Garis Batas 23:Perbatasan di Puncak Gunung
Saya bagun pagi-pagi sekali, sekitar pukul tujuh. Udara masih teramat dingin meski langit baru mulai terang. Rasa cemas karena visa saya bakal berakhir hari ini membuat tidur saya tidak lelap. Setiap detik yang terbayang hanya penjara Tajikistan.
Mungkin memang karena bintang jatuh, di tengah udara pagi yang dingin saya melihat dua truk Kamaz melintas. Saya melompat kegirangan. Sementara anak buah Khurshed memeriksa rombongan kedua truk itu, suami Tildahan membantu saya ber-chakchak, bernegosiasi dengan para supir, yang bersedia mengangkut saya sampai ke Sary Tash di Kyrgyzstan. Sary Tash adalah kota pertama Kyrgyzstan dari perbatasan Tajikistan. Negosiasi berjalan lancar. Deal, 20 Somoni.
Dengan perasaan lega, saya lemparkan backpack ke dalam truk dan melompat naik. Saya duduk dengan manis sambil tersenyum-senyum sendiri mengingat kegelisahan tadi malam. Di kejauhan gunung-gunung raksasa berbaris sepanjang jalan.
Kamaz berjalan pelan. Supir-supir tidak berbicara bahasa Tajik sama sekali. Mereka juga bukan orang yang ramah. Saya berusaha memecah kekakuan dengan berbagai gurauan kecil, tetapi mereka hanya memandang saya sinis dari sudut mata mereka yang lancip. Tak apalah. Pemandangan di luar sana begitu agung. Barisan gunung-gunung bersalju sambung-menyambung. Jalan beraspal terkadang merayap mendaki dengan sudut kemiringan yang nyaris tegak. Tak dinyana, kendaraan sebesar ini masih mampu mendaki.
Sejak dari Karakul kami memasuki daerah yang sangat sensitif di Tajikistan. Dulu di zaman Uni Soviet daerah ini adalah perbatasan dengan China, kini perbatasan tiga negara – Tajikistan, Kyrgyzstan, dan China. Di mana-mana ada pos penjagaanuntuk memeriksa dokumen kendaraan dan penumpang.
Kedua truk ini mengangkut hewan ternak – domba dan yak. Tetapi para supir sama sekali tidak punya dokumen untuk mengekspor ternak. Pos penjagaan tentara perbatasan Tajikistan merupakan halangan bagi semua supir, tetapi selalu ada uang yang bisa memuluskan perjalanan. Bisnis jual beli hewan ternak dari Tajikistan yang ditukar batu bara dari Kyrgyzstan memang menguntungkan. Uang yang didapat dari bisnis ini jauh lebih dari cukup untuk membayar harga BBM yang terus melambung dan uang pelicin jalan.
Kami berhenti di sebuah pos penjagaan di tengah jalan gunung yang sepi. Pos tentara ini sangat kecil. Hanya dua orang yang bertugas di sini, meringkuk dalam sebuah ruangan kecil yang gelap dengan kasur kumal dan selimut bau. Menjadi tentara di tempat seperti ini mungkin adalah pekerjaan yang paling membosankan di dunia. Sepanjang hari hanya memandang gunung-gunung. Mobil yang lewat setiap hari hanya sepuluhan. Udara dingin yang menggigit memaksa orang untuk bersembunyi di balik selimut. Asap rokok terus mengepul dari mulut para tentara. Hiburan bagi mereka hanya bermain catur dan mengobrol dengan supir-supir truk. Tentu saja supir truk ini menjadi kebahagiaan yang tiada bandingnya bagi para tentara, karena dompet kosong mereka jadi terisi.
Para tentara yang semula bersenda gurau, begitu tiba pada detik-detik paling menentukan – negosiasi uang sogokan – langsung menyuruh saya menunggu di luar. Sepuluh menit kemudian, kedua supir keluar dengan muka merah padam dan wajah marah. Mereka pasti baru diperas habis-habisan, batin saya.
