Articles by Agustinus Wibowo
Not an Easy Way (Tibet, 2005) Some Tibetan pilgrims take meaning of pilgrimage more seriously. Not only they have walked thousands of kilometers from their villages to the sacred mountain of Kailash, they also circumambulate the mountains by crawling, for 53 kilometer journey at 5000-ish elevation. Bukan Jalan Gampang (Tibet, 2005) Beberapa peziarah Tibet memaknai penziarahan dengan jauh lebih serius. Bukan saja mereka berjalan ribuan kilometer dari desa mereka untuk sampai ke Kailash, mereka juga mengelilingi gunung suci ini dengan merangkak, sejauh 53 kilometer sekali putaran pada ketinggian 5000-an meter. [...]
Selimut Debu 22: Kabul, Pandangan Pertama
Para pengunjung Safi Landmark, pusat perbelanjaan termegah di Kabul hari ini. (AGUSTINUS WIBOWO) Tiga tahun berselang… Mimpi berpendar bersama realita, Aku berubah, Afghanistan pun berubah. Apakah ini sungguh Afghanistan? Aku tak henti bertanya ketika memandang kota Kabul. Setelah melintasi Khyber Pass yang sama seperti tiga tahun lalu, aku kembali datang ke kota ini, ke negeri ini, berbekal sedikit pengetahuan bahasa Farsi demi mendengarkan cerita-cerita langsung dari mulut Afghanistan. Dan begitu asingnya dia sekarang. Kota yang sama, ibukota negeri perang yang selalu membayangi imajinasiku selama bertahun-tahun ini, kini hampir tak kukenali lagi. Kabul hari ini, di hadapanku, adalah kehidupan mewah, pesta foya-foya, kekayaan yang melimpah. Namun semua itu tersembunyi di balik tembok padat yang kumuh dan kusam. Aku tinggal bersama seorang teman dari Indonesia, yang bekerja pada sebuah perusahaan IT di Kabul dengan beberapa warga asing. Teman-teman sekerjanya sesungguhnya adalah orang Afghan yang kini telah menjadi warga sebuah negara Skandinavia. Afghanistan saat ini membuka lebar-lebar pintu investasinya, mengundang diaspora Afghan yang tinggal di berbagai negeri untuk membaktikan diri pada tanah air. Setelah perang berkepanjangan, banyak warga Afghanistan yang mengungsi ke luar negeri dan menjadi warga negara lain. Mereka sekarang boleh bekerja dan tinggal di Afghanistan seberapa lama pun mereka [...]
#1Pic1Day: Bendera Doa | Prayers Flag (Tibet, 2005)
Prayers Flag (Tibet, 2005) The Tibetan Buddhists believe that the higher the place, the better it is to deliver their prayers. Therefore, top of hills or mountains are always holy, and it is the place to build ritual site or to put prayers flags. In the Kailash pilgrimage, at the highest section of the trek facing directly to the sacred mountain, pilgrims and monks deliver their prayers. Bendera Doa (Tibet, 2005) Umat Buddhis Tibet percaya, semakin tinggi tempatnya maka semakin baik pula untuk menyampaikan doa. Karena itu, puncak bukit atau gunung selalu merupakan tempat suci, dan orang Tibet mendirikan tempat pemujaan dan meletakkan bendera-bendera doa di tempat itu. Dalam perjalanan ziarah Kailash, titik tertinggi dari jalur perjalanan ini berhadapan langsung dengan gunung suci, merupakan tempat para peziarah dan biksu menghaturkan doa mereka. [...]
