Recommended

Melihatnya dari Sisi Berbeda

Agustus 2019, Katedral Norwich menjadi kontroversi di seluruh Inggris. Di ruang altar utama Katedral, mereka memasang mainan perosotan yang disewa dari sebuah sirkus. Norwich adalah kota di Inggris dengan jumlah gereja terbanyak, tetapi sekaligus yang paling ateis. Apa yang menyebabkan orang Inggris enggan ke gereja? Dan apakah masa depan dari gereja?


Mungkin saya memang harus belajar untuk tidak menghakimi terlalu cepat, dan belajar untuk melihatnya dari sisi berbeda. Saya kembali ke Katedral, ke hadapan mainan perosotan di ruang altar.

Mainan perosotan itu mendatangkan keriangan bagi banyak pengunjung.

Ini adalah hari terakhir mainan perosotan ini dipasang di Katedral, sekaligus hari terakhir dari 11 hari program Seeing It Differently. Antrean untuk mainan perosotan sudah mengular sejak pagi, dan siapa pun yang berhasil mendapatkan karcis bisa bernapas lega, karena ini benar-benar adalah kesempatan terakhir. Termasuk saya, yang telah mengantre hampir dua jam sejak pagi.

Saya menaiki tangga di dalam wahana perosotan itu bersama seorang kakek tua berusia 70 tahun yang datang jauh-jauh dari Suffolk, sekitar dua jam perjalanan dari sini. Dia mengatakan sudah puluhan tahun tidak ke gereja, kecuali kalau ada orang kawin atau mati. Gara-gara mainan perosotan ini, dia kembali datang ke gereja. Dia sudah sangat antusias untuk segera ke puncak perosotan, untuk mengamati ukir-ukiran indah bergambar Yesus di langit-langit sana. Dia bahkan telah menyiapkan sebuah kamera saku untuk mengabadikan kesempatan langka ini.

Menyaksikan keceriaan kanak-kanak yang begitu tulus terpancar dari mata berbinar pada wajah tua berjenggot putih ala Profesor Dumbledore itu, saya jadi bertanya kembali: apa yang salah jika gereja bisa menghadirkan keceriaan dan kebahagiaan bagi semua orang tanpa terkecuali?

Pengalaman meluncuri perosotan raksasa ini adalah gabungan dari takjub dan seram. Pilar-pilar jendela tinggi bergaya Gotik itu dingin dan angkuh, namun kelap-kelip lampu neon perosotan yang penuh warna membuatnya menjadi sedikit lebih ramah dan jenaka. Memandang ukir-ukiran di langit-langit lebih membuat telapak tangan saya basah, karena saya terbayang andai terlempar jatuh dari ketinggian yang mengerikan ini. Ketika pantat saya mulai bergerak turun menyusuri ulir perosotan, semakin cepat dan semakin cepat, deretan pilar-pilar tinggi itu menjadi bayangan kabur yang memusingkan. Adrenalin memuncak, saya menjerit-jerit histeris, sama sekali lupa sedang berada di dalam gereja. Hanya sepuluh detik meluncur, saya sudah mendarat di dasar dengan jantung yang masih berdebar kencang, namun diliputi kelegaan dan kepuasan yang tidak terkira. Benar-benar gila!

Sukaria yang sama juga saya temukan di wajah para pengunjung yang lain, kebanyakan adalah anak-anak yang ditemani para orangtua menikmati liburan musim panas. Tetapi kegembiraan mainan kanak-kanak ini tidak terbatas usia. Ada seorang nenek yang saking ketakutannya, meluncur turun dengan tubuh berbaring dan mata terpejam, sampai tidak bisa bangun lagi ketika mendarat dan harus digotong ramai-ramai oleh orang-orang di sekeliling. Namun begitu berdiri, tawanya meledak, dan membangkitkan gelak tawa semua orang di sekelilingnya.

Saya berbincang dengan sepasang kakek nenek yang datang jauh-jauh dari Luton. Mereka adalah umat gereja yang taat selama lebih dari 70 tahun tanpa putus. Saya bertanya apakah menaruh mainan perosotan di dalam gereja adalah ide yang bagus. Tentu saja, kata mereka penuh kepastian, karena perosotan ini mendatangkan orang-orang datang kembali ke gereja. “Ini menunjukkan kalau gereja tidak fanatik, tidak puritan,” kata si kakek. “Justru kefanatikan dan puritanisme itu yang menyebabkan banyak kekacauan dan kebencian di dunia kita sekarang.”

Bukankah kefanatikan dan sikap puritanisme yang sama juga telah membawa kehancuran bagi banyak agama?   

Pada Minggu sore ini, gereja menggelar misa menjelang pembongkaran mainan perosotan itu. Misa itu digelar di hadapan perosotan, bangku-bangku para jemaat menghadap ke arah mainan perosotan. Agak aneh kelihatannya, ketika subjek ritual mereka seolah-olah justru adalah wahana sirkus dengan lampu neon yang berkelap-kelip jenaka. Tetapi jika dilihat-lihat lagi, sebenarnya tidak terlalu aneh juga. Perosotan berbentuk kerucut itu sekilas tampak seperti pohon natal raksasa.