Lepas dari mulut singa yang satu ini, masih banyak singa-singa lapar dan beringas lainnya di sepanjang wilayah Tajikistan. Jalanan terus mendaki. Semakin ke atas, sogokan yang diminta semakin besar. Puncaknya adalah perbatasan internasional Tajikistan-Kyrgyzstan di atas sebuah gunung yang bernama Kyzyl Art, artinya punggung merah. Entah punggung apa yang dimaksud.
Memasuki perbatasan ada tulisan besar-besar dalam bahasa Rusia di atas sebuah monumen: Propinsi Otonomi Pegunungan Badakhshan Menyambut Anda. Sambutan macam apa yang diberikan oleh tempat yang lebih mirip garasi daripada international border ini? Apa lagi kalau bukan sogok-menyogok dalam ruangan gelap yang sudah menjadi karakter orang berseragam di negeri ini?
Imigrasi Tajikistan hanyalah beberapa buah gerbong kargo bekas yang disulap menjadi kantor sekaligus tempat tinggal. Saya seperti masuk ke rumah gipsi saja. Ternyata kargo bisa juga jadi rumah yang nyaman. Petugas pabean Tajikistan yang sedang bermain catur mengisi bosan, sangat senang melihat saya yang orang Indonesia. Pertama kali dalam hidupnya, katanya.
“Wah, kemarin saya melihat Indonesia di TV. Negara kamu cantik sekali, banyak airnya.” Saya tersenyum. Orang Tajikistan yang hidup di puncak gunung ini pasti tidak pernah membayangkan rumahnya kebanjiran.
Keramahan itu semakin menjadi-jadi ketika si tentara Tajik itu menemukan kesalahan dokumen para supir truk yang mengangkut domba dan yak tanpa izin. Dalam bahasa Rusia, mereka mulai tawar-menawar harga sogokan. Debat alot ini dilakukan dengan senyum dan penuh keramahan, walaupun jelas sekali wajah para supir itu jadi merah padam. Tentara Tajik memberi signal kepada saya untuk menunggu di luar.
Supir-supir itu kena peras 150 Somoni, hampir 30 dolar, atau lebih tinggi dari pendapatan bulanan rata-rata nasional Tajikistan. Para tentara di perbatasan memang punya rejekinya sendiri. Sekarang giliran kedua truk diperiksa dengan barisan anjing-anjing besar dan galak, sudah terlatih untuk mencari narkotika hanya dengan mengendusi ban mobil.
Setelah sukses melewati kantor pabean, sekarang kami harus mengecap paspor di kantor imigrasi. Kalau tadi kargo bekas berbentuk kotak, yang ini adalah mantan tanker truk minyak yang disulap jadi kantor. Ruangan bundar di dalamnya mengingatkan saya pada wahana rumah miring Dunia Fantasi di Jakarta. Siapa sangka dalam tanker rongsokan ini nasib paspor saya ditentukan? Orang Tajik memang kreatif, ekonomis, dan efisien. Kargo, tanker, atau rongsokan besi apa pun bisa jadi kantor.
“Visa kamu habis hari ini,” kata petugas imigrasi.
“Iya. Pas sekali kan?”
“Wah, sayang sekali. Coba kamu datang besok, kamu pasti harus bayar kita antara 50 hingga 100 dolar.”
Keuntungan bagi saya, apes bagi dia yang tak jadi dapat duit.
Dengan penuh sumpah serapah, para supir Kirghiz melanjutkan perjalanan. Dari Kyzyl Art, jalanan terus turun menuju ke perbatasan Kirghiz, terpisah 20 kilometer dari pos perbatasan Tajikistan. Ini adalah daerah tak bertuan.
Bor Dobo namanya. Sebuah nama yang harus diucapkan dengan memonyong-monyongkan mulut gara-gara huruf ‘o’ dengan dua titik di atasnya. Perbatasan ini nampak jauh lebih bener daripada perbatasan Tajikistan. Ada kantor-kantor bea cukai, karantina, imigrasi, dan sebagainya. Yang tidak ada cuma cap. Visa Kyrgyzstan saya tidak dicap.
“Kami tidak punya stempel,” kata petugas imigrasi keukeuh, “kalau kamu mau stempel paspor nanti minta di Osh saja.”
Saya sempat ngeyel tetapi paspor saya tetap saja tidak dicap.