Selimut Debu 21: Agama di Garis Batas
Tasku jebol setelah perjalanan panjang ini, dan tukang reparasi sepatu di perbatasan Pakistan ini begitu piawai memperbaikinya (AGUSTINUS WIBOWO) Di Pakistan, aku sungguh disadarkan bagaimana cara Tuhan menyelamatkan umat-Nya. Bus yang semestinya aku tumpangi kemarin kalau tidak bangun kesiangan di Kabul, ternyata mengalami kecelakaan dan jatuh ke jurang saat melintasi jalan pegunungan Karakoram Highway yang berbahaya. Ada penumpang yang tewas, untungnya aku tidak jadi menumpang bus itu. Penumpang di sampingku adalah seorang pelajar berusia 17 tahun (walaupun wajahnya kelihatan seperti 30 tahun lebih), orang Pathan/Pashtun dan mengaku pernah ke Afghanistan. Bahasa Inggrisnya sangat bagus. Katanya, zaman Taliban dulu mereka tidak perlu pakai paspor untuk pergi ke Afghanistan, karena berewok sudah cukup sebagai paspor. Di zaman Taliban, hukum sangat keras, mereka memberlakukan hukum potong tangan untuk pencuri, potong lengan bagi perempuan yang kelihatan auratnya, atau hukuman mati bagi pembunuh jika keluarga korban tidak mau mengampuni. Kesalahan Taliban, menurutnya, adalah mereka menerapkan hukum Islam secara ekstrem dan sangat mendadak, tidak melalui tahapan-tahapan. Akibatnya, mereka tidak didukung sebagian besar orang Afghan. Hanya saja selama masa Taliban, Afghanistan jauh lebih aman dan stabil. Dia pun tak habis pikir mengapa Amerika menyerang Taliban. Toh bukan Taliban yang menghancurkan WTC? Osama, tokoh utama dalam cerita ini, [...]
#1Pic1Day: Wajah Utara | The North Face (Tibet, 2005)
The North Face (Tibet, 2005) The north face of the holy mountain of Kailash is among important sections of Kailash pilgrimage. Kailash is regarded the holiest mountain for four religions—so holy that nobody is allowed to touch or climb it. The pilgrimage is done by walking to circumambulate the mountain. Wajah Utara (Tibet, 2005) Menyaksikan wajah utara gunung keramat Kailash adalah salah satu bagian penting dalam perjalanan ziarah Kailash. Kailash adalah gunung paling suci bagi empat agama, saking sucinya tidak seorang pun diizinkan untuk menyentuh atau mendakinya. Perjalanan ziarah ini dilakukan dengan mengelilingi gunung suci itu. [...]
Selimut Debu 20: Malam Terakhir
Super Deluxe Bus ala Afghanistan (AGUSTINUS WIBOWO) Beberapa hari ini dilewatkan hanya dengan kunjungan rutin ke Kedutaan Inggris karena masalah visa Adam. Ide-ide gila sempat muncul untuk mendapat visa Pakistan, mulai dari membuat surat dari organisasi palsu yang ditandatangani sendiri, sampai mengurus visa Pakistan di konsulat di Jalalabad, atau pergi ke Iran dan Uzbekistan (yang harga visanya sampai US$100). Tetapi dengan uang Adam yang tidak kalah tipisnya dari punyaku, semua pilihan itu jadi mustahil. Bagaimana pun juga aku tidak bisa terus-terusan di Kabul, dan harus meninggalkan negeri ini dengan kekecewaan mendalam. Waktuku sangat singkat, dan aku hampir tidak berkesempatan mengenal negeri Afghan ini sama sekali. Untuk menebus perasaan bersalah karena membuatku menemaninya setiap hari ke Kedutaan Inggris yang membosankan, Adam mentraktirku makam malam terakhir di restoran China yang segedung dengan Khyber Restaurant. Lumayan mahal makanannya, seporsi sampai US$8, apalagi untuk kami para backpacker kere yang rela melakukan apa pun hanya demi menghemat satu sen. Sial! Bus menuju perbatasan Pakistan berangkat subuh-subuh, tetapi aku baru bangun pukul tujuh siang. Ya, pukul tujuh itu sudah siang kalau ukuran Afghanistan. Sudah mustahil aku berangkat ke Pakistan hari ini. Aku tidak tahu harus senang atau sedih. Rencana tidak terlaksana, tapi setidaknya aku punya satu [...]
