru di zaman modern yang sekuler ini saja, tetapi bahkan sudah terjadi sejak Abad Pertengahan. Semua gereja di Norwich, kecuali Katedral, adalah gereja jemaat. Itu artinya, biaya pemeliharaan gedung gereja itu disokong oleh komunitas jemaat. Karena jumlah gereja di Norwich terlalu banyak, maka ada beberapa gereja yang komunitas jemaatnya sebenarnya berukuran kecil, tetapi orang-orangnya cukup kaya sehingga tetap mampu menyokong keberlangsungan hidup gereja itu. Ketika terjadi krisis ekonomi atau perpindahan penduduk keluar secara besar-besaran, maka gereja-gereja ini tidak lagi mampu mempertahankan dirinya. Gereja-gereja ini menjadi kosong, lapuk, terbengkalai, “berlebihan”. Dan solusi yang paling umum sejak dari zaman Abad Pertengahan itu selalu sama: membiarkan mereka hancur.

Tentu itu adalah kerugian besar bagi pelestarian sejarah. Namun ada babak sejarah lain yang menyebabkan kehancuran yang paling parah terhadap gereja-gereja peninggalan Abad Pertengahan di seluruh Inggris.

Pada abad ke-17 meletus Perang Saudara Inggris. Ini adalah perang antara kubu pendukung kerajaan dan para pemberontak yang anti-raja. Mereka juga mewakili dua tradisi keagamaan yang berbeda. Walaupun sama-sama Protestan, kubu kerajaan masih mempertahankan ritual-ritual peninggalan tradisi Katolik Roma, sedangkan kubu pemberontak adalah kaum puritan yang ingin memurnikan ajaran Kekristenan dari unsur-unsur tradisi yang mereka pandang bukan berasal dari Alkitab. Di mata kaum puritan itu, patung dan lukisan-lukisan sakral yang umum di gereja Katolik (semua gereja Abad Pertengahan dulunya adalah gereja Katolik) adalah berhala haram yang harus dimusnahkan. Para pemberontak itu menduduki gereja-gereja, menghancurkan patung-patungnya, merusak ukiran-ukirannya, menghapus lukisannya, memecahkan jendela kaca patrinya, merobohkan dan membakar semua benda seni yang ada di dalamnya.

Atas nama pemurnian iman, orang Kristen merusak gereja Kristen…. Dalam nama Tuhan yang penuh cinta kasih, orang Kristen membunuh orang Kristen…. Ini adalah babak sejarah yang sangat gelap, yang jarang dibicarakan secara terbuka di Inggris bahkan hingga masa sekarang. Dari sudut pandang kegemilangan Abad Pertengahan, justru inilah Abad Kegelapan yang sesungguhnya.   

Tetapi, di mana pun yang namanya perang atas nama Tuhan itu sebenarnya tidak pernah semata-mata demi Tuhan. Sophie mengingatkan saya bahwa perusakan gereja itu juga bukan semata-mata demi membela iman. “Di bawah lantai gereja-gereja di Inggris juga merupakan kuburan orang-orang penting, dan mereka lazim dikubur dengan harta berharga. Para pemberontak penghancur gereja membuka kuburan-kuburan itu, menjarah harta yang ada di dalamnya, untuk kemudian dijual sebagai modal membiayai perang,” jelas Sophie. Mereka juga merampok benda-benda seni yang menghiasi gereja, yang tentunya luar biasa berharga. Demikian juga barang-barang gereja yang terbuat dari besi dan baja, mereka lebur untuk membuat senjata.

