DailySylvia (2013): Yang Tersisa dari Ubud Writers & Readers Festival
http://www.dailysylvia.com/2013/10/23/yang-tersisa-dari-ubud-writers-readers-festival/
Yang Tersisa Dari Ubud Writers & Readers Festival
Merayakan “Buku, pesta dan cinta” di tanah dewata.
Sejak berdomisili di Ubud beberapa tahun terakhir, Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) masuk dalam agenda wajib tahunan dan paling saya nantikan.
Tema UWRF 2013 sama dengan UWRF yang digelar pertama kalinya pada 2004 silam, ‘Through Darkness to Light’ (Habis Gelap Terbitlah Terang), sebagai tema perayaan 10 tahun festival yang dilaksanakan pada 11 – 15 Oktober 2013 lalu. Seperti di UWRF sebelumnya, tahun ini saya melompat dari satu sesi ke sesi lain. Mayoritas diskusi panel yang saya hadiri sangat baik – terorganisir, moderator proaktif, panelis yang tampil pun komprehensif dan alur diskusi sejalan dengan tema. Tetapi beberapa sesi diskusi masih perlu perbaikan, baik dari segi tema maupun panelis yang berpartisipasi.
Saatnya Wanita Angkat Bicara
Sesi ‘Women in Ancient Text’ yang dipimpin Laksmi Pamuntjak menampilkan Helen Creese – profesor bahasa dan penulis, dan I Nyoman Darma Putra – dosen sastra Indonesia di Universitas Udayana, dengan tema perempuan dan perannya dalam sastra lama. Helen memberi rangkuman tentang bagaimana cara perempuan berpikir, merasa dan menempatkan diri di masa lalu melalui karya sastra. Sementara Darma Putra mengangkat topik gerakan perempuan Bali pada 1930an, yang diberi nama Putri Bali Sadar, sebuah organisasi yang memperjuangkan hak-hak perempuan dan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, serta menyediakan beasiswa pendidikan bagi perempuan.
Dalam sesi tersebut, ada pertanyaan menarik dari salah seorang penonton wanita. Ia begitu gemas setelah mendengar rangkuman Helen dan beberapa bagian dari karya sastra dan sejarah ‘Kakawin’ yang dibacakan, bahwa hampir semua tokoh perempuan di dalamnya berakhir dengan tragedi, pengorbanan dan kematian. Ia sangsi apabila kenyataan sejarah memang benar demikian. “With literature, you’ll never be sure if it is truth or not. It’s a matter of trust. You choose whether or not to trust your resources,” jawab Helen tak kalah menariknya.
Esais dan jurnalis Indonesia senior, Goenawan Mohamad, turut meramaikan Writers List tahun ini. Mudah ditebak, acara yang menampilkan dirinya dipenuhi pengunjung. Dari beberapa diskusi panelnya, saya hadir dalam sesi ‘My Indonesia’, di mana Goenawan berbagi tentang pengalaman dan tantangan yang ia hadapi dalam menulis di dan tentang negerinya yang penuh dikotomi.
Salah satu pernyataannya yang menggugah, “Indonesia isn’t the most beautiful country in the world. I don’t think so. Italy is much lovelier. France, too. Indonesia is a very problematic country – therefore you need to stay here for the rest of your life. Indonesia is a process. It’s not a finished idea. It’s a practice, and a trial and error. And when people ask me ‘Do you love Indonesia?’, I answer ‘I don’t know, but I’m committed to it.’”
Diskusi panel lain yang menjadi highlights yaitu ‘Translasi’ – membahas kesiapan Indonesia sebagai guest of honour dalam Frankfurt Book Fair 2015 mendatang; ‘Writing on the Road’ – bagaimana para pejalan yang menulis (dan penulis yang melakukan perjalanan) berkarya di tengah pengembaraan mereka, antara perangkat menulis, riset dan proses penulisan di lapangan; ‘The Tipping Point’ – salah satu diskusi panel terpanas dalam UWRF yang saya hadiri tahun ini, mengambil topik terkait bentangan sawah di Bali yang kian terkikis oleh pembangunan intensif dan gencatan massive tourism; serta ‘Reflections of Afghanistan’ yang dimoderasi oleh penulis yang berpengalaman di Asia Tenggara – Michael Vatikiotis, menghadirkan Agustinus Wibowo dan Ben Quilty – penulis perjalanan dan artist yang telah mengembara ke Afghanistan dan berbagi pengalaman mereka di negeri tersebut melalui lensa masing-masing.