#1Pic1Day: Kematian Simbolis | Symbolic Death (Tibet, 2005)
Symbolic Death (Tibet, 2005) A part of the Kailash pilgrimage journey is a site called Shiwa Tsal, where pilgrims leave some of their possessions here, usually clothes, shoes, or hair. The ritual is a symbol of death of our old life, and being reborn with a new spiritual life. Not far from here is the sky burial site, a reminder that nothing is eternal. Kematian Simbolis (Tibet, 2005) Bagian dari perjalanan ziarah Kailash adalah sebuah tempat bernama Shiwa Tsal, di mana para peziarah meninggalkan beberapa benda yang mereka miliki, biasanya berupa pakaian, sepatu, atau rambut. Ritual ini adalah simbol dari kematian raga kita yang lama, dan dilahirkan kembali dalam kehidupan spiritual yang baru. Tidak jauh dari tempat ini adalah tempat pemakaman langit (cara pemakaman Tibet di mana mayat ditaruh begitu saja di tempat terbuka sehingga menjadi santapan burung pemangsa dan hewan), sebuah peringatan bagi kita bahwa tidak ada yang abadi dalam dunia ini. [...]
Selimut Debu 19: Beda Negara Beda Nasib
Birokrasi di negeri yang hancur lebur juga membuat kami hancur lebur. (AGUSTINUS WIBOWO) Pergilah ke jalanmu. Go your way adalah kalimat khas yang diucapkan diplomat Pakistan. Seperti doanya, sekarang aku benar-benar go my way, kembali ke Kedutaan Pakistan demi selembar visa. Membaca kekhawatiranku mengenai visa Pakistan, Pak Kasim dari Kedutaan Indonesia berusaha menenangkan. “Jangan khawatir,” ujarnya, “kita akan berusaha yang terbaik.” Aku diajaknya melintasi gedung kedutaan yang begitu luas dan berlantai marmer (mirip museum barang-barang ukiran dan lukisan tradisional Indonesia) dan sudah beberapa kali direnovasi berkat terjangan roket dan peluru nyasar, melongok sebentar ke lapangan tenis dan kebun buah, lalu ke halaman belakang tempat jajaran empat mobil diparkir, lalu mempersilakan aku duduk di bangku depan salah satu mobil, sementara dia menyetir melintasi jalanan panas dan berdebu kota Kabul. Aku yang sejam lalu bahkan tidak tahu harus ke mana, kini sudah duduk di bangku paling terhormat di mobil kedutaan. Pak Kasim, lelaki Indonesia yang baru kutemui hari ini, begitu penuh semangat membantu hanya karena kami adalah saudara sebangsa. Benar saja, kedutaan Pakistan sudah tutup. Tetapi dengan identitas Pak Kasim, para bodyguard penjaga gerbang memberikan kami jalan, langsung meluncur ke kantor visa. Lelaki tinggi berkumis yang sama masih ada di ruang itu. [...]
#1Pic1Day: Perhiasan | Accessories (Tibet, 2005)
Accessories (Tibet, 2005) A Tibetan woman shows her beautiful accessories. She opens a pilgrim rest house in the midway of Kailash pilgrimage path. Perhiasan (Tibet, 2005) Seorang perempuan Tibet menunjukkan perhiasannya yang cantik-cantik. Dia membuka sebuah pondok peristirahatan bagi para peziarah yang mengelilingi Kailash. [...]