Jadi, tindakan “pembelaan iman” ini sebenarnya juga punya motif ekonomi dan militer. Ini sekaligus membuktikan bahwa memisahkan mana yang religius dan mana yang non-religius sebenarnya tidak selalu mudah. Di masa lalu, agama dan kekuasaan politik itu berkaitan erat satu sama lain, nyaris tidak terpisahkan. Masyarakat Abad Pertengahan percaya bahwa satu-satunya sumber kekuasaan adalah Tuhan. Itu sebabnya, para raja di Eropa itu perlu untuk meyakinkan rakyat bahwa mereka adalah wakil Tuhan yang sah, dan untuk itu mereka harus mendapatkan restu dari Gereja. Ini mengakibatkan hubungan simbiosis yang cukup kompleks antara Raja dan Gereja. Raja membutuhkan Gereja demi mendapatkan pengakuan, sedangkan Gereja membutuhkan Raja untuk mendapatkan uang dan perlindungan. Tidak jarang, Raja dan Gereja saling berseteru, karena sama-sama berebut klaim sebagai pemegang kekuasaan Tuhan di bumi.

Adalah perseteruan antara Raja dan Gereja seperti ini, yaitu antara raja Inggris Henry VIII dengan Paus Katolik Roma di abad ke-16, yang menyebabkan gereja-gereja di Inggris terpisah dari hierarki Gereja Katolik Roma. Konflik di antara para penguasa rohaniah dan sekuler itu semula adalah masalah personal (raja Henry ingin bercerai dengan istrinya, tetapi Paus tidak mau mengakuinya), hingga pada akhirnya berubah menjadi dogma keimanan yang menentukan takdir seluruh umat Kristen Inggris hingga hari ini. Perpecahan antara Henry dan Paus itu menyebabkan gereja-gereja Inggris kemudian menjadi Protestan, tunduk kepada Church of England yang dipimpin langsung oleh raja Inggris, bukan lagi oleh Paus di Roma.

Kemegahan Katedral Norwich menggemakan kejayaan Kekristenan di masa lalu.

Kebiasaan kita memisahkan antara yang religius dan non-religius sebenarnya adalah hal yang relatif sangat baru dalam sejarah peradaban manusia. Gagasan pemisahan ini mulai muncul pada Era Pencerahan, yang kemudian meletakkan dasar bagi sekularisme kita di zaman sekarang. Namun di Abad Pertengahan, sama sekali tidak ada pemisahan ini. Bahkan gereja pun merupakan gabungan yang sangat erat dari elemen-elemen yang sekarang kita sebut sebagai “religius” dan “sekuler” itu.

“Di zaman itu, gereja juga punya fungsi sekuler,” kata Sophie, “Orang-orang memenuhi gereja untuk menggelar acara-acara sekuler, pertemuan, atau bahkan berdagang.” Ini dilakukan di dalam ruangan altar utama, yang disebut sebagai nave atau “panti umat”, yang merupakan tempat kegiatan komunal bagi masyarakat. Sedangkan di belakang altar, yang dipisahkan dengan partisi, adalah zona “panti imam”, zona sakral yang tidak boleh dimasuki oleh sembarangan orang.

“Jadi, penggunaan gereja untuk tujuan sekuler sama sekali bukan hal baru dalam sejarah gereja,” pungkas Sophie.

“Termasuk memasang mainan perosotan dari sirkus di ruang altar?” tanya saya.

“Itu tidak baru, tetapi sekaligus baru,” kata Sophie. “Tidak baru, dalam hal memasukkan elemen sekuler ke dalam gereja. Baru, karena Katedral Norwich yang sejatinya sangat ritualistik dan tradisional kini juga melakukan strategi menarik umat baru sebagaimana lazimnya gereja evangelis Protestan.”

Halaman Selanjutnya

1 2 3 4 5

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

3 Comments on Melihatnya dari Sisi Berbeda

  1. Mengasyikkan sekali membaca liputan ini, seperti sedang naik roller coaster, klimaks antiklimaks, naik turun, penuh kejutan. Terima kasih.

  2. Menarik sekali.

  3. Mas Wibowo, air mata saya juga menetes membaca ini. Tulisan yang dibuat sepenuh hati, memang selalu merasuk sanubari. Terima kasih mas, atas tulisannya.

Leave a comment

Your email address will not be published.


*