Titik Nol 35: Mata Buddha
Sepasang mata menatap penuh misteri. Harum asap dupa bertebaran. Kabut masih baru menyelimuti Kathmandu. Dingin. Penuh misteri. Tetapi orang-orang sudah larut dalam doa dan ibadah.
Bersama legenda yang mengiringi lahirnya kota kuno Kathmandu, adalah Swayambhunath di puncak bukit tinggi yang membayangi seluruh kota. Alkisah, seluruh lembah Kathmandu adalah danau. Danau ini tiba-tiba mengering airnya, bersamaan dengan sinar yang muncul dari Swayambhunath. Swayambhu, dalam bahasa Nepal, artinya ‘muncul sendiri’.
Tak ada yang tahu pasti berapa usia kuil ini. Ada yang mengatakan tempat ini menjadi suci sejak lebih dari 2000 tahun lalu ketika Raja Asoka datang berkunjung. Letaknya di puncak bukit tinggi, yang menurut ahli geologis dulunya adalah pulau di tengah danau.
Stupa raksasa Swayambhu sudah ada di abad ke-5, berwarna kuning cerah. Bentuknya bulat besar. Puncaknya adalah pagoda dengan empat sisi, terbuat dari emas. Setiap sisinya tergambar sepasang mata yang menatap garang.
Mata Buddha, memandang ke semua arah mata angin, menunjukkan bahwa Tuhan yang maha mengetahui ada di mana-mana. Di atas pasang mata, adalah mata ketiga yang melukiskan kebijaksanaan nurani. Di bawah mata, garis melingkar-lingkar seperti hidung, adalah angka ‘1’ (ek) dalam huruf Nepal, melambangkan persatuan segala makhluk. Tak ada telinga, karena konon Buddha tak tertarik mendengar lantunan doa yang hanya memuja-muja.
Pemujaan di Swayambhunath sudah mulai pagi sekali, ketika kabut masih menyelimuti seluruh kota dan dingin menggigit tulang. Genderang biksu Buddha yang ditabuh dengan monoton dalam kecepatan lambat, mengiringi mantra mereka yang berat dan dalam. Umat Buddha berdatangan, menyalakan lilin lampu mentega yang berkelap-kelip di dalam kuil.
Ratusan lilin menyala dalam lingkar-lingkar cawan. Jilatan api kecil bertahan dari terpaan angin, menyala ke berbagai penjuru, seperti kehidupan manusia dalam jalan yang berbeda-beda tetapi bertahan menuju ke arah yang esa. Saya terhanyut oleh ketulusan perempuan Newari yang menyalakan lilin mentega diiring doa yang dalam.
Tak banyak tempat seperti Swayambhunath, di mana umat Buddha larut dalam doa bersama-sama umat Hindu yang melaksanakan puja. Stupa Swayambhu adalah tempat ziarah kedua agama. Umat Buddha Tantrayana Tibet mengelilinginya searah jarum jam, sedangkan orang Hindu dan Buddha Newari berlawanan jarum jam.
Saya diajak seorang biksu ke kuil Buddha Bhutan. Di mata saya yang awam, ibadah negeri Bhutan tak jauh berbeda dengan orang Tibet – altar, gambar-gambar dewa, lilin lampu mentega, genderang dan mantra yang berat, semuanya serupa.
“Bhutan adalah negeri yang indah,” kata biksu itu, “Kalau ada kesempatan, datanglah berziarah ke sana.”
Sudah lama saya ingin ke Bhutan, negeri misterius di ujung lekukan Himalaya. Tetapi aturan visa yang susah dan mahal menyebabkan hanya turis berkantung tebal yang umumnya bisa masuk.
Nuansa ibadah yang lebih kental terasa di sekeliling stupa raksasa Boudhanath, salah satu mandala Budha terbesar di dunia. Bentuknya mirip stupa Swayambhunath, tetapi ukurannya jauh lebih besar.
Seorang bikuni tua dalam jubah merah marun memutar silinder roda doa raksasa.. Setiap satu putaran, lonceng berdenting. Di sekuju roda doa ini berukir mantra-mantra. Mereka percaya dengan memutar roda doa satu kali, seluruh mantra yang terukir di permukaan roda akan langsung terkirim ke langit.
Lautan manusia mengalir berkeliling. Mulut melantunkan mantra, tangan memutar tasbih atau roda doa, dan kaki terus melangkah. Suasana Tibet sangat kental di sini.
Sejak berabad silam, tempat ini sudah menjadi pusat komunitas para pedagang Buddha Tibet di Kathmandu. Tahun 1950’an, daerah ini sekitar stupa Boudhanath menjadi tempat penampungan pengungsi Tibet yang melarikan diri dari Tentara Pembebasan Rakyat.
Di Tibet sana, orang tak boleh bicara sama sekali tentang ide kemerdekaan. Dalai Lama dan Panchen Lama pilihannya adalah hal yang tabu dibicarakan. Yang harus dipuji adalah modernisasi, pembangunan di mana-mana, dan kemakmuran yang dibawa oleh pembaharuan dan revolusi.
Tetapi begitu sampai di Nepal, orang Tibet langsung lantang bicara. Foto Dalai Lama terpampang di mana-mana. Di sekeliling Boudhanath, saya melihat banyak selebaran bergambar Gedhun Choekyi Nyima, Panchen Lama pilihan Dalai Lama Tenzin Gyantso, yang sejak berada dalam ‘pemeliharaan pemerintah China’ sampai sekarang tak diketahui di mana rimbanya. “His Holyness Panchen Lama XI – Tahanan [Politik] Termuda di Dunia”.. Kaos bertuliskan slogan “Free Tibet” juga sangat populer, terutama di kalangan turis asing yang terfantasi akan perjuangan kaum tertindas, menyuarakan jeritan orang Tibet di pengungsian ini.
Nuansa perjuangan pembebasan Tibet, yang tak pernah saya rasakan sebelumnya, begitu kental di sini. Seorang pengungsi, berumur tiga puluhan, menceritakan perjuangannya melarikan diri dari melintasi gunung tinggi, menghindari terjangan peluru tentara perbatasan China yang tak segan membunuh, berjalan berhari-hari di puncak salju tanpa makan dan minum, hanya untuk merengguk kebebasan di luar negeri.
Kisah seperti ini cukup lazim di sini. Tetapi setelah mengalami kejadian dengan ‘Guru Rinpoche’ kemarin di New Road Kathmandu, saya sadar bahwa tidak semua cerita serupa bisa dipercaya seratus persen.
Pasang mata Budha menatap tajam di puncak mandala Boudhanath. Mata Budha yang menatap penuh misteri. Tuhan maha melihat, Tuhan maha mengetahui. Manusia terus merayap, mengalir mengitari stupa dengan segala macam doa dan harapan. Hidup di pengasingan ini mungkin bukan yang terbaik buat mereka, tetapi mereka terus mengharap yang terbaik.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 19 September 2008
Kathmandu, suatu saat 🙂