Selimut Debu 18: Setumpuk Masalah
Meninggalkan Kabul, menuju Pakistan (AGUSTINUS WIBOWO) Ya, ini memang mimpi. Dan sudah saatnya sekarang aku bangun dari mimpi. Liburan musim panas yang cuma enam minggu ini terlalu singkat, sama sekali tidak cukup untukku mengenal negeri Afghan. Masih begitu banyak pertanyaan tak terjawab, misteri tak tersingkap, kerinduan terpendam. Tapi, setiap perjalanan harus ada akhirnya. Sering kali, akhir yang tidak diundang justru membuat rasa kita semakin dalam. Saat kami kembali ke Kabul, tujuan pertama yang kami datangi adalah kedutaan Pakistan. Aku harus melewati Pakistan untuk kembali ke China, sedangkan Adam meninggalkan ranselnya di penginapan di Peshawar karena enggan membawa terlalu banyak barang ke Afghanistan. Masalahnya, kami berdua sama-sama tidak punya visa ke Pakistan. Kesalahan utama kami adalah, menganggap visa Pakistan yang cuma tempelan kertas putih ditulis tangan dengan lem yang mudah copot itu semudah dan sesimpel kualitas kertasnya. Lelaki berkumis, langsing dan tinggi, menyambut kami di sebuah kantor sempit di Kedutaan Pakistan yang dikelilingi tembok tebal tak bersahabat. Kami dipersilakan duduk, mengisi formulir, dan menunggunya mewawancara (atau mungkin berbincang?) dengan satu per satu para pemohon visa. Kami para pemohon visa duduk di bangku-bangku yang merapat di tembok ruangan kantor membentuk huruf U. Lelaki itu berdiri di tengah, lalu berjalan ke masing-masing bangku, [...]
#1Pic1Day: Ziarah ke Kailash | Pilgrimage to Kailash (Tibet, 2005)
Pilgrimage to Kailash (Tibet, 2005) For the Tibetan Buddhists, a pilgrimage to Kailash is among important journeys to do in life. People walk or hitchhike to the site from their villages, sometimes thousands of kilometers away. The pilgrimage ritual is going circumambulate the holy mountain, about 53 kilometer trek at 5000-ish m elevation. The Buddhists believe that you have to circumambulate it in odd numbers, means either you are supposed to do it once, or if you do twice you should do the third trek as soon as possible. Doing the pilgrimage for 108 times is believed as a journey to nirvana. Ziarah ke Kailash (Tibet, 2005) Bagi umat Buddhis Tibet, ziarah ke Kailash adalah salah satu dari perjalanan penting yang dilakukan dalam hidup. Orang berjalan atau menumpang kendaraan dari desa mereka, terkadang ribuan kilometer jauhnya. Ritual ziarah dilakukan dengan mengelilingi gunung suci ini, sebuah perjalanan berat di alam liar sejauh 53 kilometer pada ketinggian sekitar 5000 m di atas permukaan laut. Mereka menekankan perlunya mengelilingi gunung ini dalam angka ganjil. Jadi Anda hanya mengelilingi sekali, atau kalau sudah mengelilingi yang kedua kalinya harus cepat-cepat melakukan putaran ketiga. Mengelilingi Kailash sebanyak 108 kali dipercaya sebagai jalan menuju [...]
Selimut Debu 17: Keajaiban Dunia
Danau mukjizat (AGUSTINUS WIBOWO) “Band-e-Amir adalah salah satu keajaiban dunia. Band-e-Amir sudah berada di atas segala rasa, dialah keindahan sejati.” Begitu sebuah buku panduan wisata kuno Afghanistan terbitan Kabul melukiskan keindahan danau-danau Band-e-Amir. Airnya biru kelam, bagaikan bola mata yang menatap begitu dalam dan misterius. Birunya air ini laksana kristal permata yang berkilauan diterpa sinar mentari di tengah ketandusan. Band-e-Amir berupa kumpulan lima danau berkilauan, terletak 75 kilometer di sebelah barat Bamiyan. Nama Band-e-Amir berarti “Bendungan sang Raja”. Setiap danau dikelilingi oleh tebing tinggi batu-batuan cadas yang membentuk seperti tembok yang membendung air danau. Menurut legenda, batuan-batuan cadas ini adalah mukjizat dari Hazrat Ali (sepupu Nabi Muhammad) yang mendirikan tembok-tembok batuan untuk membendung aliran sungai yang membanjiri negeri. Islam konon masuk ke Lembah Bamiyan setelah kedatangan Ali dan berbagai mukjizat ajaibnya, termasuk membunuh naga raksasa, menciptakan danau, dan mengalahkan raja lalim. Dalam perjalanan menuju Band-e-Amir, kami singgah di sebuah kedai teh, yang dalam bahasa Afghan disebut sebagai chaikhana. Ini adalah tempat penting dalam kehidupan orang Afghan. Mereka melewatkan hari-hari mereka yang panjang di kedai teh. Hari yang baru biasanya diawali dengan sepoci teh jahe plus gula batu atau permen manis yang dikulum di bibir. Secangkir teh hangat juga menyegarkan tenggorokan [...]