Dua puluh kilometer dari Tajikistan membawa saya ke sebuah dunia yang berbeda. Saya memasuki kehidupan baru. Bahasa Persianya orang Tajik tidak laku di sini. Orang-orang bicara bahasa Kirghiz yang terdengar menggaruk-garuk kerongkongan, atau bahasa Rusia yang macho dan tajam. Seketika saya menjadi warga miskin karena uang Somoni Tajikistan tidak diterima. Mata uang yang berlaku di sini adalah Som, dan saya tidak punya sepeser pun.
Truk berjalan lambat sekali. Langit sudah hampir gelap ketika truk kami sampai di Sary Tash, masih setengah perjalanan menuju kota Osh. Saya pun tidak tahu hendak ke mana lagi. Saya terjepit di sebuah dunia baru. Saya tak bisa bahasanya, tak punya uang, dan perut saya kelaparan. Sary Tash adalah sebuah desa kecil, belum tentu dolar saya bisa laku di sini. Saya tak punya pilihan selain meneruskan perjalanan hingga ke Osh.
Supir truk yang kelihatannya sangat tidak bersahabat sesungguhnya masih berbaik hati mentraktir saya makan malam. Di sebuah restoran kecil di tengah kegelapan malam, saya disuguhi semangkuk bakmi. Ibu gendut pemilik warung matanya sipit yang kalau tersenyum bola matanya hilang. Remang-remang lampu petromaks di warung kecil ini semakin menambah misteriusnya makanan di hadapan saya.
Beshbermak namanya. Dalam bahasa Kyrgyz artinya ‘lima jari’. Bakmi ini, sesuai tradisi para gembala, memang dimakan dengan kelima jari tangan. Di atasnya ditaburi irisan daging kecil-kecil dan saus. Beshbermak yang asli katanya pakai daging kuda. Tetapi untung yang saya makan ini masih pakai daging kambing.
Saya begitu penat ketika truk harus melanjutkan perjalanan ke kota Osh. Truk merangkak lambat dan saya tertidur lelap di samping pak kusir yang sedang bekerja. Tengah malam, tiba-tiba saya dibangunkan. “Kamu harus turun!” kata supir dengan kasar. Tidak ada pilihan lain. Saya dilempar di sebuah losmen murah di pinggiran kota Osh. Truk-truk pun pergi begitu saja seperti suami yang memberikan talak tiga.
Losmen gelap di tempat asing seperti ini. Saya berjalan terseok-seok memasuki pekarangan losmen. Anjing besar menyalak menyambut saya. Saya menjerit…, disambung dengan ibu gendut pemilik losmen yang tergopoh-gopoh menyambut saya. Dengan komunikasi seadanya, saya berhasil mendapat kamar. Saya menyerahkan lembar-lembar uang Som kumal hasil menukar dengan supir truk yang memberikan nilai kurs yang jelek sekali.
Saya begitu letih. Tujuh belas jam perjalanan eksodus dari Tajikistan. Saya pun tertidur lelap di atas kasur keras sebuah losmen bau di pinggiran kota Osh.
Sampai jumpa Tajikistan.
Selamat datang di Kyrgyzstan.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan ulang sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 7 April 2008
baca tulisan ini kyak baca cerpen…sungguh kerren….sulit dipercaya ini nyata….agustinus wibowo emng luarrrrrr biasa..TOP dah..
setelah baca buku GARIS BATAS, luar biasa ada backpacker muda yang melintasi beberapa negara yang berahiran STAN, dengan begitu banyak suka duka yang dialaminya, salut buat Agustinus Wibowo.
baca artikel ini kayak merasa ikut berjelajah
serasa ikut menjelajah negeri antah berantah, dan ternyata negeri kita jauah lebih baik dan patut kita banggakan
Membaca dan mengikuti tulisan Agus Wibowo menarik saya utk ikut meresapinya dgn cara membayangkan Agus berkelana ke negara2 itu adegan per adegan. Sungguh suatu kisah hidup yg membuka wawasan, pikiran dan mata kita, betapa kita patut bersyukur ditakdirkan hidup di Indonesia.
Mas agustinus memang petualang sejati..