Titik Nol 205: Pasar Senjata
Hembusan ganas Afghanistan sudah terendus di Peshawar. Tak lebih dari 40 kilometer sebelah selatan Peshawar, di tengah jalan utama menuju Kohat, terletak desa Darra Adam Khel. Dari luar memang nampak seperti desa Pakistan biasa. Kumuh, semrawut, dan berdebu. Yang tak biasa adalah, desingan tembakan yang tiada henti.
Ini adalah tempat di mana segala macam senjata dan bedil dibuat di balik tembok rumah-rumah, dan anak-anak bermain butir-butir peluru menggantikan kelereng. Tak banyak tempat yang benar-benar wild west seperti Darra Adam Khel. Orang-orang bebas membeli dan mencoba segala macam senapan di sini. Mulai dari Kalashnikov, M-16, hingga bolpoint dan tongkat yang bisa menembak. Kakek tua bersurban dan berjenggot putih, keluar dari sebuah toko dengan senyum. Kemudian dia menembakkan M-16 nya ke udara. Tiga tembakan. Nampaknya dia cukup puas dengan bedil barunya.
Langit Darra dipenuhi suara-suara tembakan yang menyalak-nyalak tanpa henti. Saya dikejutkan lebih dari sepuluh kali ketika menyeruput segelas teh panas di kedai. Hati saya penuh tanda tanya, ke mana jatuhnya peluru yang ditembakkan tegak lurus ke atas? Sesuai prinsip gravitasi, peluru itu pasti akan jatuh lagi ke bumi. Adakah dia jatuh kembali kepada si penembaknya? Atau nyasar menembus atap kedai teh ini, menimpa kepala saya tanpa sengaja?
Di balik gubuk-gubuk ini, besi-besi berdentangan, cetakan-cetakan bedil bergantungan, dan orang-orang Pashtun berjenggot lebat sibuk mengasah buah karya mereka. Saat ini ada sekitar tiga ribu unit produksi rumah tangga penghasil bedil, dengan memperkerjakan sekitar 20 ribu ahli senjata. Hampir segala jenis senjata api ada modelnya di sini.
Tak ada barang yang Anda cari? Cukup bawa contohnya, para ahli senjata di desa ini butuh tak lebih dari sepuluh hari untuk membuat tiruannya yang sama persis. Begitu cetakan barang baru ini berhasil dibuat, produksi berikutnya cuma butuh waktu dua sampai tiga hari. Memang jangan terlalu diharap untuk kualitas dan keawetannya. Senjata-senjata made in Darra dijual bebas, murah, dan you get what you pay.
Lebih dari seratus tahun lalu, suku-suku Pashtun dari klan Afridi yang mendiami Darra, sudah mempelajari teknik pembuatan bedil. Seiring dengan perang melawan Rusia di Afghanistan, perdagangan senjata di Darra semakin marak, memberi rejeki besar bagi para pembuat bedil ini. Kalashnikov diproduksi besar-besaran. Semua orang bebas membeli. Afghanistan dan Pakistan kebanjiran senjata ilegal.
Bukan hanya bedil, hashish (ganja) dan opium ikut datang melintas dari perbatasan Afghanistan. Gunung-gunung gundul yang memisahkan kedua sisi Durrand Line termasuk perbatasan paling bocor di seluruh dunia. Orang-orang bebas saja melintas ke sana sini tanpa prosedur imigrasi apa pun. Darra boleh berbangga sekaligus menjadi pusat perdagangan senjata ilegal, penyelundupan obat terlarang, dan segala macam kegiatan mata-mata.
Apakah Pakistan menutup mata terhadap home industry dan perdagangan ganja turun-temurun di Darra? Darra adalah daerah istimewa di Pakistan. Termasuk wilayah Pakistan tetapi sudah tak terjangkau hukum Pakistan. Daerah ini diciptakan Inggris lebih dari seratus tahun lalu, ketika perbatasan Afghanistan ditetapkan, Durrand Line memecah tanah Pashtunistan. Sebagian masuk wilayah Afghanistan, sebagian sisanya masuk wilayah British India yang sekarang jadi Pakistan.
Sesuai perjanjian, suku-suku Pashtun yang mendiami daerah sekitar perbatasan, masih diizinkan untuk memelihara tradisi mereka, mempunyai pemerintahan sendiri, hukum sendiri yang didasarkan hukum adat. Daerah ini kemudian disebut tribal area, yang terdiri dari beberapa agency. Ketika Pakistan berdiri tahun 1947, status tribal area masih dilanjutkan.
Walaupun ada anjuran kepada para tukang bedil di Darra untuk menghasilkan senjata sesuai standar internasional dan regulasi penjualan kepada orang-orang yang mempunyai izin saja, tidak banyak perubahan yang ada. Hukum Pakistan memang tidak berlaku di sini.
Di tribal area, polisi Pakistan tidak mempunyai kekuasaan sama sekali. Yang berpatroli adalah para khasadar, atau tentara suku. Khasadar inilah yang kemudian menciduk saya keluar dari Darra Adam Khel. Orang asing memang tidak seharusnya berada di sini. Saya berhasil menyelundup sejauh ini, tetapi kemudian digiring juga oleh khasadar yang kecewa karena saya tidak memberi tips.
Semula ia meminta 600 Rupee untuk mengizinkan saya keliling Darra selama dua jam, tetapi saya hanya punya 40 Rupee saja di dompet saya. Si khasadar berjenggot tebal dan berjubah hitam itu agak terkejut juga melihat dompet kosong melompong itu. Mungkin karena simpati, mungkin juga karena solidaritas terhadap seorang warga negara Indonesia, si khasadar masih berbaik hati juga mengawal saya untuk melihat-lihat beberapa pabrik bedil yang tersembunyi di rumah-rumah kumuh itu, dan juga berkunjung ke beberapa toko senjata.
Pemilik toko senjata ini, seorang Afridi juga, katanya masih saudara khasadar yang mengawal saya ini. Dia segera menggelar segala macam dagangannya. Ada pistol berbentuk bolpoin, harganya cuma 500 Rupee. Kalashnikov cuma 3000 Rupee. Dan pistol gaya China, kecil dan padat, harganya 5000 Rupee. Senapan laras panjang 1500 Rupee. Saya tak tahu senjata-senjata yang dijual di sini, dengan harga yang mendekati gratis ini, akan tahan berapa hari kalau dipakai.
Semua orang di sini, langsung maupun tak langsung, terlibat dalam bisnis pembuatan dan penjualan senjata. Ada anak-anak umur sepuluh tahunan yang sudah mencangklong potongan-potongan besi untuk bapaknya yang sibuk mengelas dan menatah pegangan bedil. Ada yang membuat cetakan, mempelajari bedil-bedil model terbaru yang bakal laku di pasaran. Selongsong peluru pun jadi kelereng bocah-bocah.
Desing-desing peluru masih terdengar bersahut-sahutan ketika saya meninggalkan Darra. Bahkan supir-supir truk pun tidak mau berhenti ketika saya mencari tumpangan. Semua takut.
Rentetan tembakan membuat saya serasa tiba-tiba berada di Iraq. Pesta tembakan ini hanya kurang dari seratus kilometer jauhnya dari Afghanistan.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 19 Mei 2009
Busyeeeeet itu senjata di gantung udah kayak roti aja?
jangan2 pejuang gam di aceh dulu belinya di sini juga mas?
Jauh lebih seru dari lokasi senpi rakitan di Cipacing.
Ahhh religion of peace
So do not start war mamad