#1Pic1Day: Gunung Keramat | The Sacred Mountain (Tibet, 2005)
The Sacred Mountain (Tibet, 2005) The mountain of Kailash is the holiest site for four religions: Buddhism, Hinduism, Bon and Jain. For the Tibetan Buddhists, Kailash is known as Kangri Rinpoche, “Precious Snow Mountain”, the center of universe. The Hindus believe Kailash is manifestation of Meru, the home of Shiva, and symbol of powerful mantra om. The Hindu concept of meru is also adapted in Indonesian culture, where some volcanos in Java and Bali are regarded holy, especially the Mahameru (Semeru, “The Perfect Meru”) which possesses respected position in Javanese Hindu cosmology. Also the stupa and mandala of Borobudur is actually another manifestation of meru, or Kailash. In Tibet, Kailash is so sacred, that nobody is allowed to touch it, no mention to climb over it. Gunung Keramat (Tibet, 2005) Gunung Kailash adalah situs paling suci bagi empat agama: Buddha, Hindu, Bon, dan Jain. Bagi umat Buddhis Tibet, Kailash dikenal sebagai Kangri Rinpoche, “Gunung Salju yang Mulia”, pusat dari alam semesta. Orang Hindu percaya Kailash adalah perwujudan dari Meru, tempat kediaman Dewa Sywa, dan simbol dari mantra suci Om. Konsep meru dalam Hindu ini diadaptasi juga dalam tradisi Indonesia, di mana sejumlah gunung berapi di Jawa dan Bali dikeramatkan, terutama [...]
Selimut Debu 16: Inisiasi
Bocah-bocah dari negeri perang (AGUSTINUS WIBOWO) Mulai hari ini, kami resmi menjadi war tourists. Para turis sinting yang tergila-gila dengan eksotisme kehancuran, pertumpahan darah, dan memorabilia perang. Kami mendaki bukit terjal yang menjadi tempat berdirinya patung-patung Buddha. Ada jalan setapak berpasir yang cukup curam, membuatku terpeleset berkali-kali. Tetapi Adam adalah pencinta alam liar, dia pernah mendaki gunung dan mengelilingi Annapurna di deretan pegunungan Himalaya di Nepal, medan seperti ini justru yang dia cari. Apa lagi yang lebih menantang daripada mendaki gunung di negeri perang, yang kita pun tidak tahu mana yang ada ranjau, mana yang aman? Di puncak bukit, bertaburan rongsokan artileri dan tank. Tetapi kengerian ini seakan dilunakkan oleh lembah hijau Bamiyan yang menghampar, menantang tegarnya pegunungan gersang dan cadas. Aku memungut sebuah peluru, dari ratusan yang bertabur begitu saja di tanah. Ukurannya besar-besar, lengkap dengan selongsongnya. “Ambil lagi yang banyak,” Adam tertawa girang. ”Untuk kenang-kenangan dari Afghanistan.” Aku menyimpan peluru itu hati-hati dalam saku, diiring sebuah pertanyaan pragmatis: bagaimana cara menyelundupkan butir peluru sisa perang Afghan dengan aman sampai ke rumah? Kami berdua menyusuri tebing-tebing di sekitar reruntuhan patung Buddha. Kami melupakan pesan orang-orang bijak: jangan sembarangan melangkah di Afghanistan karena ranjau bertebaran di mana-mana. Ah, siapa yang [...]
