Titik Nol 131: Berjalan Lagi
Saya melihat tetes air menggenangi mata Hassan Shah melepas kepergian anak-anaknya. Saya teringat air mata yang sama mengalir di kedua belah pipi ibunda saya.
Sudah sepuluh hari Karimabad terkunci dari dunia luar. Jalan Karakoram Highway, satu-satunya jalan yang menghubungkan Islamabad ke negeri Tiongkok melintasi barisan gunung tinggi Himalaya, tak bisa ditembus. Penyebabnya, badai salju menyebabkan beberapa titik sepanjang jalan ini ditimbun longsor. Batu-batu gunung raksasa bisa begitu saja berpindah tempat dari puncak sana ke badan jalan. Di belahan bumi ini, di tengah musim seperti ini, longsor batu sama lazimnya dengan chapati di pagi hari.
Lebih dari sebulan sudah saya terperangkap di Hunza. Semula saya datang dengan tubuh lemah, nafsu makan minim, dan mata kuning mengerikan. Tetapi udara pegunungan surgawi yang berdaya magis dalam sekejap menyembuhkan penyakit saya. Setelah beristirahat sekian lama, rasanya segenap semangat hidup saya sudah kembali lagi, walaupun saya belum yakin kekuatan tubuh ini sudah pulih seperti sedia kala.
Lepas dari hepatitis, sekarang saya ditekan rasa berdosa. Dulu semangat saya begitu meluap-luap, ingin segera membaktikan diri ke daerah gempa di Kashmir. Tetapi kini, saya tak lebih dari seorang turis lemah yang menghabiskan hari-hari di pondokan, menonton film India sepanjang hari, dan hanya mensyukuri keindahan hamparan salju yang putih bersih. Ada hutang yang belum terbayar, dan hutang itu membayangi setiap mimpi saya di firdaus dunia ini.
Hingga pada akhirnya, datanglah kabar gembira itu.
“Besok kita ke Manshera,” seru Hussain Shah si juru masak, “karena jalan ke Islamabad sudah dibuka kembali.” Ia begitu gembira, akhirnya mendapat kesempatan juga keluar dari dusun ini.
Hussain Shah masih muda, 23 tahun umurnya. Tetapi ia nyaris tak pernah pergi ke mana-mana. Paling selatan sampai ke Mansehra, 700 kilometer jauhnya. Ke utara mungkin cuma sampai ke Gojal.
“Kami ini susah,” kata Hussain, “sebagai penduduk Northern Areas, mendapatkan paspor Pakistan 100 kali lebih susah daripada orang Pakistan lainnya. Hanya China yang bisa dikunjungi dengan gampang, cukup dengan border pass saja. Mungkin China menganggap kita ini juga sebagai miliknya. Pakistan juga. Kami cuma orang kecil di tengah-tengah dua raksasa.”
Kalau Mansehra, Hussain sudah lumayan sering pergi. Sejak dua tahun lalu, kakaknya, si Salman, tiba-tiba kena serangan otak. Sekarang mental Salman masih belum stabil. Matanya kosong, kalau bekerja pun sering salah. Jiwanya tak lagi seutuhnya bersama raganya. Rambut Salman pun terus rontok.
Adalah tugas Hussain membawa kakaknya menempuh perjalanan panjang 18 jam dengan bus, menyusuri Karakoram Highway hingga ke Manshera, hanya untuk periksa ke dokter. Hidup di dusun terpencil di pinggang gunung seperti Karimabad ini memang susah. Semuanya tak ada. Kalau bukan ke China, yang satu hari penuh perjalanan, orang mesti ke Islamabad, yang waktu tempuhnya juga hampir sama.. Jalan gunung ini berbahaya. Bukan hanya jalannya sempit dengan liukan-liukan maut, tetapi juga longsor bisa datang sewaktu-waktu, melemparkan kendaraan mungil manusia ke dalam jurang dan sungai yang garang.
Walaupun cuma ke Mansehra dan hanya empat hari paling lama, bagi Hassan Shah – ayah Hussain – ini adalah peristiwa besar yang penuh haru. Lelaki tua itu seakan tak kuasa melepas kepergian kedua putranya itu. Pagi-pagi buta Hassan Shah sudah menjerang air dan menyiapkan teh. Pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh anak-anaknya, tetapi di hari istimewa ini giliran sang ayah yang melayani putranya.
Dengan mesin microwave tua yang jarang dipakai, Hassan membikin roti spesial untuk putranya. Ukurannya besar sekali. Bau harum menyeruak, membuat perut saya langsung keroncongan lagi. Hussain hanya senyum-senyum saja menerima roti bikinan ayahnya itu. Salman, kosong, seperti biasa. Tetapi kakek tua Hassan berkaca-kaca matanya. Ada kesedihan dan keharuan yang tertahan.
Melihat mata seorang ayah tua itu, saya langsung teringat bagaimana ibu saya tak kuasa menahan air mata ketika melepas kepergian saya belajar di negeri seberang.
“Jangan menangis,” hibur saya, mencoba segala upaya mengubah air mata itu menjadi seulas senyum, “aku cuma pergi belajar. Setahun lagi aku pasti kembali.” Semakin banyak saya berkata, semakin banyak pula air mata ibu yang tumpah.
Betapa berat melepas kepergian anak yang pergi jauh. Saya belum pernah jadi orang tua, tetapi saya tahu rasanya. Setiap dua atau tiga hari sekali, saya menerima e-mail dari ibu saya yang menanyakan di mana saya berada. Beliau tak tahu di mana itu Karimabad, atau Hunza, atau gunung-gunung Karakoram. Hanya nama Pakistan yang dikenal. Dan seperti kebanyakan orang tua pada umumnya, nama Pakistan sudah cukup membuat tidur tak nyenyak.
Ibu pernah berkisah betapa rasa rindu itu membuatnya menangis sendirian tengah malam. Terisak dalam kesepian. Entah berapa helai rambutnya yang memutih setiap harinya karena memikirkan anaknya yang entah di mana rimbanya.
Saya pun tak tahu kapan saya akan pulang. Tetapi air mata Hassan Shah melepas kepergian anak-anaknya membuat saya rindu kehangatan orang tua. Saya larut dalam haru.
Tas ransel sudah kembali bertengger di punggung saya. Berat rasanya. Sudah lama sekali saya tidak merasakan rasanya menggendong ransel, berjalan lagi ke tempat-tempat baru, merambah dunia yang luas. Tetapi senang sekali rasanya, saya kembali lagi ke kehidupan yang lama, melangkahkan kaki kembali menjalani takdir di alam raya.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 3 Februari 2009
My dream list Karakoram Highway. from pakistan to china. Tapi selalu Khawatir dengan Visa Pakistan. Karena aku pemegang kartu PIO (Person of India Origin). Meski aku asli jowo