Recommended

Melihatnya dari Sisi Berbeda

Agustus 2019, Katedral Norwich menjadi kontroversi di seluruh Inggris. Di ruang altar utama Katedral, mereka memasang mainan perosotan yang disewa dari sebuah sirkus. Norwich adalah kota di Inggris dengan jumlah gereja terbanyak, tetapi sekaligus yang paling ateis. Apa yang menyebabkan orang Inggris enggan ke gereja? Dan apakah masa depan dari gereja?


Mencari seorang umat gereja di luar gereja di Inggris hari ini bagaikan mencari jarum di tengah samudra.

Umat gereja saat ini didominasi orang-orang berusia lanjut

Saya bertemu Catherine secara tidak sengaja. Dia adalah kawan dari seorang kawan saya. Mereka berdua telah berkawan akrab bertahun-tahun, tetapi kawan saya itu tidak pernah mengetahui sedikit pun kalau Catherine adalah seorang umat yang rajin beribadah di gereja. Kebetulan kawan saya menyinggung tentang saya yang sedang melakukan riset tentang gereja di Norwich, dan barulah pada saat itu Catherine memberitahunya bahwa dia adalah seorang umat gereja dan cukup gembira untuk bicara dengan saya. Di tengah masyarakat Inggris yang semakin sekuler ini, tampaknya banyak umat gereja yang enggan memberitahu teman-temannya bahwa mereka adalah umat gereja. Ke gereja telah menjadi ranah yang teramat privasi, yang jarang dibicarakan secara terbuka.

“Mengapa harus menyembunyikan diri sebagai umat gereja?” saya bertanya kepada Catherine.

“Karena saya lelah menghadapi prasangka orang,” katanya, “Begitu mereka tahu saya adalah umat gereja, mereka akan berasumsi bahwa saya anti-gay, anti-perempuan, dan anti-sukaria. Mereka akan menggiring saya pada perdebatan yang tidak mengenakkan dan tidak berujung, penuh prasangka. Padahal, tidak semua umat gereja anti terhadap hal-hal itu.”

Catherine semula adalah Kristen nominal, yang pergi ke gereja hanya untuk perayaan Natal dan Paskah. Orangtuanya juga menyebut diri sebagai pemeluk Kristen, namun terlalu sibuk untuk mengikuti ibadah di gereja. Saat Catherine belajar di universitas, orangtuanya tiba-tiba memutuskan untuk kembali ke gereja. Itu membuat Catherine heran dan penasaran. Dia kemudian mencoba turut kembali ke gereja, dan ternyata, tanpa dia perkirakan sebelumnya, itu menjadi pengalaman yang menarik baginya. Dia sangat menyukai khotbah pendeta di gereja itu, juga pada keramahan para jemaat di sana.

Titik balik bagi perjalanan spiritual Catherine adalah ketika ayahnya menderita penyakit kanker. Dia melihat betapa para jemaat di gereja menaruh perhatian yang sangat besar pada ayahnya, dan menyemangatinya untuk tetap berjuang dan berserah pada Tuhan. Catherine menyaksikan sendiri bagaimana ayahnya meninggal dalam kebahagiaan, tiada takut sedikit pun menghadapi kematian. Itu membuatnya bertekad untuk terlibat semakin dalam dengan kegiatan gereja. Bagi Catherine, gereja adalah tentang cinta, penyembuhan, dan komunitas. Dan pada akhirnya, gereja adalah tentang makna, yang memberinya kekuatan untuk menjalani hidup.

“Kekristenan yang saya anut adalah inklusif modern,” kata Catherine, “Gereja kami mempertahankan banyak ritual. Banyak dupa, lonceng, liturgi, dan musik. Tetapi sikap mereka adalah liberal, terutama terhadap isu perempuan dan LGBT.”

Sikap gereja terhadap masalah kesetaraan perempuan dan isu LGBT memang menjadi masalah bagi banyak orang di Inggris, sehingga mereka berprasangka buruk terhadap gereja dan menolak untuk pergi ke gereja. Saat ini Church of England telah memiliki dekan dan uskup perempuan, yang merupakan revolusi besar terhadap tradisi gereja di Inggris, di mana jabatan tinggi bagi kaum perempuan dalam hierarki gereja adalah hal yang semula sangat terlarang. Namun revolusi tradisi seperti ini pun masih sulit mendapat penerimaan secara penuh, terutama dari kalangan internal gereja sendiri. Sedangkan sikap Church of England terhadap isu LGBT, bagi Catherine, masih membingungkan, kalau bukan hipokrit. Catherine punya banyak teman pendeta yang gay. Gereja mengizinkan mereka sebagai homoseksual, tetapi melarang mereka untuk menikah. “Gereja mestinya punya sikap yang jelas: menerima penuh, atau menolak penuh,” kata Catherine.

Gereja sebenarnya juga bukannya tidak berubah. Gereja tetap berusaha menyesuaikan dirinya dengan nilai-nilai baru yang berkembang di kalangan masyarakat, termasuk dalam isu-isu sensitif. Catherine punya seorang teman pendeta perempuan di Manchester, yang berkhotbah tentang penerimaan terhadap kaum LGBT. Pendeta itu berkata bahwa dia ingin sekali menikahkan pasangan sejenis di gereja, namun hal ini masih belum memungkinkan. Gara-gara khotbah ini, dua umat gereja menjadi marah dan tidak pernah kembali lagi ke gereja.

Namun, ada yang pergi, ada pula yang datang. Khotbah kontroversial itu justru mendatangkan umat-umat baru yang lain. Seorang anggota dewan gereja bercerita kepada pendeta perempuan itu tentang seorang keponakannya yang bernama Tom. Tom adalah seorang gay, dan meninggalkan gereja karena merasa tidak diterima oleh gereja. Namun, berkat khotbah pendeta perempuan yang sangat inklusif dan toleran terhadap homoseksualitas itu, Tom justru kembali ke gereja. Tom bahkan membawa serta partner hidupnya, dan kemudian mereka justru aktif dalam berbagai kegiatan gereja. Mereka bisa menjadi demikian, karena mereka merasa diterima oleh Tuhan dan gereja.   

“Jadi kita tidak pernah tahu cara Tuhan bekerja,” kata Catherine, “Semua itu kadang di luar penalaran manusia.”

“Apa pendapatmu tentang kontroversi Katedral Norwich yang memasang perosotan di dalam gereja?” tanya saya.

“Itu ide brilian untuk mendatangkan kembali orang ke gereja,” kata Catherine.

“Walaupun mereka datang bukan demi gereja?”

“Siapa yang bisa memastikan bahwa di antara yang datang itu tidak ada sama sekali yang kemudian tertarik kepada Tuhan dan menjadi umat Tuhan?” kata Catherine, “Kita manusia tidak boleh sombong, tidak boleh menghakimi, karena sekali lagi, kita tidak pernah tahu dengan cara apa Tuhan ingin berkomunikasi dengan orang-orang.”

Halaman Selanjutnya

1 2 3 4 5

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

3 Comments on Melihatnya dari Sisi Berbeda

  1. Mengasyikkan sekali membaca liputan ini, seperti sedang naik roller coaster, klimaks antiklimaks, naik turun, penuh kejutan. Terima kasih.

  2. Menarik sekali.

  3. Mas Wibowo, air mata saya juga menetes membaca ini. Tulisan yang dibuat sepenuh hati, memang selalu merasuk sanubari. Terima kasih mas, atas tulisannya.

Leave a comment

Your email address will not be published.


*