#1Pic1Day: Unta Pantai | Beach Camel (Karachi, Pakistan, 2006)
Beach Camel (Karachi, Pakistan, 2006) A man offers came tour service on Karachi beach, southern Pakistan. Unta Pantai (Karachi, Pakistan, 2006) Seorang lelaki menawarkan jasa wisata unta di pantai Karachi, Pakistan Selatan. [...]
Selimut Debu 15: Bayang-Bayang Sang Buddha
Seperti baru kemarin saja perang itu berhenti (AGUSTINUS WIBOWO) Berabad silam, negeri ini adalah pusat peradaban Buddha, dengan patung-patung raksasa yang memancarkan kemilau batu mulia. Tetapi, hanya dalam dua tahun yang lalu, puncak peradaban itu menjadi bongkah-bongkah batu tanpa makna. Di hadapan puing-puing reruntuhan, aku merenungkan betapa manusia bisa menjadi begitu kejam dan bodohnya. Aku punya perasaan istimewa terhadap tempat ini. Adalah Bamiyan yang membuatku bermimpi tentang Afghanistan. Suatu hari di dua tahun lalu, siaran berita televisi mengabarkan Taliban akan segera menghancurkan patung Buddha tertinggi di dunia yang terletak di jantung Afghanistan. Ada patung Buddha di negeri Afghan? Aneh juga kedengarannya. Televisi menunjukkan gambar para pelaku, yang menyebut diri sebagai Taliban, berwujud orang-orang berjenggot lebat, berjubah hitam, dan beserban kain hitam panjang menjuntai hingga ke pinggang. Mereka berbicara penuh semangat. Tentang perjuangan, tentang agama, tentang kelaparan dan dunia yang lebih mementingkan patung daripada penderitaan manusia Afghan. Siaran berita televisi itu kemudian menunjukkan gambar tebing cadas sebuah dusun bernama Bamiyan. Cadas itu berdiri tegak lurus. Pada sisinya terdapat dua relung besar dengan dua patung Buddha raksasa berdiri di dalamnya. Patung-patung itu sudah cacat. Kakinya hilang, hidungnya tertebas, wajahnya rusak. Itulah peninggalan peradaban dunia yang masih tersisa di negeri yang hancur lebur. [...]
#1Pic1Day: Timbangan Mini | Little Scale (Lahore, Pakistan, 2006)
Little Scale (Lahore, Pakistan, 2006) Waseed is an 11-year-old Pathan boy from Peshawar who survives on Lahore streets by offering weighing service to passers-by. From every customers on his little weight scale, he earns Rs2. Pakistan is among world’s top in term of number of children living on streets, and young boys like Waseed are vulnerable to physical and sexual abuse. Timbangan Mini (Lahore, Pakistan, 2006) Waseed adalah bocah Pathan berusia 11 tahun dari Peshawar yang bertahan hidup di jalanan Lahore dengan menawarkan jasa menimbang badan untuk pejalan kaki yang melintas. Dari setiap orang yang menggunakan jasa timbangan kecilnya, Waseed mendapatkan 2 Rupee. Pakistan termasuk negara dengan jumlah anak jalanan terbanyak di dunia, dan bocah-bocah kecil seperti Waseed menghadapi risiko tinggi terhadap kekerasan fisik maupun seksual. [...]