Setiap ada jeda antara diskusi panel, saya mengunjungi book-stand yang menyediakan buku-buku dari berbagai negara, khususnya karya para penulis yang mengisi rangkaian program UWRF 2013, karena tak semuanya didistribusikan di Indonesia secara reguler. Ketika asik memilih buku mana yang akan dibeli, Gil, seorang kenalan berkebangsaan Amerika yang telah lama menetap di Ubud menyapa saya dan berkata, “No wonder most Indonesians don’t read books, especially these imported ones. Look at the prices – crazy… expensive!”
Kalimat Gil sesungguhnya sudah saya pikirkan sejak dulu, dan terbentuk menjadi pertanyaan. Apakah membaca sungguh sebatas menyoal ‘harga’, atau bersifat pribadi dan lebih mendasar dari itu, yaitu kondisi, kemauan dan kepentingan?
Dalam UWRF tahun ini, tampak lebih banyak wajah sesama warga Indonesia. Walau tak sedikit di antaranya yang hadir atas nama eksistensi tanpa mengetahui isi dari rangkaian program – dan lebih sibuk dengan gadget masing-masing, sisi positifnya adalah semakin banyak pula yang kini tak sungkan untuk duduk di baris terdepan, mengajukan pertanyaan, atau sekadar memberi pendapat dalam diskusi panel. Keberanian berpartisipasi. Keberanian ‘merayakan’.
Flo, seorang ‘Ubudian’ berdarah campuran Indonesia-Kanada mengaku bahwa meskipun tahun ini pertama kalinya ia mengunjungi UWRF, festival ini telah resmi masuk dalam agenda favoritnya. “UWRF is fascinating and it’s a legit ‘med’ for I can’t go to this year’s Vancouver Writers Fest. So although I really wanted to attend Margaret Atwood’s sessions at VWF, but here at UWRF I got a chance to know a lot of writers from around the globe too. Richard Flanagan and Lydia Cacho were my favorite panelists. They’re fantastic!”
Terlepas dari namanya, UWRF tak melulu tentang penulis, pembaca dan buku. Dari jumlah keseluruhan 200 program yang tersebar di lebih dari 50 venues, ada berbagai kegiatan mengisi festival ini, sebut saja sesi memasak oleh beberapa chef Indonesia ternama di The Kitchen; pameran metamorfosa kain tenun kontemporer dari Timor bertajuk ‘Ties to Timor’; special events – beragam acara yang menautkan para penulis dan pembaca dalam suasana informal, termasuk perjalanan wisata; children and youth programs; Pecha Kucha 20×20 UWRF special edition; Kajeng Street Party; Poetry Slam – agenda favorit peserta UWRF; serta program pemutaran film yang kerap diramaikan pengunjung.
Tidak Melulu Buku
Pemutaran film dokumenter ‘Jalanan’ adalah satu dari beberapa program yang paling dinanti dan paling ramai pengunjung selama UWRF. Betapa tidak, lebih dari 4,000 penonton mancanegara menyesaki halaman Museum Antonio Blanco dan rela membawa sarung atau kain masing-masing sebagai alas tempat duduk untuk menikmati film berdurasi 107 menit ini. Jalanan mengisahkan kehidupan tiga orang pengamen di jalanan Jakarta, bagaimana perjuangan mereka menggapai kebaikan, percintaan dan kebahagiaan.
Daniel Ziv, produser sekaligus sutradara film Jalanan, telah mengumumkan jadwal pemutaran karyanya melalui social media sejak beberapa minggu sebelumnya, dan hasilnya sangat memuaskan. Bukan hanya karena jumlah penonton dan sambutan mereka saat pemutaran di UWRF, tetapi Jalanan juga meraih penghargaan sebagai film dokumenter terbaik di Busan International Film Festival. Daniel menyampaikan bahwa Jalanan akan diputar di bioskop Indonesia pada Januari-Februari 2014 mendatang.
Maka meminjam frasa melegenda yang dikumandangkan Soe Hok Gie dahulu, ‘buku, pesta dan cinta’ adalah nilai yang saya maknai dari jiwa Ubud Writers & Readers Festival tahun ini. Dan semoga jiwa itu lestari hingga tahun-tahun mendatang, tak seperti bentangan sawah di Ubud yang habis lekang oleh waktu. DS (Novieta Tourisia, Kontributor)
Leave a comment