Koran Jakarta (2013): Memotret Kehidupan Budaya dan Eksotisme Negeri Orang
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/131435
Memotret Kehidupan Budaya dan Eksotisme Negeri Orang
Petualangannya tidak selalu mulus. Berbagai rintangan dan tantangan dihadapi dengan tabah, termasuk menemukan banyak keunikan budaya dan tradisi negaranegara seperti India. Negeri ini memiliki ritus sejak ribuan tahun, termasuk seks dan misterinya.
Safarnama berasal dari bahasa Persia. Safar berarti perjalanan. Nama berarti tulisan, (hal 9). Buku ini memaparkan kisah perjalanan ke berbagai negara, seperti Mongolia, Tibet, Nepal, India, dan Pakistan. Salah satu kisah eksotis tentang nuansa mistis puncak Everest.
Menatap puncak Everest, menyaksikan garis kurvanya yang tegak dan curam, tentu terbayang betapa sulit perjuangan para pendaki mencapainya, (hal 113). Meski sudah menelan banyak korban, pesona puncak Everest tidak pernah memudar, bahkan semakin menantang.
Perjalanan adalah eksplorasi untuk menemukan dunia “lain”, (hal 133). Betapa dalamnya filosofi dari sebuah pelancongan. Perjalanan adalah proses menyusuri, (hal 259). Mungkin karena alasan inilah, penulis, Agustinus Wibowo, memaparkan kisah perjalanannya dalam buku setebal 552 halaman.
Petualangannya tidak selalu mulus. Berbagai rintangan dan tantangan dihadapi dengan tabah, termasuk menemukan banyak keunikan budaya dan tradisi negara-negara seperti India. Negeri ini memiliki ritus sejak ribuan tahun, termasuk seks dan misterinya, (hal 246). Di Pakistan ditemukan istilah “negeri tanpa wanita”.
Selain itu, ada juga sisipan potret kehidupan sosial di berbagai negara. Seperti biasa, orang kecil harus bekerja ekstrakeras walau tetap tidak sejahtera. Mereka menjadi tenaga kerja di Malaysia dengan perlakuan tidak manusiawi. India yang berpenduduk kedua terpadat di dunia memiliki kehidupan sosial sangat memprihatinkan dan jorok. Penipuan di mana-mana. Fasilitas transportasi umum tidak terawat.
Ada juga informasi tentang citra umat Kristen di Pakistan yang digambarkan penuh kemiskinan. Mereka tinggal di perumahan kumuh sebagai pembersih jalan. Mereka dipandang sebagai kelas bawah dan terpinggirkan, (hal 460). Isu ini mestinya bisa menjadi tema penting bagi negara-negara Kristen yang makmur. Mereka perlu mengulurkan tangan bagi saudara seimannya yang masih hidup susah. Keunikan lain dari buku ini tidak semata-mata berkisah tentang perjalanan, tapi juga sisi-sisi lain, seperti sosial dan kemanusiaan atau kekeluargaan.
Perjalanannya diawali dengan sebuah perpisahan mengharukan dengan keluarga. Perjalanan itu belajar melihat dunia luar, tapi juga ke dalam diri. Pulang memang jalan yang harus dijalani. Dari titik nol berangkat ke titik nol pula kembali, (hal 531). Tidak heran, buku ini bertitel Titik Nol! Pembaca bisa memetik pengalaman risiko seperti dirampok, ditipu, dan tentu saja eksotisme tempat-tempat wisata.
Diresensi Yulia Endang Wahyuningsih, lulusan Fakultas Hukum UGM
Judul : Titik Nol, Makna Sebuah Perjalanan
Penulis : Agustinus Wibowo
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : Februari, 2013
Tebal : xi 552
ISBN : 978-979-22-9271-8
Leave a comment