Selimut Debu 14: Hari Bazaar
Asap kebab memenuhi udara (AGUSTINUS WIBOWO) Kabul Bazaar, tidak jauh dari Sungai Kabul, seakan melemparkanku ke masa-masa ratusan tahun silam. Asap bertebaran dari sate kebab yang dibakar memenuhi udara. Ratusan orang beserban dan berjenggot berlalu lalang di antara gedung-gedung tua hitam menganga seperti mau ambruk. Belum lagi tatapan misterius dan ingin tahu, dari para pria bermata besar. Di sepanjang Sungai Kabul bahkan ada pasar khusus perempuan yang menjual berbagai barang keperluan kaum hawa. Berbeda dengan di Peshawar yang hampir tidak kelihatan perempuannya, di Kabul kita bisa melihat perempuan di mana-mana. Tapi sebagian besar para perempuan Kabul menutup seluruh tubuhnya dengan burqa biru, tidak kelihatan sama sekali dari ujung kepala sampai ujung kaki. Aku tak tahu mana yang lebih konservatif, Afghanistan atau Pakistan? Di Pakistan perempuan hampir tidak terlihat sama sekali, sementara di Afghanistan memang para perempuan begitu banyak bepergian sendiri di jalanan, tapi seluruh tubuhnya ditutup rapat sampai menjadi makhluk anonim yang bahkan tidak kelihatan wajah dan matanya. Burqa-burqa biru berkibaran bagaikan sayap lebar ketika sang empunya berjalan buru-buru, merupakan pemandangan yang luar biasa bagiku. Burqa sebenarnya sudah ada di Afghanistan sejak berabad-abad lalu, yang fungsi awalnya untuk melindungi pemiliknya yang mengenakan pakaian indah dari sutera atau perhiasan-perhiasan mahal. Burqa [...]
#1Pic1Day: Anak Jalanan | Street Boys (Punjab, Pakistan, 2006)
Street Boys (Punjab, Pakistan, 2006) Pakistan is among the countries with highest number of underage workers. The two Pathan boys left their hometown, hundreds of kilometers away, and survive on the streets of Punjab by offering snacks in bus stations. Anak Jalanan (Punjab, Pakistan, 2006) Pakistan termasuk negara dengan jumlah pekerja anak terbanyak di dunia. Dua bocah Pathan ini misalnya, meninggalkan kampung halaman mereka yang ratusan kilometer jauhnya, untuk bertahan hidup di kerasnya jalanan Punjab dengan menjual makanan kecil di terminal bus. [...]
Selimut Debu 13: Realita Ibukota Negeri Perang
Pelayan warung di Jalalabad, kalau di Indonesia mungkin sudah jadi bintang sinetron (AGUSTINUS WIBOWO) Di negeri perang, ada formula yang selalu berlaku. Selain nyawa yang sangat murah, segala sesuatu yang lainnya teramat mahal. Hidangan kami siang ini bisa dikatakan sangat mewah, bagaikan hidangan penyambutan istimewa bagi tamu kenegaraan. Semangkuk kari paha ayam, sepiring besar nasi pulao, selepek bawang merah mentah dan cabe hijau yang panjang, sepotong paha ayam goreng …. Ini jauh lebih mewah daripada makanan mana pun yang kumakan sebulan terakhir. Bocah-bocah pelayan melemparkan roti ke hamparan tikar di lantai, ke hadapan kami. Melempar, dalam arti harfiah, seperti melempar bulir-bulir jagung kepada ayam-ayam peliharaan. Tikar plastik merah yang kotor itu, entah sudah berapa puluh tapak kaki yang sudah menginjaknya hari ini, terus-menerus dijatuhi lempengan roti gepeng yang bergedebuk keras. Aku merobek secuil dan mencicip sedikit roti itu. Ketika aku mengakhiri santapan, sisa rotiku itu diambil oleh pelayan warung, lalu dilemparkan lagi di hadapan pengunjung lain yang baru datang. Aku tak tahu rotiku itu, atau lebih tepatnya mantan rotiku itu, sebenarnya bekas tamu yang mana lagi. Sebelum rotinya mengalami nasib serupa, Adam langsung membungkusnya dan dimasukkan ke ranselku. Saat membayar. Santapan kami siang ini: 150 Afghani per orang. Tiga dolar! [...]