Segala sesuatu dalam misa kali ini memang luar biasa. Uskup memimpin khotbah bukan dengan berdiri di mimbar, tetapi sambil duduk di setengah lintasan luncuran perosotan, tinggi di atas para jemaat. “Orang-orang menolak mainan perosotan ini di dalam gereja, menyebut kita telah menjadikan Tuhan sebagai atraksi wisata,” kata sang Uskup membuka khotbahnya. “Apakah Tuhan adalah atraksi wisata? Iya, Tuhan adalah atraksi wisata. Tetapi apakah Tuhan hanya atraksi wisata? Tidak, Tuhan bukan hanya atraksi wisata. Tuhan adalah atraksi bagi kehidupan kita. Dia ingin menjadi menarik bagi kita.”

Perosotan ini memberi kesempatan kita untuk melihat Tuhan dari sisi berbeda, lanjut sang Uskup. Melihat ke atas, maka kau akan melihat Tuhan, sedangkan melihat ke bawah kau akan melihat kemanusiaan kita. Ketika kita melihat dunia dari berbagai sudut pandang berbeda, maka kita akan melihat diri kita sendiri dengan cara yang berbeda, dan kita akan melihat Tuhan dengan cara yang berbeda pula. “Tawa riang dan kebahagiaan juga adalah cara Tuhan untuk menampakkan diri-Nya kepada kita,” kata sang Uskup.

Dalam keheningan misa, tiba-tiba melantun suara sang Uskup menyanyikan lagu Words, lagu yang dipopulerkan boy band Boyzone di tahun 1990an. It’s only words, and words are all I have, to take your heart away…. Arsitektur gedung gereja Abad Pertengahan umumnya memiliki kualitas akustik yang sangat baik, sehingga nyanyian merdu sang Uskup menjelma bagai konser tunggal yang menyihir. Semua jemaat yang menghadiri misa terpana, ada yang tersenyum tersipu, dan ada pula yang meneteskan air mata. Setelah menyelesaikan lagunya, sang Uskup kemudian meluncur turun dari perosotan. Dia mendarat dengan kedua tangan terangkat tinggi dan senyum bahagia, disambut tepuk tangan gempita para jemaat.   

Uskup mengakhiri khotbahnya dengan cara yang anti-mainstream.

Acara kemudian dilanjutkan oleh Pendeta Andy Bryant, imam di Katedral. Dialah yang mencetuskan program Seeing It Differently ini. Dalam sebelas hari ini, dia melaporkan, sudah lebih dari 10.000 orang meluncur pada perosotan di Katedral Norwich. Tetapi yang penting bukanlah pencapaian jumlah itu, melainkan percakapan dengan orang-orang yang berbagi kisah tentang bagaimana mereka melihat Katedral dari sudut pandang yang baru. Ada seseorang yang baru didiagnosis menderita penyakit yang mematikan, dan pada hari itu dia mencoba mainan perosotan di Katedral ini, lalu menemukan sebuah pengalihan yang menyenangkan di tengah masa-masa paling sulit dalam hidupnya. Ada pula cerita tentang seorang anak yang kagum pada warna-warni mainan perosotan ini, yang membuatnya yakin bahwa Tuhan juga pasti cinta warna-warni. Tuhan pasti juga mencintai aku karena aku pakai baju warna-warni pelangi, kata anak itu pada ibunya.

Mengapa kita harus membayangkan Tuhan hanya sebagai sosok yang syahdu dan sunyi kalau Dia juga bisa begitu ceria dan jenaka? Mengapa membayangkan Tuhan hanya sebagai sosok yang tegas dan menghukum, kalau Dia juga bisa penuh kegembiraan dan warna-warni yang bersahabat?

Sebuah lagu misa nan syahdu yang saya dengar di Katedral Norwich sempat membuat saya meneteskan air mata.  

Cinta Tuhan lebih luas daripada jangkauan nalar manusia;
Dan hati Sang Abadi adalah welas asih yang sungguh luar biasa;
Tapi kitalah yang menjadikan cinta-Nya sempit oleh batas-batas palsu kita;
Dan kita besar-besarkan ketegasan-Nya dengan kesempitan yang tiada Dia punya.

Iya, mereka memang berhasil. Mereka telah berhasil membuat saya melihat Dia dari sisi berbeda.


1 2 3 4 5

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

3 Comments on Melihatnya dari Sisi Berbeda

  1. Mengasyikkan sekali membaca liputan ini, seperti sedang naik roller coaster, klimaks antiklimaks, naik turun, penuh kejutan. Terima kasih.

  2. Menarik sekali.

  3. Mas Wibowo, air mata saya juga menetes membaca ini. Tulisan yang dibuat sepenuh hati, memang selalu merasuk sanubari. Terima kasih mas, atas tulisannya.

Leave a comment

Your email address will not be published.


*